Serpihan Aksara Ary

Serpihan Aksara Ary Halaman berisi cerita pendek dan cerbung

Cover untuk cerbung pertamaku, hasil praktik pertama kelas novel  , yang sekarang beredar di   dengan judul utama   CINT...
03/05/2025

Cover untuk cerbung pertamaku, hasil praktik pertama kelas novel , yang sekarang beredar di dengan judul utama CINTA_ISTRI_LUGU, yang mana dengan seiring waktu berjalan sempat berganti cover beberapa kali.

Makhlumlah, orang gabut yang kagak tau maunya apa, jadinya s**a anu.

Cover ini awalnya sangat mewakili isi cerita, dimana naskah menceritakan tentang seorang wanita yang salah memilih pasangan karena sebuah kemanipulatifan, juga karena napsu pendeknya untuk memiliki kehidupan enak tanpa susah dan pikir panjang. Bukannya kehidupan rumah tangga enak dan bahagia yang dia dapat, malah tekanan batin juga lahir yang didapat setelah topeng suami dan mertuanya terlepas.

Seperti apa kisah lengkapnya? Ikuti saja di KBM App atau berlangganan aja di FB Aryanti Ary. Di akun FB itu bakal di-up ampe tamat seharga seblak. Buruan mumpung harga tak jauh mahal dari seblak semangkok yang bukan prasmanan.

Alhamdulillah, di tahap akhir, menjelang kelulusan, otak udah mulai bersahabat dengan para elemen (bukan elemennya avata...
02/05/2025

Alhamdulillah, di tahap akhir, menjelang kelulusan, otak udah mulai bersahabat dengan para elemen (bukan elemennya avatar, yoooo) sehingga peletakan pun udah bisa diterima dengan baik. Yaaaa, meski pembuatan cover masih seenaknya sendiri, tanpa mikir konsumsi umum, yang penting hati gue s**a dan bahagia.

Huwahahahaha

Di batch pertama itu, dalam kelas HWC batch 9, aku masih belum paham benar tata letak elemen-elemen dalam cover. So, pel...
01/05/2025

Di batch pertama itu, dalam kelas HWC batch 9, aku masih belum paham benar tata letak elemen-elemen dalam cover. So, peletakan pun seenak jidat, yang penting ada space kosong. Sepolos itu diriku saat itu.

Inilah akibat dari baca buku tanpa liat cover, yang penting blurb dan isinya.

Cover manipulasi pertamaku, yang hingga sekarang belum ada isinya. Masih sekedar angan belaka.Aaah, entah kenapa kemager...
13/02/2025

Cover manipulasi pertamaku, yang hingga sekarang belum ada isinya. Masih sekedar angan belaka.

Aaah, entah kenapa kemageran ini terasa hakiki sekali. Kapan bisa rajin dan semangat mengisi cover-cover yang sudah tercipta?

Hangat menyapabersama singsingnya sang fajarterangi jiwa muramselimuti kehampaan dengan ketulusanTanpa mulukmendekap men...
11/02/2025

Hangat menyapa
bersama singsingnya sang fajar
terangi jiwa muram
selimuti kehampaan dengan ketulusan

Tanpa muluk
mendekap menggenggam
hati yang tak pernah terjamah
tawarkan segala yang dipunya
tanpa secuil pun jerih dalam uluran

Engkaulah jawara
penawar jiwa kesepian
penakluk hati keras
pemilik raga bebas tanpa jamah

Edisi nitip ajalah. Mau dibuang sayang, kalo ingat perjuangan membuatnya, yang bergelut dengan sinyal yang s**a nyantol-...
10/02/2025

Edisi nitip ajalah. Mau dibuang sayang, kalo ingat perjuangan membuatnya, yang bergelut dengan sinyal yang s**a nyantol-nyantol mulu. Belum lagi capeknya hati saat memandang dia, iya, dia, hanya dia, yang hanya bisa dinikmati lewat pandangan.

Serupa lara tanpa obatKepergianmu tanpa kabar, tinggalkan luka yang kian mengangaberdarah menanah, seiring waktu berjala...
10/02/2025

Serupa lara tanpa obat
Kepergianmu tanpa kabar, tinggalkan luka yang kian menganga
berdarah menanah, seiring waktu berjalan

Serupa sel rusak
Kenangan manis itu menumpuk melapuk
ciptakan rindu tak berujung, menusuk kalbu tanpa ampun

😔

PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANANBab  #10Kencana menatap rumah berlantai dua itu dengan cermat. Pupil mata coklat keema...
09/02/2025

PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANAN
Bab #10

Kencana menatap rumah berlantai dua itu dengan cermat. Pupil mata coklat keemasannya bergerak ke kanan dan ke kiri, terkadang juga ke atas, mengamati sekeliling rumah berpagar besi setinggi orang dewasa.

Rumah serba putih itu terlihat sepi dengan cahaya remang di dalamnya, dan hanya biasan cahaya dari bola lampu di teras yang menerangi luaran rumah yang sedang diamatinya itu. Begitu juga dengan sekitarnya, sepi dan sedikit gelap. Jarak tiang lampu jalanan dari satu ke yang lainnya lumayan jauh, membuat celah gelap di antara jarak mereka.

Kencana menoleh ke belakang setelah puas mengamati, sambil memegang pagar, didapatinya kedua lelaki yang ada di sana sedang berbisik-bisik. Dia mutar badan, menatap mereka intens. "Apa yang sedang kalian lakukan?"

Andra tersenyum. "Ah, tidaaak ...." Dia melangkah mendekati Kencana. "Kami hanya berdiskusi sedikit, Nona Cantik," ucapnya seraya mengerling.

Kencana bergeser dari tempatnya semula ketika Andra sudah mendekat dan hendak menyentuh bahunya, lengannya terlihat bergetar samar, dan matanya melirik waspada pada Andra. Dia masih saja merasa takut jika lelaki itu dekat dengannya. Seolah harimau yang hendak menerkam mangsanya, itulah kiasan yang dia berikan untuk Andra.

Melihat itu, Andra menarik tangan ke samping badan lalu mengepalkannya. Dia memasukkan tangan ke saku dengan sudut bibir terangkat sebelah. Baru kali ini dia menemui seorang perempuan yang takut dengannya. Biasanya, para perempuan akan senang jika didekatinya meski baru pertama bertemu. Pesona dari aura yang terkuar dalam tubuhnya takmampu tertolak oleh siapa pun. Bahkan, para lelaki juga takhluk di hadapannya, kecuali Sagahara.

Sejak pertama kali bertemu di acara penerimaan siswa baru, lelaki itu tidak pernah terpengaruh oleh aura magis dari dalam tubuh Andra, membuat lelaki berbadan atletis itu penasaran dan terus berusaha mendekati Sagahara. Semakin dekat hubungannya dengan Sagahara malah dirinya yang terpikat, bahkan terikat. Hingga membuatnya bertekuk lutut dan menjadi sahabat yang patuh dan setia, tanpa ada rasa keterpaksaan. Seakan takdir memang menuntunnya untuk menjadi orang yang loyal terhadap Sagahara.

Meskipun begitu, Sagahara tidak pernah memandang sebelah mata Andra ataupun melakukan hal-hal seenaknya sendiri. Apalagi, sampai melukai harga diri lelaki yang ada di hadapannya itu. Seloyal dan sepatuh apa pun orang yang dianggapnya sahabat itu, Sagahara tetap menjaga perasaan dan harga diri lelaki berjaket hitam itu.

Selama menjadi teman dekat Andra, banyak hal aneh yang terjadi yang tidak bisa diterima oleh nalar orang lain. Namun, entah mengapa hal yang berbau magis itu seakan lumrah di matanya, seperti halnya keadaan perempuan yang ada di dekat sahabat setianya itu saat ini.

Sagahara beranjak menuju pagar, lalu menurunkan ransel yang tersampir di bahunya, membuka resleting depan tas tersebut, dan mengeluarkan beberapa kunci yang menjadi satu renteng dalam gelang besi berdiameter kecil, seperempat kelingking. Perlahan, dia melangkah memasuki halaman rumah yang banyak terdapat bunga, setelah membuka gembok dan menyampir kembali tas ranselnya. Rerumputan hijau yang pendek dan rapi terbentang di sepanjang jalan menuju teras.

Andra mengikuti Sagahara, meninggalkan Kencana yang bergeming dengan pandangan nanar.

Sagahara melirik perempuan yang diam mematung, menatap dirinya. "Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Ayo buruan masuk! Hari semakin larut!"

Kencana terhenyak dan segera tersadar. Dia melangkah tergesa mengikuti kedua lelaki yang melangkah memasuki teras rumah.

Perempuan itu mengedarkan pandangan ke semua penjuru dalam teras, terdapat dua kursi sofa–menghadap pintu pagar–dan satu meja bundar. Di atas meja terdapat pot putih berisi bunga anggrek berkelopak ungu keputih-putihan. Ada lukisan timbul, bergambar naga mengitari atas hutan belantara, di dinding teras belakang sofa.

Sagahara segera membuka pintu, sesampainya di depan pintu utama. Dia letakkan tas ransel di sebelah kiri pintu, lalu bergegas menuju sofa, menghempaskan bokong dengan keras dan menyandarkan kepala pada punggung sofa hitam yang berada di ruang tamu.

Andra yang hendak mendaratkan bokongnya juga, di samping sahabatnya itu, urung melakukannya tatkala mendengar telepon rumah berdering. Dia segera menuju benda yang berbunyi nyaring itu tanpa disuruh.

"Kemari dan duduklah," ucap Sagahara seraya menatap Putri Kencana yang berdiri di ambang pintu. "Jangan takut, aku tak akan berbuat macam-macam padamu. Kalaupun mau pasti sudah kulakukan saat kita di hutan," ucapnya meyakinkan. "Anggap saja rumah sendiri."

Bukannya ragu apalagi takut, hanya saja Kencana bingung harus berbuat apa. Dia merasa canggung ketika hendak bersikap di tempat yang baru pertama kali diinjaknya. Dia pun segera menyibak keraguan di hati, lalu berjalan lambat menuju sofa, sambil melirik ke arah orang yang berdiri menghadap tembok dengan tangan di kantong, di ruang yang tertutup tirai transparan.

Seakan tahu isi hati Kencana, Sagahara menoleh ke arah lirikan perempuan yang kembali berhenti tepat di sampingnya itu. Dia berkata dengan penuh keyakinan. "Jangan khawatir, sebentar lagi dia pasti akan beranjak dari sini."

Benar saja, setelah selesai bicara dengan seseorang yang menelepon itu–yakni papanya–Andra segera berpamitan pada pemilik rumah yang kini duduk berhadapan dengan Kencana.

Pasalnya, sang papa menyuruhnya pulang saat itu juga. Sepanjang malam, sudah berkali-kali dia menelepon nomor rumah Sagahara untuk mengetahui kabar mereka, apakah sudah sampai apa belum. Namun, tidak ada yang menerima panggilannya itu sama sekali. Lelaki di seberang sangat khawatir dengan keadaan putra semata wayangnya, setelah mengetahui bahwa sang anak tidak kembali bersama rekan kerja lainnya yang sudah sampai duluan di kantor mereka bekerja.

Andra melangkah keluar rumah menuju mobilnya yang terpakir di luar pagar. Selama hiking, di mana saja, dia selalu membawa kendaraan sendiri, Jeep putih. Kemudian menitipkan roda empatnya itu di salah satu rumah warga yang berada di lereng gunung.

Sepeninggalan Andra, Sagahara dan Kencana duduk terdiam. Suasana menjadi hening, hanya suara binatang malam dan desahan napas mereka yang terdengar. Mereka enggan memulai percakapan karena tubuh yang terasa letih sekali.

Tak lama kemudian, Sagahara berdehem memecah keheningan. "Sebaiknya kita istirahat." Dia menoleh dan menunjuk kamar yang berada dekat meja telepon tadi. "Kau bisa tidur di sana."

Pandangan Kencana mengikuti jari telunjuk Sagahara. "Lalu, kamu tidur di mana?" ucapnya tanpa memalingkan wajah, tetap menatap lurus ke pintu kamar.

"Kamarku di atas sana," tunjuknya ke arah pintu kamar yang berada di lantai dua.

Kencana menengadah lalu mengangguk. "Apa kau tinggal sendirian?"

"Tidak. Aku tinggal berdua dengan adik perempuan. Namanya Aruna, Aruna Fazahira."

"Nama yang bagus," ucap Putri Kencana lirih.

"Sebaiknya kita bergegas istirahat. Kalau kau ingin mandi, ada kamar mandi dalam kamar." Sagahara beranjak dari duduknya setelah berkata, meninggalkan Kencana yang masih saja memancarkan raut wajah bingung. "Pintunya tak terkunci," ucapnya seraya menaiki anak tangga.

Kencana beranjak menuju kamar dan bergegas mandi sesampainya dalam kamar mandi. Dia kembali mengenakan pakaiannya tadi, setelah menelisik kamar tersebut lalu membuka lemari pakaian yang ternyata kosong.

Selama dalam kamar maupun kamar mandi, dia tidak canggung ataupun bingung menggunakan segala peralatan yang ada, karena semua itu telah diketahuinya saat belajar bersama sang guru. Hanya saja dia belum pernah menemui dan menggunakannya secara langsung, hanya melihat dan mempelajarinya lewat buku.

Sempat terbesit bingung dalam benaknya, saat gurunya meminta Kencana untuk mempelajari hal itu. Namun, ketika dia melayangkan tanya, gurunya hanya menjawab singkat tanpa menambahi penjelasan lagi.

"Suatu saat, semua itu akan berguna bagi Anda, Tuan Putri."

***

Suara ketukan pintu membangunkan tidur lelapnya, dia beranjak sambil mengucek mata. Kencana menatap sekeliling setelah kesadarannya penuh. Sesaat dia bingung dengan keberadaannya, tetapi langsung teringat tatkala menatap dirinya yang terpampang dalam cermin lemari yang ada di depan ranjang.

"Apa kau sudah bangun?" tanya seseorang yang ada di balik pintu, Sagahara.

"Iya, aku barusan bangun!" sahutnya seraya menuruni ranjang dengan segera. Sekilas dia menatap jendela yang sedikit tersingkap dan tampak terang di luar sana.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Sagahara dengan semangat diiringi senyum simpul, bersamaan dengan terbukanya pintu.

Sesaat kemudian, matanya membeliak karena Kencana sudah muncul tepat di depannya dengan keadaan segar dan ceria, spontan membuatnya salah tingkah, lalu dia berdehem dan mencoba bersikap seperti biasanya. Secepat kilat dia menjawab pertanyaan sendiri. "Pastinya sudah merasa baik setelah tertidur pulas," ucapnya datar dengan sedikit bergeser ke belakang.

Kencana tertawa tertahan melihat tingkah Sagahara. 'Dasar lelaki aneh,' batinnya.

Sebelum perempuan yang berdiri di hadapannya berucap, pun mengetahui kekonyolannya, Sagahara segera mengungkapkan niatnya. "Mumpung kita hanya berdua, sebaiknya kau menceritakan semua hal tentangmu, saat ini juga. Aku tidak mau ada orang yang tinggal di rumahku tanpa kutahu pasti perihal tentangnya, meski hanya sementara."

Sagahara meraih pergelangan tangan perempuan itu dan menuntunnya duduk di meja makan yang tak jauh dari kamar tidur yang ditempati Putri Kencana.

Mendapat perlakuan seperti itu, Kencana segera melayangkan protes setelah duduk, mencoba mengalihkan tujuan Sagahara. "Apa kamu tidak memberikanku sarapan dulu sebelum bercerita?"

Kencana menatap tudung saji yang ada di hadapannya dengan mata penuh harap.

"Tidak. Sebelum kau menceritakan semuanya." Sagahara berkata tegas dan menatap tajam Kencana.

Mendengar jawaban tegas itu, Kencana menoleh dengan cepat. "Sungguh keterlaluan!" gerutunya, "perutku sudah lapar sekali," rengeknya kemudian.

"Aku tidak peduli. Kau, tidak akan mendapatkan sarapanmu ataupun yang lainnya jika tidak segera bercerita."

Kencana menatap takpercaya. "Baiklah. Aku akan mulai bercerita, tapi sebelumnya ... di mana adikmu sekarang?" Kencana masih berupaya mengalihkan pembicaraan.

"Dia ada kuliah pagi dan sudah berangkat sejam yang lalu," jawab Sagahara tanpa melepas tatapan tajamnya dari wajah cantik berpipi chubby itu, menuntut penjelasan dari Kencana.

Kencana, yang tahu pasti apa yang tersirat di tatapan tajam itu, mengangguk dengan pasrah, lalu memulai ceritanya.

Dia tidak punya pilihan lain lagi selain menceritakan perihal yang terjadi padanya secara jujur; diawali dari siapa jati dirinya, dari mana dia berasal, dan apa yang terjadi padanya setelah jatuh ke lubang, tetapi tidak menceritakan tentang kematian para dayangnya yang berusaha melindunginya, hanya mengatakan bahwa dirinya dikejar oleh para pemburu.

Awalnya, dia bercerita dengan terbata-bata. Namun, seiring waktu dan mengalirnya cerita, tumbuhlah rasa percaya dalam dada. Dia pun bercerita dengan gamblang dan tanpa beban meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang teramat dalam. Dirinya kini merasa bahwa orang yang ada di hadapannya dapat dipercayai dengan sepenuh hati. Tidak ada rasa curiga sedikit pun yang terbesit dalam hatinya saat ini.

Kencana juga merasa yakin jika lelaki yang ada di hadapannya itu akan menerima dengan mudah semua penjelasannya, yang tidak mungkin dapat diterima dengan mudah oleh makhluk lain yang ada di dunia bawah.

"Ah, iya, panggil saja aku Ana!" tegas Kencana seusai bercerita, "ingat! Ana, namaku Ana! Jika kamu ingin aku tetap selamat." Dia kembali memperingatkan Sagahara, selepas bercerita.

Sagahara hanya diam sambil mengangguk, sekali, kemudian membuka tudung saji dan memersilahkan perempuan berlesung pipit itu sarapan.

Memang, seharusnya begitu bukan, sikap dari seorang lelaki gentleman? Menepati apa yang telah dijanjikan.

Lelaki itu berusaha bersikap biasa saja, seolah semua cerita wajar adanya, menyembunyikan beraneka pikiran dalam berkecamuk dalam benak.


To be continue ....

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Hikayat Cinta Putri Langit

PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANANBab  #9"Eeeh ... bidadari cantik sudah bangun rupanya. Apa tidur nyenyakmu terganggu k...
08/02/2025

PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANAN
Bab #9

"Eeeh ... bidadari cantik sudah bangun rupanya. Apa tidur nyenyakmu terganggu kebisingan kami, Nona Cantik?" Andra melangkah mendekati Kencana.

"A-aku ...." Kencana bingung mau menjawab apa.

Pasalnya dia sudah bangun sedari tadi, saat Rina yang menemaninya tidur semalam tengah beranjak bangun dan meninggalkannya. Kencana hanya duduk terdiam di dalam tenda selama para anggota camping itu bersiap-siap. Dia baru beranjak keluar setelah suasana terdengar sunyi.

"Ke mana mereka?" Kencana mengalihkan pembicaraan dengan melontarkan tanya yang dia sendiri sudah tahu jawabannya.

Dia mendengar dengan jelas saat mereka berdiskusi kemarin siang sambil membatin. "Ternyata bahasa di dunia bawah sama dengan bahasa di kerajaan langit. Apa mungkin kami segaris keturunan? Hanya saja kehidupan abadi dan sementara saja yang membedakan? Atau ...?

Ah, inilah ruginya bila bermalas-malasan belajar. Tahu begini, aku akan lebih rajin lagi mempelajari semua ajaran yang diberikan oleh para guru kerajaan. Takhanya menuruti hawa nafsu yang selalu ingin bebas bertualang."

Yah, begitulah, penyesalan datangnya selalu belakangan, di saat kita merasa sangat membutuhkan apa yang telah kita sia-siakan.

Kencana tidak tahu kenapa yang ditemuinya saat ini mirip dengan dunia langit. Takhanya bahasa, tetapi juga bentuk tubuh mereka. Hanya saja mereka tak punya sesuatu yang tersembunyi di punggung, tempat sayapnya bersemayam yang hanya akan keluar dan mengepak tatkala jiwa sucinya benar-benar terancam.

"Turun gunung untuk pulang," jawab Sagahara sambil berjalan mendekati Andra, menyeretnya menuju api unggun yang masih menyala.

"Apa-apaan, sih, Ga. Kurang kerjaan aja pake nyeret-nyeret orang." Andra melepas cengkeraman tangan Sagahara di lengannya sambil cemberut.

Beberapa detik kemudian dia tersenyum jahil. "Ahaaa, aku tau ... kamu jealous, yaaa, kalau aku deket-deket ma dia," godanya sambil menoyor bahu Sagahara.

"Apaan, sih, kamu! Tu bikin kopi sama teh panas!" Sagahara menunjuk cerek yang mengepulkan air panas. "Aku mau ke tenda dulu, beresin semuanya. Menjelang siang nanti kita turun gunung," ucapnya tegas, "ah, iya. Sekalian bikinin mi," tambahnya, lalu beranjak melangkah menuju tenda. Hanya tersisa tendanya saja yang masih berdiri.

"Serius kamu, Ga? Kamu nggak liat apa cewek cantik itu masih sakit?" Andra menunjuk Kencana yang berdiri diam tak jauh dari api unggun, memerhatikan dengan bingung kedua lelaki yang saling debat itu.

Sagahara yang sudah berada di dekat tenda berhenti sejenak, melirik perempuan yang berada di sebelah kiri tak jauh darinya. "Aku yakin dia sudah sehat. Liat aja sendiri, tidak ada bekas luka di tubuhnya. Dan juga, dia tak merasa kedinginan," jelasnya seraya melangkah masuk tenda, seakan apa yang terjadi pada Kencana adalah hal biasa saja baginya.

Andra lekas menatap dengan intens Kencana. Dari tadi dia tidak memerhatikan dengan pasti keadaan perempuan yang bergaun panjang dengan lengan terbuka itu. Lelaki berjaket hitam berbahan wol itu baru menyadarinya setelah Sagahara memberitahunya.

Banyak tanya terbesit di benak Andra dengan keadaan Kencana yang menurutnya janggal. Namun, dia enggan memusingkannya. Mungkin lain waktu dirinya akan mencari tahu semua hal yang mengganjal hatinya, sesampainya di kota. Dia akan mencari kejelasan perihal perempuan itu pada Sagahara.

"Kirain cuek, ternyata kamu seperhatian itu sampai tahu persis keadaanya. Padahal, yang kuliat kamu nggak pernah menatapnya. Atau, aku aja yang terlewat?" Andra menggerutu seraya membuat dua kopi hitam dan teh panas, kemudian mi goreng instan sebanyak tiga.

"Cantiiik, tak inginkah dirimu duduk di sampingku?" rayu Andra, "sampai kapan engkau akan berdiri seperti patung di situ? Mendingan duduk sini." Andra menepuk ruang kosong di sebelahnya. "Lalu minum teh panas sambil menunggu mi rebus ini lunak," ucapnya sambil mengangkat cup mi instan bertuliskan Pop Mie Goreng yang ada dalam genggamannya.

Kencana bergeming dan hanya menatap Andra lekat sambil mengernyit. Dia ragu dan juga takut dengan lelaki berkumis tipis itu. Entah karena apa? Yang pasti dia kurang s**a dengan sikap sok akrabnya.

"Jangan takut, aku nggak gigit, kok. Palingan nyium aja." Andra mengerling nakal, membuat Kencana bergidik.

Perempuan berkulit kuning langsat itu semakin enggan untuk bergerak. Padahal, saat ini Kencana merasa sangat haus dan juga lapar.

Lapar? Ya, lapar. Meskipun mereka makhluk abadi, tetapi mereka juga merasakan lapar dan haus sebagaimana mestinya makhluk yang hidup di dunia bawah, bumi.

"Sebaiknya kau duduk dan segera sarapan."

Suara yang berasal dari belakang membuat Kencana menoleh.

Tanpa kata, Sagahara menyampirkan selimut tipis pada bahu Kencana. Lalu, meraih pergelangan tangan perempuan itu, mengajaknya duduk di depan api unggun, berhadapan lurus dengan Andra.

Andra terbengong menyaksikan tindakan aneh yang tidak pernah dilakukan oleh sahabatnya itu. Lelaki itu tidak menyangka sama sekali, si kulkas dingin akan bersikap sangat manis pada makhluk yang bernama perempuan. Selama ini dia tidak pernah peduli, apa pun yang terjadi, dengan lawan jenisnya.

"Dra, sini kopiku!" pinta Sagahara, menyadarkan Andra dalam keterbengongannya.

Andra meraih dua gelas yang ada di depannya, lalu mengulurkannya pada Sagahara. Disusul dengan dua cup mi instan. "Orang kalau lagi falling in love, emang beda ya kelakuannya. Sungguh di luar nalar. Cek cek cek ...," ucapnya sambil menggeleng-geleng.

"Kamu ngomong apaan, sih, Ndra? Dari tadi ngaco mulu." Sagahara menatap tajam sahabatnya sambil menyodorkan gelas plastik berisi teh dan juga cup mi kepada Putri Kencana yang duduk di dekatnya.

"Alah, ngaku aja kamu, Ga. Kamu sedang jatuh cinta pada pandangan pertama." Andra cekikikan sambil menutup mulut dengan tangan kirinya.

Kencana yang tidak mengerti dengan arah pembicaraan kedua lelaki itu hanya diam menunduk, menikmati sarapannya.

"Sembarangan. Udah buruan makannya. Lepas itu bantu aku membersihkan tempat ini." Sagahara bergegas memakan mi-nya dan juga menghabiskan kopi hitamnya yang mulai menghangat.

"Lah, ntu tenda kenapa nggak kamu bongkar sekalian, Ga?"

"Nanti setelah cewek ini ganti pakaian. Nggak mungkin, 'kan dia turun gunung pake baju itu. Ntar dikiranya kita diikutin makhluk penghuni Gunung Arjuna lagi," papar Sagahara.

"Ooh, iya juga ya. Kok, aku nggak kepikiran ke situ, ya?" Andra manggut-manggut sambil mengetuk-ngetuk pelan rahangnya.

"Yang ada di pikiran kamu itu hanya cewek mulu. Dasar buaya teri," gerutu Sagahara pelan.

"Kamu bilang apa?" Andra mempertegas karena kurang jelas mendengar omelan sahabatnya.

"Buruan makannya, ntar kesiangan," pungkas Sagahara.

"Baru juga jam tujuh," ucapnya lirih sambil menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Tak ingin lagi berdebat, akhirnya Andra menghabiskan sarapannya dalam diam.

***

Sagahara gegas membereskan tenda setelah Kencana selesai mengganti gaunnya dengan kaos oblong warna putih, dilapisi jaket kain hitam agak tebal, dan bercelana pendek selutut milik Sagahara.

Memang. Setiap berkemah, lelaki berhidung mancung lurus itu selalu membawa baju ganti minimal tiga. Meski menambah beban, tetapi tidak dihiraukannya karena suatu saat itu akan sangat dibutuhkannya. Seperti saat ini.

Sedangkan Andra membersihkan semua sampah dan bekas api unggun. Hal itu selalu dilakukan oleh tim mereka seusai camping, kegiatan yang diagendakan setiap setahun sekali oleh kantor cabang tempat mereka bekerja.

Mereka tidak ingin merusak kelestarian alam bebas dengan meninggalkan jejak sampah. Selain itu, mereka juga menebar biji benih pohon buah seperti; jambu, jeruk, mangga, dan lain-lain.

Takhanya Gunung Arjuna yang menjadi tujuan agenda tahunan itu, melainkan semua gunung yang ada di Jawa Timur. Seperti Gunung Bromo, Gunung Kawi, dan lain sebagainya. Kegiatan yang sudah diadakan selama belasan tahun ini bertujuan untuk mempererat hubungan antar rekan kerja, juga antara atasan dan bawahan.

Hampir seperempat perjalanan mereka menyusuri hutan dalam diam, untuk menghemat tenaga. Namun, Andra sudah tidak tahan lagi untuk tidak bertanya pada Kencana. Sedari tadi, dia sangat ingin tahu nama perempuan itu.

Andra yang tadinya berjalan paling depan, berhenti sejenak dan menyejajarkan dirinya dengan Putri Kencana. "Cantiiik, nama kamu siapa, kamu berasal dari mana, dan sedang apa kamu di hutan?" tanyanya sambil menatap wajah Kencana dari samping.

Kencana tidak langsung menjawab. Dia lama terdiam, ragu untuk membuka suara. "A-aku ...," ucapnya sambil meremas ujung jaket. Dia menggigit pelan bibir bawah. Hatinya berdegup kencang dan tangannya mulai gemetar. "Ak–"

"Sudahlah, Ndra. Nanti saja sesampainya di rumah, kita cari tahu semua tentang dia. Pastinya takhanya itu yang ingin kamu ketahui bukan? Sebaiknya simpan tenagamu karena perjalanan kita masih lumayan panjang!" Sagahara yang menangkap gelagat resah Kencana langsung menyambar perkataan perempuan yang berjalan di depannya itu.

Andra mengerti maksud Sagahara. Dia pun akhirnya pasrah dan diam.

Kencana menghela napas dan kembali bernapas lega. Setiap mendengar ucapan Sagahara dia merasa aman, juga menurut tanpa terpaksa dengan semua kehendak Sagahara, tanpa tahu sebabnya. Hatinya merasakan kedamaian dan memberikan kepercayaan penuh pada lelaki itu.

Mereka menempuh sisa perjalanan dengan diam seribu bahasa hingga sampai di perkampungan. Dalam perjalanan menuju rumah pun mereka hanya diam.

Sebelumnya, Sagahara telah memperingatkan Andra untuk tidak mengusik Kencana lagi dengan pertanyaan-pertanyaan, jika ingin tahu jati diri perempuan itu dengan lengkap dan jelas. Dia memberitahukan pada sahabatnya itu bahwa perempuan yang bersama mereka saat ini akan merasa takut, resah, dan tidak nyaman dengan segala pertanyaan yang dilontarkan padanya.

"Ingat, jangan memaksakan kehendak kalau ingin mendapatkan hasil yang maksimal!" bisik Sagahara memperingatkan kembali, tepat di telinga sahabatnya, sebelum mereka bertiga memasuki rumah Sagahara.


To be continue ....

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Hikayat Cinta Putri Langit

PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANANBab  #8Sagahara duduk di pinggir tikar, mengamati perempuan yang masih tergeletak tak ...
03/02/2025

PERJUANGAN CINTA PENUH PENGORBANAN
Bab #8

Sagahara duduk di pinggir tikar, mengamati perempuan yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Ada desiran aneh dalam hatinya ketika menatap wajah itu. P**i chubby dengan hidung mancung serta kulit yang mulus membuat tatapan lelaki itu enggan berlalu, semakin lekat menatapnya.

Tak hanya itu, tahi lalat kecil di atas bibir yang agak pucat itu menambah rupawan mahakarya Tuhan, yang saat ini mampu menyedot perhatian lelaki yang terkenal dingin itu, tanpa disadarinya. Hingga bibir agak tipis, merah alami itu bergumam, "Cantik."

"Apa? Aku tak salah dengarkah?"

Sontak lelaki yang sedang terpana itu menoleh. Dia tidak tahu jika Andra, sahabat sekaligus rekan kerjanya, ada di belakangnya dan mendengar gumamannya. "Apa?" tanya Sagahara polos, seolah tidak tahu apa maksud dari orang yang kini berdiri di belakangnya.

Andra sudah lama berdiri di belakang Sagahara. Dia tidak langsung menyapa karena penasaran dengan sikap sahabatnya, yang juga atasannya di kantor. Lelaki itu tidak menyangka sama sekali jika sahabat yang selama ini dikenalnya dingin dan cuek dengan lawan jenis itu, mau menatap perempuan asing dengan sangat intens dan dalam jangka waktu yang lumayan lama, menurutnya.

Lebih mencengangkan lagi, Andra mendengar kata yang benar-benar membuatnya shock keluar dari mulut si kulkas berjalan, julukan yang diberikan oleh teman-teman dekat Sagahara. Lelaki berkulit putih itu tidak menyangka sama sekali, sahabat dinginnya itu bisa menyanjung seorang perempuan. Sungguh di luar kebiasaannya selama ini dan baru kali ini Andra mendengarnya.

"Aiiish, pura-pura bego lagi." Andra berjongkok di sebelah Sagahara, mengamati makhluk cantik itu dengan seksama. "Tapi, nggak salah, sih. Dia memang cantik. Sangat malahan. Bagai bidadari turun dari langit, bukan dari comberan," kelakarnya seraya terkekeh.

Sagahara meninju bahu Andra sambil berdehem.

"Lah, emang bener, 'kan?! Mana ada di sini comberan?" seloroh Andra.

"Terserah kau ajalah," sungut Sagahara, enggan menganggapi celotehan sahabatnya. Tatapan Sagahara kembali beralih ke Putri Kencana. "Ada apa ke sini?"

"Itu, kamu dicari temen-temen. Menanyakan kelanjutan rencana kita." Tangan Andra terulur ke wajah Putri Kencana. Jiwa playboy-nya tergelitik untuk menyisihkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya.

Dengan cekatan Sagahara menepis tangan sahabatnya. "Jangan macam-macam!" tegasnya.

"Hey, aku hanya–"

"Jangan coba-coba berani menyentuhnya! Hanya aku dan teman-teman wanita saja yang boleh menyentuhnya," sergah Sagahara memperingatkan.

Suasana seketika menjadi kaku karena Sagahara mengatakannya dengan sangat serius, juga dengan raut wajah yang menegang.

Entah kenapa dia sangat tidak rela jika ada laki-laki lain menyentuh perempuan yang belum dikenalnya itu. Sagahara sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya. Dia hanya merasa punya ikatan batin yang kuat dengan perempuan berambut coklat keemasan terang itu.

Andra tidak sakit hati dengan tindakan dan ucapan sahabat yang sudah dikenalnya sejak kuliah semester satu itu. Dia hanya terkejut dan tidak menyangka jika sahabatnya itu akan bersikap seperti tadi. Sungguh perubahan yang sangat cepat dan sulit diterima nalarnya. Namun, Andra tidak ingin ambil pusing.

Untuk mencairkan keadaan, Andra melontarkan candaan. "Widich ... tumben sikapmu aneh begini? Jangan-jangan kamu sudah ...."

"Sudahlah, ayo kita bergegas menemui mereka," tepis Sagahara. Dia tahu bahwa tindakannya termasuk tidak wajar, juga tahu persis jik sahabatnya itu hendak menggodanya.

Tak ingin mendapat malu, Sagahara gegas beranjak menuju rekan-rekannya, yang berkumpul mengelilingi bekas api unggun.

"Bagaimana, Pak?"

Rina, wanita yang merawat luka Kencana, segera melayangkan tanya pada Sagahara, setelah lelaki itu duduk di samping salah satu rekan laki-lakinya. Disusul dengan Andra yang duduk di sebelah sahabatnya, lurus berhadapan dengan Rina.

Meskipun seorang karyawan yang terbilang baru, masih sepuluh bulan masa kerja, Rina termasuk karyawan yang berani sekaligus cekatan. Dia customer service di kantor cabang bank swasta yang dipimpin Sagahara saat ini. Tanpa ada rasa canggung maupun takut, wanita berusia 25 tahun itu akan melontarkan tanya pada atasannya itu. Seperti yang barusan dilakukannya. Hanya dia yang berani di antara rekan lainnya.

"Bagaimana apa?" Bukannya menjawab, Sagahara kembali melontarkan tanya dengan nada datar.

"Rencana kita besok pagi, Pak ... tetap dalam rencana awal, 'kan, Pak?!" ucapnya mempertegas sambil mengernyit.

"Tentu saja." Sagahara menjawab mantap, takada sedikit pun keraguan. "Memangnya ada apa dengan rencana yang sudah matang?" tanyanya heran, takada beban dalam intonasinya.

Andra hanya berdehem. Dia hendak berkata, tetapi diurungkannya. Lelaki berkumis tipis itu yakin jika sahabatnya lupa dengan sedikit kendala yang mereka hadapi saat ini.

Terbesit dalam otaknya untuk mengerjai Sagahara dengan tidak mengingatkannya dan hanya menyimak saja. "Orang kalo sedang jatuh cinta tetiba jadi bego dan pikun," batinnya seraya tersenyum samar.

"Aduch, Bapak ini bagaimana, sih? Itu ... cewek yang sedang pingsan itu, bagaimana nasibnya? Masak iya, kita ajak turun gunung dengan keadaan seperti itu?" sungut Rina.

'Ah, iya ... kenapa aku bisa lupa sama sekali,' batin Sagahara.

Sagahara berdehem. "Ooh ... soal itu," ucapnya enteng. Dia bersikap seolah tidak melupakan hal itu.

"Mengenai masalah itu sudah aku pikirkan. Kalian tetap pada rencana awal, turun gunung besok di pagi buta. Untuk masalah perempuan itu, biar menjadi urusanku dan Andra," ujarnya kemudian dengan tegas, tanpa meminta persetujuan dari siapa pun terutama Andra.

"Ap-apa–"

Sagahara mencubit keras pinggang belakang Andra, membuat sahabatnya itu memutus ucapannya.

Andra menggerutu dalam hati. 'Dasar sahabat lucknut! Seenaknya sendiri mengambil keputusan. Coba orang lain, udah aku 'kek' tanpa ampun. Liat aja nanti sesampainya di rumah. Akan kukerjain abis-abisan.'

"Itu artinya, kita turun duluan dan meninggalkan Pak Saga juga Pak Andra dengan perempuan itu?" tanya Dedi, rekan kerjanya yang duduk di sebelah Rina, mempertegas.

Sagahara hanya menjawab dengan anggukan.

"Lantas, kapan Bapak akan menyusul?" Rina bertanya dengan antusias.

Sagahara menjawab dengan cepat tanpa berpikir. "Secepatnya. aku yakin perempuan itu besok sudah bisa diajak turun gunung. Kalau pun takbisa, akan kupaksa untuk bisa."

"Pak Saga yakin?" Rina masih penasaran dan rasa ingin tahunya terus mengejar.

"Tentu saja. Apa kamu ada masalah, Rina?" Sagahara menatap tajam bawahannya yang semakin terdengar bawel di telinganya, dan dia tidak s**a dengan hal itu.

Rina salah tingkah. "Eeh, eng-enggak, Pak?" jawabnya gelagapan. Wajahnya pun memerah karena rasa malu sekaligus takut.

Entah kenapa, tiba-tiba Rina merasa takut dengan tatapan Sagahara barusan. Padahal, selama ini wanita berambut gelombang, sebahu, itu belum pernah merasakan hal itu. Tanpa sadar dia bergidik sambil mendesis.

***

Lenguhan lirih keluar dari bibir yang masih pucat itu. Dia membuka mata perlahan, lalu mengejapkan mata tatkala merasakan pusing. Kencana membuka lebar matanya setelah pusing di kepala mereda, lalu mengedarkan pandangan, mengamati sekelilingnya.

Sagahara yang tiba-tiba merasakan bahwa perempuan yang ada di dalam tendanya telah siuman, bergegas beranjak meninggalkan rekan-rekannya menuju tendanya itu. Didapatinya perempuan bergaun merah keunguan itu telah duduk berselonjor di atas tikar sambil celingukkan.

"Cantik ... kau sudah siuman ternyata."

Suara riang dan keras yang berasal dari belakang Sagahara membuat gendang telinganya berdengung. Ternyata Andra mengikutinya dan langsung menyapa riang Kencana.

"Sial," umpat Sagahara, "kenapa kau selalu mengikutiku, Pl***oy Kelas Teri?" geramnya.

"Enak aja ... bukannya begitu. Aku, 'kan juga ingin tahu keadaan dia," kilah Andra seraya mengangkat dagu, menunjuk ke arah Kencana.

"Alasan," gumam Sagahara sangat lirih sambil melangkah memasuki tenda.

Saat Sagahara hendak berjongkok di samping Kencana, tiba-tiba Rina menyerobot dengan cepat dan langsung duduk di samping perempuan yang terlihat bingung itu.

Ternyata, setelah Andra berlalu mengejar Sagahara, semua rekannya juga ikutan beranjak dan berdiri mengerumuni pintu tenda. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi di dalam tenda.

"Hay, Cewek Cantik ... gimana keadaanmu sekarang? Apa yang terjadi denganmu? Trus kamu dari mana sebenarnya, kok, bisa ada di hutan ini? Dan–"

"Rina!" sergah Sagahara geram.

"Ups! Maaf, Pak Saga. Habisnya saya penasaran banget." Rina beranjak dari duduknya dan melangkah mundur, menjauh dari tikar. Niatnya hendak keluar tenda, tetapi lekas berhenti ketika terbesit tanya. "Pak Saga, nanti cewek cantik itu akan dibawa pulang ke rumah siapa? Pak Saga?"

Mendapat pertanyaan itu, Sagahara langsung bingung dan terdiam. Keraguan besar melanda hatinya. Dia kembali beranjak dan mengajak semua rekannya agak menjauh dari tenda.

"Tidak. Aku tidak akan membawanya pulang," tegas Sagahara setelah berada di luar tenda. Padahal dia tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya. "Aku hanya akan membawanya turun lalu mengantarnya ke kantor polisi. Selebihnya biar mereka yang mengurus," tandasnya.

"Jangan, Pak! Bagaimana kalau nantinya dia tidak ingat apa-apa trus ketakutan dan kabur? Kasian, 'kan, Pak. Nasibnya jadi terpontang-panting," papar Rina, "sebaiknya Bapak bawa pulang saja," imbuhnya.

"Iya, Pak. Itu jalan yang terbaik." Dedi menambahkan.

"Betul, Pak. Bawa pulang saja, Pak," kata para rekan lainnya serempak. Ternyata semua orang sudah ada di tenda.

"Atauuu, aku aja yang membawanya pulang?" Andra berkata sambil menaik-turunkan alisnya.

"Tidak!" seru Sagahara cepat. Ada rasa takut yang menguasai hatinya ketika sahabatnya itu menawarkan diri.

Andra tersenyum samar. Dia tahu persis sahabatnya akan menjawab itu. Hingga akhirnya, diputuskannya dengan bulat bahwa Sagahara akan membawa Kencana pulang ke rumahnya.

Semua merasa lega dengan keputusan itu, tetapi tidak dengan Rina padahal dia sendiri yang sebelumnya mengusulkan. Wanita bertubuh ramping itu merasa jika keberadaan Kencana nanti akan mempersulit dirinya untuk mendekati Sagahara.

Waktu pun berlalu, keenam anggota itu tengah bersiap untuk turun gunung.

"Hati-hati jangan sampai terpencar," pesan Sagahara pada Dedi dan kawan-kawan, "maaf, aku tidak bisa membersamai kalian," imbuhnya.

"Oh ya, Rin. Jangan lupa surat izin kami saat masuk kerja." Andra yang berdiri di dekat Rina, mengingatkan kembali wanita itu. Dia tidak ingin mendapat masalah di kemudian hari.

"Siap, Pak Andra." Rina berkata sambil hormat, membuat yang lainnya tertawa melihat tingkahnya. Kecuali satu orang, si kulkas berjalan.

Sagahara dan Andra menatap lekat kepergian mereka sampai tidak terlihat semua, setelah sesi perpisahan. Hingga suara langkah berat membuat detak jantung kedua lelaki itu berdegup kencang dan membuyarkan fokus mereka, lalu dengan serempak menoleh ke belakang.


To be continue ....

Yuk, kepoin kisah seru mereka di KBM App, yang semakin seru di tengah-tengah cerita hingga menuju ending.

Judul: Hikayat Cinta Putri Langit

Address

Kediri

Website

https://www.youtube.com/@ZazaSolehaChannel, https://read.kbm.id/profile/pe

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Serpihan Aksara Ary posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share