25/10/2023
Upaya Perkuat Keharmonisan, Melalui Pendekatan Budaya 'Ngaliwet'
Pekarangan ibu Aina Nurjanah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Anggrawati II, menjadi titik berkumpul bagi sebagai warga di Blok Minggu Dusun Cadas, Desa Anggrawati, Kec. Maja, Kab. Majalengka, Jawa Barat.
Kehadiran para warga ini tentu tengah menanti nasi liwet yang matang dalam sebuah kawali. Ngaliwet merupakan bagian dari bentuk pelestarian nilai budaya kesundaan yang saat ini cukup populer. Dan masyarakat di Dusun Cadas masih tetap melestarikan kebiasaan ngaliwet itu sendiri.
Meskipun sebenarnya jika diteliti lebih jauh bahwa masyarakat di Dusun Cadas ini, merupakan sebuah tatanan masyarakat yang sebagian besar telah terkontaminasi oleh ragam budaya dari luar.
Sehingga nilai kesundaan perlahan bertransformasi menjadi sebuah percampuran budaya antara Kesundaan, Ke-timur-tengahan dan Kebarat-baratan. Akulturasi budaya ini tidak hanya dapat ditelisik melalui perkataan, bentuk bangunan, stail rambut, fashion, maupun sebuah kebiasaan yang saat ini tengah berlangsung.
Sebagai contoh; anak gadis di Dusun Cadas akan lebih s**a menggunakan celana jeans dari pada samping. Menurutnya menggunakan celana jeanns itu keren, sedangkan menggunakan samping sebagai pelengkap berpakaian menggantikan celana telah ketinggalan zaman.
Pola pikir seperti ini, secara tidak sadar membentuk perspektif bahwa budaya Barat dengan celana jeans-nya itu keren. Sedangkan samping milik nenek moyang itu kuno dan ketinggalan zaman. Dan benar saja tidak ada remaja perempuan di Dusun Cadas yang berupaya mengenakan samping di luar rumah sebagai sebuah fhasion yang dibanggakan. Bisa jadi tidak menggunakan karena tidak mengetahui cara mengenakannya. Atau justru terselip harga diri akan jatuh di mata umum jika mengenakan samping itu sendiri. Dalam arti lebih spesifik yakni gengsi.
Tidak hanya itu penggunaan kopiah pun merupakan suatu hal yang terkesan sakral. Padahal orang Sunda telah terbiasa dengan ikat Sundanya. Bukan-kah keduanya berfungsi sebagai penutup kepala ? Akan tetapi mengapa jika pergi ke mesjid harus ber-kopiah, tidakkah menggunakan ikat Sunda sama saja. Mungkin ini akan menjadi perdebatan cukup sengit hanya perkara penutup kepala.
Sedangkan di ranah infrastuktur misalnya, model rumah orang Sunda berdinding anyaman bambu serta panggung. Kini model rumah seperti itu dianggap bukan rumah layak huni. Padahal selama orang tersebut yang tinggal di dalam rumah itu tertidur dengan p**as. Itu artinya rumah tersebut nyaman dan layak huni.
Konotasi yang meng-diskreditkan itu perlahan menggeser nilai budaya. Lantas menciptakan sebuah perspektif dalam benak masyarakat bahwa 'rumah bilik dan panggung itu miskin dan hina'. Pola seperti ini sebenarnya tengah menggiring masyarakat untuk lebih konsumtif yakni bergantung pada hasil produk pihak lain. Pembelian semen, pasir, batu bata, sedangkan jika hanya menggunakan anyaman bambu, bambu bisa diproduksi sendiri dengan menanamnya.
Dalam tatacara makan pun perlahan mulai bergeser, orang Sunda terbiasa menggunakan tangan kosong untuk makan. Namun kebiasaan tersebut dianggap jorok semenjak kehadiran sendok dan garpu. Pada mulanya sendok dan garpu berasal dari Mesir akan tetapi semenjak ada aturan tatacara makan atau tabel manners ala Eropa, menciptakan sebuah kesan bahwa makan tanpa sendok dan garpu berasa tidak elegan dan terkesan jorok.
Nyatanya dalam penggunaan bahasa pun sebagian cenderung lebih menyukai menggunakan kata 'Aana' dan 'Antum' dari pada 'Abdi', 'Urang', 'Simkuring', bahkan 'Aing'. Sehingga dalam percakapan terdengar sangat gado-gado, 'Aana bade netepan heula nya, Antum mau ikut sekalian ?'
Itulah beberapa nilai dari percampuran budaya yang kini melekat pada masyarakat di Dusun Cadas. Meski terkesan tidak lagi murni sebagai suatu tatanan masyarakat yang menjung-jung nilai-nilai kesundaan. Akan tetapi dalam beberapa praktek berinteraksi, nilai dari tradisi Sunda masih melekat.
• Ngaliwet Upaya Perkuat Keharmonisan
Sebagaimana terlihat sebagian warga di Blok Minggu Dusun Cadas masih nampak guyub mengadakan ngaliwet. Ngaliwet merupakan suatu kegiatan makan bersama dengan lauk pauk seadanya. Ngaliwet tentu berbeda dengan botram meski pun secara umum pada akhirnya makan bersama, akan tetapi dalam prosesnya memiliki perbedaan.
Botram atau makan bersama memiliki ciri khas, setiap individu sebelumnya diharuskan membawa perbekalan masing-masing. Lantas makan bersama di suatu tempat yang telah dijanjikan atau disepakati.
Sedangkan ngaliwet terdapat kesinambungan satu dengan yang lainnya, untuk menjadikan bahan mentah menjadi hidangan siap santap. Maka dalam prosesnya setiap individu memiliki peranan masing-masing, ada yang bertugas membersihkan nasi kemudian menanak nasi di atas tungku, menyiapkan lauk pauk, mengambil daun pisang sebagai alas untuk makanan dihidangkan, dsb.
Melalui ngaliwet itu p**a-lah, tercipta sebuah gotong royong demi mencapai sebuah tujuan yakni makan bersama dari hasil kerja secara bersama-sama. Dan yang menjadi unik yakni pada prosesi makan.Nasi liwet dan lauk pauk, dihamparkan di atas daun pisang secara memanjang. Kemudian satu sama lain saling berhadapan untuk memulai makan bersama.
Ketika makan nyata terasa suasana kebersamaan, saling berbagai serta tercipta nilai kesetaraan. Tidak ada nuansa tinggi dan rendah semua sama duduk bersila dan memakan hidangan ala kadarnya seperti sambal, ikan asin, tempe, tahu, atau ayam bakar. Dan kesemua hidangan itu secara merata dibagikan. Ini merupakan nilai kesundaan yang identik dengan upaya mepemperkuat keharmonisan antara teman, tetangga, maupun keluarga itu sendiri.
Oleh karena itu, di arus persaingan nilai kebudayaan semakin kencang melalui sebuah tontonan berupa tiktok, youtube, snakvideo, instagram, facebook, dsb. Menciptakan kondisi masyarakat begitu sangat beragam sesuai dengan kecenderungannya itu sendir.
Itu artinya pengaruh kebudayaan yang tidak bisa dibendung mengharuskan masyarakat satu dengan yang lainnya memiliki tenggang rasa. Dan jalan satu-satunya untuk dapat merekonsiliasi masyarakat demi terciptanya sebuah nilai kebersamaan hanya melalui pendekatan budaya ngaliwet itu sendiri. Dengan ngaliwet sedikit besar mampu melenturkan skat-skat, serta sentimentil, akibat keberpihakan kepada sebuah fhasion, gaya hidup, keyakinan, atau pun memilih salah satu ideologi politik, dsb.
Penulis : Rafi Asamar Ahmad
Jenis Tulisan : Essai
Kategori : Kebudayaan