AYRIZ

AYRIZ Halaman resmi AYRIZ diisi Novel ibook dengan tujuan berbagi edukasi.https://read.kbm.id/profile/penulis/65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

30/07/2025

TUAN GADIH PAGARUYUNG
Sinopsis

Di bumi Minangkabau yang agung, ketika adat masih menjadi hukum yang tak tertulis dan darah bangsawan mengikat nasib seseorang lebih kuat dari rantai besi, lahirlah seorang gadih istimewa bernama Cindua Darah. Ia adalah keturunan langsung dari pewaris Kerajaan Pagaruyung, dididik dengan ilmu, ditanam dengan adat, dan ditumbuhkan dalam bayang-bayang takhta.

Namun takhta bukan segalanya bagi Cindua. Ia menyimpan kenangan masa kecil yang tak pernah luntur: tentang seorang pemuda dari kalangan rakyat jelata bernama Raka, yang pernah menyelamatkannya dari mara bahaya saat ia tersesat di hutan. Cinta itu tumbuh dalam diam, berakar di hati yang tak pernah diberi ruang untuk memilih.

Ketika ancaman penjajahan datang dari luar, dan kekuatan kerajaan mulai goyah, para tetua kerajaan menyiapkan pernikahan politik antara Cindua dan seorang pangeran dari negeri sekutu, Tuanku Mudo, demi menyelamatkan kehormatan istana dan kestabilan tanah leluhur.

Cindua terjebak di antara dua dunia: satu adalah dunia darah dan adat, satu lagi adalah dunia hati dan cinta. Di balik dinding Istana Pagaruyung yang megah, perang batin berkecamuk—antara perannya sebagai simbol kerajaan dan keinginannya untuk hidup sebagai manusia biasa yang ingin mencintai dan dicintai.

Selengkapnya di KBM App
TUAN GADIH PAGARUYUNG
Penulis Dewifortuna
https://read.kbm.id/book/detail/38edc981-794a-4b17-95c9-0145650b6d45?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

SANG PENANTIBab 7: Makam yang Mengenal NamamuTrowulan, Jawa Timur – 2025Pagi itu tanah Trowulan masih basah oleh embun. ...
30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 7: Makam yang Mengenal Namamu

Trowulan, Jawa Timur – 2025

Pagi itu tanah Trowulan masih basah oleh embun. Dara berdiri di antara reruntuhan bata merah, menatap sebuah papan kayu kecil bertuliskan:
“Pura Kenanga – Situs Tak Terjamah”

Tempat itu sepi. Tak ada pengunjung. Hanya burung-burung kecil yang bernyanyi di kejauhan. Damar menyusul dari belakang, membawa secangkir kopi hitam dan dua potong kue pisang dari warung ibu-ibu dekat situs.

“Aku merasa... aku pernah berdiri di sini,” gumam Dara pelan, matanya menerawang.

Damar mengangguk. “Aku mimpi tempat ini semalam. Di mimpi itu... kamu menangis. Dan aku tak bisa mencapaimu.”

Dara meremas tangannya. Hatinya berdebar tak karuan. Seakan sesuatu dari masa lalu sedang bangkit perlahan.

---

Kilas Balik: Pohon Kenanga yang Masih Berdiri

Pohon itu ada di sisi timur halaman. Masih hidup. Akar-akar tuanya mencengkeram tanah, dan meski sudah dipenuhi lumut, aromanya masih wangi samar, seolah mengenali siapa yang berdiri di dekatnya.

Dara dan Damar mendekat. Mereka duduk bersimpuh di bawahnya. Tanpa sadar, tangan mereka saling menggenggam.

“Aku tak bisa menjelaskan ini,” bisik Dara.

“Aku juga tidak,” jawab Damar. “Tapi aku tahu, pohon ini pernah menyaksikan kita. Dalam rupa yang lain. Dalam nama yang berbeda.”

---

Batu Tanpa Nama

Tak jauh dari pohon, ada dua batu nisan tua. Sangat sederhana, hanya tonjolan datar dengan pahatan nyaris aus. Tapi di tengah pahatan itu, samar-samar terlihat ukiran Jawa Kuno:

> “Laras Arum – Sang Penanti”
“Raka Mahardika – Sang yang Kembali”

Dara menatap ukiran itu lama. Bibirnya bergetar, tubuhnya mulai gemetar. Ia menoleh pada Damar. “Kenapa... namanya seperti dalam puisiku dulu?”

Damar berjongkok. Ia menyentuh batu itu dengan ujung jarinya. “Aku menggambar ini… bahkan sebelum kita bertemu. Sama persis. Dua makam. Pohon kenanga. Dan langit seperti sekarang.”

---

Waktu yang Terkunci

Mereka tak tahu berapa lama diam di sana. Langit berubah dari jingga menjadi perak. Angin bertiup lembut, membawa harum kenanga liar.

Lalu Dara berbisik:

> “Kalau kita benar-benar mereka…
Maka cinta kita tak mati. Ia hanya tertidur.”

> “Dan sekarang ia bangun. Dalam dirimu dan aku,” jawab Damar pelan.

---

Saat Pulang

Sebelum mereka pergi, Dara memetik satu bunga kenanga yang gugur. Ia menyelipkannya di balik buku jurnal sejarahnya. Di sampul jurnal itu, ia menulis:

> “Kita telah mati bersama. Tapi lebih indah dari itu… kita hidup kembali bersama.”

---

Cinta mereka tak hanya hidup di hati. Ia hidup di tanah, di pohon, di batu, dan di aroma kenanga yang tak pernah pudar meski waktu menguburnya.

Karena beberapa cinta… tidak mengenal usia.
Tidak tunduk pada kematian.
Ia hanya berpindah tubuh, menunggu untuk ditemukan kembali.

Mari kita lanjut ke Bab 8 🥳🥳🥳dari Rindu di Ujung Senja, dengan tema: Dara dan Damar menghadapi tantangan zaman modern. Meskipun mereka telah menemukan satu sama lain dan mengenang kehid**an masa lalu, cinta mereka diuji oleh kenyataan zaman: keluarga, karier, logika, dan keraguan diri.

Bab ini akan menguji apakah cinta yang lahir dari masa lampau bisa tetap tumbuh di dunia yang serba cepat dan ragu.

BAB 8: Dari Rindu diujung Senja

bisa kamu baca lebih lengkap di KBM App👇👇👇
SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna

https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 6: Dan Aku Menemukanmu Lagi

Yogyakarta, Tahun 2025

Langit mendung menggantung rendah di atas kampus jurusan arkeologi UGM. Di lorong-lorong perpustakaan lama, aroma kertas tua dan debu bercampur dengan semangat muda para mahasiswa yang mengejar waktu, tugas, dan hidup.

Dara, mahasiswi semester akhir, tengah meneliti peninggalan era Majapahit untuk skripsinya. Ia tak tahu kenapa, tapi sejak kecil ia tertarik pada segala hal tentang kerajaan kuno, terutama Majapahit. Ia sering bermimpi berada di tengah hutan, duduk di bawah pohon kenanga, menunggu seseorang yang tak pernah datang.

Ia tak tahu nama lelaki itu. Tapi dalam mimpi-mimpinya, ia selalu memegang seutas selendang merah tua, dan menangis saat senja turun.

---

Di Sisi Lain: Damar

Damar, seorang ilustrator buku sejarah, tidak pernah percaya pada reinkarnasi atau mimpi aneh. Tapi sejak ia datang ke Jogja untuk menggarap proyek ilustrasi novel sejarah, ia mulai merasakan hal-hal ganjil. Setiap kali ia melukis siluet prajurit zaman Majapahit, tangan kirinya bergetar.

Ia melihat wajah perempuan yang tak ia kenal, tapi sangat ia rindukan.

---

Pertemuan

Mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah seminar kecil tentang warisan budaya Majapahit. Dara duduk di barisan depan, mencatat, sementara Damar mempresentasikan ilustrasi untuk buku barunya.

Saat seminar usai, pandangan mereka bertemu.
Dan waktu berhenti.

Sejenak, tak ada suara seminar, tak ada denting sendok di meja prasmanan. Yang ada hanya rasa asing yang terasa seperti p**ang.

Dara mendekat dengan ragu.
“Kita… pernah bertemu, ya?”

Damar tersenyum kecil, matanya menyempit. “Entahlah. Tapi... rasanya aku sudah lama mencari kamu.”

---

Kilas Balik: Mimpi yang Sama

Malam itu, Dara membuka catatan lamanya. Ia menemukan puisi yang ia tulis saat SMA—puisi tentang perang, pohon kenanga, dan seseorang bernama Raka.

Ia kaget. Ia tak ingat kapan menulis nama itu.

Di sisi lain kota, Damar menggambar dua orang tua duduk di bawah pohon kenanga, menggenggam tangan, dikelilingi senja. Ia tidak tahu kenapa ia bisa menggambar itu begitu jelas.

Keduanya mulai saling bercerita.

Dan perlahan, teka-teki hidup mereka mulai menyatu seperti potongan kenangan yang hilang di masa lalu.

---

Di Bawah Pohon Kenanga Modern

Beberapa minggu kemudian, mereka pergi ke Trowulan, bekas pusat kerajaan Majapahit. Di sana, di dekat reruntuhan candi, tumbuh pohon kenanga liar yang wangi meski tidak sedang berbunga.

Dara duduk di bawahnya, memejamkan mata.

Damar berdiri di dekatnya, lalu berkata:

> “Kau menunggu terlalu lama di kehid**an lalu. Kali ini… biar aku yang menunggumu, kalau kau tersesat.”

Dara membuka mata, menatap langit jingga.

> “Dan kali ini… aku tidak akan melepasmu.”

---

Mereka tidak mengingat semua detail kehid**an sebelumnya. Tapi perasaan itu, hangat dan pelan, tetap tumbuh seperti bunga kenanga di tanah yang dulu penuh perang.

Mereka bukan lagi Laras dan Raka.

Kini mereka adalah Dara dan Damar—dua jiwa yang telah melewati batas usia, waktu, dan kematian, hanya untuk kembali bertemu… dan mencintai lagi.

Selanjutnya Bab7: Makam Yang Mengenal Namamu

SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna
Versi lengkap di KBM App
https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 5: Di Ujung Senja, Aku Menunggumu Lagi

Pura Kenanga, Tahun 1377 Saka

Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan pelan, tenang, dan hening—seperti rindu yang akhirnya menemukan rumahnya. Raka dan Laras tidak banyak bicara. Mereka tidak butuh kata-kata, sebab seluruh hidup mereka sudah menjadi kalimat yang tertulis di antara keriput, luka, dan rambut yang memutih bersama waktu.

Setiap pagi, Laras menyiapkan air hangat untuk membasuh kaki Raka.
Setiap sore, Raka membacakan mantra-mantra lama di beranda pura sambil memegang tangan Laras yang mulai dingin.

Mereka hanya tinggal bersama satu tahun.

Tapi satu tahun itu adalah satu kehid**an baru. Seperti waktu melipat dirinya agar bisa mengembalikan apa yang sempat dicuri.

---

Kilas Balik: Janji di Bawah Pohon Kenanga

Suatu sore yang hangat, Laras duduk di bawah pohon kenanga, bersandar di bahu Raka. Burung kecil hinggap di ranting-ranting, dan aroma kenanga beterbangan di udara.

“Kalau aku pergi lebih dulu,” ujar Laras lirih, “jangan menangis terlalu lama, ya.”

Raka tersenyum kecil. “Aku sudah kehilanganmu satu kali. Aku tak ingin kehilanganmu lagi, bahkan dalam duka.”

Laras menatapnya. “Kalau dunia lain benar-benar ada… temuilah aku lagi, Raka. Mungkin kita bisa lahir sebagai sepasang petani, atau penjual kain. Tak harus prajurit dan tabib. Tak harus menunggu dan hilang.”

Raka meraih tangan Laras dan menciumnya pelan. “Di dunia manapun… aku akan tetap mencarimu.”

---

Hari Itu Tiba

Satu pagi yang sunyi, Laras tak bangun dari tidurnya. Tubuhnya terbaring damai, selendang merah tuanya menyelimuti dada. Di sampingnya, terselip bunga kenanga yang Raka petik setiap hari, meski harus tertatih naik tangga.

Raka memeluk tubuh Laras tanpa suara. Ia tidak menangis. Ia hanya menunduk lama, sangat lama, sampai penjaga pura datang dan meletakkan tangan di pundaknya.

“Eyang…”

Raka hanya berkata satu kalimat:

> “Ia p**ang lebih dulu. Tapi aku tahu jalan menyusulnya.”

---

Lima Hari Kemudian

Langit senja di Pura Kenanga berwarna keemasan. Angin bergerak lambat. Bunga kenanga berguguran dari pohon tua seperti hujan sunyi yang diberkati.

Raka duduk di batu datar di depan makam Laras. Tubuhnya lelah, tapi wajahnya tenang. Ia memejamkan mata, tangan kirinya menggenggam bandul kenanga kayu yang masih ia simpan.

Di bibirnya, terucap pelan:

> “Tunggulah sebentar lagi, Laras.
Aku akan menjemputmu… kali ini tidak terlambat.”

Dan di malam itu, ia wafat dalam duduknya—tersenyum, menghadap ke utara, ke arah pohon kenanga yang menjadi saksi cinta mereka.

---

Epilog: Batu dan Bunga

Di bawah pohon kenanga tua di halaman pura, berdiri dua makam berdampingan.

Yang satu bertuliskan:
Laras Arum — Sang Penanti

Yang satu lagi:
Raka Mahardika — Sang yang Kembali

Di antara mereka, tumbuh pohon kenanga baru—tumbuh sendiri, entah dari mana.
Orang-orang bilang pohon itu tumbuh dari akar rindu yang tertanam dalam bumi.

Dan di batu kecil di kaki makam tertulis:

> “Kami bukan kisah yang sempurna.
Tapi kami adalah cinta yang setia menunggu.
Dan akhirnya, p**ang bersama.”

Bab selanjutnya Bab6: Dan Aku Menemukanmu Lagi

SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna
Versi lengkap di KBM App
https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

SANG PENANTIBab 4: Bayangan dari Masa LaluPertapaan Dedeswara, Tahun 1376 SakaKabut turun lebih tebal dari biasanya. Uda...
30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 4: Bayangan dari Masa Lalu

Pertapaan Dedeswara, Tahun 1376 Saka

Kabut turun lebih tebal dari biasanya. Udara pagi di kaki Gunung Dedes menggigit kulit seperti tangan tua yang menggenggam erat. Di sudut pertapaan kecil yang sepi, seorang lelaki tua duduk bersila di depan perapian. Tubuhnya kurus, wajahnya dipenuhi keriput seperti retakan pada tembok tua. Rambutnya panjang dan putih, disanggul seadanya, jubahnya sudah penuh tambalan.

Ia adalah Raka—atau lebih tepatnya, lelaki yang dulu bernama Raka Mahardika. Kini, orang-orang memanggilnya Eyang Praba, seorang pertapa yang tinggal sendirian dan hanya berbicara jika benar-benar perlu.

Setiap malam, ia bermimpi tentang suara perempuan yang menyebut namanya. Kadang wajahnya jelas, kadang hanya bayangan samar. Tapi satu hal selalu sama:

> “Laras…”

Setiap kali ia terbangun, dada Raka terasa sesak. Ia tahu ada sesuatu—seseorang—yang menunggunya. Atau… mungkin pernah menunggunya.

---

Kilas Balik: Pecahan Ingatan

Beberapa bulan terakhir, ingatan Raka mulai kembali sedikit demi sedikit.

Awalnya hanya potongan gambar—pohon kenanga, sebuah senyum lembut, tangan halus yang menyeka luka di wajahnya.

Kemudian suara mulai muncul:
“Kalau dunia memisahkan kita, aku akan tetap menunggumu.”
“Pulanglah, Raka…”

Ia menulis nama itu di tanah setiap pagi. Laras. Tapi ia tak tahu siapa dia, di mana, dan apakah masih hidup. Ia bahkan tak tahu apakah nama itu nyata atau hanya sisa mimpi yang tertinggal terlalu lama.

Namun satu malam, seorang peziarah tua dari Padepokan Wuluh menyebut nama itu.

“Di kampung kami… ada seorang tabib wanita. Tua, tapi wajahnya jernih. Ia tak pernah menikah. Ia menunggu seseorang bernama Raka.”

Jantung Raka berhenti sejenak. Tangannya bergetar. Kabut ingatan itu, tiba-tiba menipis.

Ia berdiri malam itu juga, menggenggam tongkat, dan berkata kepada angin:

> “Kalau ia masih hidup, aku harus mencarinya.
Kalau ia telah tiada, biarlah aku mati di tempat ia pernah menunggu.”

---

Perjalanan Menuju Padepokan

Butuh waktu berminggu-minggu bagi Raka untuk menempuh jalan ke barat, kembali ke wilayah yang samar-samar ia kenal. Di setiap desa yang ia lewati, ia bertanya dengan suara serak, “Apakah ada yang mengenal seorang tabib tua bernama Laras?”

Sebagian menatapnya iba, sebagian menggeleng. Namun di sebuah persimpangan pasar tua, seorang ibu menunjuk ke utara.

“Padepokan Wuluh, Eyang… Orang-orang bilang Ibu Laras tinggal di sana. Sudah tua, tapi masih kuat.”

Mata Raka basah. Bukan karena sedih. Tapi karena rasa yang dulu ia kira sudah mati, ternyata masih hidup—dan kini membakar dirinya dari dalam.

---

Pura Kenanga

Raka tiba di kaki bukit, di mana Pura Kenanga berdiri tenang di antara hutan dan batu-batu berlumut. Ia tak langsung naik. Ia berdiri lama di bawah pohon kenanga besar yang tumbuh di pinggir jalan masuk. Aromanya masih sama—lembut, manis, dan penuh kenangan.

Ia memejamkan mata dan membiarkan angin membelai wajahnya.

Bayangan Laras muncul jelas di pikirannya. Gadis muda dengan senyum tenang, tangan terulur memegang tangkai bunga, dan suara lembut berbisik, “Aku akan menunggumu, Raka…”

Tangis jatuh tanpa suara.

Seluruh perjalanan, luka, dan usia tua yang melelahkan itu, seolah menjadi ringan. Ia telah tiba di tempat yang harus ia tuju.

---

Pertemuan

Penjaga pura mengantar Raka menaiki tangga batu. “Ibu Laras tinggal di pondok samping pura. Tapi beliau sudah sangat tua…”

Saat Laras membuka pintu, angin berhenti.

Matanya bertemu dengan mata yang telah lama ia tangisi dalam sepi. Raka berdiri kaku, tongkatnya jatuh ke tanah. Laras menutup mulutnya, seperti menahan jeritan yang tertahan selama lima puluh tahun.

“Raka…”

Ia masih mengenali suara itu.

Tubuh tua itu berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Mereka saling mendekat seperti dua bayangan yang kembali menyatu. Tak ada pelukan. Tak ada air mata berlebihan. Hanya genggaman tangan yang lama sekali tak bersentuhan.

Laras memegang wajah Raka, gemetar.
“Kau p**ang…”

Raka membisik pelan, seperti hembusan napas terakhir:

> “Aku p**ang… karena kau masih menunggu.”

Malam itu mereka duduk bersama di beranda, memandangi langit yang tak lagi penuh bintang. Tubuh mereka telah rapuh, tapi cinta mereka tetap utuh.

Dua jiwa yang tertunda oleh perang, waktu, dan kabut usia… akhirnya kembali bersatu. Tidak sebagai sepasang kekasih muda. Tapi sebagai sepasang hati tua yang tetap mengingat janji pertama mereka di bawah pohon kenanga:

“Aku akan kembali. Untukmu. Hanya untukmu.”

---

Mau lanjut ke Bab 5?
SANG PENANTI
Penulis: Dewifortuna
Versi lengkap di KBM App
https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

SANG PENANTIBab 3: Di Antara Senyap dan KenangaPadepokan Wuluh, Tahun 1372 SakaPagi turun pelan-pelan di pelataran Padep...
30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 3: Di Antara Senyap dan Kenanga

Padepokan Wuluh, Tahun 1372 Saka

Pagi turun pelan-pelan di pelataran Padepokan Wuluh, seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya dengan belaian lembut. Kabut belum sepenuhnya surut ketika Laras menata kendi-kendi jamu di ambang pintu rumahnya.

Tangannya kini mulai bergetar ketika menuangkan air dari kendi ke gelas tanah liat. Rambutnya tak lagi terikat kencang, melainkan dibiarkan mengembang keperakan seperti awan yang terlalu lama menunggu hujan.

Sudah dua puluh tahun sejak nama Raka Mahardika dinyatakan hilang.
Dan dua puluh tahun p**a Laras hidup dalam sunyi yang tak pernah ia tolak.

Orang-orang memanggilnya Ibu Laras sekarang, meski ia tak pernah menikah atau memiliki anak. Di kalangan rakyat dan pelancong dari desa ke desa, ia terkenal sebagai tabib penyembuh penyakit dalam dan luka jiwa. Ia membaca raut wajah seperti orang membaca naskah kuno—penuh keheningan dan pemahaman.

Namun hanya sedikit yang tahu bahwa setiap malam, ketika lentera dimatikan dan udara menjadi dingin, Laras menulis puisi-puisi pendek di belakang lembaran lontar, tentang lelaki yang tak pernah p**ang.

---

Kilas Balik: Surat yang Tak Pernah Dibalas

Beberapa tahun setelah Raka hilang, Laras sempat menulis surat. Satu lembar saja. Ia menitipkannya kepada seorang pedagang tua yang berani bepergian ke arah timur, ke kaki gunung-gunung yang dulu disebut-sebut sebagai tempat para pertapa tinggal.

> Raka… Jika kau masih hidup, dan ingat akan namaku, p**anglah.
Bukan untuk menepati janji. Tapi untuk menua bersama.

Jika kau sudah tiada, biarkan kenanganmu tetap hidup dalam tubuhku.
Aku tidak akan menikah. Tidak akan menghapus jejakmu dari hidupku.
Aku bukan wanita suci, Raka. Aku hanya wanita yang terlalu dalam mencintai satu nama.

Surat itu tak pernah dibalas. Tapi Laras tak menyesal.

---

Usia Separuh, Hati yang Tak Separuh

Waktu terus berjalan, tapi Laras seperti tinggal di tempat yang sama.

Ia masih memakai selendang yang sama—kain tua berwarna merah tua dengan motif daun kenanga di ujungnya. Ia menolak semua lamaran, bahkan dari pemuda bangsawan yang jatuh hati pada keteguhannya.

“Apakah aku kurang tampan?” tanya salah satu pria, setengah berseloroh.

Laras menjawab dengan lembut, “Kau tidak kurang tampan. Tapi hati ini sudah ada yang duduki. Dan ia tak pernah pergi.”

Kadang, saat hujan turun deras, Laras akan duduk di ambang jendela, menatap halaman kosong, sambil bergumam:

> “Kalau hujan turun di tempatmu, Raka… kau ingat padaku, kan?”

---

Sebuah Pohon, Sebuah Nama

Di halaman belakang padepokan, tumbuh pohon kenanga besar yang ia tanam bersama Raka di masa muda. Pohon itu kini menjulang, menaungi makam kecil ibunya yang telah tiada.

Laras sering duduk di bawahnya, meracik ramuan atau sekadar melamun. Angin yang lewat membawa bisik-bisik yang hanya ia mengerti. Kadang ia seperti mendengar suara Raka—menggoda, memanggil, menenangkan.

“Laras…”

Seketika ia menoleh. Tapi yang ada hanya daun-daun berguguran, jatuh seperti serpihan rindu yang tak pernah usai.

---

Malam: Percakapan dengan Kenangan

Malam hari adalah saat Laras paling jujur.

Ia membuka kotak kayu kecil yang sudah lapuk dimakan usia. Di dalamnya tersimpan kenangan:

Surat-surat Raka yang ditulis di atas daun lontar, sebagian sudah menguning.

Bandul kenanga dari kayu, usang tapi tak retak.

Dan secarik kain dengan tetesan darah, sisa dari pakaian Raka yang dikembalikan oleh pasukan Majapahit saat dia dinyatakan hilang.

Laras menatap semuanya, lalu tersenyum.

“Kalau pun kau sudah tiada, Raka… aku tetap mencintaimu. Bahkan jika hidupku tinggal sisa waktu yang bisa dihitung jari.”

---

Pertemuan Takdir yang Semakin Dekat

Suatu malam, Laras mendengar kabar dari peziarah pura:
“Di kaki Gunung Dedes, ada pertapa tua. Ia kehilangan ingatan, tapi setiap malam menyebut nama ‘Laras’. Suaranya lirih sekali, seperti doa.”

Laras terdiam.

Ia tidak bereaksi. Tidak menangis. Tidak tersenyum.

Tapi malam itu, ia menyalakan d**a, dan berdoa lebih lama dari biasanya.
Di antara kep**an asap dan desir angin, ia berkata pelan:

> “Kalau itu kau, Raka… aku siap menunggu sekali lagi.
Bahkan jika kita hanya akan bertemu di usia yang tak lagi bisa berlari.”

Waktu telah membawa Laras ke usia senja. Tapi tidak pernah benar-benar mengambil cintanya. Ia bukan hanya menunggu Raka p**ang sebagai lelaki muda yang gagah. Ia menunggu jiwa yang pernah menyentuh jiwanya.

Dan jauh di kaki gunung sana, seseorang yang nyaris lupa siapa dirinya, masih menyimpan satu nama yang tak pernah pudar.

Laras.

---

Siap lanjut ke Bab 4?

SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna

https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

SANG PENANTIBab 2: Asap dan Darah di KediriTahun 1350 SakaBenteng Gajahmada, perbatasan KediriLangit berubah kelabu seja...
30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 2: Asap dan Darah di Kediri

Tahun 1350 Saka
Benteng Gajahmada, perbatasan Kediri

Langit berubah kelabu sejak sebelum matahari terbit. Burung-burung tak terdengar berkicau. Hutan di perbatasan Kediri-Majapahit terasa ganjil, sunyi seperti menahan napas. Pasukan Majapahit yang dikirim ke timur telah bersiap sejak malam. Di antara barisan prajurit muda, berdiri Raka Mahardika, dengan pedang warisan ayahnya terikat di pinggang.

Bibirnya kering. Jantungnya berdegup tak beraturan. Tapi bukan karena takut pada kematian. Ia hanya memikirkan satu hal:

> “Apakah Laras sudah bangun? Apakah dia melihat ke langit yang sama?”

Ia menggenggam bandul kecil yang tergantung di lehernya—sepotong kayu kecil berbentuk kenanga, buatan Laras. Setiap kali ia menyentuhnya, ia merasa p**ang.

“Prajurit Raka,” suara Komandan Jaya menggema. “Barisan depan. Kau memimpin lima puluh orang. Rebut gerbang selatan sebelum matahari menyentuh tanah!”

Raka mengangguk. “Sendika dawuh.”

Ia tak tahu bahwa ini adalah momen terakhir dalam hidupnya sebagai prajurit Majapahit. Takdir sedang menulis ulang kehid**annya, dengan tinta darah dan kabut.

---

Kilas Balik: Malam Sebelum Perang

Di tenda prajurit, Raka duduk sendirian, menulis surat di atas daun lontar.

> Laras, kalau surat ini sampai padamu, mungkin aku telah gagal menjaga janjiku.
Tapi ketahuilah, aku pergi bukan untuk mati, tapi untuk kembali.
Jika dunia ini memisahkan kita, aku akan melawan langit untuk menemukanmu lagi.

Ia melipat surat itu dan menitipkannya pada Gatra, sahabatnya. “Kalau aku tak kembali, antarkan ini padanya.”

Gatra menepuk bahunya. “Kau akan kembali, Raka. Kau harus.”

---

Pertempuran

Ketika fajar menggigit ujung pepohonan, perang dimulai.

Panah beterbangan seperti hujan terkutuk. Jeritan manusia berpadu dengan dentang senjata. Raka memimpin pasukannya menerobos pagar bambu yang dijaga musuh. Mereka bertempur dari satu sudut ke sudut lain, menghantam, menebas, dan bertahan. Tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tak padam.

Sampai sebuah panah menembus pundaknya dari belakang.

Raka terhuyung. Ia menoleh, tapi kabut darah dan debu menyelimuti pandangannya. Ia jatuh dari kudanya, tubuhnya menghantam bebatuan di tepi Sungai Brantas. Arus deras menelan tubuhnya dan membawanya jauh dari medan tempur.

Gatra tak sempat mencarinya. Semuanya kacau.

Dan sejak saat itu, Raka Mahardika dinyatakan hilang.

---

Di Padepokan Wuluh

Laras bangun pagi itu dengan firasat buruk. Burung kenari yang biasanya hinggap di jendela tak muncul. Udara terasa pengap, meski langit cerah.

Beberapa minggu kemudian, utusan istana datang membawa kabar: pasukan Majapahit menang. Tapi beberapa prajurit dinyatakan gugur dan hilang.

Salah satunya: Raka Mahardika.

Tubuh Laras seperti membatu. Ia mendengarkan nama itu dibacakan seolah tak paham. Dunia mendadak menjadi ruang kosong. Suara burung, desir angin, semuanya lenyap.

Di malam hari, Laras duduk di bawah pohon kenanga yang mereka tanam bersama. Di pangkuannya, ada selendang tua dengan bunga kering di dalamnya. Ia menatap bulan, lalu berbisik:

> “Kalau kau tak p**ang, aku yang akan tinggal di sini. Menunggumu. Meski seumur hidup.”

---

Beberapa Tahun Kemudian: Bukit Pertapaan Dedeswara

Raka terbangun dalam kabut.

Tubuhnya lemah, rambutnya tumbuh panjang, kulitnya gosong matahari. Ia dirawat oleh seorang biksu tua di sebuah pertapaan kecil. Ia tak ingat hari, tahun, bahkan namanya sendiri. Tapi satu hal yang selalu muncul dalam mimpinya adalah: bunga kenanga dan senyuman seorang gadis.

“Siapakah dia?” tanya sang biksu.

“Aku… tak tahu. Tapi aku tahu dia menunggu.”

Raka memilih tinggal di sana, menjadi murid sang pertapa, menyepi, dan perlahan menyusun kembali potongan-potongan ingatannya. Ia tak tahu kalau waktu berjalan terlalu cepat. Ia tak tahu bahwa Laras masih di dunia yang sama, menatap langit yang sama, memanggil nama yang sama setiap malam.

SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna
Versi lengkap di KBM App https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

SANG PENANTIBab 1: Padepokan Wuluh, Tahun 1349 SakaAngin dari lereng Gunung Lawu berembus pelan, membawa aroma tanah bas...
30/07/2025

SANG PENANTI
Bab 1: Padepokan Wuluh, Tahun 1349 Saka

Angin dari lereng Gunung Lawu berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga yang bermekaran. Suasana pagi di Padepokan Wuluh tak ubahnya pagi-pagi sebelumnya: tenang, sakral, dan penuh semangat muda dari para cantrik dan prajurit yang tengah berlatih.

Namun pagi itu berbeda bagi seorang pemuda bernama Raka Mahardika.

Ia berdiri di halaman belakang padepokan, menatap langit yang mulai berwarna emas. Di tangannya tergenggam seutas benang merah yang dililitkan di sebuah tangkai bunga kenanga.

"Kenapa harus bunga kenanga?" suara lembut terdengar dari balik pohon. Seorang gadis melangkah perlahan, membawa kendi berisi air dari sungai kecil di bawah.

“Karena kenanga tak pernah menuntut untuk tumbuh di istana. Ia mekar bahkan di tepi jurang,” jawab Raka sambil tersenyum. “Seperti kamu, Laras.”

Laras Arum tertawa kecil. Wajahnya bersih, polos, dan tampak bersinar diterpa cahaya matahari pagi. Ia putri seorang tabib istana, namun memilih hidup sederhana, membantu ibunya meracik jamu untuk rakyat. Dari kecil ia sudah akrab dengan luka, racikan daun, dan mantra penyembuh.

Namun luka hati, belum ada ramuan yang bisa menyembuhkan.

Raka menggenggam tangan Laras, lembut dan hangat. “Besok aku berangkat. Sri Maharaja mengutus semua ksatria muda ke Kediri. Akan ada pertempuran besar.”

Laras menunduk, suaranya nyaris tak terdengar, “Perang hanya tahu cara mengambil, tak pernah mengembalikan.”

Raka menatap wajah itu dalam-dalam, mencoba menghafal setiap guratannya. “Kalau takdir memisahkan kita, simpan ini.” Ia menyelipkan bunga kenanga itu ke selendang Laras. “Sebagai bukti aku akan kembali. Untukmu. Hanya untukmu.”

Mereka berpelukan dalam diam. Tak ada sumpah besar, tak ada janji berbunga. Hanya ketulusan dua hati muda yang percaya: cinta akan menunggu.

Bersambung ke Bab 2: Asap dan Darah di Kediri

SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna
Versi lengkap di KBM App
https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

Sinopsis SANG PENANTIDi tanah Majapahit yang agung, sepasang kekasih — Dara dan Damar — terpisah oleh perang dan takdir....
30/07/2025

Sinopsis SANG PENANTI

Di tanah Majapahit yang agung, sepasang kekasih — Dara dan Damar — terpisah oleh perang dan takdir. Janji yang tak sempat terpenuhi di masa lalu, bersemi kembali dalam kehid**an mereka di zaman modern, saat keduanya terlahir kembali, namun tak lagi saling mengenali.

Terombang-ambing dalam kehid**an yang penuh luka — perselingkuhan, perpisahan, kehilangan anak, bahkan kemiskinan — mereka dipertemukan kembali dalam keadaan yang berbeda. Tak lagi muda, tak lagi utuh, tapi tetap memiliki sesuatu yang belum selesai: rindu yang tak pernah mati.

Dari kota ke Berlin, dari ladang pertanian kecil hingga mimpi ekspor dunia, Dara dan Damar menanam bukan hanya tumbuhan, tapi juga cinta, keteguhan, dan harapan. Hingga di akhir usia, mereka tak hanya hidup berdampingan, tapi menjadi pelita bagi banyak orang.

> "Cinta tak harus selalu saling mengenal, cukup saling merawat."
"Karena yang ditanam dengan cinta… akan tumbuh melampaui waktu."

SANG PENANTI adalah sebuah novel panjang, memadukan romansa lintas zaman, kisah reinkarnasi, dan perjalanan batin manusia yang berusaha menemukan makna hidup sejati. Sebuah kisah yang menyentuh hati, meneguhkan jiwa, dan meninggalkan kenangan yang abadi.

---
SANG PENANTI
Penulis Dewifortuna
Baca selanjutnya di KBM App
https://read.kbm.id/book/detail/efc90701-c297-4086-8f82-17d94b1b9d58?af=65250342-3e94-42b0-84c4-e9e47287fcd5

Address

Jalan Raya Gilang Plosorejo Dsn. Plosokerep Kec. Gampengrejo Kab. Kediri Id 64182
Kediri
64183

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when AYRIZ posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to AYRIZ:

Share