19/09/2025
Gedung Aula Kebudayaan Kabupaten Morowali berdiri megah dengan atap merah menyala, menjadi simbol kebanggaan yang seharusnya merepresentasikan semangat budaya daerah. Namun, ironi yang terlihat jelas adalah bahwa bangunan ini justru terkesan mati suri. Pintu kaca yang tertutup rapat, jendela yang berdebu, dan halaman yang dipenuhi rumput liar seolah menjadi saksi bisu betapa sebuah fasilitas publik bernilai miliaran rupiah tidak diberdayakan sebagaimana mestinya.
Padahal, keberadaan gedung ini sejatinya adalah sebuah jawaban atas kebutuhan ruang ekspresi bagi komunitas seni dan budaya di Morowali. Banyak sanggar tari, musik tradisional, teater, maupun kelompok kreatif lokal yang berjuang mencari tempat untuk berlatih dan menyalurkan bakatnya. Mereka berkreasi di ruang terbatas, sering kali menumpang di balai desa, sekolah, bahkan halaman rumah warga. Sementara di tengah kota, sebuah bangunan besar dan representatif justru dibiarkan kosong tanpa fungsi.
Pertanyaan yang menggantung di benak masyarakat adalah: mengapa Gedung Aula Kebudayaan ini tidak digunakan? Apakah karena kendala administratif, keterbatasan anggaran operasional, atau hanya sekadar kelalaian dalam pengelolaan aset daerah? Tak ada jawaban pasti yang terdengar, namun fakta di lapangan sudah cukup berbicara: gedung ini tidak produktif.
Di saat Morowali tengah menghadapi arus modernisasi dan gempuran budaya luar, semestinya pemerintah daerah mampu menempatkan kebudayaan sebagai pondasi penting untuk menjaga identitas masyarakat. Gedung Aula Kebudayaan tidak hanya seharusnya berfungsi sebagai ruang pertunjukan, tetapi juga menjadi pusat edukasi, pelestarian, dan pengembangan seni lokal. Bayangkan jika sanggar-sanggar tradisional diberi akses penuh untuk menggunakan fasilitas ini—tentu akan lahir karya-karya hebat yang mengangkat nama Morowali di panggung daerah hingga nasional.
Selengkapnya di BIDIKIN.COM