30/07/2025
SANG PENANTI
Bab 4: Bayangan dari Masa Lalu
Pertapaan Dedeswara, Tahun 1376 Saka
Kabut turun lebih tebal dari biasanya. Udara pagi di kaki Gunung Dedes menggigit kulit seperti tangan tua yang menggenggam erat. Di sudut pertapaan kecil yang sepi, seorang lelaki tua duduk bersila di depan perapian. Tubuhnya kurus, wajahnya dipenuhi keriput seperti retakan pada tembok tua. Rambutnya panjang dan putih, disanggul seadanya, jubahnya sudah penuh tambalan.
Ia adalah Raka—atau lebih tepatnya, lelaki yang dulu bernama Raka Mahardika. Kini, orang-orang memanggilnya Eyang Praba, seorang pertapa yang tinggal sendirian dan hanya berbicara jika benar-benar perlu.
Setiap malam, ia bermimpi tentang suara perempuan yang menyebut namanya. Kadang wajahnya jelas, kadang hanya bayangan samar. Tapi satu hal selalu sama:
> “Laras…”
Setiap kali ia terbangun, dada Raka terasa sesak. Ia tahu ada sesuatu—seseorang—yang menunggunya. Atau… mungkin pernah menunggunya.
---
Kilas Balik: Pecahan Ingatan
Beberapa bulan terakhir, ingatan Raka mulai kembali sedikit demi sedikit.
Awalnya hanya potongan gambar—pohon kenanga, sebuah senyum lembut, tangan halus yang menyeka luka di wajahnya.
Kemudian suara mulai muncul:
“Kalau dunia memisahkan kita, aku akan tetap menunggumu.”
“Pulanglah, Raka…”
Ia menulis nama itu di tanah setiap pagi. Laras. Tapi ia tak tahu siapa dia, di mana, dan apakah masih hidup. Ia bahkan tak tahu apakah nama itu nyata atau hanya sisa mimpi yang tertinggal terlalu lama.
Namun satu malam, seorang peziarah tua dari Padepokan Wuluh menyebut nama itu.
“Di kampung kami… ada seorang tabib wanita. Tua, tapi wajahnya jernih. Ia tak pernah menikah. Ia menunggu seseorang bernama Raka.”
Jantung Raka berhenti sejenak. Tangannya bergetar. Kabut ingatan itu, tiba-tiba menipis.
Ia berdiri malam itu juga, menggenggam tongkat, dan berkata kepada angin:
> “Kalau ia masih hidup, aku harus mencarinya.
Kalau ia telah tiada, biarlah aku mati di tempat ia pernah menunggu.”
---
Perjalanan Menuju Padepokan
Butuh waktu berminggu-minggu bagi Raka untuk menempuh jalan ke barat, kembali ke wilayah yang samar-samar ia kenal. Di setiap desa yang ia lewati, ia bertanya dengan suara serak, “Apakah ada yang mengenal seorang tabib tua bernama Laras?”
Sebagian menatapnya iba, sebagian menggeleng. Namun di sebuah persimpangan pasar tua, seorang ibu menunjuk ke utara.
“Padepokan Wuluh, Eyang… Orang-orang bilang Ibu Laras tinggal di sana. Sudah tua, tapi masih kuat.”
Mata Raka basah. Bukan karena sedih. Tapi karena rasa yang dulu ia kira sudah mati, ternyata masih hidup—dan kini membakar dirinya dari dalam.
---
Pura Kenanga
Raka tiba di kaki bukit, di mana Pura Kenanga berdiri tenang di antara hutan dan batu-batu berlumut. Ia tak langsung naik. Ia berdiri lama di bawah pohon kenanga besar yang tumbuh di pinggir jalan masuk. Aromanya masih sama—lembut, manis, dan penuh kenangan.
Ia memejamkan mata dan membiarkan angin membelai wajahnya.
Bayangan Laras muncul jelas di pikirannya. Gadis muda dengan senyum tenang, tangan terulur memegang tangkai bunga, dan suara lembut berbisik, “Aku akan menunggumu, Raka…”
Tangis jatuh tanpa suara.
Seluruh perjalanan, luka, dan usia tua yang melelahkan itu, seolah menjadi ringan. Ia telah tiba di tempat yang harus ia tuju.
---
Pertemuan
Penjaga pura mengantar Raka menaiki tangga batu. “Ibu Laras tinggal di pondok samping pura. Tapi beliau sudah sangat tua…”
Saat Laras membuka pintu, angin berhenti.
Matanya bertemu dengan mata yang telah lama ia tangisi dalam sepi. Raka berdiri kaku, tongkatnya jatuh ke tanah. Laras menutup mulutnya, seperti menahan jeritan yang tertahan selama lima puluh tahun.
“Raka…”
Ia masih mengenali suara itu.
Tubuh tua itu berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Mereka saling mendekat seperti dua bayangan yang kembali menyatu. Tak ada pelukan. Tak ada air mata berlebihan. Hanya genggaman tangan yang lama sekali tak bersentuhan.
Laras memegang wajah Raka, gemetar.
“Kau p**ang…”
Raka membisik pelan, seperti hembusan napas terakhir:
> “Aku p**ang… karena kau masih menunggu.”
Malam itu mereka duduk bersama di beranda, memandangi langit yang tak lagi penuh bintang. Tubuh mereka telah rapuh, tapi cinta mereka tetap utuh.
Dua jiwa yang tertunda oleh perang, waktu, dan kabut usia… akhirnya kembali bersatu. Tidak sebagai sepasang kekasih muda. Tapi sebagai sepasang hati tua yang tetap mengingat janji pertama mereka di bawah pohon kenanga:
“Aku akan kembali. Untukmu. Hanya untukmu.”
---
Mau lanjut ke Bab 5?
SANG PENANTI
Penulis: Dewifortuna
Versi lengkap di KBM App
https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5