
30/07/2025
Bab 1: Anak Pembawa Sial?
"Keluarga Arya sungguh sial menanggung kutukan sepertimu! Andai kata dulu aku tahu, sudah kukubur kamu hidup-hidup di lubang jamban belakang!"
"Aku yang bersusah payah mencarikanmu makan dan kain pembungkus tubuh, tapi kamu malah mencelakakan putraku—tangannya patah, tak bisa ikut Ujian Candrakusuma. Kalau tidak, dia pasti sudah jadi cendekiawan istana! Sekarang malah putranya kamu celakakan hingga tercebur ke sungai!"
"Dasar bocah jahat! kamu hanya ingin membinasakan seluruh keluarga ini! Andai aku jadi kamu, sudah kuhantamkan kepalaku ke batu dan mati. Dasar tak tahu malu masih hidup!"
---
Desa Sindang Paraga, Kadipaten Madawikrama, Wilayah Kerajaan Tarumaningrat.
Di pelataran rumah keluarga Arya yang berukuran besar namun mulai reyot, seorang perempuan tua—Nyai Mertasih Kajuara, mengumpat kasar sambil menggendong cucu lelakinya yang sedang sakit keras.
Orang yang ia maki dengan begitu kejam bukanlah seorang penjahat. Ia hanyalah seorang gadis kecil berusia lima tahun—Naya, anak angkat yang sudah dua tahun tinggal di rumah itu.
Gadis itu kini terbaring lemas di atas tumpukan jerami di gudang kayu, wajahnya memerah karena demam tinggi. Mata kecilnya tertutup, napasnya berat dan nyaris tak terdengar.
Di luar halaman, para warga dusun telah berkumpul. Suara Nyai Mertasih yang meledak-ledak membuat semua keluar dari rumah, berdiri, menguping, dan berbisik-bisik.
"Katanya anak itu pembawa sial," bisik Mbok Rini, penenun desa. "Tahun lalu, ayah angkatnya menampar dia. Besoknya, lengan ayah angkatnya itu patah, tidak jadi ikut ujian ke istana Tarumaningrat. Terakhir kali anak mereka si Jabang ikut main dan memukul Naya, tiba-tiba tubuhnya merah gatal dan menangis semalaman."
"Dan sekarang Jabang tercebur ke kali... katanya, batu tempat dia injak runtuh begitu saja. Padahal itu tempat yang kokoh, aku juga sering cuci kain di sana," timpal seseorang yang berdiri sambil memeluk lengan.
Namun tidak semua warga setuju.
Nyai Lastri, yang selalu berselisih dengan Nyai Mertasih, berkata sambil mendecak pelan, "Dulu waktu keluarga Arya belum punya anak, hidup mereka malang dan tanahnya habis dijual demi ikut ujian Candrakusuma. Tapi sejak Naya datang, Bimo Arya malah menemukan akar pohon sekar langka di hutan, dijual mahal. Setelah itu ia lulus ujian dan istrinya hamil si Jabang. Kukira, anak itu justru pembawa rejeki."
Warga yang mendengar mulai berpikir ulang. Apakah benar Naya membawa sial? Atau justru cucu kandung kesayangan mereka, Jabang, yang menjadi awal dari kesialan keluarga Arya?
---
Di tengah keramaian itu, seorang perempuan muda menyibak kerumunan. Ia adalah Dewi Laraswati Arya, putri sulung keluarga Arya, yang kini tinggal di dusun tetangga.
Ia mendengar kabar bahwa Naya sakit parah, maka ia datang membawa dua butir telur ayam kampung—makanan mewah di masa paceklik.
Namun saat memasuki halaman rumah, bukan kesedihan yang ia lihat, melainkan suara lengkingan manja dari Jabang yang sedang mengamuk.
"Kenapa Naya tak bangun? Aku ingin dia menyalak seperti anjing! Jangan berpura-pura mati!"
Nyai Mertasih tergopoh-gopoh membujuk cucunya, "Jabang sayang, Naya sedang sakit, dia tidak bisa main. Kalau kamu mau, biar Nenek yang menyalak seperti anjing. Guk guk guk!"
"Aku tak mau nenek jelek, aku mau Naya! Ibu bilang nanti dia akan jadi pelayanku dan tidur sekamar denganku!"
Dewi Laraswati tak tahan lagi.
"Bu! Jabang baru empat tahun! Bagaimana bisa berkata seperti itu? Naya memang anak angkat, tapi dia tetap kakaknya. Kenapa ibu malah bicara soal pelayan dan... selir? Ini dusun, bukan istana!"
Nyai Mertasih membalas tajam, "Laras, adikmu Bimo, akan jadi pejabat kerajaan! Kalau punya pelayan, atau selir sekalipun, itu wajar!"
Namun saat melihat telur di tangan Dewi Laraswati, matanya berbinar. Suaranya berubah manis, "Eh, kamu bawa telur? Untuk Jabang, kan? Kasihan cucuku belum makan pagi. Ayo sini, Ibu mau rebuskan untuknya."
Tapi Laraswati menahan tangan ibu tirinya. Ia menggenggam telurnya erat-erat.
"Aku bawa ini bukan untuk Jabang. Aku bawa untuk Naya. Dia sedang sakit."
Wajah Nyai Mertasih langsung masam, tetapi ia tetap memaksa manis, "Ah, bocah itu sudah sekarat. Buang-buang telur saja. Lebih baik kubuatkan bubur telur untuk Jabang."
---
Dewi Laraswati memegang dua butir telur erat-erat di tangannya, tak sudi menyerahkannya kepada ibu tirinya, Mertasih.
Melihat upayanya tak membuahkan hasil, Mertasih tak lagi bisa menahan amarah. Ia menunjuk hidung Dewi Laraswati dan memakinya, “Dasar berhati hitam! kamu lebih memikirkan keponakan angkatmu daripada keponakan kandung sendiri. Anak haram sepertimu memang tak tahu diri!”
Dewi Laraswati sudah biasa dengan caci maki itu sejak kecil. Ia menunduk, pura-pura tak mendengar, dan tetap menggenggam erat telurnya.
Tapi Jabang, bocah empat tahun yang belum mengerti urusan orang dewasa, menatap rakus telur-telur di tangan bibinya. Ia menarik-narik ujung baju neneknya dan mulai merengek, “Aku mau makan telur, sup telur!”
Alih-alih menghentikannya, Mertasih justru menambahkan api ke dalam bara. “Jabang sayang, nenek tak bisa berbuat apa-apa. Bibimu ini pelit, tak peduli padamu. Dia lebih sayang pada bocah sial itu!”
Tak menggubris hinaan itu, Dewi Laraswati berbalik dan bergegas menuju gudang kayu, tempat Naya berbaring.
Mertasih ingin mengejarnya, tapi Jabang memegangi bajunya sambil berguling-guling di tanah, terus meronta dan menjerit minta telur.
Dalam hatinya, Nyai Mertasih mengumpat. Semua ini gara-gara Dewi Laraswati yang membawa telur, tapi tak mau membaginya. Akibatnya, Jabang makin menjadi-jadi.
Tangisan cucunya membuat telinga Nyai Mertasih nyaris pecah. Akhirnya, ia menyerah. “Baiklah, nenek buatkan sup telur. Tapi satu saja ya, sisa telur untuk dijual!”
Ia menggendong Jabang ke dapur, mengambil sebutir telur dari lemari, menaburkan garam seadanya, lalu menyiramnya dengan air mendidih dari ketel.
Mata Jabang tak lepas dari lemari tempat telur disimpan dan ketel di atas kompor. Begitu sup telur siap, ia langsung menyantapnya dengan lahap.
Sementara itu, di gudang gelap dan lembap, Naya, bocah lima tahun, terbaring lemah di atas tumpukan jerami. Pipinya memerah karena demam. Ia mendengar langkah masuk dan membuka matanya dengan susah payah.
“Bibi...” gumamnya lirih.
Dewi Laraswati menahan tangis, tapi tak mampu. Air matanya akhirnyavmengalir deras. Ia mengangkat tubuh kecil itu dan berbisik, “Naya, kamu sakit, ya? Bibi akan bawa kamu ke tabib. Tahan sebentar, ya.”
Baru saja selesai membuat sup, Nyai Mertasih menuju gudang, tak menyadari bahwa Jabang diam-diam mencuri sebutir telur lagi. Jabang mengendap-endap ke dapur, ingin membuat satu mangkuk sup telur lagi untuk dirinya.
Melihat Dewi Laras keluar menggendong Naya, Nyai Mertasih menahan langkahnya. “Kamu mau bawa dia ke mana?”
Tanpa menoleh, Dewi Laraswati menjawab, “Ibu tidak mau membawanya ke tabib, jadi aku yang akan membawanya!”
Mertasih naik pitam. “Orang yang sial dan menyusahkan memang lebih baik mati! Tak perlu ke tabib!”
Dewi Laraswati tetap melangkah keluar.
Mertasih berusaha mengejar, tapi tersandung di ambang pintu dan jatuh, kepalanya menghantam tanah. Ia menjerit kesakitan.
Ia bangkit, namun jeritan lain yang lebih menyayat terdengar dari dapur.
Jabang—yang diam-diam memasak telur sendiri—tanpa sengaja menjatuhkan ketel air panas ke tubuhnya. Ia berguling-guling di lantai sambil menjerit, “Panas! Sakit!”
***
Meskipun Dewi Laras mendengar keributan yang dibuat oleh Nyai Mertasih dan Jabang di belakangnya, ia menahan diri untuk tidak berbalik.
Namun, Nyai Marini, seorang wanita tua yang kerap menguping peristiwa di dusun kecil itu, memekik sambil menunjuk dari balik pagar.
"Laras! Ibu tirimu jatuh, keponakanmu tersiram air mendidih, dan Adik serta iparmu belum pulang! Jangan pergi! Kembalilah segera dan lihat keadaan mereka!"
Dewi Laras hanya menunduk, langkahnya tetap mantap menuju pintu luar halaman keluarga itu.
Sejak lama, hubungan darah dan hukum dalam keluarganya penuh ganjalan. Ia tak peduli pada Nyai Mertasih, apalagi pada Jabang, anak dari adiknya yang selalu licik.
Namun, dalam tatanan negeri Tarumaningrat, bakti adalah tiang utama rumah tangga, dan kehormatan suami ditimbang dari bagaimana seorang istri menjunjung tata susila. Suaminya akan mengikuti ujian Candrakusuma dalam waktu dekat—dan semua mata akan tertuju pada keluhuran akhlak keluarganya.
Jika ia menolak mengurus dua orang yang terluka, dan kabar itu tersebar, nama suaminya bisa tercemar.
Namun jika ia mengurusnya, ia yang harus membayar tabib keliling, sementara keluarga adiknya takkan sepeser pun mengganti.
Hatinya gundah, pikirannya berputar-putar bagaikan kipas angin.
Baru hendak memutuskan, suara rengekan kecil menusuk hatinya.
Naya, bocah dalam pelukannya, mengerang, wajahnya merah padam karena demam.
"Panas... sakit..." tangisnya lirih.
Jantung Dewi Laras mencelos. Ia tahu, bila panas itu menyusup lebih dalam, sang bocah bisa kehilangan kesadaran—atau lebih buruk. Tanpa pikir panjang, ia mempercepat langkah, bersiap melewati pintu luar halaman.
Namun langkahnya terhenti mendadak.
Dua sosok muncul di persimpangan halaman.
Itu adik lelakinya, Bimo Arya, dan sang istri, Ratmi Sukesti.
Bagaikan payung jatuh dari langit saat hujan deras, kehadiran mereka tampak tepat waktu.
Dewi Laras segera membuka suara, "Ibu jatuh, Jabang terbakar air panas. Kalian masuklah, periksa keadaan mereka."
Ratmi Sukesti, yang mendengar bahwa anaknya terluka, menjerit panik dan segera lari ke dalam tanpa menoleh.
Bimo Arya, sebaliknya, diam mematung. Tatapannya tajam menusuk wajah Naya dalam pelukan sang kakak. Ia melangkah mendekat, lalu mengulurkan tangan dan bertanya dengan dingin,
"Kamu mau bawa Naya ke mana?"
Dewi Laras menarik napas panjang. Kepada Nyai Mertasih, ia harus menunduk karena alasan usia dan adat. Namun kepada saudara laki-lakinya yang kasar dan dingin ini, ia tak ingin menahan lidah.
"Apa maksudmu?" bentaknya. "Anakmu ini sedang demam tinggi. Tentu saja aku membawanya ke klinik tabib. Jangan pedulikan aku. Apa kamu ingin melihat darah dagingmu melepuh seperti daging panggang dulu baru bertindak?"
Bimo Arya tampak terkejut oleh ledakan emosi itu. Biasanya kakaknya bersikap dingin dan menghindar. Tapi kali ini, kemarahan Dewi Laras menyalak seperti nyala obor di tengah malam.
Sayangnya, terlalu banyak rakyat desa yang menyaksikan keributan itu. Sebagai seorang jurutulis istana yang kerap membatidakan gelar keilmuannya, Bimo Arya merasa tak pantas meladeni perdebatan dengan seorang perempuan di depan umum.
Dewi Laras, yang dikenal sebagai putri yang teguh pada adab dan welas asih, berdiri di tengah jalan sambil menunjuk dengan tegas, memarahi, “Bimo, apakah hatimu telah membatu? Ibumu terluka dan kamu bahkan tak menggubris! Kamu menyebut dirimu cendekiawan istana!”
Ucapannya tak bisa disepelekan. Nada dan isi kata-katanya mengguncang wibawa Bimo Arya. Ia memelototi Dewi Laras dengan marah, lalu berjalan masuk dengan langkah cepat dan wajah yang diliputi amarah serta malu.
Setelah kegaduhan itu mereda, Dewi Laras menghela napas panjang. Ia lalu bergegas menuju pintu gerbang desa sambil menggendong Naya, tepat saat Paman Lembu melintas dengan kereta lembunya.
“Paman Lembu! Tunggu aku! Aku hendak ke kota!” teriak Dewi Laras sambil melambaikan tangan.
Kereta itu berhenti. Meski penuh sesak dan tanpa ruang tersisa, para ibu dan gadis desa yang berada di atas kereta melihatnya menggendong anak kecil yang tampak pucat dan lesu. Mereka akhirnya bergeser, meski sempit, memberi ruang agar Laras bisa naik.
Setelah memberikan sekeping kepeng tembaga kepada Paman Lembu, kereta itu pun perlahan berjalan lagi.
Meskipun ia dipanggil Paman Lembu, nama aslinya bukanlah itu. Ia satu-satunya orang dari desa sekitar yang memiliki kereta lembu dan setiap hari mengangkut orang ke pasar kota, itulah sebabnya semua memanggilnya begitu.
Beberapa desa yang dilewati saling berdekatan. Seorang ibu tua di kereta yang mengenali wajah Dewi Laras bertanya, “Bukankah kamu menantu dari Keluarga Atmaja? Suamiku sepupu jauh ibumu. Kamu bisa memanggilku Bibi. Sungguh beruntung engkau bisa menyusul kereta ini. Jika tadi tidak sempat tertunda, kami pasti sudah jauh.”
Dewi Laras segera membungkuk sopan. “Terima kasih, Bibi. Ini semua karena kemurahan hati kalian yang bersedia berbagi tempat. Jika tidak, aku sungguh tak tahu harus berbuat apa terhadap anak ini.”
Namun dalam hatinya, ia tak merasa seberuntung itu. Ia hanya berharap Naya, gadis kecil dalam gendongannya, bisa segera diselamatkan dari derita demamnya.
Bibi itu melirik pada Naya, memperhatikan wajahnya yang kemerahan. Ia menyentuh dahi si kecil dan menggeleng cemas. “Panas sekali. Jangan-jangan anak ini sudah mulai mengigau. Apakah dia putrimu? Setahuku keluarga kalian hanya memiliki anak laki-laki. Dari mana anak ini berasal?”
Dewi Laras menjelaskan dengan tenang, “Ia keponakanku, anak dari adik tiriku. Ia demam tinggi sejak pagi. Aku tak tega dan memutuskan membawanya ke kota.”
Bibi itu tampak terkejut. Di kalangan rakyat biasa, apalagi yang miskin, anak laki-laki pun kerap tak dibawa berobat. Jangankan anak perempuan, apalagi hanya keponakan dari jalur keluarga ibu."
“Anak ini benar-benar beruntung memiliki bibi sepertimu,” gumam si Bibi, walau dalam hatinya ia merasa Dewi Laras telah terlalu berpihak pada keluarga ibunya.
Meskipun hanya seorang perempuan desa yang tak mengenyam aksara, Dewi Laras paham betul betapa tajamnya tajuk masyarakat. Ia melanjutkan dengan suara mantap, “Jika benar anak ini dirundung kutukan, mengapa ia masih sanggup menyelamatkan adiknya? Padahal, saat Jabang tercebur ke sungai karena ulahnya sendiri, anak ini—Naya—dengan tubuh sekecil ini, terjun tanpa ragu. Ia seret adiknya ke tepi meski dia sendiri hampir tak sadarkan diri. Aku pun tak tahu kekuatan apa yang menggerakkannya.”
“Namun orang tuanya? Mereka bahkan tak perdulu, tak mengindahkan. Dan kini, anak sebaik ini malah hendak dibakar hidup-hidup karena demam. Hati siapa yang tak terkoyak? Aku tak bisa diam. Aku ingin membawanya ke Kota agar dapat pengobatan yang layak.”
Nada suaranya mulai bergetar. Luka di dada Dewi Laras tak bisa ditahan, apalagi saat mengingat bagaimana Nyai Mertasih—ibu tiri yang mengaku suci—menyudutkan Naya dengan tuduhan sebagai pembawa sial.
Bibi yang duduk di samping, menyeka peluh dan air mata, lalu menepuk tangan Dewi Laras pelan, “Aduh, dari yang kamu ceritakan, anak ini sungguh berhati emas. Tapi Adik dan iparmu itu… begitu kejam.”
Dewi Laras mengangguk pelan, meski hatinya bagai diremas. Ia tahu benar, dengan kata-katanya barusan, ia sudah menampar reputasi adiknya sendiri di hadapan orang sekampung. Tapi ia rela. Ia sengaja. Karena kini ia tahu betul, tak ada tempat bagi keadilan kecuali suara lantang yang menyingkap kemunafikan.
Bayangan wajah pucat Naya—terbaring di lantai gudang kayu tua, dengan napas tersengal dan tubuh demam tinggi—tak pernah lepas dari matanya. Ia jadi teringat pada dirinya sendiri dulu, kala dipinggirkan dan ditinggal sakit oleh ibu tirinya, Nyai Mertasih, menunggu maut dalam sepi.
Ia peluk Naya lebih erat, seakan ingin menyampaikan bahwa kini dunia tak lagi menutup mata.
Lalu, sang bibi menoleh padanya, seolah baru teringat sesuatu. “Ngomong-ngomong, bukankah Adikmu itu Bimo Arya? Yang dulu memetik akar Sekar di hutan utara, di lereng Gunung?”
Begitu pertanyaan itu terucap, semua penumpang dalam pedati kayu yang mereka tumpangi sontak menoleh. Bahkan Paman Lembu, kusir tua yang dikenal pendiam, tiba-tiba menajamkan telinga.
Beberapa tahun lalu, kisah Bimo Arya menemukan akar jamu Sekar seratus tahun di Hutan Larangan, Gunung Munjani menggemparkan banyak wilayah.
Para warga dari desa-desa sekitarnya berbondong-bondong menuju gunung untuk mencoba peruntungan, namun semuanya pulang dengan tangan kosong.
Setelah melihat Dewi Laras mengangguk pelan, bibi itu menjadi makin bersemangat. Ia berkata lantang, "Konon, ia memakai uang dari penjualan Akar Sekar itu untuk membangun rumah besar berarsitektur Majapahit. Kalau begitu, tak mungkin ia kekurangan uang, kan? Kenapa tak mau menyelamatkan putrinya? Kalau aku yang punya anak seperti Naya, sudah kupeluk dan kusembah-sembah tiap hari. Mana mungkin tega dibiarkan begitu saja?"
"Betul! Mana layak orang seperti itu bisa lolos ujian Kerajaan?"
Warga lain menyambung dengan nada sinis.
Dewi Laras hanya tersenyum getir, memilih waktu yang tepat untuk angkat suara. Sejak awal, ia tidak pernah menyebut Naya sebagai anak angkat. Dengan suara perlahan namun tajam, ia berkata, "Saat mereka kaya, orang tuanya cuma mementingkan perut sendiri. Bagaimana mungkin mereka rela mengeluarkan sekeping emas demi anaknya?"
Kata-kata itu membuat kerumunan langsung menunjukkan rasa jijik. Bagi mereka, jika orang itu memang miskin, mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau kaya, siapa yang bisa menerima melihat anak sendiri ditelantarkan?
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan yang memecah suasana, "Paman Lembu! Paman Lembu!"
Semua menoleh ke arah pintu gerbang desa Sindang Paraga. Samar-samar terlihat tiga sosok dewasa menggendong seorang anak kecil. Mereka terlalu jauh untuk dikenali, namun jelas mereka datang berlari-lari.
Paman Lembu, yang tengah bersiap menggerakkan kereta kerbau menuju kota pelabuhan, menoleh ragu lalu berkata kepada Dewi Laras, "Banyak juga dari dusunmu yang hendak ke kota hari ini."
Dewi Laras mengenali suara itu. Ia tahu mereka adalah keluarga dari pihak adiknya. Wajahnya seketika berubah cemas, mencoba memikirkan cara untuk menghentikan mereka sebelum terlambat.
Namun orang-orang di dalam kereta lembu sudah lebih dulu bereaksi.
"Paman Lembu, apalagi? Kenapa orang lain masih dibawa? Bukankah kami sudah bayar tempat duduk?"
Saat Dewi Laras naik ke kereta tadi, masih ada ruang kosong untuk duduk. Tapi kini, gerobak benar-benar sesak.
Paman Lembu tetap bersikap jujur dan lembut. "Biar saja, kalau kalian saling mengerti, tempatnya pasti cukup."
Namun salah satu perempuan galak dari Dusun Sebrang berdiri sambil menunjuk-nunjuk, "Peras saja kami semua! Kalau kamu bawa orang lagi, kembalikan uangku! Aku turun saja sekarang!"
"Betul itu! Kalau satu orang tak apa, tapi ini tiga atau empat! Nanti kalau jatuh dan luka, siapa tanggung jawab? Kembalikan uangku juga!" sambung yang lain.
Keributan pun pecah. Paman Lembu hanya bisa menunduk lelah, lalu berkata dengan pasrah, "Baik, baik... tak kutambah lagi penumpangnya."
Dengan cambuk kecilnya, ia menghela lembu dan melajukan gerobaknya menuju kota pesisir tanpa menoleh lagi ke arah keluarga Arya yang masih berdiri terpaku di jalan masuk.
Tiga orang dewasa dan satu anak kecil awalnya tampak berseri-seri ketika melihat sebuah gerobak lembu berhenti di kejauhan.
Perjalanan dari Desa Sindang Paraga menuju kota terdekat biasanya memakan waktu satu jam penuh, tetapi dengan menaiki gerobak lembu, waktu itu dapat dipangkas menjadi setengahnya.
Bagi orang dewasa, perjalanan itu masih dapat ditanggung, namun tidak demikian bagi si kecil Jabang, yang terus mengaduh, “Sakit!”—dan tangisannya membuat hati orang tuanya remuk redam.
Mereka segera bergegas ke arah gerobak itu, sambil menggendong Jabang, berharap dapat segera menaiki gerobak sederhana itu. Namun, sebelum langkah mereka mencapai dua tombak, gerobak lembu itu justru mulai bergerak kembali.
Kecemasan pun memuncak dalam dada mereka. Bimo Arya, yang biasanya menjaga tata krama seorang cendekiawan, kali ini kehilangan kendali. Ia berlari sambil berseru keras, “Paman Lembu, tunggu sebentar! Kami belum naik!”
Namun, Paman Lembu seolah tidak mendengar. Ia justru mencambuk lembu-lembunya dengan lebih keras, didesak oleh suara-suara di belakangnya yang menginginkan percepatan.
Bimo Arya terus mengejar sejauh yang ia mampu. Namun, melihat gerobak itu semakin menjauh, amarah pun membuncah dalam dadanya. Ia menendang seonggok rumput liar di pinggir jalan, melepaskan frustrasinya.
Namun, tak disangka.
“Ah!”
Ia melompat sambil menggenggam kaki kanannya. Ternyata yang ia tendang bukan hanya rumput, melainkan batu keras yang tersembunyi di dalamnya. Ibu jari kakinya langsung terasa nyeri seperti ditusuk paku panas.
Ratmi Sukesti, yang memanggul Jabang dengan satu tangan dan menopang Nyai Mertasih dengan tangan lainnya, sudah kelelahan. Ia berharap suaminya akan segera membantu, tetapi malah mendapati Bimo Arya sedang memegangi kakinya, berdiri dengan satu kaki seperti ayam jantan bertapa, wajahnya berkerut menahan nyeri.
Gerobak lembu telah menjauh. Tak ada pilihan lain bagi keluarga itu selain saling menopang dan berjalan perlahan-lahan menuju kota.
Sementara itu, dahi Nyai Mertasih yang masih terasa nyeri karena insiden sebelumnya membuatnya murung. Mengenang segala kemalangan yang terjadi hari itu, ia menyalahkan semuanya pada Naya. Dengan suara yang sarat kemarahan ia berkata, “Ini karena kalian menampung anak yang membawa kutukan itu! Sudahkah kalian mencari orang untuk mengambil anak itu?”
Bimo Arya memilih diam. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal-hal kotor seperti itu secara terbuka.
Ratmi Sukesti pun menjawab dengan suara hati-hati, “Ibu, suamiku dan aku telah mencari tahu. Putra bungsu Tuan Purwa meninggal kemarin. Mereka sedang mencari seorang gadis muda untuk pernikahan arwah. Namun, beliau menghendaki gadis yang rupawan, agar tidak mempermalukan putranya di alam baka.”
Nyai Mertasih mendengus, “Itu tawaran yang baik bagi gadis sial itu. Menjadi menantu keluarga Tuan Purwa adalah keberuntungan. Tapi, berapa mereka berani membayar?”
“Lima Kepeng perak,” jawab Ratmi Sukesti lirih.
Wajah Nyai Mertasih langsung berubah muram. Ia membentak, “Hanya itu? Kita sudah membesarkan anak itu dengan segala susah payah! Kamu bahkan tidak bisa menawar? Aku tahu kamu memang tidak becus. Bertahun-tahun hanya melahirkan satu bayi, dan kini mengurus satu perkara pun tak mampu!”
Meskipun Ratmi Sukesti adalah keponakan Nyai Mertasih, ia tidak memiliki kedudukan tinggi dalam keluarga. Ia menahan amarah yang membuncah dan mencoba menjelaskan, “Tahun ini, musim kering melanda. Harga melambung. Hanya Desa Sindang Paraga yang masih bertahan, karena dilindungi kekayaan alam Gunung Munjani. Di luar sana, rakyat kelaparan. Anak-anak dijual murah. Yang masih bernyawa saja sulit dijual mahal—apalagi yang sudah hampir mati.”
Nyai Mertasih tetap saja mendengus tak puas, sambil bergumam mencela dan menyalahkan Ratmi Sukesti atas segalanya.
Ratmi menoleh sejenak, menatap suaminya dengan harap, namun Bimo Arya hanya terus tertatih maju, seolah tak mendengar apa pun yang dikatakannya, atau pura-pura tidak mendengar demi menghindari beban lebih.
Gerobak lembu terus melaju membelah jalan tanah desa yang berdebu, menuruni lereng dan melintasi pematang sawah, hingga akhirnya, setelah setengah jam berlalu, roda-roda kayunya berhenti di pelataran kota kecil.
Sebelum turun dari gerobak, Dewi Laras, seperti kebiasaannya, mengulurkan tangan ke dahi Naya. Sentuhan itu membuatnya tertegun sejenak. Ia menoleh, lalu menggamit lengan baju bibi di samping dengan cemas.
“Bibi,” ucapnya dengan suara lirih, “tolong bantu periksa dahinya. Apakah demamnya benar benar sudah menurun?”
Sang bibi, yang memang telah menyentuh dahi Naya sebelumnya, segera mengulurkan tangan. Begitu tangannya menyentuh kulit kening sang anak, ia terperanjat dan berseru dengan nada heran, “Laras, anak ini benar-benar luar biasa. Demamnya mereda begitu kita sampai di kota. Ini sungguh menghemat pengeluaranmu. Coba bayangkan kalau sampai harus ke klinik... entah berapa uang yang akan habis.
***
Dewi Laras menghela napas lega, meski wajahnya masih dihiasi kecemasan yang tak sirna. Ia tahu, biaya ke klinik bukanlah perkara ringan baginya, tetapi ia tetap bersikeras, “Dia jatuh ke air kemarin dan demam sepanjang malam. Sebaiknya aku membawanya ke klinik. Kalau tidak, aku tidak akan tenang.”
Pada saat itulah, Naya terbangun. Mata bundarnya yang besar dan basah terbuka perlahan, menatap Laras dengan lembut. Dengan suara lirih, ia bertanya, “Bibi... apakah Naya sedang sekarat?”
Dada Dewi Laras terasa sesak, dan hidungnya memanas. Melihat wajah kecil yang pucat dan tubuh ringkih yang terbaring tak berdaya, ia tak mampu menahan air mata yang menggenang di pelupuknya.
Meskipun tubuhnya lemah, Naya mengangkat tangannya dengan susah payah, lalu mengusap air mata yang jatuh di p**i Laras. Ia tersenyum tipis, seolah ingin menghibur meski dirinya sendiri sedang menahan derita.
“Jangan menangis, Bibi...” katanya lembut. “Daya bilang hantu itu kuat. Kalau Naya mati dan jadi hantu, Naya akan cari sepupu keduaku... Naya akan suruh dia pulang.”
Sepatah kalimat itu membuat jantung Dewi Laras bergetar. Putra keduanya, yang telah lama hilang karena penculikan, masih menjadi luka terbuka dalam hatinya.
Dan seorang anak sekecil Naya, dalam keadaan terbaring sakit, masih memikirkan putra yang belum diketahui nasibnya, membuat batinnya remuk-redam.
Dewi Laras memeluk anak itu erat. “Jangan bicara begitu, Naya. Naya tidak akan mati. Setelah demam turun, kamu akan sehat lagi. Bibi tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
Tanpa membuang waktu, Dewi Laras berpamitan kepada bibinya, lalu dengan cepat membopong Naya menuju klinik satu-satunya di kota kecil itu.
Tempat itu bukanlah tempat asing baginya. Selama bertahun-tahun, ia telah bolak-balik ke sana, terutama saat salah satu dari ketiga putranya sakit.
Klinik kecil itu dijalankan oleh seorang tabib tua yang dikenal luas karena ketulusan dan dedikasi dalam merawat pasien, bukan semata-mata demi bayaran.
Sesampainya di sana, sang tabib memeriksa nadi Naya dengan teliti, lalu menggeleng pelan sambil berkata, “Tidak ada yang serius. Anak ini hanya lemah dan kekurangan gizi. Cukup beri ia makanan yang bernutrisi, tak perlu obat.”
Namun, kekhawatiran di wajah Dewi Laras belum surut. Ia bertanya penuh cemas, “Tapi dia demam semalaman, tabib. Apa tidak apa-apa jika tidak diberi obat? Saya khawatir demamnya akan membuat dia linglung.”
Sang tabib memandang Naya dalam diam. Mata anak itu masih berbinar, meski tubuhnya lemah. Untuk menenangkannya, tabib tua itu mengambil sehelai jerami yang dibentuk menyerupai belalang dari meja dekat jendela. Ia mengayunkannya di hadapan Naya, lalu bertanya dengan nada ramah, “Gadis kecil, kamu mau belalang ini?”
Mata Naya yang bening seperti buah almond memancarkan keinginan, namun ia tetap menggeleng pelan dan berkata dengan suara lembut khas anak kecil, “Ini milik Kakek tabib. Naya tidak boleh memilikinya.”
Tabib tua itu tertawa senang. Ia menyelipkan belalang jerami ke telapak tangan mungil Naya dan berkata, “Kamu anak yang luar biasa. Belalang ini untukmu.”
Naya memandangi belalang jerami itu dengan bingung, seolah tak yakin harus berbuat apa. Ia menatap Dewi Laras, meminta persetujuan.
Ketika Laras mengangguk pelan, ia pun memberanikan diri menggenggam mainan sederhana itu dengan penuh kehati-hatian seolah tengah memegang barang berharga. Dengan wajah serius, ia berkata tulus kepada sang tabib, “Terima kasih, kakek tabib. Semoga panjang umur.”
Ucapan polos itu membuat tabib tua tersenyum lebar. Ia menoleh ke Dewi Laras dan berkata, “Anak ini cerdas dan tahu sopan santun. Aku senang sekali bisa merawatnya. Tapi ingat baik-baik, obat adalah racun dalam takaran kecil. Jangan diberikan jika tidak benar-benar perlu.”
Dewi Laras mengangguk dengan rasa lega, lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan lima keping koin tembaga untuk biaya konsultasi.
Namun, sang tabib melirik pakaian Naya yang lusuh dan penuh tambalan, serta wajahnya yang pucat dan kurus—tanda jelas dari kekurangan asupan. Ia hanya melambaikan tangannya dan menolak, “Anak ini sehat, tidak perlu bayar.”
Meski hidup dalam kekurangan, Dewi Laras percaya bahwa setiap tempat pengobatan memiliki aturan dan etika tersendiri. Ia enggan menerima kebaikan tanpa memberikan imbalan.
Melihat keteguhan hatinya, sang tabib hanya bisa menghela napas dan berkata sambil tersenyum, “Tadi aku menerima doa panjang umur dari gadis kecilmu. Anggap saja itu bayaran terbaik hari ini. Kalau kamu tetap memaksa membayar, berarti kamu tidak ingin aku berumur seratus tahun.”
Dewi Laras terdiam. Dengan ragu, ia akhirnya mengulurkan tangan dan mengambil kembali uang itu.
Tabib tua itu melirik Naya sambil tertawa kecil dan berseloroh, “Cepat beri anak itu makan. Telingaku saja bisa dengar suara perutnya yang keroncongan.”
Seketika, Naya menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Dewi Laras, p**inya memerah karena malu.
Dewi Laras membungkuk penuh hormat, mengucapkan terima kasih sekali lagi, lalu bergegas keluar sambil menggendong Naya.
Jika ia hanya sendiri, mungkin ia akan cukup dengan roti kukus sisa pagi tadi atau panekuk murah untuk sekadar menahan lapar. Namun kali ini berbeda. Naya baru saja pulih dari sakit yang berat. Ia menatap wajah pucat anak itu, dan dengan gerakan tegas, ia melangkah menuju sebuah kedai mi sederhana di pinggir jalan.
“Bu, satu mangkuk mi ayam, ya.”
Ia melirik papan harga yang tergantung di dinding. Lima keping koin tembaga. Pas dengan uang yang tadi hampir ia serahkan pada tabib.
Tak lama, semangkuk mi ayam panas mengepul disodorkan ke hadapan mereka. Tanpa ragu, Dewi Laras mengambil satu sendok, meniupnya perlahan, lalu menyuapkannya ke mulut Naya.
Namun Naya tak membuka mulut. Ia hanya menatap bibinya dengan mata bening, seolah sedang berpikir keras.
“Kenapa tidak dimakan, sayang?” tanya Dewi Laras lembut, heran.
Kedai ini dikenal di lingkungan sekitar sebagai tempat makan yang bersih, lezat, dan terjangkau. Anak-anak biasanya lahap menyantap mi ayam dari sini. Bahkan orang dewasa pun menyukainya.
Naya hanya menggeleng pelan. Dengan suara kecil namun jelas, ia berkata, “Naya tidak mau makan. Tadi Bibi lari-lari gendong Naya. Pasti Bibi capek dan lapar. Bibi saja yang makan.”
Ucapan itu membuat tenggorokan Dewi Laras tercekat. Hatinya mencelos. Bocah lima tahun yang baru sembuh dari sakit—justru memikirkan orang lain lebih dari dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang. Air matanya nyaris tumpah lagi.
Naya bukan anak kandung. Ia dibesarkan oleh keluarga Arya yang lebih banyak menyia-nyiakan daripada menyayanginya. Sikap keras kepala dan waspada itu mungkin terbentuk karena terlalu sering merasa tak diinginkan.
Dewi Laras tersenyum menenangkan, lalu kembali menyodorkan sendok ke arah Naya.
“Sayang, bibi sudah makan tadi pagi. Bibi tidak lapar, sungguh. Kamu harus makan supaya bisa cepat besar dan sehat, oke?”
Namun wajah mungil itu masih diliputi keraguan. Ia sempat melihat bibinya menghitung lima keping koin tembaga di telapak tangan, lalu menyerahkannya ke pemilik kedai. Menurut pemahaman Naya, itu jumlah yang besar.
Dua tahun lalu, ayah angkatnya pernah menampar p**inya karena satu koin tembaga di atas meja hilang. Belakangan Naya tahu bahwa koin itu ternyata diambil oleh neneknya sendiri. Tapi rasa panas di p**i dan luka di hati—tak pernah benar-benar hilang.
Makanan lezat apa pun di rumah selalu diberikan kepada Jabang terlebih dahulu. Naya belum pernah mencicipi nasi putih, apalagi daging segar. Bahkan saat Tahun Baru, ia hanya mendapat sepotong kecil leher ayam sebagai satu-satunya hidangan istimewa.
"Bibi, harganya terlalu mahal... Aku bisa makan bubur dari sayur liar saja. Tidak perlu makanan seenak ini," bisik Naya dengan suara lirih.
Laras merasa hatinya seperti disayat. Namun, ia tetap mencoba menasihati dengan lembut, "Naya harus makan yang baik setelah sakit. Kalau tubuh Naya tidak kuat, nanti sakit lagi. Kalau sampai harus berobat lagi, justru butuh lebih banyak uang, kan?"
Namun, Naya buru-buru menggeleng, matanya berkaca-kaca. Ia berkata dengan sungguh-sungguh, "Bibi tidak punya uang... jadi tidak usah mengobatiku. Kalau aku mati pun, aku bisa bantu Bibi... meski cuma sebagai hantu."
Laras terdiam. Kata-kata Naya seperti anak panah yang menghunjam dadanya. Ia tidak menyangka, anak sekecil ini bisa berkata seperti itu.
Ia tahu, selama ini hubungan antara dirinya dan ibu tiri memang buruk. Setiap kali pulang ke rumah orang tuanya, Laras selalu membawa keluhan dan alasan bahwa dirinya terlalu sibuk bekerja, agar tak dimintai uang.
Namun ternyata, Naya memperhatikan semuanya.
Tiba-tiba, Laras merasa amat bersalah. Selama ini, ia hanya sesekali menyelipkan makanan untuk Naya, atau membantunya diam-diam menyelesaikan pekerjaan berat. Ia mengira, Naya tidak akan mengingat hal-hal kecil itu. Tapi ternyata, semua terekam di hati gadis kecil itu.
Perjalanan ke kota kali ini sebenarnya dilakukan secara buru-buru. Ia bahkan tak yakin apa yang akan dilakukannya setelah ini. Tapi kini, melihat Naya yang begitu patuh, penuh kasih, dan tidak banyak menuntut… Laras menggenggam tangan kecil itu erat-erat.
Dalam diam, ia mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
Anak sebaik ini… tidak boleh kembali ke sarang harimau dan serigala seperti keluarga adiknya.
Mereka menganggap Naya pembawa sial, pemboros makanan, pengganggu. Tapi baginya, tidak.
Bagi Laras, mulai hari ini, Naya adalah putrinya.
😍😍