29/07/2025
TITIKTEMU – Viralnya dugaan pernyataan rasis oleh salah satu manajer perusahaan di Karawang, ternyata membawa hikmah, publik jadi terbangun dan mulai serius memperhatikan masalah pengangguran yang selama ini dianggap biasa-biasa saja.
Faktanya, pengangguran di Karawang adalah masalah serius yang perlu penanganan serius p**a. Narasi beberapa pejabat yang menyebut angka pengangguran menurun, terbantahkan dengan realita dan reaksi publik belakangan ini.
Kasus ini mirip dengan efek pernyataan Ahok soal agama beberapa tahun silam, yang akhirnya membuat banyak orang belajar membuka dan memahami Al-Qur’an. Kini, pernyataan seorang HRD malah membuat publik kembali membuka, membahas, dan memperdebatkan Perda No. 1 Tahun 2011 dan Perbup No. 8 Tahun 2016 tentang tenaga kerja lokal.
Masalah utama muncul selama 5 tahun, Perda hanya jadi pajangan karena tidak memiliki aturan turunan berupa Perbup. Baru pada 2016 Perbup diterbitkan, tapi tak lama kemudian Pemprov menyatakan Perda dan Perbup itu ditolak Kemendagri karena dianggap diskriminatif.
Ironisnya, Pemkab Karawang terkesan diam dan pasif. Tidak ada upaya pembelaan atau argumentasi hukum atas kebijakan yang mereka buat sendiri. Padahal, kebijakan 60% tenaga kerja lokal bisa dikategorikan sebagai affirmative action atau diskriminasi positif—sesuatu yang justru dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28H ayat 2.
Akibat ketidakjelasan ini, banyak orang mengira Perda dan Perbup sudah tidak berlaku.
Lebih parah lagi, Pemda seolah cuci tangan dan membiarkan tudingan hanya mengarah ke pihak industri. Padahal, isi Perda menegaskan kewajiban Pemda dalam menyiapkan sistem informasi ketenagakerjaan, pelatihan tenaga kerja, hingga penyediaan sarana dan prasarana.
Jika Pemda sendiri belum menjalankan amanat Perda, bagaimana bisa menuding perusahaan?
Saatnya pemerintah daerah membuktikan keseriusannya, menunaikan kewajiban, dan tidak hanya menjadikan isu pengangguran sebagai bahan kampanye atau panggung politik semata.