08/11/2025
AA Gde Ngurah: Raja Hindu yang Memeluk Umat Islam
Raja terakhir Kerajaan Mataram Lombok, AA Gde Ngurah Karangasem, dikenal sebagai pemimpin bijak yang menanamkan nilai toleransi lintas agama selama 24 tahun pemerintahannya (1870–1894). Di masa kepemimpinannya, umat Islam menikmati kebebasan beribadah yang luas, bahkan di dalam lingkungan istana, sesuatu yang jarang terjadi di masa itu.
Pernikahannya dengan Dende Aminah, seorang perempuan Muslim asal Kalijaga, menjadi simbol harmoni dan penghormatan antarumat beragama.
Catatan para peneliti seperti Henri Chambert-Loir (2013), R Van Eck dalam ‘Schetsen van het eiland Bali’ (1878), dan CJ Leendertz dalam ‘De Debacle van Lombok’ (1894) menunjukkan bahwa sang raja bukan hanya menghormati, tetapi juga melindungi dan memfasilitasi kehidupan umat Islam.
Raja AA Gde Ngurah Karangasem bahkan mewakafkan tanah untuk pembangunan sejumlah masjid di Lombok, termasuk Masjid Cakranegara, Ampenan, Kediri, dan Sesela. Dua di antaranya; Masjid Kediri dan Sesela, masih menyimpan surat wakaf asli hingga hari ini. Ia juga mempermudah proses keberangkatan haji dengan menunjuk Haji Abdul Majid sebagai perwakilan resmi di Jeddah untuk membantu jamaah haji asal Lombok.
Tak berhenti di sana, sang raja turut membangun rumah singgah haji di Mekah, yang diduga menjadi salah satu yang pertama di Nusantara. Dalam urusan pemerintahan, ia menunjuk Sayyid Abdullah sebagai penasihat untuk menjembatani hubungan antara kerajaan dan masyarakat Sasak yang mayoritas Muslim.
Kedekatan raja dengan tokoh-tokoh Islam seperti Guru Bangkol, H. Majid, H. Ali Batu, H. Ahmad Kediri, dan H. Abdul Gafur terekam dalam banyak sumber sejarah. Bahkan, banyak yang meyakini sosok ulama misterius yang diabadikan dalam bentuk patung bersorban di Bale Kambang, Taman Mayura adalah H. Abdul Gafur— sebagai simbol persahabatan lintas keyakinan dan sekaligus pondasi toleransi umat beragama.
Dari garis keturunan sang raja, lahir Datu Pangeran atau Imam Sumantri, cucu sang raja yang memeluk Islam atas restu langsung kakeknya. Sejak kecil, ia belajar mengaji pada TGH Muhammad Yasin dari Kelayu, naik haji di usia 10 tahun, dan berguru pada Guru Bangkol di Praya. Ia dikenal sebagai sosok yang dicintai masyarakat Sasak karena dianggap sebagai jembatan antara dua identitas besar: Sasak dan Bali, Islam dan Hindu.
Setelah kekalahan kerajaan pada 1894 dan pengasingan sang raja ke Batavia, Datu Pangeran ikut menanggung nasib pahit. Meski sempat berada di bawah perlindungan Guru Bangkol, ia akhirnya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Buitenzorg (Bogor) karena dituduh terlibat dalam pembunuhan Jenderal Van Ham—peristiwa yang, menurut beberapa sumber, justru dilakukan oleh Gusti Ayu Praba, putri raja, bersama Dende Aminah (berdasarkan tulisan Sandy Amaq Rinjani yang merujuk Buku Lombok Abad XIX karya I Gede Parimartha).
Namun tidak sedikit pendapat lainnya yang membantah klaim tersebut, karena berdasarkan catatan Belanda, Jenderal Van Ham tewas akibat tembakan peluru, bukan tikaman belida yang dibawa Gusti Ayu Praba.
Sebagai bagian dari proses politik dan hukum kolonial, Datu Pangeran kemudian menjalani pemeriksaan resmi oleh pemerintah Hindia Belanda di Bogor pada Juli 1895. Arsip rahasia yang kini telah ditemukan dengan kode Mail No. 16542 dan Mail No. 1634/412, menggambarkan bagaimana cucu sang raja duduk di hadapan Residen Batavia, Jonkheer von Schmidt auf Altenstadt, dalam menjalani sidang pemeriksaan rahasia (Proces-Verbaal).
Dalam catatan itu, Datu Pangeran menyebut identitasnya dengan nama Pangeran Abdul Madjid, dan menjelaskan silsilahnya sebagai cucu Raja AA Gde Ngurah Karangasem. Ia menuturkan lahir di Puri Cakranegara, tinggal terakhir di Praya bersama Guru Bangkol, dan kini hidup dalam pengasingan di Buitenzorg.
Ketika ditanya mengenai tuduhan keterlibatan dalam serangan terhadap Belanda pada 26 Agustus 1894, ia menjawab tenang: sehari setelah peristiwa itu, Anak Agung Made Djelantik datang mengajaknya bergabung, tetapi ia menolak dan memilih menjauh. Namun, perintah ayahnya Anak Agung Ketut Karangasem memaksanya kembali ke Mataram, momen yang kelak menyeret namanya dalam pusaran konflik dan pengasingan panjang.
Kisah ini menjadi potret bagaimana lintasan sejarah Lombok bukan hanya tentang peperangan dan politik kekuasaan, tetapi juga tentang toleransi, keyakinan, dan keteguhan moral yang diwariskan lintas generasi. Dari seorang raja Hindu yang memeluk erat umat Islam, hingga teladan dari cucunya—seorang muslim yang mampu menghadapi tekanan kolonial dengan kepala tegak. Sejarah ini menegaskan bahwa kehormatan tidak ditentukan oleh kekuasaan, tetapi oleh sikap dan nilai yang dijaga di tengah badai zaman.
Tulisan ini dirangkum dari hasil kajian dan ulasan sejumlah pemerhati sejarah Lombok: Muhammad Nursandi Amaq Rinjani, Ali Lombok, Dian Latif, Gegen, dan Lombok Heritage and Science Society.
📷 Foto: AA Gde Ngurah Karangasem bersama AA Made Djelantik, AA Gde Rai, AA Ketut Oka, dan AA Gde Oka. (Sumber: KITLV)