
19/07/2025
KISAH KUNJUNGAN KE-2
Hari ini kunjungan kedua ke pesantren mamas, sekalian ada rapat wali murid.
Aku pikir bakal biasa aja...
Karena pas awal datang, mamas masih belajar di kelas.
Dia keluar sebentar, izin ke toilet, masih sempat senyum-senyum ke aku dan adiknya.
Matanya masih cerah, badannya masih semangat, dan aku sempat lihat... kunci lemarinya digantung di pinggang celana, sandal dipakai bareng kaos kaki.
Senyumnya masih tenang. Aku lega.
Tapi pas jam istirahat, suasana mulai berubah.
Rapat belum selesai, dan aku lihat dia mendekat perlahan.
Nggak langsung nyamperin, tapi matanya... udah beda.
Tatapan kosong tapi berkaca.
Dan bener aja... nggak lama kemudian, dia nyamperin aku sambil nangis-nangis.
"Bunda... Mamas nggak sanggup mondok. Mamas nggak betah, mau sekolah fullday aja..."
Ya Allah...
Pecah juga pertahananku.
Hatiku langsung nyesss... kayak ditusuk pelan-pelan.
Tapi demi masa depan mamas, aku nggak boleh ikut runtuh.
Aku peluk dia, aku usap punggungnya, aku kasih pengertian,
aku bisikkan nasehat-nasehat kecil, dan beberapa janji agar dia mau bertahan sedikit lagi.
Mamas sekarang sedang benar-benar belajar jadi kuat.
Aku perhatikan penampilannya...
Pakai baju dan celana dobel-dobel—kaos dan training di dalam, baju sekolah di luar.
Nafasnya agak bauk, mungkin lupa sikat gigi.
Kaos kakinya miring, nggak terpasang rapi. Kukunya terlihat hitam.
Minyak kayu putih yang dulu aku bawakan ada di kantongnya, mungkin kepalanya sering pusing, jadi selalu dibawa kemana-mana.
Dia bilang uang jajannya udah habis.
Makanan yang kemarin aku bawakan juga udah ludes.
Nggak ada setrikaan, jadi bajunya nggak disetrika.
Dan katanya... dia belum bisa bangun subuh-subuh.
Aku jawab: “InsyaAllah nanti terbiasa, Sayang...”
Dia bilang lagi: “Aku nggak kuat mondok.”
Aku peluk dia dan bilang: “Pelan-pelan... nanti juga terbiasa.”
Dia minta pulang seminggu sekali.
Aku bilang, “Nanti kita tanya dulu ke pengurus pesantren, ya...”
Ya Allah...
Melihat anak sekecil itu harus bertahan di tengah rutinitas baru yang asing,
makan seadanya, tidur tanpa peluk ibu, bangun tanpa alarm suara emak,
nggak ada yang ngingetin mandi, sikat gigi, atau ganti baju...
Itu bukan hal mudah.
Tapi justru disinilah prosesnya dimulai.
Di sinilah dia ditempa.
Menjadi laki-laki.
Menjadi pribadi tangguh.
Bukan hanya anak manja yang semua serba disiapkan.
Dan aku sebagai ibunya, harus belajar satu hal penting:
Melepas, tapi tetap mendampingi dalam doa.
Karena suatu hari nanti...
Dia akan jadi laki-laki dewasa yang bisa berdiri sendiri.
Bukan karena dunia memudahkan dia,
tapi karena pernah bertahan di tengah kesulitan kecil sejak dini.
💔🌙
Peluk jarak jauh dari ibu, Nak.
Kita sama-sama belajar kuat, ya...