03/02/2025
PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANAN
Bab #8
Sagahara duduk di pinggir tikar, mengamati perempuan yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Ada desiran aneh dalam hatinya ketika menatap wajah itu. P**i chubby dengan hidung mancung serta kulit yang mulus membuat tatapan lelaki itu enggan berlalu, semakin lekat menatapnya.
Tak hanya itu, tahi lalat kecil di atas bibir yang agak pucat itu menambah rupawan mahakarya Tuhan, yang saat ini mampu menyedot perhatian lelaki yang terkenal dingin itu, tanpa disadarinya. Hingga bibir agak tipis, merah alami itu bergumam, "Cantik."
"Apa? Aku tak salah dengarkah?"
Sontak lelaki yang sedang terpana itu menoleh. Dia tidak tahu jika Andra, sahabat sekaligus rekan kerjanya, ada di belakangnya dan mendengar gumamannya. "Apa?" tanya Sagahara polos, seolah tidak tahu apa maksud dari orang yang kini berdiri di belakangnya.
Andra sudah lama berdiri di belakang Sagahara. Dia tidak langsung menyapa karena penasaran dengan sikap sahabatnya, yang juga atasannya di kantor. Lelaki itu tidak menyangka sama sekali jika sahabat yang selama ini dikenalnya dingin dan cuek dengan lawan jenis itu, mau menatap perempuan asing dengan sangat intens dan dalam jangka waktu yang lumayan lama, menurutnya.
Lebih mencengangkan lagi, Andra mendengar kata yang benar-benar membuatnya shock keluar dari mulut si kulkas berjalan, julukan yang diberikan oleh teman-teman dekat Sagahara. Lelaki berkulit putih itu tidak menyangka sama sekali, sahabat dinginnya itu bisa menyanjung seorang perempuan. Sungguh di luar kebiasaannya selama ini dan baru kali ini Andra mendengarnya.
"Aiiish, pura-pura bego lagi." Andra berjongkok di sebelah Sagahara, mengamati makhluk cantik itu dengan seksama. "Tapi, nggak salah, sih. Dia memang cantik. Sangat malahan. Bagai bidadari turun dari langit, bukan dari comberan," kelakarnya seraya terkekeh.
Sagahara meninju bahu Andra sambil berdehem.
"Lah, emang bener, 'kan?! Mana ada di sini comberan?" seloroh Andra.
"Terserah kau ajalah," sungut Sagahara, enggan menganggapi celotehan sahabatnya. Tatapan Sagahara kembali beralih ke Putri Kencana. "Ada apa ke sini?"
"Itu, kamu dicari temen-temen. Menanyakan kelanjutan rencana kita." Tangan Andra terulur ke wajah Putri Kencana. Jiwa playboy-nya tergelitik untuk menyisihkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya.
Dengan cekatan Sagahara menepis tangan sahabatnya. "Jangan macam-macam!" tegasnya.
"Hey, aku hanya–"
"Jangan coba-coba berani menyentuhnya! Hanya aku dan teman-teman wanita saja yang boleh menyentuhnya," sergah Sagahara memperingatkan.
Suasana seketika menjadi kaku karena Sagahara mengatakannya dengan sangat serius, juga dengan raut wajah yang menegang.
Entah kenapa dia sangat tidak rela jika ada laki-laki lain menyentuh perempuan yang belum dikenalnya itu. Sagahara sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya. Dia hanya merasa punya ikatan batin yang kuat dengan perempuan berambut coklat keemasan terang itu.
Andra tidak sakit hati dengan tindakan dan ucapan sahabat yang sudah dikenalnya sejak kuliah semester satu itu. Dia hanya terkejut dan tidak menyangka jika sahabatnya itu akan bersikap seperti tadi. Sungguh perubahan yang sangat cepat dan sulit diterima nalarnya. Namun, Andra tidak ingin ambil pusing.
Untuk mencairkan keadaan, Andra melontarkan candaan. "Widich ... tumben sikapmu aneh begini? Jangan-jangan kamu sudah ...."
"Sudahlah, ayo kita bergegas menemui mereka," tepis Sagahara. Dia tahu bahwa tindakannya termasuk tidak wajar, juga tahu persis jik sahabatnya itu hendak menggodanya.
Tak ingin mendapat malu, Sagahara gegas beranjak menuju rekan-rekannya, yang berkumpul mengelilingi bekas api unggun.
"Bagaimana, Pak?"
Rina, wanita yang merawat luka Kencana, segera melayangkan tanya pada Sagahara, setelah lelaki itu duduk di samping salah satu rekan laki-lakinya. Disusul dengan Andra yang duduk di sebelah sahabatnya, lurus berhadapan dengan Rina.
Meskipun seorang karyawan yang terbilang baru, masih sepuluh bulan masa kerja, Rina termasuk karyawan yang berani sekaligus cekatan. Dia customer service di kantor cabang bank swasta yang dipimpin Sagahara saat ini. Tanpa ada rasa canggung maupun takut, wanita berusia 25 tahun itu akan melontarkan tanya pada atasannya itu. Seperti yang barusan dilakukannya. Hanya dia yang berani di antara rekan lainnya.
"Bagaimana apa?" Bukannya menjawab, Sagahara kembali melontarkan tanya dengan nada datar.
"Rencana kita besok pagi, Pak ... tetap dalam rencana awal, 'kan, Pak?!" ucapnya mempertegas sambil mengernyit.
"Tentu saja." Sagahara menjawab mantap, takada sedikit pun keraguan. "Memangnya ada apa dengan rencana yang sudah matang?" tanyanya heran, takada beban dalam intonasinya.
Andra hanya berdehem. Dia hendak berkata, tetapi diurungkannya. Lelaki berkumis tipis itu yakin jika sahabatnya lupa dengan sedikit kendala yang mereka hadapi saat ini.
Terbesit dalam otaknya untuk mengerjai Sagahara dengan tidak mengingatkannya dan hanya menyimak saja. "Orang kalo sedang jatuh cinta tetiba jadi bego dan pikun," batinnya seraya tersenyum samar.
"Aduch, Bapak ini bagaimana, sih? Itu ... cewek yang sedang pingsan itu, bagaimana nasibnya? Masak iya, kita ajak turun gunung dengan keadaan seperti itu?" sungut Rina.
'Ah, iya ... kenapa aku bisa lupa sama sekali,' batin Sagahara.
Sagahara berdehem. "Ooh ... soal itu," ucapnya enteng. Dia bersikap seolah tidak melupakan hal itu.
"Mengenai masalah itu sudah aku pikirkan. Kalian tetap pada rencana awal, turun gunung besok di pagi buta. Untuk masalah perempuan itu, biar menjadi urusanku dan Andra," ujarnya kemudian dengan tegas, tanpa meminta persetujuan dari siapa pun terutama Andra.
"Ap-apa–"
Sagahara mencubit keras pinggang belakang Andra, membuat sahabatnya itu memutus ucapannya.
Andra menggerutu dalam hati. 'Dasar sahabat lucknut! Seenaknya sendiri mengambil keputusan. Coba orang lain, udah aku 'kek' tanpa ampun. Liat aja nanti sesampainya di rumah. Akan kukerjain abis-abisan.'
"Itu artinya, kita turun duluan dan meninggalkan Pak Saga juga Pak Andra dengan perempuan itu?" tanya Dedi, rekan kerjanya yang duduk di sebelah Rina, mempertegas.
Sagahara hanya menjawab dengan anggukan.
"Lantas, kapan Bapak akan menyusul?" Rina bertanya dengan antusias.
Sagahara menjawab dengan cepat tanpa berpikir. "Secepatnya. aku yakin perempuan itu besok sudah bisa diajak turun gunung. Kalau pun takbisa, akan kupaksa untuk bisa."
"Pak Saga yakin?" Rina masih penasaran dan rasa ingin tahunya terus mengejar.
"Tentu saja. Apa kamu ada masalah, Rina?" Sagahara menatap tajam bawahannya yang semakin terdengar bawel di telinganya, dan dia tidak s**a dengan hal itu.
Rina salah tingkah. "Eeh, eng-enggak, Pak?" jawabnya gelagapan. Wajahnya pun memerah karena rasa malu sekaligus takut.
Entah kenapa, tiba-tiba Rina merasa takut dengan tatapan Sagahara barusan. Padahal, selama ini wanita berambut gelombang, sebahu, itu belum pernah merasakan hal itu. Tanpa sadar dia bergidik sambil mendesis.
***
Lenguhan lirih keluar dari bibir yang masih pucat itu. Dia membuka mata perlahan, lalu mengejapkan mata tatkala merasakan pusing. Kencana membuka lebar matanya setelah pusing di kepala mereda, lalu mengedarkan pandangan, mengamati sekelilingnya.
Sagahara yang tiba-tiba merasakan bahwa perempuan yang ada di dalam tendanya telah siuman, bergegas beranjak meninggalkan rekan-rekannya menuju tendanya itu. Didapatinya perempuan bergaun merah keunguan itu telah duduk berselonjor di atas tikar sambil celingukkan.
"Cantik ... kau sudah siuman ternyata."
Suara riang dan keras yang berasal dari belakang Sagahara membuat gendang telinganya berdengung. Ternyata Andra mengikutinya dan langsung menyapa riang Kencana.
"Sial," umpat Sagahara, "kenapa kau selalu mengikutiku, Pl***oy Kelas Teri?" geramnya.
"Enak aja ... bukannya begitu. Aku, 'kan juga ingin tahu keadaan dia," kilah Andra seraya mengangkat dagu, menunjuk ke arah Kencana.
"Alasan," gumam Sagahara sangat lirih sambil melangkah memasuki tenda.
Saat Sagahara hendak berjongkok di samping Kencana, tiba-tiba Rina menyerobot dengan cepat dan langsung duduk di samping perempuan yang terlihat bingung itu.
Ternyata, setelah Andra berlalu mengejar Sagahara, semua rekannya juga ikutan beranjak dan berdiri mengerumuni pintu tenda. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi di dalam tenda.
"Hay, Cewek Cantik ... gimana keadaanmu sekarang? Apa yang terjadi denganmu? Trus kamu dari mana sebenarnya, kok, bisa ada di hutan ini? Dan–"
"Rina!" sergah Sagahara geram.
"Ups! Maaf, Pak Saga. Habisnya saya penasaran banget." Rina beranjak dari duduknya dan melangkah mundur, menjauh dari tikar. Niatnya hendak keluar tenda, tetapi lekas berhenti ketika terbesit tanya. "Pak Saga, nanti cewek cantik itu akan dibawa pulang ke rumah siapa? Pak Saga?"
Mendapat pertanyaan itu, Sagahara langsung bingung dan terdiam. Keraguan besar melanda hatinya. Dia kembali beranjak dan mengajak semua rekannya agak menjauh dari tenda.
"Tidak. Aku tidak akan membawanya pulang," tegas Sagahara setelah berada di luar tenda. Padahal dia tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya. "Aku hanya akan membawanya turun lalu mengantarnya ke kantor polisi. Selebihnya biar mereka yang mengurus," tandasnya.
"Jangan, Pak! Bagaimana kalau nantinya dia tidak ingat apa-apa trus ketakutan dan kabur? Kasian, 'kan, Pak. Nasibnya jadi terpontang-panting," papar Rina, "sebaiknya Bapak bawa pulang saja," imbuhnya.
"Iya, Pak. Itu jalan yang terbaik." Dedi menambahkan.
"Betul, Pak. Bawa pulang saja, Pak," kata para rekan lainnya serempak. Ternyata semua orang sudah ada di tenda.
"Atauuu, aku aja yang membawanya pulang?" Andra berkata sambil menaik-turunkan alisnya.
"Tidak!" seru Sagahara cepat. Ada rasa takut yang menguasai hatinya ketika sahabatnya itu menawarkan diri.
Andra tersenyum samar. Dia tahu persis sahabatnya akan menjawab itu. Hingga akhirnya, diputuskannya dengan bulat bahwa Sagahara akan membawa Kencana pulang ke rumahnya.
Semua merasa lega dengan keputusan itu, tetapi tidak dengan Rina padahal dia sendiri yang sebelumnya mengusulkan. Wanita bertubuh ramping itu merasa jika keberadaan Kencana nanti akan mempersulit dirinya untuk mendekati Sagahara.
Waktu pun berlalu, keenam anggota itu tengah bersiap untuk turun gunung.
"Hati-hati jangan sampai terpencar," pesan Sagahara pada Dedi dan kawan-kawan, "maaf, aku tidak bisa membersamai kalian," imbuhnya.
"Oh ya, Rin. Jangan lupa surat izin kami saat masuk kerja." Andra yang berdiri di dekat Rina, mengingatkan kembali wanita itu. Dia tidak ingin mendapat masalah di kemudian hari.
"Siap, Pak Andra." Rina berkata sambil hormat, membuat yang lainnya tertawa melihat tingkahnya. Kecuali satu orang, si kulkas berjalan.
Sagahara dan Andra menatap lekat kepergian mereka sampai tidak terlihat semua, setelah sesi perpisahan. Hingga suara langkah berat membuat detak jantung kedua lelaki itu berdegup kencang dan membuyarkan fokus mereka, lalu dengan serempak menoleh ke belakang.
To be continue ....
Yuk, kepoin kisah seru mereka di KBM App, yang semakin seru di tengah-tengah cerita hingga menuju ending.
Judul: Hikayat Cinta Putri Langit