
27/07/2025
Judul: “Sunyi di Ujung Desa”
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah menghijau dan pegunungan berkabut, hiduplah seorang anak bernama Evan. Ia baru berusia 11 tahun ketika kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan saat perjalanan ke kota. Sejak itu, hidup Evan berubah total. Tak ada lagi suara tawa ibu di dapur. Tak ada lagi pelukan hangat ayah sepulang dari ladang.
Rumah mereka berada di ujung desa, dekat sungai yang alirannya tenang dan jernih. Dulu, ayah sering mengajak Evan bermain di sana, melempar batu ke air atau hanya duduk mendengarkan suara gemericik yang menenangkan.
Kini, Evan sendiri. Tak punya keluarga, tak ada saudara yang datang mencari. Warga desa sesekali membantu memberinya makanan, tapi hari-harinya lebih banyak dihabiskan dalam sunyi.
Setiap pagi, Evan bangun dari tikar lusuh peninggalan ibunya. Ia menyalakan tungku kecil, memasak seadanya—kadang hanya nasi dan garam. Lalu ia berjalan ke tepi sungai, tempat yang menjadi satu-satunya penghibur baginya. Di bawah pohon besar yang rindang, ia duduk memandangi langit dan bertanya dalam hati:
"Kenapa Tuhan mengambil mereka secepat ini?"
Kadang ia berbicara sendiri, pura-pura sedang bercerita pada ibunya. Di malam hari, ia tidur dengan memeluk baju ayahnya yang masih menyisakan sedikit bau tanah dan keringat.
Meski sepi dan penuh luka, Evan tak pernah menangis di depan orang lain. Tapi di sungai itu—di tempat rahasianya—air matanya tumpah setiap hari. Ia menulis nama kedua orang tuanya di tanah, lalu membiarkan angin menghapusnya.
Di desa yang damai, dikelilingi sawah dan gunung, tak banyak yang tahu betapa sunyinya dunia seorang anak kecil bernama Evan. Namun, setiap pagi, ketika mentari menyentuh pucuk-pucuk padi, Evan masih berdiri di tepi sungai, berharap suatu hari ada seseorang yang datang, menggenggam tangannya, dan berkata:
"Kamu tidak sendirian lagi."