07/08/2025
Sebuah Harapan yang Padam
Senyum itu masih begitu segar dalam ingatan Serma Christian. Senyum bangga anaknya, Lucky, saat mengenakan seragam hijau loreng untuk pertama kalinya. Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, sebuah janji untuk mengabdi pada negara. Lucky, anak kedua dari empat bersaudara, telah resmi menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia, dilantik di Rindam IX Udayana, Singaraja.
Bagi keluarga Namo, keberhasilan Lucky adalah sebuah kebanggaan yang tak terkira. Ayahnya, seorang Serma yang juga mengabdi, menyaksikan dengan haru bagaimana putranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Lucky adalah harapan, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi desa mereka. Ia adalah bukti bahwa impian bisa diraih dengan kerja keras.
Juni 2025 menjadi babak baru bagi Lucky. Ia tergabung dalam Batalyon TP 834 Wakanga Mere. Misi pertamanya adalah membangun Markas Batalyon di sebuah desa terpencil di Nagekeo, sebuah tugas mulia yang Lucky sambut dengan semangat membara. Lucky dan 559 prajurit lainnya tiba di Nagekeo pada 1 Juli, menumpang kapal angkut milik TNI AD, ADRI-L1. Langit cerah seolah menyambut kedatangan mereka, menjanjikan awal yang baik untuk sebuah pengabdian.
Namun, harapan itu mulai pudar seiring waktu. Kabar dari Nagekeo tidak lagi tentang semangat membangun, melainkan tentang kekerasan. Kabar yang awalnya hanya bisik-bisik, kini menjadi kenyataan pahit yang menusuk hati. Lucky, pemuda 23 tahun yang penuh tawa, harus berjuang di ruang ICU RSUD Aeramo.
Christian dan Sepriana, sang ibu, tak henti-hentinya berdoa. Mereka tak peduli lagi apa yang terjadi, yang mereka inginkan hanyalah Lucky kembali pulih. Namun takdir berkata lain. Rabu, 6 Agustus 2025, telepon berdering, membawa kabar duka yang tak ingin mereka dengar. Lucky, sang anak kebanggaan, telah menghembuskan napas terakhirnya.
Jasad Lucky tiba di Kupang keesokan harinya, disambut isak tangis yang memilukan. Pesawat Wings Air mendarat, membawa pulang seorang pahlawan muda yang gugur bukan di medan perang, melainkan di tangan rekan dan seniornya sendiri. Jasad itu kini terbaring di Rumah Sakit Tentara Wira Sakti, menunggu visum yang diminta keluarga.
Di antara duka yang mendalam, ada amarah dan pertanyaan yang mengganjal. Mengapa seorang prajurit muda yang bersemangat harus mengalami nasib tragis seperti ini? Apakah sumpah untuk melindungi sesama kini telah pudar? Keluarga Namo hanya ingin satu hal: keadilan. Agar kematian Lucky tidak sia-sia dan agar tak ada lagi Lucky lainnya yang harus mengalami nasib serupa.