
26/07/2025
Jakarta jelang siang...
Sambil menyeruput kopi sachet rasa harapan,
di bangku plastik yang lebih tua dari demokrasi,
aku menyaksikan simfoni jalanan:
klakson, debu, dan ambisi yang ngebut tanpa helm.
Tukang ojek lewat lagi,
menawarkan tumpangan ke surga dunia—atau paling tidak, ke kantor yang tak pernah mencintai mereka.
Pejalan kaki ditodong senyum,
"Pak, mau ke mana? Saya bisa antar,
asal jangan ke masa depan, itu terlalu jauh dan jalannya rusak."
Di sebelah, warung pecel menyuarakan khutbah harga murah
dengan sambal yang lebih pedas dari debat politik di TV.
Sementara itu, langit Jakarta…
seolah tahu malu,
menutupi panasnya dengan awan tipis-tipis,
mirip janji kampanye yang baru dicetak.
Begitulah, kota ini—
penuh semangat,
penuh asap,
dan penuh alasan untuk tetap tinggal,
meski setiap hari seperti ditampar realita pakai sandal jepit.