Ismi Muthmainnah

Ismi Muthmainnah Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Ismi Muthmainnah, Digital creator, Loeboeklinggau.

Penulis & Desainer Grafis
Beberapa karya aku, bisa kalian intip dan baca dengan klik link di bawah ini

👇

https://lynk.id/inagrafis
atau
https://www.wattpad.com/user/inagrafis

Salam Literasi untuk Anak Bangsa

06/07/2025

Gak nyangka, bakal jadi video terakhir Bocil, Bolang, dan Wowo😭

Aku Tak Percaya Cinta, Ayahditulis oleh Ismi Muthmainnah Genre : Family, angst, religi, dramaStatus : On Going (Wattpad)...
30/04/2025

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah
ditulis oleh Ismi Muthmainnah
Genre : Family, angst, religi, drama
Status : On Going (Wattpad)
📚📚📚
CHAPTER 10 : JANJI

Sore itu, sep**ang dari Serena bekerja, Brian langsung datang menjemput ke apartemen. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di alun-alun kota, tempat favorit yang kerap ramai dikunjungi anak muda.

Langit sore tampak cerah dan teduh, dengan semburat jingga keemasan yang perlahan memudar di ufuk barat. Udara yang sejuk dan suasana yang tenang seolah menjadi penghilang penat setelah hari panjang yang melelahkan. Serena merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama Brian, menikmati momen sederhana namun berarti di tengah kesibukan mereka masing-masing.

Setibanya di alun-alun, Serena langsung menuju ke salah satu pedagang minuman yang biasa berjualan di sana. Ia memesan es cappuccino cincau, minuman favoritnya yang selalu ia incar setiap kali berkunjung ke tempat ini. Sementara itu, Brian sudah duduk di salah satu kursi plastik yang tersedia di area alun-alun, matanya sesekali menyapu pandang ke arah keramaian yang berlalu lalang.

Sambil menunggu minumannya selesai dibuat, Serena menghampiri Brian dan duduk di kursi plastik kosong, bertepatan di samping kekasihnya itu.

"Kerja di sana memang seenak itu ya? Kamu keliatannya happy banget, nggak nangis lagi kayak sebelumnya," selidik Brian sambil menatap Serena penuh rasa penasaran.

Serena tersenyum kecil, kemudian menyentuh salah satu p**inya dan berkata, "Begitu ya? Apa kelihatan jelas?"

"Jelas banget. Kamu senyum-senyum gitu bukan karena ada cowok yang deketin, kan?"

"Mulai lagi deh. Aku senang bukan karena itu. Kerja di sana memang capek, karena aku harus ngelayani customer plus di depan komputer sepanjang hari. Tapi itu nggak ada apa-apanya bagiku, karena aku punya temen yang asik kayak Lila."

"Syukur deh kalau bukan. Aku seneng kalo kamu seneng."

"Kamu itu cemburuan terus. Cemburu itu kalau kelakuanku sama kayak kamu, yang s**a ngerespon cewek," balas Serena dengan nada menyindir.

Brian yang mendengarnya tertawa kecil. "Iya deh, iya deh. Cerewet banget kamu ini! Lagian salah mereka, kenapa mudah banget baper, padahal aku nggak ngapa-ngapain."

Serena menggeleng pelan, mencoba mengabaikan alibi yang baru saja diutarakan Brian. Hari ini, dia tidak ingin ribut tentang apa pun. Ada rasa lelah yang mengendap di hatinya, dan yang dia butuhkan hanyalah menikmati kebahagiaan kecil ini—kebersamaan mereka yang sederhana namun begitu berarti.

Di saat-saat seperti inilah, Serena merasa benar-benar memiliki seseorang di sisinya, seseorang yang bisa membuatnya merasa aman dan dicintai.

Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati kehangatan yang tercipta di antara mereka, sambil berharap momen ini bisa bertahan lebih lama.

Tak lama kemudian, pedagang minuman menghampiri mereka dengan membawa es cappuccino cincau pesanan Serena. Minuman itu tampak segar, dengan lapisan cincau hitam yang menggoda di dasar gelas. Serena mengambil gelas itu, menyeruput sedikit, lalu tersenyum puas.

"Nih punya kamu," ujar Serena sambil menyerahkan gelas yang satunya lagi pada Brian.

Brian mengambil gelas minuman yang diserahkan Serena, lalu menyeruputnya perlahan. Cairan dingin itu mengalir lancar, membasahi kerongkongannya yang kebetulan sedang terasa kering.

Untuk sesaat, mereka larut dalam keheningan, menikmati kebersamaan yang mereka miliki.

Di satu sisi, Serena menghayati suasana di sekitarnya—suara riuh rendah anak muda yang berkumpul, dan tawa riang yang sesekali terdengar. Sementara di sisi lain, Brian tak pernah melepaskan pandangannya dari Serena.

Angin sore yang berembus pelan menyapu rambutnya yang terurai cantik, menciptakan latar belakang yang sempurna, seolah ia sedang menatap lukisan hidup yang begitu indah.

Tiba-tiba, Brian menghela napas panjang, suaranya pelan namun cukup membuat Serena menoleh ke arahnya dengan penuh tanda tanya.

"Ada apa?"

"Re."

"Ya?"

"Aku harus balik ke luar kota besok. Ada beberapa proyek yang harus aku tangani langsung," ujar Brian, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sendiri terasa berat.

Ekspresi Serena langsung berubah. Wajahnya cemberut, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang kehilangan permen. "Kapan kamu nggak harus pergi lagi? Kapan kita nggak perlu LDR terus kayak gini?"

Brian tertawa pelan melihat ekspresi kekasihnya. Ia mengulurkan tangan, mengelus kepala Serena dengan lembut. "Kamu tenang aja, Re. Aku janji nggak akan membuatmu menunggu lama. Lagi p**a, aku sudah punya rencana ke depannya kayak gimana."

"Rencana apa?" Serena menatapnya, penuh rasa ingin tahu.

Brian tersenyum hangat. "Aku akan melamar kamu secepat mungkin. Setelah itu, kita nggak perlu LDR kayak gini lagi."

P**i Serena langsung merona. Ia menunduk malu, karena hatinya dipenuhi kehangatan.

"Beneran?" tanyanya pelan, ingin memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

"Serius." Brian menjawab dengna penuh kesungguhan. "Kamu tahu aku nggak s**a ninggalin kamu sendirian. Aku juga pengen selalu bareng kamu. Apalagi, kamu itu gampang banget bikin orang jatuh cinta."

Serena tersenyum lebar, meski masih malu-malu. "Aku akan tunggu hari itu, Brian. Awas kalau kamu sampai ingkar!" ancamnya sambil melotot tajam.

Brian hanya tersenyum gemas. Meski berat meninggalkan Serena, ia tak punya pilihan lain. Ia masih harus mengumpulkan tabungan sampai akhirnya bisa melamar Serena dengan pantas.

"Aku percaya sama kamu, Bi. Tapi kamu juga harus percaya sama aku. Walau kita harus LDR dan kadang nggak akur, tapi aku nggak pernah minat buat ngelakuin sesuatu yang bisa bikin kamu kecewa. Kamu tahu sendiri kan, aku ini tipe wanita setia. Aku tahu rasanya dikhianati, dan itu sakit banget. Jadi aku nggak mau menghianati kamu."

Brian menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Aku percaya kamu, Serena. Tapi aku tetap nggak bisa percaya dengan orang lain."

Serena menggenggam tangan Brian dan menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku janji, Brian. Aku bakal jaga diri. Percaya sama aku, ya?"

Brian tersenyum kecil, menggenggam tangan Serena lebih erat. "Oke, aku percaya kamu. Jangan bikin aku nyesel percaya, ya?"

"Enggak akan!" janjinya tidak hanya pada Brian, tapi pada dirinya sendiri juga.

***

Serena sering mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dengan kepergian Brian, meski kenyataannya itu hanyalah kebohongan yang terus diulang-ulang. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena kepergian Brian juga menyangkut dirinya. Apalagi setelah mendengar cerita Brian, yang begitu bersungguh-sungguh ingin melamarnya. Meski sedikit tidak rela, Serena harus memakluminya.

Sejak pagi tadi, perasaan Serena sudah campur aduk tak karuan. Kesedihan terus menyelimuti hati dan pikirannya. Seandainya saja dia bisa ikut bersama Brian kali ini. Tapi ada banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk itu.

Pertama. Serena tahu dirinya tak bisa melangkah lebih jauh dari ini.
Dulu, ia pernah nekat meninggalkan rumah dan mengikuti Brian hingga ke kota ini. Tapi sekarang, Brian telah dipindahtugaskan ke luar kota, sementara Serena sadar bahwa ia tak bisa terus-menerus mengekorinya. Alasannya jelas: mereka belum menjadi pasangan suami istri yang sah.

Serena masih memegang teguh batas-batas yang ia pahami. Ia tahu, ada garis yang tak boleh ia langkahi.

Meskipun hubungannya dengan sang ayah tidak begitu harmonis, Serena tetap menaruh rasa hormat kepadanya. Ia tak ingin ayahnya kecewa saat mengetahui putrinya berpindah-pindah tempat mengikuti seorang pria yang belum menjadi suaminya.

Cukuplah ibunya yang dulu pernah mengecewakan pria itu—Serena tidak ingin menambah luka yang sama.

Di samping itu, pekerjaannya di kantor juga tak bisa begitu saja ditinggalkan. Serena baru beberapa hari bekerja dan masih terikat kontrak. Mengajukan pengunduran diri hanya demi mengikuti Brian tentu bukan keputusan yang bijak.

Lagip**a, belum ada kepastian kapan Brian akan menetap di satu tempat. Jika ia pergi tanpa rencana yang jelas, bisa jadi kehadirannya justru menjadi beban bagi Brian, bukan pasangan yang bisa saling menguatkan.

Maka meski keinginannya untuk terus bersama Brian sangat besar, Serena harus tetap tinggal—setidaknya untuk sekarang.

Lamunan Serena seketika buyar saat mendengar suara notifikasi masuk melalui ponselnya. Saat itu juga, dia langsung meraih benda p**ih itu dan melihat nama Brian terpampang di layar.

Ada pesan singkat dari Brian, yang mengabarkan bahwa dia sudah menunggu di depan.

Senyum Serena seketika mengembang. Tanpa membuang waktu, gadis itu segera melangkah menuju Ruang Desain & Kreatif untuk meminta izin kepada Adhan, selaku atasannya.

Dengan sedikit ragu, Serena mengetuk pintu sebelum melangkah masuk. Begitu berada di dalam, pandangannya langsung tertuju pada Adhan yang tengah fokus di depan layar komputer. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, menciptakan irama khas yang memenuhi ruangan.

"Ada apa, Mbak?" tanya Dimas setelah melihat Serena masuk ke dalam.

Adhan yang semula sibuk pun ikut menoleh begitu mendengar nama Serena disebut. Dari balik diamnya, dia menunggu Serena menjawab pertanyaan Dimas.

Serena menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka suara.

"Saya mau izin keluar sebentar," jawab Serena dengan hati-hati.

"Ke mana?" Kali ini Adhan yang bertanya.

"Mengantar seseorang pergi."

Adhan menatapnya beberapa detik tanpa berkata apa-apa, lalu mengangguk. "Ya sudah, Mbak boleh pergi."

"Terima kasih sudah mengizinkan saya pergi. Saya hanya sebentar saja, Setelah urusan saya selesai, saya akan segera kembali ke kantor," ucap Serena dengan senyum tipis yang mengembang sebelum bergegas keluar.

Adhan menatap pintu yang menutup perlahan. Ada sesuatu di matanya—sebuah perasaan asing yang tak ingin ia akui.

Di luar kantor, Brian sudah menunggu di atas sepeda motornya. Jaket hitam dan ransel besar di punggung pria itu menegaskan bahwa dia benar-benar akan pergi.

"Aku pergi, ya. Jaga diri baik-baik. Jangan nakal!"

Brian tersenyum, mencoba mencairkan suasana, tetapi Serena hanya mampu membalas dengan senyum lemah dan mata yang mulai berkaca-kaca. Sejujurnya, Serena tidak ingin Brian pergi, namun lidahnya terasa kelu untuk mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya itu.

Menyadari kesedihan dan keberatan Serena yang akan ditinggal jauh, Brian pun turun dari motornya. Dia lantas menggenggam tangan Serena dengan erat, seolah memberi kekuatan dan keyakinan bahwa ini tidak akan lama.

"Jangan sedih, Re. Aku cuma pergi sebentar. Paling satu atau dua bulan, nanti aku kembali."

Serena menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang hampir jatuh. Napasnya terasa berat saat akhirnya ia berbisik dengan suara bergetar, "Kenapa kita harus seperti ini terus? Aku benci LDR."

Brian menarik Serena ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu merasakan kehangatan dalam dekapannya meski hanya sejenak. Dengan penuh kelembutan, ia mengusap rambut Serena, seolah berusaha meredakan kegundahan yang bersemayam di hati peri kecilnya yang rapuh.

"Sabar, ya? Aku janji nggak akan pergi lama. Aku akan segera melamarmu, jadi kita nggak perlu LDR lagi." Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, berusaha meyakinkan Serena bahwa semua ini hanya sementara.

Serena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan di bahunya, membiarkan keheningan menjadi jawaban atas perasaannya yang bercampur aduk. Dia ingin percaya, tapi tetap saja ada kegelisahan yang tak bisa sepenuhnya hilang.

Beberapa saat kemudian, Brian akhirnya melepaskan pelukannya dengan enggan. Ia menatap Serena untuk terakhir kali sebelum berbalik, melangkah menuju ke motornya.

Serena masih terpaku di sana, matanya tak lepas mengikuti setiap gerakan Brian. Mulai dari saat Brian mengenakan helm, menyalakan mesin motor, lalu perlahan melaju pergi meninggalkan dirinya. Suara mesin motor itu semakin lama semakin terdengar rendah, menyatu dengan desiran angin pagi yang menerbangkan ujung jaket Brian. Serena tetap berdiri di tempatnya, tak bergerak, menatap punggung Brian yang kian mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik tikungan jalan.

Hanya saat itu, Serena menyadari betapa hampa udara di sekelilingnya tanpa kehadiran Brian. Ruang yang ditinggalkannya terasa begitu luas, seakan mengisyaratkan kekosongan yang tak tergantikan.

Ketika ia kembali ke kantor, bekas kesedihan masih tersirat di wajahnya. Matanya yang sedikit merah tak luput dari perhatian Lila.

"Hei, kau habis nangis, ya?" godanya.

"Enggak," jawab Serena cepat, meski jelas bahwa itu bohong.

Lila terkekeh pelan. “Ditinggal pacar LDR memang menyedihkan.”

Serena hanya bisa manyun, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.

"Karena urusanku sudah selesai. Mending kamu balik ke ruanganmu sana," ujarnya sambil melirik Lila.

"Idih, bukannya bilang makasih, malah disuruh pergi." Lila mencibir sambil memasang raut pura-pura kesal.

"Iya, iya. Terima kasih, Queen Lila, sudah mau backup tempat saya—meskipun cuma sebentar."

Lila menyipitkan mata, lalu tersenyum puas. “Aku s**a itu.”

"S**a apa?"

"Panggilan 'Queen Lila'."

Selagi Lila dan Serena saling berdebat, Adhan mengamati interaksi mereka dari balik kaca dinding yang membatasi antara satu ruangan dengan ruangan yang lain. Tatapannya tajam, seolah mencoba membaca setiap ekspresi yang terpancar dari wajah Serena.

Sebagai rekan kerjanya, Dimas ikut memperhatikan arah pandang Adhan. Dengan senyum khasnya yang jahil, ia menyelutuk, "Dia lucu juga ya. Seandainya aku punya pacar yang menangis seperti itu saat aku pergi."

Adhan memasang wajah tak s**a, alisnya berkerut sedikit.

Dimas menyipitkan mata, senyumnya semakin lebar. "Jangan bilang kau cemburu?" goda pria itu, mencoba memancing reaksi.

"Sulit tertarik sama orang yang sudah punya pasangan," jawab Adhan singkat, suaranya datar namun tegas. Ia mencoba mengalihkan pandangannya kembali ke layar komputer, seolah tak terusik dengan perkataan Dimas.

Dimas tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Bagaimana kalau aku kenalkan kau dengan teman-temanku? Siapa tahu ada yang cocok," usulnya, masih dengan nada bercanda.

"Nggak tertarik." Adhan membalas tanpa menoleh.

Mendengar jawaban itu, Dimas berdecit kecil, menghela napas seolah menyerah.

"Baiklah, Bos. Kalau begitu, kita lanjut kerja saja," ujarnya sambil kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Adhan yang masih sesekali melirik ke arah Serena.

Bersambung

BACA BAB SELANJUTNYA
https://www.facebook.com/share/p/14aWb1H2NK/

Baca cerita Serena hanya di platfrom Wattpadhttps://www.wattpad.com/story/382419743-aku-tak-percaya-cinta-ayahAku sudah ...
29/04/2025

Baca cerita Serena hanya di platfrom Wattpad
https://www.wattpad.com/story/382419743-aku-tak-percaya-cinta-ayah

Aku sudah mengecewakan kalian. Membuat kalian sedih dengan kepergianku. Aku tidak pernah membenci Ayah dan Bunda. Bahkan Ibu yang telah meninggalkanku saja, aku masih sangat menyayangi dan merindukannya.

Hanya saja, aku butuh waktu untuk ikhlas dan menerima semuanya. Aku masih belum siap menghadapi fakta bahwa keluargaku sudah berubah. Ibu yang pergi dengan pilihannya, Ayah yang menikah lagi, lalu Bunda yang tidak pernah aku temui.

Banyak hal yang menjadi ketakutanku. Tapi, jauh di dalam hatiku, aku merestui kalian. Karena aku juga ingin melihat Ayah bahagia. Dia sudah sering menerima luka dari Ibu.

Foto by Pinterest

Aku Tak Percaya Cinta, Ayahditulis oleh Ismi Muthmainnah Genre : Family, angst, religi, dramaStatus : On Going (Wattpad)...
27/04/2025

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah
ditulis oleh Ismi Muthmainnah
Genre : Family, angst, religi, drama
Status : On Going (Wattpad)
📚📚📚
CHAPTER 9 : HARI PERTAMA

Hari bersejarah ini akhirnya tiba juga. Serena merasa sangat senang sekaligus tegang di saat bersamaan. Dia benar-benar bahagia karena bisa melepaskan diri dari pekerjaan lamanya yang begitu toxic.

Harapan Serena sangatlah sederhana. Siapapun yang nantinya akan menjadi rekan kerjanya, mereka bisa akur satu sama lain. Akan lebih baik jika tentang usia mereka tidak terlalu jauh, jadi Serena tidak perlu menjaga sikap seperti di tempat sebelumnya, hingga membuatnya menjadi manusia kaku demi menjaga sopan santun.

Ini hari yang baik. Serena tidak ingin merusaknya dengan mengingat masa lalu yang membuatnya merasa kecil hati.

Dia harus move on dan meninggalkan semuanya di belakang sana. Membuka lembaran baru dan menuliskan cerita baru yang lebih baik dari sebelumnya. Serena percaya diri untuk itu.

Saat melangkah masuk ke dalam area kantor barunya, wajah pertama yang Serena lihat adalah Adhan.

Pandangan mereka saling bertemu, hingga Serena bisa melihat secara langsung ke dalam sepasang mata Adhan yang jernih dan tajam.

Setelah sadar apa yang baru saja terjadi, dia langsung menundukkan kepala, seolah sedang memberi hormat.

Entah apa yang ada dalam isi kepala Adhan saat melihat Serena. Pria itu tersenyum samar. Tidak ada yang menyadari sama sekali. Senyum itu berakhir saat dia mengalihkan pandangan dan fokus pada hal lain.

"Baik, karena semuanya sudah berkumpul, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada kalian semua, sekaligus ada staf baru yang ingin saya perkenalkan kepada kalian," ucap Adhan kemudian. Tatapannya menyapu satu per satu manusia yang ada di dalam ruangan.

Tak ingin membuang lebih banyak waktu, Adhan memulai briefing pagi seperti biasa.

Point pentingnya meliputi, arahan mengenai tugas masing-masing divisi, target pekerjaan hari ini, serta beberapa aturan yang berlaku di kantor—penjelasan yang satu ini khusus untuk Serena sebagai anak baru.

Semua orang menyimak dengan serius, namun sesekali suasana yang tegang pecah oleh tawa saat Adhan berusaha mencairkannya dengan candaan ringan.

Melihat bagaimana mereka saling berinteraksi, Serena ikut merasa hangat dan bersyukur. Sepertinya, dia sudah menemukan tempat yang tepat. Lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sesuai dengan keinginannya.

Briefing berakhir setelah 20 menit, ditutup dengan perkenalan singkat antara Serena dan yang lainnya.

"Sebelum kita lanjut bekerja, ada staf baru yang hari ini resmi bergabung dengan kita. Serena, silakan perkenalkan diri."

Serena meneguk ludah, berusaha mengatasi kegugupannya. Ia melangkah sedikit ke depan dan mencoba tersenyum senatural mungkin.

"Saya Serena. Saya akan bertugas di bagian Admin dan Customer Service. Ini hari pertama saya, jadi mohon bimbingannya."

Perkataan Serena langsung disambut dengan antusias oleh rekan-rekannya.

"Selamat bergabung, Serena!"

"Semoga betah bekerja di sini!"

"Kalau butuh bantuan, jangan sungkan bertanya, ya!"

Mendengar sambutan hangat itu, Serena merasa tersanjung. Senyum merekah di wajahnya, rasa gugup yang semula membebani perlahan mengendur. Ia tidak menyangka akan diterima sebaik ini—jelas jauh begitu dari lingkungan kerjanya yang sebelumnya.

"Saya akan mengingatnya, terima kasih untuk kalian semua," ucap Serena dengan tulus. Ia menatap satu per satu wajah teman-temannya yang baru.

Adhan kembali mengambil alih, dengan memperkenalkan satu per satu anggota tim yang lain pada Serena.

Di sebelah Adhan berdiri seorang pria dengan kemeja kotak-kotak yang dipadukan dengan kaos putih di dalamnya. Wajahnya tampak ceria, dan ada aura percaya diri yang kuat darinya. Begitu diperkenalkan, pria bernama Dimas itu tersenyum lebar. Dia mengangkat dua jarinya—jari telunjuk dan jari tengah—yang kemudian menyentuh alis sambil mengedipkan mata. Di sini, Dimas bertugas sebagai Desainer Grafis sekaligus Operator Mesin Cetak.

Di sisi lain, seorang pria dengan gaya kasual namun tetap trendi berdiri dengan santai. Baim, namanya. Dia mengenakan kaos hitam oversized yang dipadukan dengan celana cargo serta sneakers kekinian—pilihan busana yang mencerminkan gaya anak muda zaman sekarang. Ia adalah Operator Mesin Cetak sekaligus penanggung jawab operasional; orang yang sering berurusan dengan hal-hal di luar kantor; seperti mengambil pesanan dari mitra atau membeli keperluan kantor.

Baim terlihat lebih kalem dari Dimas, meskipun begitu, kemampuannya saat bekerja sangat bisa diandalkan. Setiap pekerjaan yang diberikan padanya, selalu dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Sementara itu, di samping Serena berdiri seorang wanita bernama Lila.

Berbeda dengan dua pria sebelumnya, Lila memiliki aura yang lebih tenang dan elegan. Dengan senyum lembutnya, ia tampak terlihat lebih ramah dan supel.

Lila diberikan tanggung jawab sebagai staf keuangan. Ia adalah orang yang akan mengurus segala hal terkait pembayaran dan administrasi keuangan kantor.

Berada di antara mereka semua, Serena merasakan kehangatan yang jarang ia temui di tempat kerja sebelumnya.

Mereka memiliki karakter yang berbeda-beda, tetapi terlihat akur antara satu dengan yang lainnya.

Setelah sesi perkenalan selesai, Adhan mengajak rekan-rekannya untuk berdoa terlebih dahulu. Berdoa sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan mereka masing-masing. Berdoa memohon kemudahan dan kelancaran untuk pekerjaan mereka hari ini.

Doa bersama pun telah selesai ditunaikan, Adhan segera menutup breafing pagi itu. "Baik, sekarang kita bisa kembali ke tempat masing-masing. Selamat bekerja."

Dimas dan Baim beranjak lebih dulu, melangkah menuju sebuah ruangan dengan papan nama "Ruang Desain & Kreatif" yang terpasang di depan pintunya.

Sementara itu, Adhan menahan Serena dan Lila sebelum mereka ikut pergi. Tatapannya serius, seolah ada sesuatu yang perlu disampaikan khusus kepada mereka berdua.

"Lila, bisa tolong bimbing Serena untuk sementara waktu? Bantu Serena beradaptasi dengan lingkungan dan sistem kerja kita."

Lila tersenyum hangat. "Tentu saja, dengan senang hati, Pak Bos."

Tanpa ragu, Lila langsung merangkul lengan Serena dengan penuh keakraban. Serena sedikit terkejut, tapi tidak merasa terganggu. Justru, keramahan yang ditunjukkan Lila membuatnya merasa benar-benar diterima.

"Ayo, aku tunjukkan tempat kerjamu, dan nanti kita bahas tugas-tugas yang akan kamu kerjakan," ujar Lila dengan ceria.

Serena mengangguk, mengikuti langkah Lila dengan perasaan yang jauh lebih ringan dibandingkan saat pertama kali melangkah masuk ke kantor ini. Hari pertama yang awalnya dipenuhi kecemasan berhasil ia lewati dengan sangat baik.

Karena hari ini adalah hari pertama Serena masuk, jadi meja kerjanya masih tampak rapi. Lila menjelaskan bahwa untuk saat ini, Adhan belum memberinya terlalu banyak tugas. Ia ingin Serena fokus beradaptasi terlebih dahulu selama sebulan ke depan.

Namun, bukan berarti ia akan dibiarkan begitu saja. Selama masa adaptasi ini, Serena akan diajari secara bertahap, diberi waktu untuk memahami alur kerja tanpa tekanan berlebihan. Mendengar itu, Serena merasa lega—setidaknya, ia bisa menyesuaikan diri dengan ritme pekerjaan tanpa harus terburu-buru.

Seiring berjalannya waktu, Serena sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan kerjanya.

Hari-harinya dipenuhi dengan suara keyboard yang diketik cepat, melayani customer, serta berkumpul bersama Lila di pantry kantor untuk mengobrol santai, menikmati waktu istirahat.

Sistem kerja di Artivio Studio sangat mengagumkan. Di sini tidak ada tekanan berlebihan maupun senioritas yang membebani. Mereka begitu akur dan saling rangkul. Jika ada masalah, maka akan didiskusikan secara bersama.

Ketakutan Brian sejauh ini juga terbukti tidak beralasan. Nyatanya, Adhan dan Serena jarang berinteraksi secara langsung. Pria itu lebih banyak terlibat di ruangan Desain dan Kreatif. Jika ada informasi penting, ia biasanya menyampaikan hal tersebut melalui grup chat khusus.

Di antara semua rekan kerja, Serena paling sering berbicara dengan Lila. Ya, karena memang Lila adalah satu-satunya wanita di sana, selain dirinya.

Setiap pagi, mereka kerap sarapan bersama di pantry kantor, membahas berbagai hal, mulai dari makanan, film, hingga kehidupan sehari-hari.

"Enak, ya, kerja di sini," kata Serena suatu pagi sambil mengaduk segelas matcha panas.

Sudah menjadi rutinitas Serena sebelum memulai pekerjaan, mereka akan menyeduh minuman favorite untuk menambah dan mempertahankan mood selama bekerja.

Lila terkekeh sambil mengunyah rotinya. "Di sini emang enak banget sih. Karena semuanya anak gen-z. Aku juga nyaman banget selama kerja di sini."

Serena menyetujui perkataan Lila.

"Kamu udah tahu belum, kalau pak bos kita itu baru lulus SMA tahun lalu? Katanya, dia mulai usaha ini karena hobi desain sejak SMA kelas 2," bisik Lila, seolah sedang membagikan rahasia negara.

Serena menatapnya dengan kaget. "Serius?"

Lila mengangguk. Sorot matanya menunjukkan keseriusan, tidak ada celah untuk mengarang cerita. "Hebat banget, kan? Masih muda, tapi udah bisa bangun bisnis sendiri. Kadang aku iri, dia nggak perlu repot cari kerja kayak kita. Tapi, ya wajar sih, dia dari keluarga berada, terus kayaknya juga jenius. Jadi, gampang belajar dan langsung bisa jalanin usaha. Kayaknya, keluarga Pak Bos juga support sama usaha Pak Bos."

Serena hanya diam mendengarkan cerita Lila.

Sungguh perbandingan yang sangat jauh berbeda.

Ia ingat betul, betapa sulitnya membangun karier setelah lulus kuliah. Sementara Adhan, tanpa harus melewati proses panjang, sudah berada di posisi yang stabil.

Tapi, sebelum rasa iri itu menancapkan akarnya, Serena segera memperingati dirinya sendiri, bahwa perjalanan hidup setiap orang berbeda-beda. Tidak semua keberhasilan datang dengan cara yang sama.

Selama dia bisa bekerja di tempat yang nyaman, tanpa tekanan yang berlebihan, itu sudah lebih dari cukup dan patut disyukuri. Karena masih banyak orang di luar sana yang sulit mendapat pekerjaan.

Serena tiba-tiba teringat pada Brian.

Malam ini, mereka sudah berjanji untuk bertemu. Brian pun mengatakan bahwa ia akan menjemput Serena seperti biasa, tepat setelah jam kerjanya selesai.

Serena jadi tidak sabar, dan ingin waktu berlalu secepat mungkin.

Bersambung

BACA BAB SELANJUTNYA
https://www.facebook.com/share/p/14aWb1H2NK/

Aku Tak Percaya Cinta, Ayahditulis oleh Ismi Muthmainnah Genre : Family, angst, religi, dramaStatus : On Going (Wattpad)...
19/04/2025

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah
ditulis oleh Ismi Muthmainnah
Genre : Family, angst, religi, drama
Status : On Going (Wattpad)

📚📚📚

CHAPTER 8 : CEMBURU

Matahari mulai merendah, menyinari taman kecil di dekat apartemen dengan cahaya keemasan yang hangat. Angin sore bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan hingga menciptakan bayangan yang menari-nari di atas tanah.

Di sebuah bangku taman, Serena tampak sedang duduk dengan wajah cerah yang dihiasi senyum kecil. Matanya sesekali menengok ke sana-ke mari, seolah sedang mencari sesuatu di tengah keramaian yang ada.

Tak berselang lama, yang dinanti akhirnya muncul juga. Dia datang bersama dengan motor kesayangannya. Berhenti di tempat parkir, dan menitipkan kendaraan roda dua itu di sana.

Dari kejauhan, Serena bisa melihat wajah dingin Brian saat berjalan menuju ke arahnya. Namun, begitu jarak mereka semakin dekat, pria itu tersenyum dengan begitu hangat, bahkan sampai mempercepat langkah kakinya.

"Kamu nggak nangis lagi kayak kemarin?" Satu pertanyaan yang Brian layangkan berhasil membuat bibir Serena mengerucut. Entah apa yang dipikirkan oleh pria itu, s**a sekali mencari gara-gara, padahal baru saja bertemu.

Brian duduk di sebelah Serena, tangannya bertumpu pada lutut yang ditekuk. Matanya menatap Serena cukup dalam, dihiasi senyum kecil yang tersembul di sudut bibirnya.

"Apa sih, baru dateng langsung ngajak berantem, nantangin?" gerutu Serena sambil melototkan matanya dengan tajam.

Melihat tingkah Serena yang demikian, Brian malah tertawa gemas.

Ini sudah menjadi seperti kebiasaan baginya. Apalagi melihat Serena mengamuk setelah dijahili. Semacam ada euforia, kebahagiaan tersendiri baginya.

"Ampun! Aku nggak berani ngelawan tuan putri yang mudah merajuk," tambahnya, masih ingin menjahili.

Kali ini Serena tak mengatakan apa pun. Dia malah memasang wajah cemberut, mirip seperti anak kecil yang sedang merajuk. Persis seperti yang Brian katakan.

"Ya udah, kamu mau cerita apa? Aku dengerin," ucap Brian akhirnya menyerah juga.

Raut wajah Serena langsung berubah 180°.

"Aku baru aja diterima kerja di tempat lain, Brian!" beritahu gadis itu dengan mata yang berbinar-binar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah.

Brian tertegun sejenak, alisnya mendadak naik. "Kerja? Maksudnya gimana? Sejak kapan kamu nyari kerja? Kok nggak bilang-bilang sama aku?"

"Perasaan aku udah bilang dari lama sama kamu deh, kalau aku mau nyari kerja di tempat baru. Aku udah nggak tahan lagi kerja di sana. Makin lama, makin gila' aku jadinya!"

"Terus? Kamu udah diterima kerja? Kok cepet banget prosesnya?"

"Aku juga nggak nyangka ini bakal secepat itu. Tadi, aku baru beres interview, dan langsung diterima kerja. Makanya, aku menghubungi kamu buat cerita soal ini," jelas Serena sejujur mungkin. Mengingat sifat Brian yang mudah salah paham, jadi sebelum ada masalah di antara mereka, mending langsung dibicarain baik-baik.

"Brian bersandar ke bangku, matanya menyipit, menatap Serena dengan tatapan menyelidik. "Kamu nggak bilang apa-apa ke aku, terus tau-tau dapat kerjaan. Di mana tempatnya?"

Serena mengerutkan kening, merasa ada yang aneh dengan nada suara Brian. "Di gedung sebelah. Nama perusahaannya, Artivio Studio. Semacam tempat percetakan gitu."

"Siapa bosnya?" tanya Brian langsung pada to the point.

Serena menyadari perubahan di wajah Brian, bahkan nada suaranya juga terkesan mengintimidasi. Dari sana Serena bisa menebak, kalau saat ini, Brian sedang tidak dalam keadaan bisa diajak kompromi.

Menarik napas panjang dalam, Serena mengumpulkan keberaniannya. Dia harus bisa meyakinkan Brian, karena dia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Ini demi masa depannya.

"Kamu kenal sama Adhan, kan? Dia sekarang bos aku. Aku juga ...."

Belum sempat Serena menyelesaikan perkataannya, Brian langsung menyela.

"Adhan? Jadi, bos kamu sekarang tetangga yang tinggal di sebelah apartemenmu?"

Serena mengangguk, pasrah. "Iya."

"Iya?" celetuknya dengan nada suara yang terdengar ketus.

"Aku nggak tahu apa yang lagi kamu pikirin sekarang, Brian," ucap Serena dengan suara lembut, matanya menatap Brian dengan penuh ketulusan. "Tapi, kamu harus percaya sama aku. Aku nggak punya perasaan apa pun sama orang lain. Adhan pasti juga ngerasain hal yang sama."

Brian tertawa kecil, tapi tawa itu lebih terdengar seperti ejekan. "Kamu adalah orang yang paling ngerti aku, Re. Aku juga orang yang paling ngerti kamu, kamu itu polos dan gampang banget buat ditipu. Aku tahu dan aku percaya sama kamu. Tapi, aku nggak percaya sama orang lain. Kamu jadi admin di perusahaan orang lain, yang kebetulan orang itu adalah tetangga kamu sendiri. Kayaknya bakal seru banget, ya."

Serena mengerutkan kening, mendengar omong kosong itu.

"Kamu lagi nggak bisa diajak kompromi, Brian. Kamu pikir, aku bakal punya pikiran buat selingkuh dari kamu atau main gila sama lelaki lain! Itu bukan prinsipku, Brian! Lagi p**a, kamu tahu bagaimana aku. Bagaimana hidupku hancur karena orang tuaku selingkuh, dan aku nggak pernah berpikir untuk melakukan hal yang sama. Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku?"

"Bukannya aku nggak percaya sama kamu. Tapi, dia laki-laki, Re. Kamu nggak tahu bagaimana cara laki-laki berpikir," tegas Brian, tatapannya kini lurus menembus mata Serena. "Kamu bakal sering ketemu sama dia, ngobrol bareng dia, dan nurutin semua perintah dia. Salah kalau aku cemburu?"

Serena merasa dadanya mulai memanas, seperti ada api yang membara di dalamnya. Serena paling tidak s**a dengan yang namanya teriakan, bentakan, atau suara yang keras. Itu akan memicu traumanya di masa lalu.

Setiap mendengar teriakan, bentakan, atau nada suara tinggi, ia seolah diseret ke masa lalu yang jauh, masa ketika orang tuanya sering bertengkar hebat dan terlibat perselisihan sengit. Itu jauh sebelum ibunya memutuskan untuk kabur bersama selingkuhannya.

Kenangan-kenangan itu bagai racun, yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang dipenuhi dengan ketakutan, kecemasan bahkan trauma yang sulit dilupakan.

Bahkan, sekalipun bentakan itu tidak ditunjukkan untuk dirinya.

Melihat air mata Serena yang hampir jatuh, Brian merasa frustrasi pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah bermaksud membuat Serena sedih, apalagi sampai menangis. Tapi, begitu ada indikasi bahwa Serena akan dekat dengan pria lain, rasa cemburu dan kekhawatirannya langsung meledak tanpa bisa dikendalikan.

Menarik napas dalam-dalam, Brian mencoba menenangkan diri.

Perlahan, dia mendekati Serena, tangannya yang hangat menyentuh p**i Serena dengan lembut, menghapus air mata yang mengalir di atasnya.

"Aku nggak bermaksud buat marah sama kamu, Re," ucap Brian dengan suara yang lebih lembut sekarang. Raut wajahnya penuh penyesalan. "Aku cuma ... kamu tahu aku itu orangnya mudah cemburu. Aku nggak bisa nahan diri kalau tahu kamu deket sama cowok lain. Aku takut, Re. Takut kamu berpaling dari aku. Aku takut kamu bakal ninggalin aku."

Serena hanya diam, air matanya semakin deras mengalir. Dia ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa Brian tidak perlu khawatir, tapi kata-katanya seperti terperangkap di tenggorokan. Dia hanya bisa menatap Brian dengan tatapan campur aduk: antara kesal, sedih, dan lelah.

Brian menghela napas, lalu menarik Serena ke dalam pelukannya. "Udah yaa, jangan nangis lagi," bisiknya pelan, sambil mengusap punggung Serena dengan lembut. "Oke, kamu boleh kerja di sana. Tapi janji, nggak boleh ada interaksi yang bikin aku cemburu, ya? Aku cuma mau kamu bahagia, aku mau ngejagain kamu dari laki-laki lain."

Serena mengangguk pelan, wajahnya masih basah oleh air mata yang belum sepenuhnya kering. Dia mencoba tersenyum, tapi senyum itu belum mampu menghilangkan kesedihannya.

Bukannya mencari cara untuk bisa membuat Serena tenang, Brian malah memikirkan ide yang lebih gila.

"Eh, ingus kamu sampai keluar-keluar kayak gitu," godanya sambil mengusap hidung Serena dengan lembut menggunakan ujung jarinya. Niatnya sih untuk mencoba mencairkan suasana.

Serena melotot mendengar candaan Brian, matanya membesar seperti bola pingpong. Tanpa mengatakan apa pun, dia memukul lengan Brian dengan pelan, cukup keras untuk menunjukkan kekesalannya

Brian hanya tertawa saat menerima pukulan ringan yang tak terasa sakit sama sekali. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tengah berusaha menutupi rasa cemburu dan kekesalan yang masih meluap-luap.

Dia tidak punya pilihan lain. Demi Serena, ia memilih untuk menahan diri kali ini. Baginya, yang terpenting adalah menjaga perasaan Serena.

Bersambung

BACA BAB SELANJUTNYA
https://www.facebook.com/share/p/14aWb1H2NK/

Address

Loeboeklinggau

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ismi Muthmainnah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share