14/07/2025
Setetes Air untuk Bilal
Matahari membakar langit Madinah dengan sinar teriknya. Gurun pasir berkilau seperti bara, dan debu beterbangan seolah ikut menyiksa siapa pun yang melangkah di atasnya. Di tengah panas itu, seorang budak kulit hitam terbaring lemas di atas bebatuan. Tubuhnya terikat, dadanya dihimpit batu besar, dan dari mulutnya hanya satu kata lirih yang terus keluar:
"Ahad... Ahad... Ahad..."
Itulah Bilal bin Rabah, seorang budak yang telah menemukan cahaya Islam dan enggan kembali pada kegelapan jahiliah. Walau kulitnya melepuh dan bibirnya pecah karena haus, iman di dadanya lebih kuat dari derita tubuhnya.
Setiap hari majikannya, Umayyah bin Khalaf, menyiksa Bilal agar ia mau mengingkari Allah dan kembali menyembah berhala. Namun Bilal tidak gentar. Lidahnya tetap teguh mengucap satu kalimat: “Ahad...”
Di kejauhan, seorang anak kecil memandangi Bilal dari balik tembok pasar. Namanya Sa’id, anak penjual air miskin. Ia sering melihat Bilal diperlakukan dengan kejam, dan hatinya tersayat setiap kali mendengar jeritan itu.
Hari itu, Sa’id mendekati ayahnya yang sedang memikul kantung air.
“Ayah, bolehkah aku memberikan air ini untuk Bilal?” pintanya sambil menunjuk satu kantung kecil air segar.
Ayahnya menatap Sa’id, ragu. “Nak, air ini untuk dijual. Kita tidak punya cukup untuk dibagi.”
Tapi melihat mata anaknya yang berkaca-kaca, sang ayah pun mengangguk pelan. “Ambillah, Nak. Semoga Allah merahmati kita.”
Dengan hati-hati, Sa’id membawa kantung air itu dan mengendap ke tempat Bilal disiksa. Ia tahu para penjaga bisa memukulnya jika tertangkap, tapi hatinya tak tega melihat Bilal sekarat.
“Bilal... Ini air...” bisiknya pelan.
Mata Bilal terbuka, sayu dan lemah. Melihat wajah kecil Sa’id, ia tersenyum samar. Sa’id menyentuhkan ujung kantung air itu ke bibir Bilal yang pecah. Setetes air menyentuh lidahnya. Hanya setetes. Tapi itu cukup. Cukup untuk menguatkan kembali hatinya.
Bilal kembali berkata, lebih lantang dari sebelumnya, “Ahad... Ahad...”
Tak lama kemudian, datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia menebus Bilal dengan harga mahal, membebaskannya dari perbudakan. Dan Bilal, si budak yang dulu disiksa, kelak menjadi muazin pertama Islam—suara indahnya menggema di langit Madinah.
Namun Bilal tak pernah melupakan anak kecil itu. Bertahun-tahun kemudian, saat Sa’id telah dewasa dan hidup dalam kesulitan, Bilal datang padanya dengan setetes air mata haru.
“Dulu, kau memberiku setetes air untuk bertahan. Sekarang, biarlah aku memberimu kehidupan yang lebih layak.”
---
Pesan Moral:
Kadang, kebaikan kecil seperti setetes air bisa menjadi kekuatan besar bagi seseorang yang sedang terjatuh. Jangan remehkan kebaikan, sekecil apa pun itu.