Mama Fatta

Mama Fatta ✅ Ibu Rumah Tangga
✅ Review Produk
✅ BERBAGI INFO BER!TA VIRAL
✅ UPDATE SETIAP HARI
✅ Hanya Konten
💥Open jasa Promote & endorse DM ya💥

Spoiler KKN part 11‘Alah tumben ngakuin suaminya Aisyah.’ hatiku tiba-tiba protes dari dalam. Berantem sama yang gak set...
08/10/2025

Spoiler KKN part 11

‘Alah tumben ngakuin suaminya Aisyah.’ hatiku tiba-tiba protes dari dalam. Berantem sama yang gak setuju. Sampe aku mukul p**i dulu biar sadar karena seharian ini aku mikirin Aisyah mulu.

‘Rey, jangan mikirin Aisyah. Hubungan lo ma Sherin udah lama. Kamu kan cinta banget sama dia.’ Nah ini baru bener. Yang tadi aku pikirkan itu salah.

“Bukan hal yang penting yah?!”

Aku pura-pura nyengir juga, meski yakin wajahku terlihat di paksakan untuk tersenyum, soalnya aku gak lagi bahagia hatiku malah lagi kesel.

“Santai sih gue, cuma penasaran aja. Soalnya kedengeran serius banget nada lo tadi. Barangkali kalian mau nikah sebelum KKN, biar nanti pas KKN udah halal?”

Zayyan menoleh kepadaku saat aku tanya hal itu. Lagi-lagi dia tersenyum tipis. Senyum yang bikin aku ingin mengumpat kesal melihatnya.

“Jauh banget pikiran kamu Rey,” Zayyan ketawa kecil, “Enggak penting, ko. Beneran. Biasa aja.”

Anjir dia malah ketawa di atas rasa penasaranku. Kelihatan bangat wajahnya bahagia pas lagi bicarain Aisyah. Aku langsung pura-pura garuk kepala. Pura-pura fokus ke jalan. Tapi kepala aku makin muter-muter.

Apa Zayyan nembak Aisyah? Jangan-jangan mereka emang deket? Tapi Aisyah sama aku, eh, bukan juga sih. Tapi tetep aja. Dia itu… masih istriku.. Secara hukum. Secara surat nikah. Meski cuma nikah terpaksa, tapi tetep aja. Ada rasa yang gak bisa dibohongin. Dan sekarang, cowok ini sahabat Aisyah sendiri, malah nelpon dia, pakai suara lembut, terus ngomong nggantung kayak gitu?

Aih … aku mengacak rambut sampai benar-bener kusut.

“Zay, lo … ” Aku mencoba lagi, lebih hati-hati. Serius aku masih penasaran sama yang tadi mereka bicarakan,“Lo beneran s**a sama Aisyah ya?”

Zayyan diem beberapa detik. Terus dia nyengir. “Kamu nanya gitu kenapa? Kamu juga s**a sama Aisyah?”

Aku langsung batuk kecil. Kenapa dia malah balik nanya sama aku?

“Apaan sih. Nggak lah. Mana mungkin dia bukan tipe gue. Kan lo tahu sendiri. Gue udah punya pacar. Mana mungkin berani s**a sama yang lain. Kalau Aisyah emang cocoknya sama lo si..”

Jawaban refleks. Otomatis. Tapi sialnya, nadanya kedengeran kayak orang defensif. Bahkan aku sendiri gak yakin itu bener.

Zay ketawa pelan. “Aku cuma bilang, Aku serius. Tapi belum tentu soal perasaan. Bisa aja soal tanggung jawab. Atau hal yang lebih besar dari itu.”

Aku menoleh bentar makin gemes sama dia. “Lo ngomong kayak tokoh utama di sinetron. Muter-muter, gak jelas.” kataku sedikit meninggi.

“Biar dramatis.” Dia ngangkat bahu. “Lo kebanyakan drama Korea kayaknya, Rey.”

Aku cuma geleng-geleng. Gak ngerti. Makin penasaran. Makin gak tenang. Sepanjang sisa perjalanan, akhirnya aku lebih banyak diam. Tapi otakku jelas lagi sibuk banget. Penuh sama potongan-potongan dialog tadi. Dan yang bikin kesel Zayyan kayak lagi nutupin sesuatu. Dan itu makin buat aku penasaran. Mau terus cecar dan nanya dia terus, dia keburu nguap-nguap, abis itu dia teler. As3m kan.

"Apa sudah kamu pertimbangkan, Syah?"

"Aku serius akan hal itu."

Sial. Kenapa aku malah begini? Kenapa harus peduli? Kenapa harus cemburu? Ya gak lah. Masa cemburu sih. Pasti itu cuman karena aku belakangan ini sering bertemu sama Aisyah saja. Aku memang harus hati-hati kayanya. Dia diam-diam udah s**a sama aku. Jangan sampai aku luluh juga sama dia.

*

*
Lebih panjang di KBM
Judul KKN Dengan Suami
Penulis Qasya

"Ibu, Ayah... Izinkan Aku Mondok" 🌙Suatu sore di beranda rumah yang sederhana, angin membawa aroma tanah basah setelah h...
08/10/2025

"Ibu, Ayah... Izinkan Aku Mondok" 🌙

Suatu sore di beranda rumah yang sederhana, angin membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di sana, seorang anak laki-laki duduk bersila, memandangi ayah dan ibunya yang tengah berbincang pelan di ruang tamu. Di tangannya, tergenggam selembar brosur kecil bertuliskan “Penerimaan Santri Baru – Pondok Pesantren Darul Hikmah.”

Matanya tak lepas dari gambar bangunan pondok di kertas itu. Ada getar harapan di sana — sebuah panggilan lembut yang entah datang dari mana. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan perlahan mendekati orang tuanya.

> “Ibu... Ayah... Bolehkan aku mondok?”

Kalimat itu meluncur pelan, tapi cukup membuat keduanya terdiam. Ibu menatapnya lama, matanya berkaca. Ayah menghela napas pelan, berusaha memahami maksud anaknya yang masih duduk di bangku SMP itu.

> “Kenapa, Nak? Bukankah sekolahmu sekarang sudah bagus? Kenapa ingin jauh dari rumah?” tanya Ayah, suaranya berat menahan emosi.

Anak itu menunduk, menggenggam brosur lebih erat.

> “Aku ingin belajar agama, Yah... Aku ingin bisa hafal Al-Qur’an. Aku ingin jadi anak yang bisa mendoakan Ibu dan Ayah sampai ke surga.”

Ibu langsung menutup mulutnya, menahan isak yang nyaris pecah. Sementara Ayah hanya menatap langit-langit, seolah mencari alasan untuk tidak menangis.

Beberapa detik hening terasa seperti menit yang panjang.

> “Nak, nanti di sana kamu tidur sendiri, gak ada Ibu yang bangunin subuh, gak ada Ayah yang jagain kalau sakit,” ujar Ibu, suaranya bergetar.
“Aku tahu, Bu,” jawab anak itu lirih. “Tapi aku ingin belajar mandiri. Aku ingin Ibu dan Ayah punya alasan tersenyum bangga karena aku berjuang di jalan Allah.”

Air mata Ibu akhirnya jatuh. Ayah memalingkan wajah, menyeka matanya cepat-cepat.

Malam itu, kamar kecil anak itu terasa berbeda. Tak ada mainan berserakan, hanya sebuah tas ransel berisi baju, sajadah, dan mushaf kecil. Ibu duduk di tepi ranjang, mengelus rambut anaknya pelan.

> “Kamu yakin, Nak?”
“Aku yakin, Bu. Aku cuma minta doanya... supaya aku kuat di sana.”

Pagi harinya, mobil tua Ayah melaju pelan menuju pondok. Sepanjang jalan, tak banyak kata yang terucap. Hanya doa dalam hati yang berulang-ulang.

Saat sampai, anak itu mencium tangan ibunya erat-erat.

> “Ibu, jangan nangis ya... nanti aku kangen berat.”
“Ibu gak nangis kok…” jawab Ibu sambil tersenyum — tapi suaranya pecah di akhir kalimat.

Anak itu melangkah masuk ke gerbang pondok. Di punggungnya tergantung tas kecil, tapi di dadanya ada beban besar: rindu, harapan, dan tanggung jawab. Ia menoleh sebentar, melihat Ibu dan Ayah berdiri di balik pagar, menatapnya dengan mata yang basah.

Beberapa langkah lagi, ia tak sanggup menahan air matanya. Tapi ia tahu, ini adalah awal perjuangan.
Awal dari sebuah cita-cita untuk menjadi anak yang bisa menghadiahkan mahkota cahaya di kepala kedua orang tuanya kelak di surga. 🌤️

Dan sejak hari itu, setiap kali suara azan subuh terdengar dari pondok, Ibu di rumah selalu berbisik pelan sambil menatap sajadah kosong di sebelahnya:

> “Nak, semoga kamu bangun di waktu yang sama, dan sedang sujud di tempatmu sekarang…”

Karena cinta seorang anak bukan hanya diucapkan lewat kata, tapi dibuktikan lewat doa, perjuangan, dan pengorbanan. ❤️

---

Mama Fatta

Alm.Lora Ali Rahbini, korban runtuhan Al Khoziny, dimakamkan di belakang pondok milik ayahnya, KH Mahruz, di kota Madura...
08/10/2025

Alm.Lora Ali Rahbini, korban runtuhan Al Khoziny, dimakamkan di belakang pondok milik ayahnya, KH Mahruz, di kota Madura, dengan baju koko dan sarung terakhir yang dikenakan Lora😭.

🌹Ibu Tiriku Tak Sejahat Itu🌹✨✨Aku dulu benci sekali pada perempuan itu.Perempuan yang datang ke rumah membawa senyum lem...
08/10/2025

🌹Ibu Tiriku Tak Sejahat Itu🌹✨✨

Aku dulu benci sekali pada perempuan itu.
Perempuan yang datang ke rumah membawa senyum lembut, sementara di mataku… ia hanyalah “pengganti ibu”.

Aku masih terlalu kecil saat ibu kandungku meninggal. Dan ketika ayah menikah lagi, aku merasa dunia benar-benar tidak adil.
Bagaimana bisa ayah mengganti sosok ibu secepat itu?

Sejak hari pertama, aku menatapnya dengan dingin.
Kalimat “Bu” bahkan tak pernah keluar dari mulutku. Aku memanggilnya dengan nama, seolah itu cukup untuk menunjukkan betapa aku menolaknya.

Namun… yang tak pernah kusadari, di balik setiap tatapanku yang menusuk, ia tetap tersenyum lembut.

Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan, bahkan memastikan aku makan lebih dulu sebelum ayah berangkat kerja.

Saat aku sakit, dia yang terjaga semalaman.
Saat aku p**ang sekolah dengan baju penuh lumpur, dia tak marah — malah mencuci dengan tangannya sendiri.

Tapi aku terlalu sombong untuk berterima kasih.
Aku bahkan pernah membentaknya di depan ayah, “Aku nggak butuh kamu! Aku punya ibu sendiri!”

Aku melihat matanya berkaca-kaca malam itu. Tapi besok paginya… dia tetap menyiapkan bekal makananku seperti biasa.

Dia tetap bertanya, “Kamu udah makan, Nak?” dengan suara yang lembut—suara yang sama yang dulu hanya kuingat dari ibu kandungku.

Bertahun-tahun kemudian, aku baru tahu sesuatu.
Ayah pernah bercerita… bahwa sebelum menikah dengannya, perempuan itu berkata satu hal:

> “Aku tidak akan pernah mencoba menggantikan ibunya. Aku hanya ingin menemaninya tumbuh dengan kasih sayang, agar ia tidak merasa kehilangan kasih seorang ibu.”

Saat mendengar itu, aku menangis diam-diam.
Ternyata perempuan yang dulu kupanggil “orang asing” itu, justru menjaga kenangan ibuku — bukan menghapusnya.

Dia menanam kasih tanpa menuntut balas, merawat luka yang bukan dia yang menimbulkan.

Kini, setiap aku memandang wajahnya yang mulai menua, ada sesak di dada.
Karena aku terlambat sadar…

Bahwa selama ini, dia bukan ibu tiri dalam arti buruk yang kupikirkan.

Dia adalah ibu — yang lahir bukan dari rahim yang sama, tapi dari ketulusan yang nyata.

Dan kini, setiap kali aku menatapnya, hanya satu kalimat yang ingin kuucapkan…

> “Maaf, Bu. Aku mencintaimu. Ternyata, ibu tiriku… memang tak sejahat itu.” ❤️

---

Mama Fatta

DIUSIR SUAMI KARENA DIPECAT, PADAHAL NAIK PANGKAT (15)Rendra berdiri setengah, matanya bergetar. Ayah Laras sudah lebih ...
08/10/2025

DIUSIR SUAMI KARENA DIPECAT, PADAHAL NAIK PANGKAT (15)

Rendra berdiri setengah, matanya bergetar. Ayah Laras sudah lebih dulu bangkit, mengangkat tangan kecil, membuat riuh ruangan perlahan mereda.

“Bapak-Ibu, kami berterima kasih atas kehadiran, doa, dan niat baik semua,” ucapnya dengan suara yang tenang tapi penuh wibawa. “Namun ada satu hal yang bagi kami tidak bisa disepelekan: ketertiban. Maka ….”

Sejenak kursi-kursi berderit, bisikan berlarian.

“Pak, jangan jadi—” Bu Mirna cepat-cepat berucap, wajahnya pucat.

Tapi Ayah Laras tidak menoleh. “Maka, sebelum sebuah niat dilafazkan, kami minta semua syaratnya jelas. Tadi ada pertanyaan, kami ingin jawaban tertulis.”

Seisi ruangan membeku. Beberapa tamu saling beradu pandang, ada yang menghela napas lega, ada p**a yang kesal.

Rendra berdehem gugup. “Pak, ini lamaran, bukan—”

“Anakku,” suara Ayah Laras lembut tapi tegas, “segala yang serius dimulai dari hal kecil. Kalau di awal saja kita mengira-ngira, di tengah nanti kita bisa tersesat.”

MC bingung, menoleh ke WO. WO mengangguk cepat, merombak rundown. Musik latar dimatikan perlahan, pelayan-pelayan hotel mundur ke sisi ruangan.

Bu Mirna mendesis panik pada Vanya, “Cepat cari alasan! Bilang vendor salah input, bilang apapun—”

“Bu,” suara lirih Nadhira dari kursinya, masih menatap lurus, “jangan ajari anak-anak berbohong di depan wanita yang tidak lagi bisa kalian bodohi.”

Bu Mirna menoleh tajam, wajahnya berubah merah padam. “Kamu bukan keluarga kami lagi!”

Nadhira akhirnya menoleh balik, tatapannya dingin. “Itu kalimat paling jujur Ibu malam ini.”

Fina menunduk, menutup mulut menahan tawa getir.

---

Pintu ballroom terbuka, staf hotel masuk membawa amplop cokelat. WO cepat-cepat membacanya, lalu menyerahkan pada Ayah Laras. Lelaki tua itu membuka sebentar, menghela napas kecil, lalu menyelipkan ke dalam jasnya.

MC menghela napas dalam, lalu bicara di mikrofon. “Baik, Bapak-Ibu, atas permintaan keluarga, kita akan memberi waktu singkat lagi. Para tamu dipersilakan menikmati hidangan terlebih dahulu.”

Riuh sendok dan garpu terdengar, tapi palsu. Orang-orang berjalan pelan ke meja buffet, sebagian besar hanya pura-pura sibuk agar bisa tetap mendengar.

Rendra melangkah mendekati kursi Nadhira. Fina sempat berdiri menahan, tapi Nadhira memberi isyarat dengan telapak tangan, biarkan.

Rendra berhenti satu langkah di depannya. Suaranya pecah. “Dira, kau mau apa sebenarnya?”

***​

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Diusir Suami Karena Dipecat, padahal Naik Pangkat
Penulis : rahmalaa


Untuk menyaksikan kekuatan seorang ibu, cobalah mengusik anaknya.
08/10/2025

Untuk menyaksikan kekuatan seorang ibu, cobalah mengusik anaknya.

Saya mendapatkan 40.695 pengikut, membuat 969 postingan dan menerima 205.511 tanggapan dalam 90 hari terakhir! Terima ka...
07/10/2025

Saya mendapatkan 40.695 pengikut, membuat 969 postingan dan menerima 205.511 tanggapan dalam 90 hari terakhir! Terima kasih atas dukungan berkelanjutan Anda. Saya tidak mungkin berhasil tanpa Anda. 🙏🤗🎉

DIUSIR SUAMI KARENA DIPECAT, PADAHAL NAIK PANGKAT (14)“Kamu jawab saja: itu fitnah! Bilang kamu—”“Bu,” Rendra suara sera...
07/10/2025

DIUSIR SUAMI KARENA DIPECAT, PADAHAL NAIK PANGKAT (14)

“Kamu jawab saja: itu fitnah! Bilang kamu—”

“Bu,” Rendra suara serak. “Cukup.”

Vanya mendekat ke Laras. “Kak Laras, sabar ya …”

Laras tidak menatap Vanya. Ia memandang lurus ke depan, bibirnya tipis, suara datar, “Saya tidak s**a panggung rusak. Tapi saya lebih tidak s**a catatan kotor.”

Vanya mematung.

Fina menyender pelan ke sandaran kursi. “Kau tidak perlu bicara lagi,” bisiknya ke Nadhira.

“Aku memang tidak akan bicara lagi,” balas Nadhira. “Kalimatnya sudah lengkap.”

---
Kilatan masa lalu menyambar. Dapur yang wangi sabun.

“Jangan duduk di sofa utama. Itu untuk tamu.”
Lebaran: “Foto keluarga inti. Kamu pegang HP.”
Rendra lewat membawa piring, tidak menatap; mata selalu ke sesuatu yang lebih penting dari istrinya.

Malam-malam Nadhira menyetrika kebaya mertua sambil mematikan notifikasi kantor, agar tak dibilang “karir menelan rumah”.

Dan malam ketika koper didorong. “Keluar.”

Kilatan menutup. Kembali ke ballroom.

---

Seorang manajer hotel menghampiri WO, berbisik cepat. WO mengangguk berkali-kali, lalu menoleh pada MC, jempol ke bawah: tahan. MC berdiri saja, tersenyum kepada udara.

Bu Mirna kembali menyerang. “Kalau kamu masih merasa istri Rendra, kenapa kamu tinggalkan rumah? Kenapa bikin aib di sini?”

“Aku diusir,” jawab Nadhira. “Dan aku tidak bikin aib. Aib itu cara, Bu. Bukan orang.”

“Kamu sengaja mau merusak. Iri.”

“Kalau aku iri, aku berdiri di panggung tadi,” ucap Nadhira datar. “Aku duduk. Itu beda.”

“Modalmu apa berani datang?”

“Nama sendiri.”

Vanya menyodok, “Kak, kamu itu mantan secara moral. Jangan—”

Fina menoleh cepat, tatapannya dingin. “Satu kata lagi, aku panggil manajer hotel untuk minta kamu istirahat di lobby.”

Vanya tercekik oleh harga dirinya sendiri.

Laras mendekat satu langkah, tidak ke panggung, tidak ke Nadhira; ke Rendra. Suaranya sangat pelan, cuma tiga orang mendengar, “Jawab.”

Rendra memejam mata. “Nanti.”

“Sekarang,” potong Laras. “Jawab.”

Rendra mengusap pelipis. “Aku … aku pikir ini urusan kami—”

“Urusanmu dan siapa?” Laras tetap pelan. “Aku? Dia? Atau dirimu sendiri?”

Ayah Laras menghampiri mereka, memberi isyarat untuk duduk. Mereka bertiga duduk. Percakapan kecil terjadi tanpa satu kata pun terdengar jelas. WO menahan kru agar tidak mendekat. Kamera dimatikan sementara.

Di kursinya, Nadhira menatap jam. Fina memegang tangan Nadhira sekali, singkat.

“Kalau mau ke toilet, aku ikut.”

“Tidak,” Nadhira menggeleng, tersenyum hambar. “Aku tidak ingin melewatkan kalimat selanjutnya.”

Seorang tante mendekat, sapaan sok manis, “Nadhira, kamu muda kok ... cari lagi aja, Nak.”

Nadhira menoleh pelan. “Terima kasih, Tante. Aku tidak sedang promo. Aku sedang duduk disini, menyaksikan suamiku melamar wanita lain.”

Tante itu pergi dengan kikuk.

MC mendekati mic lagi, senyumnya sedikit kaku. “Bapak-Ibu, terima kasih atas kesabarannya. Keluarga akan … menyampaikan sesuatu.”

***

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Diusir Suami Karena Dipecat, padahal Naik Pangkat
Penulis : rahmalaa

Part 3"Mbak Selen!" Tantri memanggil. Aku masih belum jauh di belakang Rini. Tantri agak berlari menyusulku. Di tanganny...
07/10/2025

Part 3

"Mbak Selen!" Tantri memanggil. Aku masih belum jauh di belakang Rini. Tantri agak berlari menyusulku. Di tangannya, menggantung kantung kresek berisi nasi bungkus.

"Kenapa Tan? Mau ikut ke rumah Pak RT?"

"I-iya, sekalian ngumpulin nasi bungkus."

Aku mengangguk. Tantri ini wajahnya sangat cantik. Dibanding aku, jika dirawat sedikit lagi, aku yakin dia akan glow up dan bisa menjadi brand ambassador produk skincare jualanku.

"Kalau ndak sekarang. Takutnya nanti Pak RT ninggal nasiku kayak bulan lalu, Mbak. Pak RT ndak pernah ke rumah untuk ngasih tahu ada acara desa atau kumpul-kumpul. Keluargaku seperti dianak tirikan." Wajah adikku murung. Aku sampai mengerutkan dahi.

"Bukannya RT itu kepanjangan dari rukun tetangga, yang mengayomi setiap anggotanya?"

Tantri mengedikkan bahu. Bibirnya mengerucut memandang jalanan.

"Bahkan bantuan saja keluargaku ndak pernah dapat. Malah, saudara-saudaranya sendiri, orang yang dekat sama keluarganya yang jelas lebih mampu dari kamilah yang dapat bantuan." Embusan napas Tantri sampai terdengar. Aku memegang tangan Tantri.

"Miris," ucapku. Meski tak ikut merasakan. Aku merasa tak terima.

"I-ini rumahnya Pak RT." Rini menunduk. Seperti tak berani memandangku.

"Ikut saya sampai urusan saya selesai, Mbak." Peringatan itu keluar karena wanita itu mengambil ancang-ancang putar balik.

Rini mengetuk pintu. Tak lama, pria berkumis tebal dan berperut buncit membuka pintu, tampak keheranan. Agaknya aku mengganggu tidur siangnya.

"Selamat siang, Pak. Boleh saya masuk?" kataku, langsung.

"Ya ya, silakan."

"Ada apa ini, Rini?" Lelaki itu memandang Rini.

"Saya Selena Pak. Tamu di desa ini. Saya menginap di rumah Mak Astiah, ibunya Tantri. Saya kemari izin untuk tinggal di sana sementara waktu. Karena anda ketua RT, sudah kewajiban saya untuk melapor." Tukasku. Leher Rini menegang. Aku menatapnya.

"Dan saya ingin mengonfirmasi, apa benar keluarga Tantri dilarang nyumbang nasi karena lauknya sederhana?"

Pak RT itu sedikit beringsut, membenarkan posisi duduknya.

"Mana berkasmu. Fotocopy KTP, KK, atau identitas lain?" tanyanya. Dia lalu memandang Tantri. Adikku menunduk dalam-dalam.

"Setelah ini saya lengkapi. Ini kartu nama saya." Kuberikan kartu namaku. Pria itu membacanya, lalu sedikit terkesiap. Tentu karena tulisan job yang dibuatkan managerku atau gelar yang tersisip dalam namaku atau dia mengenal nama Papaku?

Cahaya Selena Geolova Aliandra, M. M.

Owner from Geolova Skincare Corp

"Pak?"

Malah melamun!

"Oh iya-iya."

"Pertanyaan kedua saya belum anda jawab, Pak."

Pria itu mengecap, menampilkan sederet gigi hitam yang kutafsirkan disebabkan sering merokok.

"Oh, itu ... ndak, saya ndak melarang keluarga Astiah ikut nyumbang. Siapa pun boleh nyumbang, Mbak," ucapnya, mulai kedengaran ramah.

"Oh jadi Rini ini bohong?" ketusku. Aku melirik wanita itu. Dia semakin tertunduk. Tanpa ancang-ancang, wanita itu keluar dari rumah Pak RT. Biarkan saja. Yang penting aku sudah memberinya peringatan.

"Oh, kalau begitu, ini Pak, hasil masakan Mak Astiah. Kalau ada warga Bapak yang bilang gak enak, suruh datang ke saya. Dan ya, lain kali, Bapak harusnya lebih kompeten dan tidak pilah-pilih ke anggota warganya. Masa iya kabar sepele kayak gini keluarga Mak Astiah gak dikasih tahu?" cecarku, membuat laki-laki itu mangap-mangap tanpa suara.

"Bukan begitu, Mbak. Saya kan tahu kondisi keuangan mereka jadi--"

"Kalau Bapak tahu kondisi keuangan keluarga Mak Astiah, harusnya mereka dapat bantuan d**g Pak? Bukannya begitu?"

Kalimatku membuat laki-laki itu garuk-garuk kepala. Matanya mengedar ke mana-mana.

"Raskin saja mereka gak dapat, Pak? BLT atau apa ya yang lain, saya gak tahu macam-macam bantuan begituan, tapi gak adil d**g Pak kalau orang yang lebih mampu malah yang dapat bantuan. Sementara, yang gak mampu beneran sampai ngutang buat makan." Aku menarik napas berat.

"Iyo, akan saya urus." Nada suaranya menjadi tegas. Aku berhasil menyentuh ulu hatinya. Bapak buncit ini tersinggung.

"Iya harus. Atau Bapak yang mau saya urus ke pengadilan?"

"Loh?" Dia mengerjap.

"Pemimpin gak amanah gak layak berada di atas." Aku berucap dengan tenang. Lelaki itu mengerjap lagi.

"Sumpah, Mbak. Bakalan saya urus. Tolong jangan besarkan masalah ini."

"Tergantung anda. Di sini, saya masih bersikap sebagai tamu makanya saya menghormati anda." Aku menepuk lengan Tantri yang sejak tadi meremas jemariku.

"Terima kasih sudah menegur saya, Mbak."

Aku hanya tersenyum, lalu berdiri.

"Jangan hanya keluarga Mak Astiah, jangan-jangan banyak keluarga yang bernasib sama seperti keluarga beliau?"

"Siap, langsung saya urus sekarang."

"Terima kasih atas kerja samanya, Pak." Aku mengulurkan tangan. Setelah berjabat, aku pamit.

"Jangan mentang-mentang punya kuasa, anda bisa semena-mena." Itulah kalimat sebelum aku keluar dari rumah sang ketua RT. Semoga saja dia sadar sebelum perutnya semakin membesar.

Aku dan Tantri saling pandang di jalan p**ang. Sejak tadi adikku itu memandangku dengan senyum-senyum sendiri.

"Kamu kenapa, Tan?"

"Mbak Selen keren. Bisa tegas begitu?"

Aku menekuk lengan kemeja ke atas. Gerah. "Kalau bersikap lemah terus, model manusia seperti mereka bakal semakin gak tahu diri, Tantri."

"Iya juga ya Mbak. Mbak Selen nanti malam ikut ke pengajian yo?"

"Pengajian itu gimana?"

"Tausiah Mbak."

"Oh, seperti kajian islam begitu ya?"

Tantri mengangguk. Aku juga ikut mengangguk.

"Boleh."

Aku terkejut saat baru saja tiba di depan rumah. Seorang laki-laki berpostur tinggi, mengenakan sweater biru denim dan celana bahan warna putih, sedang bersender di tiang rumah Emak.

Alkana, untuk apa dia menyusulku?

Bersambung

Judul di Kbm App: ANAK BERHARGA 10 JUTA
Penulis: Heraa_Kless

07/10/2025

Sebuah rumah tangga yang kuat Terletak pada suami yang mendahulukan istrinya dalam hal apapun

Address

Makassar

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mama Fatta posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Mama Fatta:

Share