29/07/2025
Terima Donasi Rp1,5 Miliar: Agam Rinjani Sumbang Lebih Dari 24 Milyar?
Opini: Adit R Alfath
Dari tragedi di puncak Rinjani, lahir cerita yang gaungnya menembus batas benua, menyentuh sisi terdalam kemanusiaan tanpa mengenal sekat bangsa dan bahasa.
Adalah Abdul Haris Agam, pria asal Makassar yang berhasil menjadi aktor sentral dalam kisah kemanusiaan, proses evakuasi jenazah Juliana Marins, travel influencer asal Brasil yang jatuh di Rinjani pada 21 Juni 2025 lalu.
Aksi heroiknya, mempertaruhkan nyawa untuk mengangkat jasad Juliana dari dasar tebing sedalam 600 meter, menyentuh hati warganet Brasil. Aksi ini bahkan berhasil menggerakkan simpati mereka untuk menggalang donasi hingga Rp1,5 miliar untuk Agam. Namun, dari balik rupiah tersebut, muncul pro dan kontra, terutama di kalangan relawan dan tim penyelamat lain. Banyak yang menilai, keberhasilan Agam tak lepas dari kerja sama seluruh tim.
Tapi mari kita tinggalkan soal pro dan kontra tersebut, dan alihkan fokus pada sesuatu yang lebih besar: eksposur global yang telah diberikan Agam kepada Indonesia, khususnya Rinjani yang tanpa ia sadari, tanpa ia niatkan, dan pastinya tanpa dibayar.
Dalam dunia komunikasi dan pemasaran, kekuatan narasi seringkali jauh melampaui angka. Dalam kasus Agam Rinjani, dunia melihatnya lebih dari sekadar aksi penyelamatan, melainkan kisah heroik seorang pemuda yang dengan keberanian dan ketulusan hati mengambil risiko nyata demi kemanusiaan. Sebuah aksi yang berhasil menggugah empati publik global, dan mendorong mereka untuk mengenal lebih jauh tentang sosok seorang Agam, tentang pulau Lombok, dan tentang Indonesia.
Jadi, Narasi yang terbangun bukan hanya tentang sosok Agam, tetapi juga tentang nilai-nilai kemanusiaan yang lahir di pulau Lombok dan menjadi cerminan wajah Indonesia di mata dunia. Jika kita mencoba menghitung nilai eksposur dari liputan media internasional, nasional, regional, hingga platform digital tentang kisah Agam Rinjani, nilainya secara otomatis akan melampaui angka donasi yang ia terima.
Mari kita hitung secara sederhana. Misalkan ada 100 media internasional dan 100 media nasional di Indonesia serta Brasil, masing-masing menayangkan 5 berita. Totalnya menjadi 300 media × 5 berita = 1.500 berita.
Jika satu berita bernilai $1.000, maka nilai total eksposur mencapai:
1.500 × $1.000 = $1.500.000 (sekitar Rp 24 miliar). Angka inilah yang kami maksud sebagai sumbangan Agam yang otomatis terjadi; tanpa ia sadari atau bahkan mungkin tidak ia ketahui.
Dan itu belum termasuk eksposur dari media lokal dan regional, viralitas di media sosial, user-generated content, video dokumenter, dan potensi liputan lanjutan lainnya yang masih terus bergulir.
Berangkat dari hal itu, Agam, dalam pandangan kami, adalah Duta Tanpa Seragam. Ia tak berpidato di forum internasional, tetapi lewat aksinya, ia berhasil mengirim pesan kuat kepada dunia:
"Inilah Indonesia, tempat di mana rasa kemanusiaan masih hidup dan dijunjung tinggi”
Tindakan Agam menciptakan nilai emosional yang tak mungkin dicapai lewat iklan atau strategi branding. Ia berhasil mengangkat Indonesia dan Brasil dari duka mendalam akibat tragedi Juliana Marins, lalu mengubahnya menjadi rasa kagum dan bangga yang menumbuhkan solidaritas antarbangsa.
Agam berhasil menciptakan sebuah ‘momento’, atau bahkan golden momentum, yang membuat semua mata tertuju padanya dan mendorong media-media besar global turut bersuara sesuai dengan narasinya: tentang kemanusiaan, tentang ketulusan, dan juga tentang keindahan Indonesia seperti yang kita lihat di berbagai platform media.
Sayangnya, negara bahkan daerah terkesan belum membaca peluang ini secara strategis. Hingga hampir satu bulan setelah peristiwa, belum terlihat adanya upaya dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk secara resmi menggandeng Agam beserta kisahnya sebagai bagian dari kampanye diplomasi publik, promosi wisata petualangan, kampanye kemanusiaan, atau sekedar pemberian penghargaan simbolik sebagai sosok inspiratif daerah.
Padahal, cerita Agam adalah peluang langka untuk ambush marketing dengan dampak organik luar biasa. Tak mengherankan jika brand brand besar justru lebih cepat bergerak.
Consina dengan cepat menggandeng Agam untuk kolaborasi. BAIC menggunakan momento ini untuk memperkenalkan diri ke audience Indonesia dan Brasil. Bahkan Columbia Pictures, Netflix, dan National Geographic dikabarkan tengah memproduksi film dokumenter tentang kisah Agam Rinjani. Bisa dibayangkan, seberapa besar nilai eksposur yang disumbangkan Agam lewat proyek ini?
Bagi yang masih bertanya, “kenapa hanya Agam yang menerima donasi?” — jawabannya sederhana: karena dialah yang membangun narasi. Dan dari narasi itulah ia menyumbangkan jauh lebih besar daripada yang ia terima.
Ingat, Agam tidak hanya menyelamatkan jenazah Juliana. Ia menyelamatkan citra Indonesia dalam penanganan insiden ini. Ia menyumbang narasi yang membangun koneksi emosional antarbangsa dan membuka peluang promosi destinasi.
Maka, i/o mempertanyakan, “Layakkah Agam menerima donasi Rp1,5 miliar seorang diri?”
Menurut kami akan lebih tepat jika pertanyaannya dirubah,
“Di mana peran daerah dan negara ketika seorang warganya memberikan kontribusi yang begitu besar dan membuat dunia menoleh ke Indonesia?”
Catatan:
Ini sekadar pendapat dan analisis pribadi seorang pegiat marketing dan komunikasi. Kami tidak tertarik pada drama di balik donasi, melainkan pada nilai kontribusi yang tercipta: sebuah narasi kuat yang, tanpa disadari Agam Rinjani, telah memberikan eksposur luar biasa. Jika dikonversi ke nilai setara promosi, dampaknya bisa puluhan kali lipat lebih besar daripada angka donasi yang ia terima.