Penjaga hati

Penjaga hati ketika terjatuh jangan terpuruk berusaha lah untuk bangkit,
kesuksesan tak akan terjadi.tanpa usaha

Assalamualaikum
16/07/2025

Assalamualaikum

Lagi ada yg interaksi
15/07/2025

Lagi ada yg interaksi


15/07/2025

"Pelukan Terakhir Abu Bakar"

Madinah pagi itu terasa sejuk. Mentari belum sepenuhnya menyibak kabut, namun masjid Nabawi telah ramai oleh kaum Muslimin. Di antara mereka, tampak seorang lelaki tua dengan janggut putih yang selalu basah oleh air mata—Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat sejati Rasulullah ﷺ.

Sudah berhari-hari Rasulullah terbaring sakit. Abu Bakar merasa hatinya remuk. Ia tahu, waktu perpisahan semakin dekat. Meski imannya kokoh, namun cintanya kepada Rasulullah ﷺ membuatnya rapuh.

Hari itu, Abu Bakar mengimami salat Subuh. Saat ia hendak memulai takbir, tiba-tiba para jamaah bergeming. Semua menoleh ke arah kamar Rasulullah ﷺ. Tirai kamar tersingkap, dan tampaklah sang Nabi tersenyum memandang umatnya. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, namun senyum itu… senyum itu membawa harapan.

Abu Bakar menangis. Ia tahu, itulah senyum perpisahan.

Beberapa saat kemudian, kabar itu datang seperti petir di siang bolong. Rasulullah ﷺ wafat.

Abu Bakar berlari menuju kamar Nabi. Ia mendekat, menyentuh dahi kekasihnya itu, lalu mengecupnya dengan penuh cinta.

"Engkau telah hidup mulia, wahai Rasulullah. Dan engkau wafat dalam keadaan mulia..." bisiknya, menahan tangis.

Di saat banyak sahabat terpukul, Abu Bakar berdiri tegar. Di mimbar, ia berkata dengan suara bergetar namun mantap:

"Barang siapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Tapi barang siapa menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati."

Hari-hari berikutnya menjadi saksi bahwa cinta Abu Bakar bukan hanya dalam kata, tapi dalam perjuangan. Ia memimpin umat, menjaga warisan Rasulullah ﷺ, dan memerangi kemurtadan yang mengancam Islam. Namun dalam setiap sujud dan malamnya, ia selalu berbisik lirih,

"Wahai Rasulullah… aku merindukan pelukan terakhir itu."

---

Pesan moral:
Kisah Abu Bakar mengajarkan kita tentang cinta sejati dalam keimanan—bukan sekadar emosi, tapi pengorbanan dan keteguhan untuk menjaga apa yang dicintai. Seperti Abu Bakar, mari kita cintai Rasulullah ﷺ dengan menaati ajarannya dan memperjuangkan Islam.



14/07/2025



14/07/2025

Setetes Air untuk Bilal

Matahari membakar langit Madinah dengan sinar teriknya. Gurun pasir berkilau seperti bara, dan debu beterbangan seolah ikut menyiksa siapa pun yang melangkah di atasnya. Di tengah panas itu, seorang budak kulit hitam terbaring lemas di atas bebatuan. Tubuhnya terikat, dadanya dihimpit batu besar, dan dari mulutnya hanya satu kata lirih yang terus keluar:

"Ahad... Ahad... Ahad..."

Itulah Bilal bin Rabah, seorang budak yang telah menemukan cahaya Islam dan enggan kembali pada kegelapan jahiliah. Walau kulitnya melepuh dan bibirnya pecah karena haus, iman di dadanya lebih kuat dari derita tubuhnya.

Setiap hari majikannya, Umayyah bin Khalaf, menyiksa Bilal agar ia mau mengingkari Allah dan kembali menyembah berhala. Namun Bilal tidak gentar. Lidahnya tetap teguh mengucap satu kalimat: “Ahad...”

Di kejauhan, seorang anak kecil memandangi Bilal dari balik tembok pasar. Namanya Sa’id, anak penjual air miskin. Ia sering melihat Bilal diperlakukan dengan kejam, dan hatinya tersayat setiap kali mendengar jeritan itu.

Hari itu, Sa’id mendekati ayahnya yang sedang memikul kantung air.

“Ayah, bolehkah aku memberikan air ini untuk Bilal?” pintanya sambil menunjuk satu kantung kecil air segar.

Ayahnya menatap Sa’id, ragu. “Nak, air ini untuk dijual. Kita tidak punya cukup untuk dibagi.”

Tapi melihat mata anaknya yang berkaca-kaca, sang ayah pun mengangguk pelan. “Ambillah, Nak. Semoga Allah merahmati kita.”

Dengan hati-hati, Sa’id membawa kantung air itu dan mengendap ke tempat Bilal disiksa. Ia tahu para penjaga bisa memukulnya jika tertangkap, tapi hatinya tak tega melihat Bilal sekarat.

“Bilal... Ini air...” bisiknya pelan.

Mata Bilal terbuka, sayu dan lemah. Melihat wajah kecil Sa’id, ia tersenyum samar. Sa’id menyentuhkan ujung kantung air itu ke bibir Bilal yang pecah. Setetes air menyentuh lidahnya. Hanya setetes. Tapi itu cukup. Cukup untuk menguatkan kembali hatinya.

Bilal kembali berkata, lebih lantang dari sebelumnya, “Ahad... Ahad...”

Tak lama kemudian, datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia menebus Bilal dengan harga mahal, membebaskannya dari perbudakan. Dan Bilal, si budak yang dulu disiksa, kelak menjadi muazin pertama Islam—suara indahnya menggema di langit Madinah.

Namun Bilal tak pernah melupakan anak kecil itu. Bertahun-tahun kemudian, saat Sa’id telah dewasa dan hidup dalam kesulitan, Bilal datang padanya dengan setetes air mata haru.

“Dulu, kau memberiku setetes air untuk bertahan. Sekarang, biarlah aku memberimu kehidupan yang lebih layak.”

---

Pesan Moral:
Kadang, kebaikan kecil seperti setetes air bisa menjadi kekuatan besar bagi seseorang yang sedang terjatuh. Jangan remehkan kebaikan, sekecil apa pun itu.



Salam interaksi,, salam silaturahmi Selamat beristirahat
13/07/2025

Salam interaksi,, salam silaturahmi
Selamat beristirahat

Sahabat Sejati: Kisah Abu Bakar As-SiddiqDi bawah terik mentari Madinah, seorang lelaki tua berjalan perlahan, membawa s...
13/07/2025

Sahabat Sejati: Kisah Abu Bakar As-Siddiq

Di bawah terik mentari Madinah, seorang lelaki tua berjalan perlahan, membawa sekantong gandum di pundaknya. Wajahnya teduh, janggutnya memutih, dan senyumnya selalu merekah. Dialah Abu Bakar As-Siddiq, sahabat paling setia Rasulullah SAW.

Suatu malam, setelah shalat Isya, Abu Bakar menyelinap keluar dari rumahnya. Umar bin Khattab, yang penasaran dengan kebiasaan itu, diam-diam mengikutinya. Ia melihat Abu Bakar memasuki sebuah gubuk reyot di pinggiran kota. Setelah beberapa lama, ia keluar dan kembali pulang.

Pagi harinya, Umar mendatangi gubuk itu. Di dalamnya tinggal seorang nenek tua yang buta dan lumpuh. Umar bertanya, “Siapa yang datang tadi malam?”

Sang nenek menjawab, “Aku tidak tahu namanya, tapi dia datang setiap malam. Membersihkan rumahku, memasak makanan, dan memberiku minum. Kemudian ia pergi sebelum aku sempat bertanya siapa dia.”

Umar menangis. Hatinya terguncang. Itulah Abu Bakar, khalifah pertama, orang paling dekat dengan Rasulullah SAW, namun masih menyempatkan diri melayani orang yang tak dikenal, tanpa berharap pujian.

Abu Bakar tidak hanya mencintai Rasulullah, tapi juga meneruskan akhlaknya. Ia membuktikan bahwa menjadi sahabat sejati bukan hanya di saat s**a, tetapi juga terus menebar kebaikan walau tak terlihat.

---

Pesan moral:
Seperti Abu Bakar, marilah kita menjadi sahabat sejati—bukan hanya dengan kata, tapi dengan tindakan tulus yang tak perlu diketahui orang lain.



07/07/2025

Selamat sore

Address

Lubuk Pakam

Telephone

+82168320766

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Penjaga hati posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share