Info Seputar Klaten Bersinar

Info Seputar Klaten Bersinar Klaten terletak di tenggara Gunung Merapi, gunung berapi yang teraktif di pulau Jawa. Secara geografis, Kota Klaten terletak di koordinat 7°42′14″LU

Secara geografis Kabupaten Klaten terletak di antara 110°30'-110°45' Bujur Timur dan 7°30'-7°45' Lintang Selatan. Luas wilayah kabupaten Klaten mencapai 655,56 km2. Di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo. Di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta). Di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) serta Kab

upaten Magelang dan di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Boyolali.[4]

Wilayah Kabupaten Klaten terbagi menjadi tiga dataran yakni Sebelah Utara Dataran Lereng Gunung Merapi, Sebelah Timur Membujur Dataran Rendah, Sebelah Selatan Dataran Gunung Kapur. Menurut topografi kabupaten Klaten terletak di antara gunung Merapi dan pegunungan Seribu dengan ketinggian antara 75-160 meter di atas permukaan laut yang terbagi menjadi wilayah lereng Gunung Merapi di bagian utara areal miring, wilayah datar dan wilayah berbukit di bagian selatan. Jarak Kota Klaten dengan Kota Lain se Karesidenan Surakarta :

Kota Klaten ke Kota Boyolali : 38 Km,
Kota Klatenke Wonogiri : 67 Km,
Kota Klaten ke Kota Solo : 36 Km,
Kota Klaten ke Karanganyar : 49 Km,
Kota Klaten ke Kota Sukoharjo : 47 Km,
Kota Klaten ke Sragen : 63 Km. Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28°-30° Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350mm) dan curah hujan terrendah bulan Juli (8mm).

15/07/2025

📑 | Sri Maryati: Pesona Abadi Pembawa Acara Safari yang Tak Terlupakan

Di era keemasan televisi Indonesia, ketika menjadi satu-satunya saluran hiburan keluarga, ada satu nama yang selalu ditunggu kehadirannya yaitu, Sri Maryati.

Dengan gaya bicara yang hangat dan senyumnya yang khas, ia memandu acara legendaris Aneka Ria Safari, menjadi bagian penting dari sejarah pertelevisian Indonesia.

Sri Maryati bukan sekadar pembawa acara. Ia adalah simbol keanggunan dan profesionalisme di layar kaca.

Ia membawa nuansa ceria dan kekeluargaan dalam program Aneka Ria sebuah acara hiburan yang menampilkan hiburan musik, tari, dan lawakan. Tak hanya menghibur, program ini juga memperkuat jembatan kebudayaan dari Sabang sampai Merauke.

Nama Sri Maryati melambung tinggi pada dekade 70-an hingga 80-an, masa ketika penyiar TVRI adalah figur sentral yang dikenal luas oleh masyarakat.

Dengan wajah yang natural, suara yang bersahabat, dan pembawaan yang elegan, Sri Maryati disebut-sebut sebagai salah satu penyiar perempuan cantik dan paling berkarisma pada masanya.

Tak banyak yang tahu, di balik layar ia juga dikenal sangat disiplin dan rendah hati. Para koleganya menyebut Sri Maryati sebagai sosok yang selalu datang tepat waktu, mempersiapkan diri dengan matang, dan menghormati setiap kru televisi, dari kameramen hingga produser.

Kini, meski namanya tak lagi sering terdengar di layar kaca, Sri Maryati tetap hidup dalam ingatan kolektif bangsa. Ia adalah bagian dari generasi emas penyiar TVRI sosok yang tak hanya menyampaikan acara, tapi juga membentuk kenangan manis jutaan penonton Indonesia.

Di era digital yang serba cepat ini, nama Sri Maryati adalah pengingat akan masa ketika televisi bukan sekadar tontonan, tapi juga jembatan kebudayaan dan kebahagiaan bersama keluarga. Sebuah ikon yang tak tergantikan.

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : AI Generator

15/07/2025

📝 | B**g Salim : Peran Orang Susah atau Teraniaya Sudah Melekat Kepada Dirinya.

Di tengah gegap gempita dunia perfilman Indonesia yang gemerlap oleh nama-nama besar dan bintang layar lebar, nama B**g Salim mungkin tak banyak dikenal generasi hari ini.

Namun di balik sorotan itu, ia adalah salah satu penjaga idealisme seni peran yang tetap menyala meski industri berubah arah menjadi ladang komersial.

Lahir di Jakarta pada 3 Juli 1935 dengan nama asli Abdul Salim, ia meniti jalan panjang sebelum masuk dunia film. Setelah menyelesaikan SMA, ia sempat bekerja di dunia percetakan NVG & Kolff dari tahun 1954 hingga 1958.

Namun, jiwa seninya membawa langkahnya ke panggung akademik, ketika ia masuk Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1961.

Tak puas di situ, ia sempat menempuh kuliah di jurusan Biologi Universitas Nasional (UNAS), meski hanya sampai tingkat dua.

Perkenalannya dengan dunia film terjadi secara perlahan, bukan dari balik kamera sebagai aktor utama, melainkan dari dunia pencahayaan.

Ia menjadi penata cahaya di Bali Room, Hotel Indonesia antara tahun 1962 hingga 1971—pekerjaan yang memberinya pemahaman teknis dan estetika panggung yang dalam. Namun, dunia peran tetap memanggilnya.

Ia mulai tampil di layar lebar sejak awal 1960-an, muncul sebagai pemeran pembantu dalam film-film seperti Ballada Kota Besar (1962), Apa Jang Kau Tangisi (1965), hingga Si Pitung (1972) dan Petualang-petualang (1978).

Keterlibatannya di layar lebar bukan sekadar mengejar peran, tetapi memperjuangkan prinsip. B**g Salim kerap menjadi suara kritis di balik panggung.

Ia secara terbuka menyatakan keprihatinannya terhadap industri film yang, menurutnya, makin kehilangan arah budaya. "Yang dijual bukan lagi seni, tapi barang dagangan," katanya dalam sebuah diskusi budaya.

Kritiknya tajam, sering kali membuat tak nyaman banyak pelaku industri, namun justru menunjukkan betapa ia mencintai kebudayaan yang tulus.

Di kalangan seniman, B**g Salim dikenal sebagai pemikir keras kepala tapi jujur. Ia menjalin pertemanan dengan nama-nama besar seperti Arifin C. Noer dan WS Rendra.

Bersama mereka, ia berdiskusi panjang tentang misi seni, kedaulatan budaya, dan tanggung jawab moral pekerja seni terhadap masyarakat.

Ia tak segan menyebut film yang hanya menjual sensasi sebagai bentuk "pengkhianatan" terhadap makna sejati kebudayaan.

Kehidupan pribadinya jauh dari glamor. B**g Salim tinggal di sebuah kamar sederhana di Matraman Dalam, Jakarta Timur.

Dari sanalah ia menulis, merenung, dan melanjutkan idealismenya. Buku dan cahaya menjadi teman akrabnya; layar perak hanyalah perpanjangan dari hati dan pikirannya yang jernih.

Dedikasinya terhadap profesi tak luput dari pengakuan. Pada tahun 1996, ia dianugerahi Penghargaan Kesetiaan Profesi dari Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Sebuah penghargaan yang tak sekadar diberikan kepada bintang tenar, tapi untuk mereka yang berdiri teguh dalam sunyi, menjaga nyala api kejujuran.

Hari ini, B**g Salim mungkin tak banyak dibicarakan. Tapi dalam lembar sejarah perfilman Indonesia, namanya tercatat sebagai seorang yang bersetia pada seni bukan kemegahan, bukan kekuasaan, apalagi kekayaan. Ia adalah wajah lain dari perfilman nasional: tidak selalu tampak, tapi sangat berarti.

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : AI Generator

15/07/2025

📑 | Adam Kaunang: Suara Ceria di Hari Minggu dari Layar TV Hitam Putih

Bagi anak-anak era 1980-an hingga awal 1990-an, hari Minggu seperti sekarang ini pasti sudah duduk manis di depan TV masing-masing nonton bersama keluarga, biasanya hari Minggu acara favorit keluarga adalah "Album Minggu" yang dipandu oleh Kak Adam Kaunang dan Kak Dhonie Imansari.

Adam Kaunang bukan sekadar penyiar ia adalah bagian dari kebahagiaan Minggu pagi yang selalu dinanti. Sosoknya yang bersuara hangat dan penuh semangat menjadi ikon dari acara legendaris “Album Minggu” di TVRI, program musik remaja yang tayang setelah kartun Ria Jenaka bersama Dhonie Imansari.

Dalam suasana rumah sederhana dengan televisi hitam putih dan antena yang harus diputar perlahan, suara Adam Kaunang menyapa jutaan keluarga Indonesia dengan sapaan khas dan pembawaan yang bersahabat.

Ia bukan sekadar memperkenalkan lagu, tetapi mengisi ruang keluarga dengan energi positif yang tak tergantikan oleh zaman.

Lahir dan besar di masa ketika siaran televisi hanya satu saluran, Adam Kaunang merupakan lulusan pelatihan penyiar TVRI angkatan tahun 1988.

Di bawah bimbingan tokoh media seperti Ishadi SK, Adam tumbuh sebagai penyiar yang tak hanya cakap berbicara, tapi juga mampu menjalin koneksi emosional dengan penonton.

Album Minggu bukan hanya tentang musik. Ia menjadi ruang ekspresi bagi remaja Indonesia untuk mengenal lagu-lagu terbaru.

Adam Kaunang bersama Dhonie Imansari menjalankan perannya dengan penuh dedikasi, menghadirkan keceriaan tanpa batas dalam ruang keluarga Indonesia selama lebih dari satu dekade.

Meski kini tak lagi sering muncul di layar kaca, jejak Adam Kaunang tetap hidup dalam ingatan mereka yang tumbuh bersamanya.

Nama dan wajahnya tetap dikenang dengan hangat oleh generasi yang mengenal makna hiburan bukan dari YouTube atau Spotify, tapi dari sebuah acara sederhana yang dipandu oleh seorang penyiar penuh ketulusan.

Adam Kaunang adalah bukti bahwa suara penyiar bisa meninggalkan jejak mendalam dalam memori kolektif bangsa. Ia bukan hanya penyiar, tapi bagian dari sejarah televisi nasional yang penuh warna dan kenangan manis.

📰 Sumber : Kenangan Penulis
📷 Foto : AI Generator

15/07/2025

📝 | Toeti Adhitama: Suara Lembut dari Layar Kaca yang Tak Pernah Terlupakan

Di era ketika hanya ada satu saluran televisi nasional, wajah dan suara seorang perempuan bersahaja begitu melekat dalam ingatan jutaan rakyat Indonesia.

Dialah Toeti Adhitama, sosok legendaris di balik program berita ikonik "Dunia Dalam Berita" yang setiap malam menemani keluarga Indonesia dari balik layar kaca .

Lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 19 Februari 1935, Toeti—yang dalam beberapa penyebutan publik dikenal juga sebagai Tuti Aditama membuka jalan bagi perempuan Indonesia dalam dunia jurnalistik dan penyiaran.

Dengan pembawaan yang tenang, suara yang khas dan penuh wibawa, ia menjelma menjadi simbol kepercayaan informasi bagi masyarakat selama lebih dari satu dekade di layar TVRI.

Karier Toeti tak hanya bermula di Tanah Air. Ia sempat bekerja di Australia dan Voice of America, membekali dirinya dengan pengalaman internasional yang kemudian ia bawa pulang untuk memperkuat jurnalisme di dalam negeri.

Puncak kariernya di layar kaca tercapai saat menjadi penyiar utama TVRI dalam program “Dunia Dalam Berita” sejak pertengahan tahun 1970-an hingga akhir 1980-an.

Setiap pukul 21.00 WIB, masyarakat menunggu berita nasional dan internasional yang ia sampaikan dengan suara tenang dan penuh ketegasan.

Namun Toeti tak berhenti di dunia penyiaran saja. Ia juga aktif sebagai wartawan senior dan pemimpin redaksi. Bersama sejumlah rekan, ia mendirikan Majalah Eksekutif pada 1979 dan memimpin media tersebut selama 20 tahun.

Di masa reformasi, ia bergabung dalam Media Group dan menjadi bagian penting di Dewan Redaksi Media Indonesia serta Metro TV. Tak hanya memimpin, Toeti juga aktif menulis kolom hingga menjelang akhir hayatnya.

Dedikasinya terhadap dunia pers diakui secara nasional. Pada Hari Pers Nasional tahun 2010, ia dianugerahi Kartu Pers Nomor Satu, penghormatan tertinggi bagi insan pers senior Indonesia.

Toeti Adhitama tutup usia pada 22 Februari 2015 di Jakarta Selatan akibat infeksi saluran pernapasan, hanya berselang tiga hari setelah ulang tahunnya yang ke-80. Ia dimakamkan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

Meski telah tiada, warisan Toeti tetap hidup. Bagi generasi yang tumbuh di era 80-an, namanya adalah bagian dari kenangan masa kecil yang hangat: suara yang membawa kabar dunia, wajah bersahaja yang mengabarkan kebenaran, dan pribadi penuh keteladanan.

Kini, dalam era serba digital, nama Toeti Adhitama menjadi pengingat bahwa integritas dan ketulusan dalam menyampaikan berita adalah hal yang tak lekang oleh waktu. Ia bukan hanya seorang penyiar, tapi juga penjaga nurani bangsa.

---

📌 Bagikan jika Anda masih ingat dengan suara dan wajah khas Toeti Adhitama di “Dunia Dalam Berita”. Mari kita kenang tokoh penyiar legendaris ini bersama-sama.

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : AI Generator

13/07/2025

📝 | Pong Harjatmo adalah nama yang lekat dalam sejarah perfilman Indonesia. Lahir di Surakarta pada 13 September 1942.

Sosoknya dikenal bukan hanya sebagai aktor senior dengan rentang karier panjang, tetapi juga sebagai seorang yang lantang bersuara atas nama keadilan dan kejujuran.

Wajahnya kerap muncul dalam film-film besar Indonesia sejak era 1970-an, dan karismanya yang khas membuatnya dikenang lintas generasi.

Pong memulai kariernya jauh dari dunia seni. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Guru Pendidikan Jasmani (SGPD) dan sempat aktif di lingkungan TNI AU.

Sebelum terjun ke dunia hiburan, ia mengajar sebagai guru olahraga. Namun jalan hidup membawanya ke dunia film, dan di situlah ia menemukan panggilan yang sejati.

Karier akting Pong dimulai pada 1966 melalui film Cheque AA. Dari situ, ia menanjak cepat. Ia tampil dalam sejumlah film legendaris seperti Bernafas dalam Lumpur (1970), Atheis (1974), Laila Majenun (1975), hingga film patriotik seperti Janur Kuning (1979).

Gaya aktingnya yang tegas dan tajam menjadikannya sosok yang disegani di dunia perfilman Indonesia.

Namun Pong tidak hanya berhenti sebagai aktor layar lebar. Ia juga melebarkan sayap ke dunia sinetron dan film layar kecil, bahkan tampil dalam film internasional The Raid 2: Berandal (2014), sebagai seorang komisaris.

Di usianya yang sudah senja, ia masih aktif bermain film dan serial web, memperlihatkan energi yang tak luntur oleh waktu.

Namun salah satu momen yang paling menghebohkan dari Pong terjadi di luar layar. Pada 30 Juli 2010, ia memanjat atap Gedung DPR RI dan menyemprotkan cat berisi tulisan "JUJUR", "ADIL", dan "TEGAS".

Aksinya ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap praktik korupsi dan kinerja DPR yang dinilainya sudah jauh dari nurani rakyat. Tindakannya menuai reaksi keras, namun juga banyak simpati.

Meski sempat diperiksa, Pong tidak ditahan. Ia mengaku tindakannya adalah bentuk jeritan nurani yang sudah tidak bisa lagi diungkapkan melalui media.

Di balik ketegasannya, Pong adalah pribadi yang hangat. Ia menikah dengan Raldiastari Harjatmo dan dikaruniai dua anak. Dalam beberapa wawancara, Pong terlihat menikmati masa tuanya dengan tetap aktif dan menjaga kebugaran.

Ia mengaku masih punya semangat untuk berkarya dan menyampaikan pesan-pesan moral melalui seni peran.

Kini, di usia lebih dari 80 tahun, Pong Harjatmo tetap menjadi sosok yang sulit dilupakan. Ia bukan hanya aktor hebat, tetapi juga seorang warga negara yang berani mengambil risiko demi nilai-nilai yang diyakininya.

Bagi dunia seni Indonesia, ia adalah ikon. Bagi publik yang mendambakan kejujuran, ia adalah suara hati yang nyaring di tengah kebisingan.

Perjalanan Pong Harjatmo adalah cerminan dari seorang seniman yang juga patriot, yang menggunakan suara dan tindakannya untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

Ia adalah bukti bahwa seni dan aktivisme bisa berjalan beriringan, menciptakan dampak yang lebih besar dalam masyarakat.

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : Berbagai Sumber

13/07/2025

📝 | Erie Susan – Diva Dangdut Multitalenta dari Lamongan

Di balik gemerlap industri musik dangdut Indonesia, nama Erie Susan muncul sebagai sosok yang tak hanya bertalenta, namun juga konsisten dalam berkarya selama lebih dari tiga dekade.

Lahir dengan nama lengkap Trifenna Herry Susanti di Ploso Geneng, Lamongan, Jawa Timur pada 30 Desember 1978, perjalanan kariernya bukanlah cerita instan menuju panggung popularitas, melainkan proses panjang yang ditempa oleh dedikasi dan cinta terhadap musik sejak usia belia.

Sejak kecil, Erie sudah menunjukkan bakat vokal yang mencolok. Ia sering menggantikan kakaknya saat latihan vokal di rumah. Tak hanya terjebak dalam satu genre, Erie kecil bahkan sempat mencicipi panggung musik rock dan menjuarai festival rock di tingkat provinsi Jawa Timur.

Namun, nasib membawanya ke jalur musik dangdut setelah memenangkan Festival Dangdut se-Jabotabek dan menerima langsung piala dari Rhoma Irama momen yang kemudian mengantarkannya merekam album perdananya Mabok Duit di usia yang masih sangat muda, kala masih duduk di bangku SMP pada awal 1990-an.

Album tersebut sukses besar, menjadikan nama Erie Susan melejit di industri musik nasional. Suaranya yang khas dan gaya bernyanyi yang dinamis segera menjadi ciri khas yang tak mudah dilupakan.

Lagu-lagunya seperti Jangan Buang Waktuku, Muara Kasih Bunda, serta kolaborasinya bersama sejumlah nama besar seperti Yus Yunus, Abiem Ngesti, Farid Harja, dan Beniqno semakin mempertegas posisinya sebagai salah satu diva dangdut paling disegani.

Tak hanya bersinar sebagai penyanyi solo, Erie juga sempat bergabung dalam proyek fenomenal “8 Diva Dangdut Indonesia”, sebuah kolaborasi yang menyatukan sejumlah nama legendaris dalam satu panggung megah.

Ia pun terus berinovasi, menjajal berbagai genre mulai dari dangdut klasik hingga sentuhan pop dan R&B, memperlihatkan fleksibilitas musikal yang tak dimiliki semua penyanyi dangdut.

Di luar dunia tarik suara, Erie Susan juga melebarkan sayapnya ke dunia seni peran. Ia tercatat tampil dalam beberapa FTV, salah satunya Aku Ingin Dicintai Suamiku yang tayang pada tahun 2016.

Ia juga beberapa kali tampil sebagai juri dalam ajang pencarian bakat dangdut di televisi nasional, membagikan ilmu dan pengalamannya kepada generasi penerus.

Meski terus aktif di industri hiburan, kehidupan pribadi Erie tergolong tertutup. Ia lebih memilih fokus pada karya dibanding sorotan media soal kehidupan asmara.

Namun, publik sempat mengetahui bahwa ia pernah menjalin hubungan selama lima tahun, meski tak banyak detail dibagikan.

Tahun 2023 menjadi salah satu momen penting dalam kariernya, ketika ia berhasil meraih penghargaan AMI Awards untuk kategori Artis Solo/Grup/Kolaborasi Melayu Terbaik lewat lagu Rindu Ayah.

Penghargaan ini menjadi bukti bahwa meski usianya sudah memasuki kepala empat, kualitas dan dedikasi Erie Susan dalam bermusik tidak luntur sedikit pun.

Kini, di usianya yang matang, Erie Susan tetap aktif merilis karya, termasuk sejumlah single baru seperti Mung Kowe yang dirilis dalam versi remix.

Ia juga hadir secara konsisten di berbagai platform digital dan media sosial, menjangkau generasi baru penikmat musik dangdut dengan penampilan yang tetap memesona.

Erie Susan bukan hanya penyanyi. Ia adalah simbol ketekunan, keberanian menjelajah genre, dan semangat untuk terus relevan di tengah perubahan zaman.

Hingga saat ini, Erie Suzan tetap aktif berkarya di industri hiburan. Ia bahkan mendirikan manajemen musik sendiri, membina sejumlah penyanyi baru yang siap mengikuti jejaknya.

Kisah Erie Suzan adalah potret nyata dari ketekunan dan semangat pantang menyerah. Dari panggung kecil di Lamongan hingga panggung megah ibu kota, ia membuktikan bahwa dengan bakat dan kerja keras, mimpi bisa menjadi kenyataan.

Dari Lamongan menuju panggung nasional, ia menjelma menjadi ikon dangdut yang tidak hanya dicintai karena suara dan parasnya, tetapi karena dedikasinya yang luar biasa terhadap dunia seni.

Discografi :
Mabok Duit (1993)
Nggak Janji Deh (1994)
Mabok Cinta (1995)
Janjimu (1996)
Khusus Malam Ini (1998)
Jangan Buang Waktuku (2006)
Perlakukan Aku dengan Indah (2019)

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : Berbagai Sumber

13/07/2025

📝 | Suara Bariton Sang Legendaris dari Era Kejayaan TVRI dengan Program Dunia Dalam Berita.

Di era ketika layar kaca masih didominasi oleh satu-satunya saluran televisi nasional, TVRI, satu suara mampu menembus batas-batas rumah dan menjadi penanda setiap malam.

Suara itu adalah milik Yasir Den Has, seorang jurnalis dan pembawa berita dengan timbre bariton yang tak terlupakan.

Namanya lekat dengan acara "Dunia Dalam Berita", menjadikannya ikon yang mewakili kepercayaan dan informasi bagi jutaan pasang mata di seluruh Indonesia.

Yasir memulai perjalanannya di dunia penyiaran jauh sebelum bergabung dengan TVRI. Pada tahun 1964, ia telah mengawali kariernya di Radio Angkatan Udara, bahkan turut serta dalam pendirian beberapa stasiun radio.

Bakatnya tak diragukan lagi, terbukti dari gelar Penyiar Teladan 1 Radio Swasta Niaga se-DKI yang pernah disabetnya. Ini adalah fondasi kuat yang kelak mengantarkannya ke puncak karier.

Tahun 1978 menjadi titik balik penting ketika Yasir Den Has resmi bergabung dengan TVRI. Sejak saat itu hingga masa pensiunnya di tahun 2000, ia mendedikasikan diri untuk menyampaikan berita.

Kemunculannya di "Dunia Dalam Berita", yang pertama kali tayang pada 22 Desember 1978, langsung mencuri perhatian. Namun, bukan hanya informasi yang ia sampaikan, melainkan juga karakter suaranya yang menjadi ciri khas tak terbantahkan.

Suara baritonnya yang mantap dan berwibawa bukan hanya mengisi ruang dengar, tetapi juga menanamkan rasa percaya pada setiap kalimat yang terucap.
Popularitas Yasir tak terbatas pada ruang berita.

Tak hanya di layar kaca, Yasir juga dikenal luas sebagai pengisi suara iklan radio dan televisi. Suaranya menghiasi ribuan iklan berbagai produk ternama seperti Cathay Pacific, Pan Am, dan merek-merek rokok yang sangat populer kala itu.

Tahun 1978 menjadi momen istimewa ketika ia dinobatkan sebagai Penyiar Teladan I untuk radio swasta se-DKI Jakarta.

Suaranya menjadi aset berharga di berbagai medium, termasuk menjadi pengisi suara (voice over) untuk lebih dari 60% iklan radio, televisi, dan bioskop pada masanya.

Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan pengakuan terhadap karakter vokal yang dimilikinya.

Di balik penampilannya yang selalu elegan dan santun saat bersiaran, Yasir adalah seorang pembelajar sejati. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menekankan pentingnya persiapan dan riset mendalam.

Ia bahkan tak segan memeriksa ensiklopedia demi memastikan pengucapan setiap istilah yang tidak biasa agar akurat dan benar.
Setelah purna tugas dari TVRI, Yasir Den Has tidak lantas berhenti berkarya.

Ia mendirikan stasiun radio sendiri, menunjukkan kecintaannya yang tak pernah padam terhadap dunia penyiaran.

Meskipun tak lagi aktif di layar kaca, ia masih menjaga interaksi melalui media sosial, bahkan sesekali membagikan momen bersama cucu-cucunya.

Kisah Yasir Den Has bukan hanya tentang seorang penyiar berita, melainkan juga tentang dedikasi, integritas, dan warisan suara yang akan selalu dikenang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah pertelevisian Indonesia.

Dedikasinya terhadap dunia penyiaran terlihat dari kebiasaannya mempersiapkan siaran secara teliti.

Ia belajar pengucapan bahasa asing melalui mendengarkan siaran BBC dan Deutsche Welle, membaca ensiklopedia, dan memperhatikan detail kecil dalam pembacaan naskah.

Bahkan dalam berpakaian, Yasir konsisten tampil rapi dengan jas, karena baginya penyiar bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun citra kepercayaan.

Setelah pensiun dari TVRI pada awal 2000-an, Yasir tidak lantas berhenti berkarya. Ia mendirikan dan mengelola stasiun SMS FM di Sukabumi dari tahun 2001 hingga 2007.

Tak hanya sebagai penyiar, ia juga berperan sebagai pendidik dan mentor bagi generasi baru broadcaster.

Dalam upaya menyebarkan pengetahuannya, ia menulis buku berjudul Kiat Sukses Menjadi Presenter Profesional, sebuah karya yang memadukan biografi dan panduan teknis, lengkap dengan pengantar dari sastrawan besar Taufik Ismail.

Kini, di usianya yang sudah memasuki masa senja, Yasir Den Has masih aktif di dunia yang telah membesarkannya.

Ia menjadi penyiar di Airmen Radio 107.9 FM Jakarta, membawakan program nostalgia dan berita udara yang tetap lekat dengan ciri khasnya: suara bariton penuh wibawa, bahasa yang santun, dan semangat profesionalisme yang tak lekang oleh waktu.

Ia bukan hanya membacakan berita, tetapi juga menyampaikan kepercayaan, inspirasi, dan nilai luhur yang membentuk wajah media Indonesia selama lebih dari lima dekade.

Yasir Den Has bukan sekadar penyiar, ia adalah institusi itu sendiri. Namanya melekat dalam sejarah penyiaran Indonesia sebagai simbol mutu, etika, dan dedikasi.

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : Berbagai Sumber

13/07/2025

📑 | Memori Daun Pisang : Pulang Sekolah Kehujanan Nostalgia Anak 90-an

Di era 90-an, sebelum gawai dan jas hujan instan jadi barang wajib, pulang sekolah di musim hujan bisa jadi petualangan penuh kenangan.

Salah satu momen yang paling melekat di benak anak-anak sekolah masa itu adalah pulang sekolah sambil menenteng tas basah dan berlari-lari kecil di bawah hujan, berteduh seadanya dan sering kali, daun pisang pun disulap menjadi payung dadakan.

Anak sekolah era 90-an, terutama yang tinggal di desa atau pinggiran kota, tak selalu dimanjakan kendaraan pribadi. Banyak yang berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

Ketika langit mulai mendung dan hujan turun tiba-tiba di jam pulang sekolah, tak ada pilihan lain selain tetap pulang meski diguyur air dari langit.

Seragam putih abu-abu atau putih biru yang sebelumnya rapi, dalam hitungan menit bisa berubah jadi basah kuyup.

Sepatu sekolah belepotan lumpur, rambut lepek, dan tas sekolah yang ikut basah menjadi pemandangan biasa. Tapi tak ada keluhan. Anak-anak 90-an tahu bagaimana menikmati momen itu.

Saat tak membawa jas hujan atau tak sempat berteduh, daun pisang adalah penyelamat utama. Daun lebar yang banyak tumbuh di pinggir jalan atau halaman rumah warga dijadikan "payung alami".

Tanpa ragu, anak-anak memotong daun pisang lalu menaruhnya di atas kepala—kadang satu, kadang dua lapis, tergantung derasnya hujan.

Lucunya, meski tetap basah, daun pisang memberi rasa aman tersendiri. Ada semacam kebanggaan tersendiri bisa pulang dengan "teknologi alami" buatan sendiri.

Bahkan, tak jarang momen ini jadi ajang tawa bersama, saat beberapa teman terlihat lucu dengan daun besar menutupi wajah hingga pundak.

Sesampainya di rumah, biasanya ibu sudah menyiapkan handuk dan segelas teh hangat atau susu coklat. Bau tanah basah, suara gemericik hujan, dan baju seragam yang digantung di belakang pintu menjadi pelengkap suasana.

Meski sederhana, kenangan itu kini terasa mewah dan sarat emosi. Bagi generasi 90-an, pulang sekolah kehujanan dengan daun pisang sebagai payung bukan hanya soal bertahan dari hujan.

Itu adalah bagian dari kisah masa kecil yang tak tergantikan saat hidup sederhana, tapi hati begitu hangat. Di tengah kemajuan zaman, kenangan ini tetap hidup dan membuat kita tersenyum saat mengingatnya.

Adakah yang punya kenangan, pulang sekolah kehujanan dan memakai daun pisang sebagai payung ?

📰 Sumber : Kenangan Penulis
📷 Foto : AI Generator

13/07/2025

📝 | HIM Damsyik : Apapun Perannya Semua Orang Pasti Akan Memanggil Datuk Maringgih.

Dalam benak banyak orang, nama HIM Damsyik seolah tak bisa dilepaskan dari sosok Datuk Maringgih tokoh antagonis yang ia perankan dengan penuh penghayatan dalam sinetron legendaris Siti Nurbaya pada awal 1990-an.

Namun di balik sorot mata tajam dan senyum penuh intrik yang ia suguhkan di layar kaca, HIM Damsyik adalah sosok yang ramah, santun, dan penuh dedikasi terhadap seni, khususnya tari ballroom.

Lahir di Teluk Betung, Lampung, pada 14 Maret 1929, Haji Incik Muhammad Damsyik menapaki kehidupannya dalam dunia seni dengan langkah-langkah tari yang elegan dan penuh disiplin.

Dunia dansa membentuk dirinya menjadi pribadi yang tegas, berkelas, dan memiliki nilai estetika tinggi.

Ketika orang lain seusianya mulai sibuk mencari arah, HIM Damsyik sudah menapakkan kakinya di panggung-panggung kompetisi tari, bahkan menjuarai kejuaraan dansa tingkat Asia di Bangkok.

Tak puas hanya menjadi penari lokal, ia menempuh pendidikan tari ballroom selama empat tahun di Rellum Dancing School, Belanda.

Sekembalinya ke Indonesia, HIM Damsyik tak hanya membuka kelas dansa tetapi juga menjadi ikon ballroom dance nasional.

Bahkan, julukan “Datuk Dansa” pun disematkan masyarakat karena kepiawaiannya memadukan teknik, gaya, dan pengaruh budaya dalam setiap gerakan tariannya.

Dunia akting mulai mengenalnya saat Wim Umboh mengajaknya bergabung dalam film Bertamasya (1959).

Meski awalnya hanya ditunjuk sebagai koreografer, HIM Damsyik akhirnya tampil di layar lebar sebagai aktor. Dunia film seolah menemukan sosok yang tepat dalam dirinya elegan, khas, dan karismatik.

Namun kariernya sempat vakum hingga awal 1980-an sebelum kembali aktif, terutama di sinetron dan film layar lebar.

Puncak ketenaran datang ketika ia memerankan tokoh antagonis Datuk Maringgih dalam adaptasi televisi Siti Nurbaya tahun 1991–1992.

Tokoh ini begitu melekat dan membuat nama HIM Damsyik seakan menjadi satu dengan karakter tersebut. Penonton mencintai dan membenci tokohnya sekaligus sebuah indikasi keberhasilan total seorang aktor.

Bahkan hingga puluhan tahun setelah sinetron itu berakhir, sebutan “Datuk Maringgih” masih disematkan orang kepadanya di jalan-jalan.

Di luar dunia akting, HIM Damsyik tetap aktif membina dunia dansa Indonesia. Ia dipercaya sebagai Ketua Umum Ikatan Olahraga Dansa Indonesia di bawah naungan KONI sejak 2002, dan tetap menjadi inspirasi bagi banyak generasi penari muda.

Sekolah-sekolah dansa yang ia kelola menjadi tempat bernaung bagi bibit-bibit baru seni gerak elegan ini.

Di rumah, HIM Damsyik adalah sosok ayah dan suami yang lembut. Ia menikah dengan Linda Damsyik, dan dikaruniai lima orang anak serta puluhan cucu.

Ia dikenal sebagai pribadi religius yang sangat menjaga nilai-nilai keluarga. Bahkan di masa-masa akhir hidupnya, ia berpesan kepada keluarganya agar menjauhi narkoba, seks bebas, dan menjaga nama baik keluarga.

Namun hidup manusia selalu memiliki batas. HIM Damsyik mengembuskan napas terakhirnya pada 3 Februari 2012 di RS Cinere, Depok, akibat komplikasi dari penyakit demam berdarah dan myelodysplastic syndrome (MDS).

Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Selatan, setelah disalatkan di Masjid Al-Falah, Cinere.

Meski jasadnya telah tiada, HIM Damsyik tetap hidup dalam kenangan publik Indonesia.

Lewat sosok Datuk Maringgih yang abadi di layar kaca dan melalui gerakan-gerakan dansa yang anggun, ia menjadi simbol seni yang teguh, disiplin, dan penuh pengabdian.

Dalam dunia seni peran dan dansa, HIM Damsyik bukan sekadar tokoh ia adalah legenda.

📰 Sumber : Wikipedia
📷 Foto : Berbagai Sumber

13/07/2025

📑 | Anak Era 90-an: Bangga dan Tidak Malu Membantu Orang Tua Berjualan dan Berdagang

Di antara hiruk pikuk kota yang mulai larut dalam hirarki zaman digital, terselip kenangan tentang anak-anak era 90-an yang tak pernah malu membantu orang tua mereka berjualan.

Di masa itu, sebelum media sosial menjadi panggung kebanggaan, kebanggaan sejati justru datang dari hal-hal sederhana: menggulung lengan baju dan ikut membantu di warung, di lapak sayur, atau mendorong gerobak di pagi buta.

Tak sedikit anak SD hingga SMA yang sepulang sekolah langsung berganti pakaian dan duduk di samping orang tuanya, entah di kios pasar, warung kelontong, atau bahkan berkeliling menjajakan jajanan.

Mereka membantu tanpa disuruh, bukan karena tuntutan ekonomi semata, tapi karena nilai-nilai kekeluargaan yang begitu lekat di dada. Membantu bukanlah beban, melainkan bagian dari cinta dan tanggung jawab.

Di era 90-an, anak-anak terbiasa melihat jerih payah orang tua sebagai sesuatu yang patut dihargai.

Mereka tidak merasa rendah diri ketika harus menyapu kios di pasar tradisional atau membantu mencatat utang pembeli di buku kecil bersampul karton.

Bahkan, banyak yang bangga jika hasil keringatnya bisa membantu membeli buku sekolah atau menambah uang jajan adik.

Budaya malu tampaknya belum punya tempat kala itu. Membantu orang tua berjualan bukanlah sesuatu yang dianggap “kampungan” atau “tidak keren.”

Justru sebaliknya, anak-anak yang aktif membantu dianggap rajin, mandiri, dan berbakti.

Mereka belajar menghitung, berkomunikasi, dan menghadapi pelanggan hal-hal yang kelak menjadi bekal kehidupan.

Kini, saat dunia berubah cepat dan kesibukan anak-anak didominasi oleh layar ponsel, kenangan itu menjadi sepotong cerita hangat yang kerap muncul saat reuni sekolah atau saat mendengar lagu-lagu lawas dari kaset pita.

Anak-anak era 90-an adalah generasi yang tumbuh dalam kesederhanaan, namun kaya nilai dan empati.

Mereka tidak hanya belajar di bangku sekolah, tapi juga di lapak dagangan orang tua mereka, di mana mereka mulai belajar bekerja keras demi masa depan.

📰 Sumber : Kenangan Penulis
📷 Foto : AI Generator

Address

Jalan Pemuda
Klaten
57413

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Info Seputar Klaten Bersinar posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share