
08/07/2025
Senja yang tak pernah pulang.
Namanya Rani, 23 tahun, lulusan baru dari sebuah universitas swasta di Makassar. Hidupnya sederhana, bapaknya sudah meninggal, ibunya menjahit di rumah kontrakan kecil. Sejak lulus, Rani melamar pekerjaan ke mana-mana, tapi tak satu pun yang membalas.
Sampai akhirnya, seorang teman mengenalkannya pada Pak Arya, pemilik perusahaan kontraktor yang katanya "s**a bantu anak muda yang butuh kerja". Usianya 44 tahun, rapi, karismatik, suara baritonnya tenang, dan wajahnya terlalu damai untuk disebut menggoda. Tapi ada satu yang bikin jantung Rani sering loncat-loncat: senyumnya. Senyum yang muncul kalau dia bilang,
"Kamu bisa, kok. Saya percaya."
Awalnya Rani cuma ingin dekat karena ingin dapat pekerjaan tetap. Iseng, begitu pikirnya. Mungkin bisa manja-manja sedikit, siapa tahu bosnya luluh dan kasih posisi bagus. Tapi yang tak ia rencanakan: hatinya luluh duluan.
Arya memperlakukannya dengan hormat. Tak pernah menyentuh, tak pernah memuji kecantikannya secara terang-terangan. Tapi perhatian kecilnya seperti payung saat hujan: diam-diam menyelamatkan. Saat Rani sakit, dia yang mengirim obat. Saat ibunya dirawat di rumah sakit, Arya yang membayarkan tagihan tanpa diminta.
Rani tahu dia seharusnya tidak berharap.
Arya sudah punya istri. Ibu rumah tangga yang sering muncul di Instagramnya, masak kue, foto bareng dua anak mereka yang tampan dan lucu. Hidup Arya nyaris sempurna kecuali mungkin di satu sisi yang tak pernah ia bicarakan sisi kosong yang hanya ia tunjukkan saat berbincang lama dengan Rani di ruang kantor saat semua pegawai pulang.
"Kalau saya bertemu kamu 20 tahun lalu," ucap Arya suatu malam, "mungkin ceritanya beda."
Rani tersenyum getir. “Kalau saya ketemu Bapak 20 tahun lalu, saya baru bisa jalan lima langkah.”
Mereka tertawa. Tapi itu tawa yang terasa seperti perpisahan.
Lalu datang hari itu hari di mana Arya mengajaknya makan malam. Rani datang dengan baju terbaik yang ia punya. Hatinya seperti melayang, berpikir, "Mungkin dia akan memilihku. Mungkin kisah kami bisa dimulai."
Tapi di akhir makan malam itu, Arya berkata pelan,
"Apa pun yang saya rasakan ke kamu tidak cukup untuk saya menghancurkan rumah yang sudah saya bangun bertahun-tahun."
Dan malam itu, Rani berjalan pulang sendiri. Tidak marah, tidak menangis. Hanya hampa.
Ia sadar, cinta tak selalu tentang memiliki. Kadang cinta cuma mampir sebentar, mengajarkan kita tentang batas, tentang hormat, dan tentang melepaskan tanpa dendam.
Rani mendapat pekerjaan tetap tiga bulan kemudian di tempat lain. Arya? Masih sesekali kirim pesan, tanya kabar, tanpa embel-embel harapan.
Karena mereka berdua tahu…
Senja memang indah, tapi ia tak pernah benar-benar pulang.
Cerpen
Erh
Terinspirasi dari curhatan seorang teman yang salah memilih hati untuk berlabuh, semoga kelak mendapatkan yang terbaik.