06/08/2025
Kekuyang - Dunia pendidikan di Aceh Tengah kembali jadi sorotan. Puluhan pelajar kelas VII di SMP Negeri 32 Takengon, Desa Kekuyang, Kecamatan Ketol, terpaksa belajar tanpa meja dan kursi.
Mereka duduk langsung di lantai karena fasilitas sekolah rusak dan tidak mencukupi jumlah siswa baru yang mencapai lebih dari 40 orang. Kondisi ini telah berlangsung sejak 12 Juli 2025 lalu.
Namun, kondisi miris itu ternyata hanya puncak gunung es dari persoalan lebih serius. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tertanggal 21 Mei 2025, SMP Negeri 32 Takengon ditemukan bermasalah dalam pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2024, dengan total penyimpangan mencapai Rp 127 juta.
BPK mencatat keterlambatan penyerahan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Dana BOS. Tenggat yang ditetapkan Disdikbud Aceh Tengah adalah 31 Januari 2025, namun SPJ baru diserahkan Kepala Sekolah pada 17 April 2025. Ironinya, dana BOS tahap I 2025 telah dicairkan sejak 7 Februari 2025 tanpa surat rekomendasi dari Manajer BOS, melanggar SOP yang berlaku.
Tak hanya soal waktu, isinya pun bermasalah. Dalam SPJ, disebutkan bendahara sekolah berinisial AP menerima honorarium Rp 14,4 juta. Namun hasil konfirmasi BPK menunjukkan AP hanya menerima Rp 1,5 juta, atau ada selisih Rp 12,9 juta.
Begitu juga honorarium guru tidak tetap (GTT). Dua GTT seharusnya menerima Rp 9,6 juta, namun yang mereka terima hanya Rp 1,8 juta – selisih Rp 7,8 juta.
Pemeriksaan juga menemukan pajak sebesar Rp 6 juta lebih yang telah dicatat dalam Buku Kas Umum (BKU) 2024, namun belum disetor hingga masa audit berakhir.
Lebih lanjut, sekolah mencatat pengeluaran servis komputer sebesar Rp 4,5 juta, padahal hasil pemeriksaan menyatakan 15 unit komputer tidak pernah diservis sepanjang 2024.
Pengadaan laptop juga bermasalah. Dalam SPJ, harga laptop tercatat Rp 10 juta, namun Kepala Sekolah mengaku membeli laptop Asus seharga Rp 6 juta – selisih Rp 4 juta.
Yang paling signifikan, laporan BPK menyoroti belanja barang dan jasa senilai Rp 92,3 juta yang diragukan keabsahannya karena tidak didukung bukti sah. Termasuk pembelanjaan di CV EM senilai Rp 59,6 juta.
Namun saat dikonfirmasi, sekolah hanya bisa membuktikan pembelanjaan sebesar Rp 11 juta untuk pembelian printer, WiFi, dan papan tulis. Sisa nilai pembelanjaan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, alamat CV EM di Jalan Soekarno Hatta nomor 014, Kebet, Takengon, telah kosong dan nomor telepon perusahaan tidak aktif.
“Tim pemeriksa tidak dapat melanjutkan konfirmasi atas kuitansi pembelanjaan SMPN 32 Takengon sebesar Rp 59,6 juta karena CV EM tidak dapat dilacak keberadaannya,” tulis BPK dalam LHP Nomor: 15.A/LHP/XVIII.BAC/05/2025.
Total dana BOS yang tidak sesuai kondisi sebenarnya ; honorarium tidak sesuai Rp 20,7 juta, pajak belum disetor Rp 6 juta, servis komputer fiktif Rp 4,5 juta dan selisih harga laptop Rp 4 juta, totalnya Rp 35,2 juta.
Sementara, belanja barang dan jasa senilai Rp 92,3 juta diragukan keabsahannya karena tidak disertai bukti valid.