21/09/2025
Tak dapat dipungkiri, sorotan besar lewat buku Eat, Pray, Love yang kemudian difilmkan dan menjadi box office dunia, turut membentuk wajah Bali sebagai destinasi spiritual dunia. Sejak film itu diluncurkan, tidak terhitung jumlah selebriti papan atas Hollywood yang memilih Bali sebagai destinasi spritual.
Namun, ada sebuah kisah yang jarang diketahui publik. Tahukah kalian, salah satu pengalaman paling berkesan Elizabeth Gilbert justru tidak terjadi di Bali, melainkan di Lombok? Fragmen penting ini memang tidak masuk ke dalam film, tetapi pernah diceritakan langsung oleh Gilbert dalam The Oprah Winfrey Show
Saat itu, Gilbert berusia 31 tahun, tengah melalui masa sulit akibat perceraian dan depresi. Ia memutuskan untuk pergi ke sebuah p**au kecil di lepas pantai Lombok, berniat menjalani sepuluh hari penuh keheningan untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Di p**au sederhana itu, Gilbert terbiasa berjalan setiap hari mengelilingi pesisir. Ada seorang perempuan Muslim setempat yang kerap menyapanya dengan meletakkan tangan di dada dan tersenyum. Sapaan itu ia balas dengan cara yang sama, meski keduanya tak pernah bertukar kata, bahkan tak saling tahu nama.
Hingga suatu hari, Gilbert jatuh sakit parah karena keracunan makanan. Ia terkurung di gubuk kecilnya, lemah, dehidrasi, dan ketakutan. Ketika perempuan itu tak lagi melihat Gilbert lewat dalam rutinitas hariannya, ia merasa ada yang tidak beres. Dengan penuh kepedulian, ia mencari hingga menemukan Gilbert dalam kondisi memprihatinkan, lalu kembali membawakannya air minum dan makanan. Ia merawat Gilbert bak seorang ibu kepada anaknya, meskipun ia tidak mengetahui namanya sama sekali.
Bagi Gilbert, itulah momen paling penuh rahmat dalam hidupnya—kasih sayang tanpa pamrih dari seseorang yang sama sekali tidak mengenalnya. “She is my face of Islam,” ujarnya kepada Oprah, mengenang perempuan Muslim itu sebagai wajah kebaikan yang akan selalu ia kenang.
Sebuah kisah kecil, sederhana, namun menyimpan makna mendalam: bahwa Lombok sesungguhnya hadir dalam perjalanan spiritual Eat, Pray, Love, sebagai bab tersembunyi yang penuh kehangatan dan kemanusiaan.
Lebih dari sekadar catatan pribadi, kisah ini mengingatkan kita bahwa daya tarik sebuah destinasi tidak hanya terletak pada panorama alamnya, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam diri masyarakatnya.
Lombok menawarkan narasi yang berbeda: keheningan yang menyembuhkan, keramahan yang tulus, dan pengalaman otentik yang lahir dari interaksi manusia. Inilah modal budaya yang, jika dirawat dan diceritakan dengan tepat, mampu menempatkan Lombok sejajar dengan Bali sebagai destinasi dunia. Bukan sekedar karena keindahan alamnya, tetapi karena jiwa yang menyertainya.
Bayangkan jika setiap orang di Lombok menghadirkan ketulusan yang sama, maka dunia akan melihat p**au ini bukan sekadar tempat berlibur, tetapi rumah yang hangat bagi siapa pun yang datang. Sebuah wajah kemanusiaan yang dapat membuat Lombok abadi dalam ingatan, jauh melampaui keindahan alamnya.
Pertanyaannya: Siapakah gerangan Ibu yang menolong Elizabeth Gilbert itu?
fans