28/08/2025
Di sebuah desa kecil yang sunyi, hiduplah seorang kakek tua bernama Pak Wiryo. Sehari-hari ia membuat alat musik dari bambu, sesuatu yang diwarisinya dari ayah dan kakeknya dulu. Tangannya yang keriput masih cekatan, meski tubuhnya sudah rapuh dimakan usia.
Pak Wiryo tinggal seorang diri. Istrinya sudah lama pergi dipanggil Tuhan, dan anak-anaknya merantau jauh ke kota. Jarang sekali ada kabar, apalagi kunjungan. Namun, setiap malam, kakek selalu duduk di beranda, memetik gitar bambu buatannya sambil menatap bulan.
Bagi orang lain, gitar itu hanyalah potongan bambu yang disulap menjadi alat musik sederhana. Tapi bagi Pak Wiryo, setiap senar yang dipetik adalah doa—doa untuk anak-anaknya, doa untuk kampungnya, doa untuk istrinya yang ia rindukan.
Suatu sore, seorang anak kecil dari kampung sebelah datang. Ia duduk di samping kakek sambil memperhatikan.
“Kakek, kenapa selalu main gitar sendiri?” tanyanya polos.
Pak Wiryo tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.
“Karena suara gitar ini mengingatkanku... bahwa hidup tak selamanya ramai. Kadang sepi justru mengajarkan kita apa itu rindu, apa itu ikhlas.”
Hari itu, kakek memberikan gitar bambunya kepada si anak kecil.
“Rawatlah. Kalau suatu saat kakek tak ada lagi, biarkan suara gitar ini menjadi pengingat, bahwa hidup akan terasa indah... kalau kita mau mengisi kesepian dengan cinta.”
Beberapa minggu kemudian, Pak Wiryo berpulang dalam tidurnya. Desa itu sunyi, tapi di beranda rumahnya, terdengar senar gitar bambu dimainkan oleh tangan kecil anak itu—melanjutkan warisan kakek, melanjutkan doa dalam nada.