Anak Bugis perantau sejati

Anak Bugis perantau sejati tanah bugis kelahiranku (SFC)
(1)

30/06/2024
15/02/2024
02/02/2024

Mana yang salah🤦🤦

01/02/2024

Reels

SEJARAH AWAL MULA SUKU BUGISSuku Bugis (Lontara: ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ; Jawi: اورڠ بوݢيس) merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal...
01/10/2020

SEJARAH AWAL MULA SUKU BUGIS

Suku Bugis (Lontara: ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ; Jawi: اورڠ بوݢيس) merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, pop**asi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar p**a di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, dan Kep**auan Riau. Disamping itu orang-orang Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang telah beranak pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut. Karena jiwa perantau dari masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat banyak yang pergi merantau ke mancanegara.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kep**auan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kep**auan)

Masa kerajaan
Kedatuan Luwu adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dan merupakan asal muasal lahirnya kerajaan - kerajaan lain seperti kerajaan Bone, kerajaan Gowa, kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Sidenreng Rappang dan Mandar.

Di dalam epik La Galigo, terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke China), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di dekat dusun Sarapao di distrik Pamanna. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.[3]

Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah meruntuhkan kronologi ini.[4] Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah Cénrana barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. Teluk Bone bukanlah daerah yang berbahasa Bugis: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam. Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.

Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad ke-14 Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah Dewaraja (memerintah 1495-1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan tetangga, Wajo dan Sidenreng. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad ke-16 oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam Tawarik Bone.

Pada tanggal 4 atau 5 Februari 1605, Datu Luwu, La Patiwareq, Daeng Pareqbung, menjadi penguasa yang pertama dari wilayah Sulawesi bagian selatan yang memeluk Islam, menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'z'hir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo. Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang pop**asinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi Toraja.

Pada abad ke-19, Luwu telah menjadi kerajaan kecil. James Brooke, yang di kemudian hari menjadi Rajah Sarawak, menulis pada tahun 1830-an bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."[5]

Pada tahun 1960-an, Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi tambang nikel terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.

Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat.

Kerajaan Makassar
Pada abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).

Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal dia, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.

Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing: La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo.

Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. Setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konflik antarkerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "Tellumpoccoe".

Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[6]

Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa. Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun 1905–1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tetapi hanya sekadar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.

Masa kemerdekaan
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak mengonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk provinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya pop**asi dan transmigrasi.

source; wikipedia

🤭🤭
14/09/2020

🤭🤭

Cerita Rakyat "LA WELLE"Disadur oleh: ABDULLAHDikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seora...
26/05/2020

Cerita Rakyat "LA WELLE"
Disadur oleh: ABDULLAH

Dikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seorang anak yatim yang masih kecil. Anak itu bernama Lawelle. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Lamannuke. Sejak saat itu, Lawelle tinggal berdua dengan ibunya. Warga sekitar pun sangat sayang pada Lawelle karena dia termasuk anak yang rajin dan tidak nakal.
Suatu ketika, Lawelle sedang bermain-main dan tiba-tiba menyaksikan sepasang burung memberi makan pada anak-anaknya. Lawelle pun takjub menyaksikan peristiwa yang menurut dia masih asing karena belum pernah dilihat sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya bertanya pada ibunya tentang upaya kedua ekor burung yang memberi makan pada burung-burung yang lain.

Ibunya menjelaskan bahwa kedua burung itu tidak lain ayah dan ibu burung-burung yang lain. Lawelle merasa heran karena selama ini dia tidak pernah merasa mempunyai ayah. Dia pun menanyakan tentang ayahnya. Ibunya menceritakan peristiwa yang dialami oleh ayahnya sehingga akhirnya dibunuh oleh Lamannuke.

Dalam rasa penasaran itulah, Lawelle menanyakan peninggalan ayahnya. Ibunya memberitahukan bahwa ayah Lawelle meninggalkan sebuah benda pusaka yang rencananya akan dibuat menjadi badik namun belum selesai. Benda itu disimpannya baik-baik. Lawelle pun mengambil benda tersebut yang sudah menyerupai sebuah badik namun belum tajam karena belum selesai betul dibuat oleh mendiang ayahnya.

Agar badiknya itu betul-betul jadi, Lawelle menanam jeruk pada lahan perkebunan yang sangat luas. Jeruk itu akan dijadikan sebagai bahan untuk mempertajam badiknya. Alhasil, jeruk itu tumbuh besar dan berbuah banyak. Lawelle menghabiskan semua hasil panen jeruk itu hanya untuk mempertajam badiknya hingga badik itu terlalu tipis seperti daun padi sehingga orang bugis menamakannya tappi maddaung ase, artinya badik yang tipis seperti daun padi. Berita tentang adanya tappi maddaung ase yang dimiliki Lawelle tersebar ke seluruh pelosok Wajo hingga tidak ada orang yang berani melawannya karena bekas luka yang ditorehkan akibat sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar luka apapun sehingga orang bugis menamakannya tennarapi pattawe.

Pada suatu hari, Lawelle yang sudah beranjak remaja memohon izin kepada ibunya untuk pergi mencari Lamannuke hendak membalas dendam atas kematian ayahnya. Ibunya pun mengizinkan karena sudah mengandalkan keberanian anaknya. Setiap perkampungan yang dilaluinya, Lawelle selalu bertanya tentang keberadaan Lamannuke. Semua orang yang ditanya pun terkejut melihat seorang remaja yang mencari Lamannuke hendak mengajaknya bertarung, sementara Lamannuke sangat terkenal kehebatannya karena dia memiliki ilmu pattawe (penawar luka). Namun, setelah tahu bahwa remaja yang mencari Lamannuke itu tak lain Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase tennarapi pattawe, mereka pun maklum atas keberanian anak itu.

Setelah bertanya dan terus bertanya, akhirnya Lawelle berhasil bertemu dengan Lamannuke. Lawelle menantang Lamannuke berkelahi karena hendak membalas dendam atas kematian ayahnya. Celakanya, Lamannuke terlalu licik. Dia mencari akal agar tidak jadi bertarung dengan Lawelle. Rupanya Lamannuke pun telah mendengar tentang kehebatan Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase tennarapi pattawe. Lamannuke memang punya ilmu penawar luka, tapi apalah artinya jika berhadapan dengan Lamannuke yang memiliki badik yang bekas sayatannya tak dapat disembuhkan dengan penawar apapun.

Alhasil, Lamannuke menemukan cara agar dapat menyingkirkan Lawelle. Dia menyangkal kalau dirinya yang telah membunuh ayah Lawelle. Lamannuke justru memfitnah Wa Becce yang dikenal dengan sebutan Bolong Mangngongngona Tana Kute. Orang tersebut adalah seorang ratu yang memerintah di sebuah negeri yang sangat kaya. Ratu tersebut terkenal sakti dan pemberani. Apabila ada kapal yang merapat di pelabuhan negeri tersebut, Wa Becce selalu berkokok seperti ayam dan apabila ada yang menjawabnya, maka mereka akan bertarung. Taruhannya pun tidak tanggung-tanggung. Apabila Wa Becce kalah, maka ia akan menyerahkan tampu kekuasaan di negerinya. Tetapi apabila lawannya kalah, maka ia akan mengambil seluruh isi kapal. Tampaknya taruhan itu memang menguntungkan bagi pemilik kapal karena tidak seimbang nilainya, tetapi tetap saja tidak ada yang berani melawan Wa Becce.

Atas petunjuk Lamannuke, Lawelle pun berangkat mengarungi lautan. Agar pelayarannya itu berjalan lancar, dia bekerja sebagai awak pada salah satu kapal tujuan Tana Kute. Tentu saja tidak ada orang yang tahu maksud Lawelle, karena kalau mereka tahu, mereka tidak akan mengikutkan Lawelle. Semua orang, terutama pemilik kapal, sangat takut pada Wa Becce. Bahkan, tidak ada kapal yang mau membawa ayam karena takut ayam tersebut akan menyahut jika Wa Becce berkokok seperti ayam.

Setelah berlayar cukup lama, akhirnya kapal yang ditumpangi Lawelle pun tiba di Tana Kute. Lawelle tidak sabar lagi menunggu adanya suara kokok ayam dari dermaga. Begitu mendengar suara kokok ayam, tanpa ragu-ragu, Lawelle pun menyahut. Tentu saja tindakan Lawelle itu membuat seisi kapal jadi terkejut dan sangat ketakutan. Pertarungan hebat pun terjadi antara Lawelle dan Wa Becce. Mereka beradu kekuatan dan kesaktian, hingga akhirnya badik Lawelle mengenai kulit Wa Becce. Melihat hal itu, Wa Becce tidak merasa khawatir sedikit pun karena dia memiliki penawar luka.
Namun malang nasib Wa Becce. Rupanya dia tidak tahu kalau bekas sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar apapun. Wa Becce gugur dalam pertarungan itu. Wa Becce yang selama ini selalu mengambil milik orang lain, akhirnya harus merelakan kerajaannya untuk dia serahkan kepada Lawelle. Tampu kekuasaan pun beralih pada Lawelle.

Konon, menurut si empunya cerita dan keyakinan masyarakat Wajo, Tana Kute yang dimaksud adalah Kerajaan Kutai yang berada di Kalimantan Timur. Lawelle tinggal memerintah di kerajaan tersebut. Berita tentang kemenangan Lawelle melawan Wa Becce pun tersebar hingga ke Wajo. Banyak orang-orang Wajo yang menyusul dan menetap di negeri tersebut dan beranak-cucu hingga sekarang.

10/05/2020

😢😢

29/01/2020

Andi naila👍

Tabe dukunganta sappo🙏
27/01/2020

Tabe dukunganta sappo🙏

Address

Dolar
Kendari

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Anak Bugis perantau sejati posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share