30/04/2025
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah
ditulis oleh Ismi Muthmainnah
Genre : Family, angst, religi, drama
Status : On Going (Wattpad)
📚📚📚
CHAPTER 10 : JANJI
Sore itu, sep**ang dari Serena bekerja, Brian langsung datang menjemput ke apartemen. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di alun-alun kota, tempat favorit yang kerap ramai dikunjungi anak muda.
Langit sore tampak cerah dan teduh, dengan semburat jingga keemasan yang perlahan memudar di ufuk barat. Udara yang sejuk dan suasana yang tenang seolah menjadi penghilang penat setelah hari panjang yang melelahkan. Serena merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama Brian, menikmati momen sederhana namun berarti di tengah kesibukan mereka masing-masing.
Setibanya di alun-alun, Serena langsung menuju ke salah satu pedagang minuman yang biasa berjualan di sana. Ia memesan es cappuccino cincau, minuman favoritnya yang selalu ia incar setiap kali berkunjung ke tempat ini. Sementara itu, Brian sudah duduk di salah satu kursi plastik yang tersedia di area alun-alun, matanya sesekali menyapu pandang ke arah keramaian yang berlalu lalang.
Sambil menunggu minumannya selesai dibuat, Serena menghampiri Brian dan duduk di kursi plastik kosong, bertepatan di samping kekasihnya itu.
"Kerja di sana memang seenak itu ya? Kamu keliatannya happy banget, nggak nangis lagi kayak sebelumnya," selidik Brian sambil menatap Serena penuh rasa penasaran.
Serena tersenyum kecil, kemudian menyentuh salah satu p**inya dan berkata, "Begitu ya? Apa kelihatan jelas?"
"Jelas banget. Kamu senyum-senyum gitu bukan karena ada cowok yang deketin, kan?"
"Mulai lagi deh. Aku senang bukan karena itu. Kerja di sana memang capek, karena aku harus ngelayani customer plus di depan komputer sepanjang hari. Tapi itu nggak ada apa-apanya bagiku, karena aku punya temen yang asik kayak Lila."
"Syukur deh kalau bukan. Aku seneng kalo kamu seneng."
"Kamu itu cemburuan terus. Cemburu itu kalau kelakuanku sama kayak kamu, yang s**a ngerespon cewek," balas Serena dengan nada menyindir.
Brian yang mendengarnya tertawa kecil. "Iya deh, iya deh. Cerewet banget kamu ini! Lagian salah mereka, kenapa mudah banget baper, padahal aku nggak ngapa-ngapain."
Serena menggeleng pelan, mencoba mengabaikan alibi yang baru saja diutarakan Brian. Hari ini, dia tidak ingin ribut tentang apa pun. Ada rasa lelah yang mengendap di hatinya, dan yang dia butuhkan hanyalah menikmati kebahagiaan kecil ini—kebersamaan mereka yang sederhana namun begitu berarti.
Di saat-saat seperti inilah, Serena merasa benar-benar memiliki seseorang di sisinya, seseorang yang bisa membuatnya merasa aman dan dicintai.
Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati kehangatan yang tercipta di antara mereka, sambil berharap momen ini bisa bertahan lebih lama.
Tak lama kemudian, pedagang minuman menghampiri mereka dengan membawa es cappuccino cincau pesanan Serena. Minuman itu tampak segar, dengan lapisan cincau hitam yang menggoda di dasar gelas. Serena mengambil gelas itu, menyeruput sedikit, lalu tersenyum puas.
"Nih punya kamu," ujar Serena sambil menyerahkan gelas yang satunya lagi pada Brian.
Brian mengambil gelas minuman yang diserahkan Serena, lalu menyeruputnya perlahan. Cairan dingin itu mengalir lancar, membasahi kerongkongannya yang kebetulan sedang terasa kering.
Untuk sesaat, mereka larut dalam keheningan, menikmati kebersamaan yang mereka miliki.
Di satu sisi, Serena menghayati suasana di sekitarnya—suara riuh rendah anak muda yang berkumpul, dan tawa riang yang sesekali terdengar. Sementara di sisi lain, Brian tak pernah melepaskan pandangannya dari Serena.
Angin sore yang berembus pelan menyapu rambutnya yang terurai cantik, menciptakan latar belakang yang sempurna, seolah ia sedang menatap lukisan hidup yang begitu indah.
Tiba-tiba, Brian menghela napas panjang, suaranya pelan namun cukup membuat Serena menoleh ke arahnya dengan penuh tanda tanya.
"Ada apa?"
"Re."
"Ya?"
"Aku harus balik ke luar kota besok. Ada beberapa proyek yang harus aku tangani langsung," ujar Brian, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sendiri terasa berat.
Ekspresi Serena langsung berubah. Wajahnya cemberut, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang kehilangan permen. "Kapan kamu nggak harus pergi lagi? Kapan kita nggak perlu LDR terus kayak gini?"
Brian tertawa pelan melihat ekspresi kekasihnya. Ia mengulurkan tangan, mengelus kepala Serena dengan lembut. "Kamu tenang aja, Re. Aku janji nggak akan membuatmu menunggu lama. Lagi p**a, aku sudah punya rencana ke depannya kayak gimana."
"Rencana apa?" Serena menatapnya, penuh rasa ingin tahu.
Brian tersenyum hangat. "Aku akan melamar kamu secepat mungkin. Setelah itu, kita nggak perlu LDR kayak gini lagi."
P**i Serena langsung merona. Ia menunduk malu, karena hatinya dipenuhi kehangatan.
"Beneran?" tanyanya pelan, ingin memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
"Serius." Brian menjawab dengna penuh kesungguhan. "Kamu tahu aku nggak s**a ninggalin kamu sendirian. Aku juga pengen selalu bareng kamu. Apalagi, kamu itu gampang banget bikin orang jatuh cinta."
Serena tersenyum lebar, meski masih malu-malu. "Aku akan tunggu hari itu, Brian. Awas kalau kamu sampai ingkar!" ancamnya sambil melotot tajam.
Brian hanya tersenyum gemas. Meski berat meninggalkan Serena, ia tak punya pilihan lain. Ia masih harus mengumpulkan tabungan sampai akhirnya bisa melamar Serena dengan pantas.
"Aku percaya sama kamu, Bi. Tapi kamu juga harus percaya sama aku. Walau kita harus LDR dan kadang nggak akur, tapi aku nggak pernah minat buat ngelakuin sesuatu yang bisa bikin kamu kecewa. Kamu tahu sendiri kan, aku ini tipe wanita setia. Aku tahu rasanya dikhianati, dan itu sakit banget. Jadi aku nggak mau menghianati kamu."
Brian menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Aku percaya kamu, Serena. Tapi aku tetap nggak bisa percaya dengan orang lain."
Serena menggenggam tangan Brian dan menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku janji, Brian. Aku bakal jaga diri. Percaya sama aku, ya?"
Brian tersenyum kecil, menggenggam tangan Serena lebih erat. "Oke, aku percaya kamu. Jangan bikin aku nyesel percaya, ya?"
"Enggak akan!" janjinya tidak hanya pada Brian, tapi pada dirinya sendiri juga.
***
Serena sering mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dengan kepergian Brian, meski kenyataannya itu hanyalah kebohongan yang terus diulang-ulang. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena kepergian Brian juga menyangkut dirinya. Apalagi setelah mendengar cerita Brian, yang begitu bersungguh-sungguh ingin melamarnya. Meski sedikit tidak rela, Serena harus memakluminya.
Sejak pagi tadi, perasaan Serena sudah campur aduk tak karuan. Kesedihan terus menyelimuti hati dan pikirannya. Seandainya saja dia bisa ikut bersama Brian kali ini. Tapi ada banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk itu.
Pertama. Serena tahu dirinya tak bisa melangkah lebih jauh dari ini.
Dulu, ia pernah nekat meninggalkan rumah dan mengikuti Brian hingga ke kota ini. Tapi sekarang, Brian telah dipindahtugaskan ke luar kota, sementara Serena sadar bahwa ia tak bisa terus-menerus mengekorinya. Alasannya jelas: mereka belum menjadi pasangan suami istri yang sah.
Serena masih memegang teguh batas-batas yang ia pahami. Ia tahu, ada garis yang tak boleh ia langkahi.
Meskipun hubungannya dengan sang ayah tidak begitu harmonis, Serena tetap menaruh rasa hormat kepadanya. Ia tak ingin ayahnya kecewa saat mengetahui putrinya berpindah-pindah tempat mengikuti seorang pria yang belum menjadi suaminya.
Cukuplah ibunya yang dulu pernah mengecewakan pria itu—Serena tidak ingin menambah luka yang sama.
Di samping itu, pekerjaannya di kantor juga tak bisa begitu saja ditinggalkan. Serena baru beberapa hari bekerja dan masih terikat kontrak. Mengajukan pengunduran diri hanya demi mengikuti Brian tentu bukan keputusan yang bijak.
Lagip**a, belum ada kepastian kapan Brian akan menetap di satu tempat. Jika ia pergi tanpa rencana yang jelas, bisa jadi kehadirannya justru menjadi beban bagi Brian, bukan pasangan yang bisa saling menguatkan.
Maka meski keinginannya untuk terus bersama Brian sangat besar, Serena harus tetap tinggal—setidaknya untuk sekarang.
Lamunan Serena seketika buyar saat mendengar suara notifikasi masuk melalui ponselnya. Saat itu juga, dia langsung meraih benda p**ih itu dan melihat nama Brian terpampang di layar.
Ada pesan singkat dari Brian, yang mengabarkan bahwa dia sudah menunggu di depan.
Senyum Serena seketika mengembang. Tanpa membuang waktu, gadis itu segera melangkah menuju Ruang Desain & Kreatif untuk meminta izin kepada Adhan, selaku atasannya.
Dengan sedikit ragu, Serena mengetuk pintu sebelum melangkah masuk. Begitu berada di dalam, pandangannya langsung tertuju pada Adhan yang tengah fokus di depan layar komputer. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, menciptakan irama khas yang memenuhi ruangan.
"Ada apa, Mbak?" tanya Dimas setelah melihat Serena masuk ke dalam.
Adhan yang semula sibuk pun ikut menoleh begitu mendengar nama Serena disebut. Dari balik diamnya, dia menunggu Serena menjawab pertanyaan Dimas.
Serena menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka suara.
"Saya mau izin keluar sebentar," jawab Serena dengan hati-hati.
"Ke mana?" Kali ini Adhan yang bertanya.
"Mengantar seseorang pergi."
Adhan menatapnya beberapa detik tanpa berkata apa-apa, lalu mengangguk. "Ya sudah, Mbak boleh pergi."
"Terima kasih sudah mengizinkan saya pergi. Saya hanya sebentar saja, Setelah urusan saya selesai, saya akan segera kembali ke kantor," ucap Serena dengan senyum tipis yang mengembang sebelum bergegas keluar.
Adhan menatap pintu yang menutup perlahan. Ada sesuatu di matanya—sebuah perasaan asing yang tak ingin ia akui.
Di luar kantor, Brian sudah menunggu di atas sepeda motornya. Jaket hitam dan ransel besar di punggung pria itu menegaskan bahwa dia benar-benar akan pergi.
"Aku pergi, ya. Jaga diri baik-baik. Jangan nakal!"
Brian tersenyum, mencoba mencairkan suasana, tetapi Serena hanya mampu membalas dengan senyum lemah dan mata yang mulai berkaca-kaca. Sejujurnya, Serena tidak ingin Brian pergi, namun lidahnya terasa kelu untuk mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya itu.
Menyadari kesedihan dan keberatan Serena yang akan ditinggal jauh, Brian pun turun dari motornya. Dia lantas menggenggam tangan Serena dengan erat, seolah memberi kekuatan dan keyakinan bahwa ini tidak akan lama.
"Jangan sedih, Re. Aku cuma pergi sebentar. Paling satu atau dua bulan, nanti aku kembali."
Serena menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang hampir jatuh. Napasnya terasa berat saat akhirnya ia berbisik dengan suara bergetar, "Kenapa kita harus seperti ini terus? Aku benci LDR."
Brian menarik Serena ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu merasakan kehangatan dalam dekapannya meski hanya sejenak. Dengan penuh kelembutan, ia mengusap rambut Serena, seolah berusaha meredakan kegundahan yang bersemayam di hati peri kecilnya yang rapuh.
"Sabar, ya? Aku janji nggak akan pergi lama. Aku akan segera melamarmu, jadi kita nggak perlu LDR lagi." Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, berusaha meyakinkan Serena bahwa semua ini hanya sementara.
Serena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan di bahunya, membiarkan keheningan menjadi jawaban atas perasaannya yang bercampur aduk. Dia ingin percaya, tapi tetap saja ada kegelisahan yang tak bisa sepenuhnya hilang.
Beberapa saat kemudian, Brian akhirnya melepaskan pelukannya dengan enggan. Ia menatap Serena untuk terakhir kali sebelum berbalik, melangkah menuju ke motornya.
Serena masih terpaku di sana, matanya tak lepas mengikuti setiap gerakan Brian. Mulai dari saat Brian mengenakan helm, menyalakan mesin motor, lalu perlahan melaju pergi meninggalkan dirinya. Suara mesin motor itu semakin lama semakin terdengar rendah, menyatu dengan desiran angin pagi yang menerbangkan ujung jaket Brian. Serena tetap berdiri di tempatnya, tak bergerak, menatap punggung Brian yang kian mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik tikungan jalan.
Hanya saat itu, Serena menyadari betapa hampa udara di sekelilingnya tanpa kehadiran Brian. Ruang yang ditinggalkannya terasa begitu luas, seakan mengisyaratkan kekosongan yang tak tergantikan.
Ketika ia kembali ke kantor, bekas kesedihan masih tersirat di wajahnya. Matanya yang sedikit merah tak luput dari perhatian Lila.
"Hei, kau habis nangis, ya?" godanya.
"Enggak," jawab Serena cepat, meski jelas bahwa itu bohong.
Lila terkekeh pelan. “Ditinggal pacar LDR memang menyedihkan.”
Serena hanya bisa manyun, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.
"Karena urusanku sudah selesai. Mending kamu balik ke ruanganmu sana," ujarnya sambil melirik Lila.
"Idih, bukannya bilang makasih, malah disuruh pergi." Lila mencibir sambil memasang raut pura-pura kesal.
"Iya, iya. Terima kasih, Queen Lila, sudah mau backup tempat saya—meskipun cuma sebentar."
Lila menyipitkan mata, lalu tersenyum puas. “Aku s**a itu.”
"S**a apa?"
"Panggilan 'Queen Lila'."
Selagi Lila dan Serena saling berdebat, Adhan mengamati interaksi mereka dari balik kaca dinding yang membatasi antara satu ruangan dengan ruangan yang lain. Tatapannya tajam, seolah mencoba membaca setiap ekspresi yang terpancar dari wajah Serena.
Sebagai rekan kerjanya, Dimas ikut memperhatikan arah pandang Adhan. Dengan senyum khasnya yang jahil, ia menyelutuk, "Dia lucu juga ya. Seandainya aku punya pacar yang menangis seperti itu saat aku pergi."
Adhan memasang wajah tak s**a, alisnya berkerut sedikit.
Dimas menyipitkan mata, senyumnya semakin lebar. "Jangan bilang kau cemburu?" goda pria itu, mencoba memancing reaksi.
"Sulit tertarik sama orang yang sudah punya pasangan," jawab Adhan singkat, suaranya datar namun tegas. Ia mencoba mengalihkan pandangannya kembali ke layar komputer, seolah tak terusik dengan perkataan Dimas.
Dimas tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Bagaimana kalau aku kenalkan kau dengan teman-temanku? Siapa tahu ada yang cocok," usulnya, masih dengan nada bercanda.
"Nggak tertarik." Adhan membalas tanpa menoleh.
Mendengar jawaban itu, Dimas berdecit kecil, menghela napas seolah menyerah.
"Baiklah, Bos. Kalau begitu, kita lanjut kerja saja," ujarnya sambil kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Adhan yang masih sesekali melirik ke arah Serena.
Bersambung
BACA BAB SELANJUTNYA
https://www.facebook.com/share/p/14aWb1H2NK/