15/12/2025
✨Ibu Alam yang Dikhianati✨
Di suatu daerah antah berantah, hiduplah sekelompok manusia yang rukun dan damai. Alam memberi mereka segalanya: tanah yang subur, air yang jernih, dan hutan yang setia menjaga kehidupan. Mereka bertani secukupnya, mengambil seperlunya, dan percaya bahwa alam adalah ibu—yang akan selalu melindungi selama dihormati.
Kedamaian itu terusik ketika seorang raja dari negeri jauh melihat tanah mereka. Kesuburannya membangkitkan kerakusan. Dalam benaknya, alam bukan lagi ibu, melainkan ladang bisnis dan mesin uang. Ia mengajak kawan-kawannya, menyusun rencana licik: bagaimana menguasai tanah itu tanpa terlihat merampasnya dari tangan rakyat.
“Lebih baik aku menjadi raja di sana,” pikirnya.
“Tapi bagaimana caranya?”
Ia pun menyusun sandiwara. Dengan joget sederhana, wajah penuh iba, dan kisah-kisah palsu tentang keberpihakan pada rakyat kecil, ia menanam simpati. Kata-katanya manis, janjinya panjang. Rakyat pun terbuai. Mereka memilihnya menjadi raja.
Sejak itu, segalanya berubah. Bisnis sang raja merambah hutan, mencabik tanah, mengeruk isi perut bumi. Atas nama pembangunan, alam dipaksa diam. Dengan mahkota di kepalanya, semua usaha itu terasa aman—tak tersentuh hukum, tak tergoyahkan suara rakyat.
Namun sang raja lupa satu hal: alam tidak pernah benar-benar diam.
Dedemit dan penunggu alam—penjaga keseimbangan yang lama disingkirkan—mulai terusik. Rumah mereka dihancurkan, tatanan dirusak. Dalam bisik kemarahan, mereka bersepakat.
“Kita harus bertindak,” kata mereka.
“Bukan untuk balas dendam, tapi untuk mengembalikan keseimbangan.”
Langit pun mendengar. Hujan turun tanpa henti. Sungai meluap, air bah menyapu ladang dan rumah. Tanah yang dulu menjadi pijakan berubah menjadi lumpur yang menelan segalanya. Rakyat kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan masa depan.
Dalam keputusasaan, mereka mendatangi istana. Memohon pada raja yang mereka pilih sendiri. Namun sang raja hanya menunduk dan meminta maaf—tanpa daya, tanpa solusi. Kekuasaan yang dulu gagah kini kosong makna.
Kerajaan-kerajaan tetangga mendengar kabar duka itu. Mereka ingin membantu, mengulurkan tangan. Tapi sang raja menolak. Ia takut topengnya runtuh. Takut kecurangannya terbongkar. Takut rakyat tahu bahwa mahkota itu berdiri di atas kebohongan.
Di tengah puing-puing, rakyat akhirnya sadar. Dengan air mata dan penyesalan, mereka mengakui kesalahan terbesar mereka: mempercayakan masa depan pada orang yang tak pernah menghormati alam. Mereka berjanji, pada diri sendiri dan pada ibu alam, untuk kembali merawat, menjaga, dan hidup selaras—jika masih diberi kesempatan.
✨Pesan Cerita
Pintar-pintarlah memilih raja yang akan memimpin kerajaan.
Karena ketika alam murka dan pemimpin abai,
penyesalan di ujung tak pernah berguna.