16/05/2025
Goresan Pena Hari ini Jum'at 16Mei 2025
Pendidikan Ala Barak Militer:
Antara Solusi dan Bentuk Pesimisme Orangtua dalam Mendidik Anak
Model pendidikan dengan pendekatan ala barak militer, yang menekankan pada disiplin ketat, struktur hierarkis, dan kepatuhan tanpa kompromi, kerap dipilih oleh sebagian orangtua sebagai solusi atas problematika perilaku anak di era modern. Pendekatan ini dianggap mampu membentuk karakter anak yang tangguh, patuh, serta memiliki ketahanan mental dalam menghadapi tekanan hidup.
Kedisiplinan dan karakter softskills lainnya semakin terbukti menjadi hal utama dalam pendidikan. Sehingga, di tengah berbagai kontroversi, pengiriman anak yang dianggap "nakal" ke barak militer disinyalir menjadi jawaban terhadap kebutuhan ini.
Sekolah-sekolah semi-militer atau pesantren dengan sistem kedisiplinan tinggi menjadi opsi favorit orangtua yang mendambakan hasil instan dalam perubahan sikap anak. Namun, pendekatan ini sering diambil bukan semata karena pertimbangan pedagogis, melainkan juga karena dorongan emosional dan keputusasaan orangtua dalam menghadapi anak yang sulit diatur.
Kenakalan remaja memang menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Data UNICEF (2016) mencatat bahwa kekerasan pada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI (2017), terdapat 3,8 persen pelajar dan mahasiswa yang menyatakan pernah menyalahgunakan narkotika dan obat berbahaya. Dalam konteks ini, pendidikan ala barak militer seolah menjadi intervensi cepat terhadap gejala-gejala sosial tersebut.
Namun di lain pihak, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kenakalan anak dan remaja sangat dipengaruhi oleh kondisi pendidikan keluarga dan lingkungan. Maka semestinya, peran keluarga ditingkatkan agar mampu menjadi fondasi utama dalam menahan arus perilaku menyimpang anak dan remaja. Sayangnya, kenyataan menunjukkan arah yang berbeda. Kita menyaksikan fenomena di mana keluarga seolah lepas tangan, menjadikan barak militer sebagai "hukuman" atau "ancaman" yang diberikan ketika anak dianggap menyimpang dari harapan. Padahal, pendidikan seharusnya diawali dari keluarga dan menjadikan orangtua sebagai aktor utama dalam proses pembentukan karakter. Barak militer—seperti metode pendidikan lainnya—dapat menjadi pilihan jika benar-benar dibutuhkan, tetapi tidak boleh menjadi sarana pelarian dari tanggung jawab keluarga.
Uswah sejarah telah menunjukkan bahwa kesalehan seorang anak, seperti Nabi Ismail 'alaihissalam, lahir dari pendidikan kolektif keluarga yang kokoh dalam nilai ketauhidan. Keluarga Nabi Ibrahim 'alaihissalam menunjukkan bahwa kesuksesan pendidikan anak bermula dari kesadaran akan amanah Ilahi dalam membentuk generasi. Kurikulum utama mereka bukanlah prestasi duniawi, melainkan bagaimana semua anggota keluarga terbebas dari api neraka, sebagaimana firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6).
Kesalahan orientasi pendidikan keluarga, yang terlalu mengejar prestasi dan perilaku permukaan tanpa menyentuh akar spiritual dan emosional, bisa menjadi awal tergelincirnya anak dari rel yang seharusnya.
Oleh karena itu, revitalisasi pendidikan keluarga merupakan agenda utama dalam membangun generasi yang utuh secara akal, akhlak, dan iman. Pendidikan seharusnya menjadi proses dialogis yang melibatkan hati dan akal, bukan hanya sistem komando satu arah. Dimanapun anak bersekolah—termasuk jika memilih jalur barak militer—maka pendidikan utamanya harus tetap berada dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan kebersamaan keluarga. Barak militer mungkin dapat menjadi pilihan pendekatan, namun pendidikan berbasis keluarga dalam ketundukan kepada nilai-nilai Ilahiyah adalah keharusan yang tidak bisa digantikan. Akhirnya, solusi jangka panjang dalam membentuk karakter anak tidak terletak pada institusi eksternal semata, tetapi pada rumah yang menjadi madrasah pertama dan utama.
Semoga bermanfaat sekian dan terimakasih atas perhatiannya.
'at