12/06/2025
Dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik UGM ini suaranya terdengar bergetar dan matanya berkaca-kaca saat membacakan pidato pengukuhan.
Beberapa kali ia harus berhenti sejenak membacakan teks pidato untuk menyeka air matanya yang mengalir deras.
Pria kelahiran Kulon Progo 51 tahun silam terlahir dari keluarga sederhana di Lendah, Kulonprogo. Ayahnya, Pujidiyono, sehari-hari bekerja sebagai buruh tobong labor atau pengrajin gamping.
Sedangkan sang ibu, Sumirah, pedagang gula jawa yang setiap harinya berkeliling menyusuri jalan di kota Yogyakarta untuk menjajakan dagangannya.
“Bapak dan Ibu waktu itu berani membuat keputusan untuk mengizinkan dan membiayai saya melanjutkan sekolah,” katanya.
Sarjiya menceritakan kedua orang tuanya tidak memiliki kemampuan baca dan tulis karena tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah.
Meski begitu, keduanya tetap gigih menyekolahkan dirinya meski keputusan itu harus mengorbankan pendidikan adik perempuannya.
“Secara khusus saya mohon maaf kepada adikku, Suparsih, yang waktu itu terpaksa tidak bisa melanjutkan ke bangku SMA, meskipun dengan nilai ujian SMP yang sangat baik, karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah kita berdua secara bersamaan. Semoga pengorbanan kakak-kakak dan adikku mendapatkan imbalan kebaikan yang lebih banyak dari Tuhan Yang Maha Esa,” kata anak keempat dari lima bersaudara ini.
Usai menyampaikan pidato, Sarjiya langsung mendatangi sang ibunda sambil bersujud. Ia memeluk ibundanya dengan erat.
Selanjutnya ia menyalami empat saudari perempuannya. Sayang, sang Ayah tidak hadir di momen pengukuhan dirinya karena sudah berpulang. “Maturnuwun Bu,” kata Sarjiya terbata-bata.