Panrita Institute

Panrita Institute Ensiklopedia Digital Islam yang Kredibel-Moderat-Nasionalis dari Sumber-sumber Otoritatif

10/06/2025

Narasi ”Zero Attack” yang Menyesatkan

Oleh: Noor Huda Ismail. Visiting Fellow RSIS Nanyang University, Singapura

Opini Kompas, 27 Mei 2025

Terorisme hari ini telah bermetamorfosis. Ia tak lagi selalu datang dalam bentuk ledakan bom atau aksi kekerasan, tapi menyusup secara halus melalui narasi, komunitas maya, dan algoritma digital. Ia tumbuh dalam senyap, bersabar sembunyi, menunggu momen untuk kembali menyala.

Menjawab pertanyaan anggota DPR, seorang pejabat tinggi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan, ”Jika sudah tidak ada lagi serangan terorisme, mengapa BNPT masih harus ada?”

Ini bukan sekadar pertanyaan tentang eksistensi BNPT, melainkan juga tentang sesuatu yang lebih besar, bahkan dari sekadar argumen anggaran: tentang persepsi publik bahwa tak ada serangan, berarti tak ada ancaman. Seorang menteri bahkan pernah mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto pun pernah menanyakan hal serupa.

Terbukti tidak sedikit—dan bukan hanya dari kalangan masyarakat awam—yang berpandangan bahwa ketenangan tanpa ledakan bom dan korban jiwa adalah tanda bahwa teror telah usai.
Tetapi, benarkah demikian?

Damai yang menipu

Kita mengenal tiga fase dalam teori manajemen krisis, yaitu prakrisis, respons krisis, dan pascakrisis. Ketiganya tidak terhubung dalam sebuah garis lurus, tetapi berada dalam suatu siklus yang saling tumpang tindih.

Dalam konteks terorisme, ketiadaan serangan hanyalah penanda bahwa kita sedang berada di masa senyap, entah menuju badai, atau sedang menata diri setelahnya. Jadi, sama sekali bukan sebuah kondisi yang mengisyaratkan untuk menurunkan kewaspadaan.

Indonesia telah mengadopsi pendekatan ini dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menekankan tidak hanya pada penindakan (respons krisis), tetapi juga kegiatan-kegiatan prakrisis berupa pencegahan dan kontra-radikalisasi, serta kegiatan pascakrisis seperti deradikalisasi dan kesiapsiagaan nasional yang berkelanjutan.

Pasal 43A dan 43B undang-undang tersebut menugaskan BNPT memimpin koordinasi lintas sektor, membina masyarakat, dan memproduksi narasi alternatif terhadap ideologi kekerasan.

Ketenangan memang bisa menipu. Ibarat danau yang tampak tenang di permukaan, padahal menyimpan arus deras di dasarnya. Absen dari bom bukan berarti absen dari teror.

Apalagi, terorisme hari ini telah bermetamorfosis. Ia tak lagi selalu datang dalam bentuk ledakan bom atau aksi kekerasan, tetapi menyusup secara halus dan menunggu momen untuk kembali menyala dan meledak.

Aparat hukum seperti Densus 88 tetap bekerja tanpa henti di balik layar. Nama-nama dipetakan, jaringan-jaringan diperbarui, wajah-wajah baru muncul setiap tahun. Meski tak ramai diberitakan, tersangka teroris terus ditangkap. Kondisi senyap ini bukan sebuah akhir, tapi hanya pergeseran medan pertempuran.
Pondok-pondok pesantren yang dulu menjadi simpul kaderisasi Jamaah Islamiyah masih berdiri. Mereka kini berwajah lebih moderat, lebih lembut, dan lebih berorientasi pada ”umat”—tetapi bukankah tetap perlu dicermati barangkali struktur kaderisasinya masih rapi dan ideologinya tetap kuat?

Aktivitas dakwah, halakah, dan pelatihan keterampilan tak lagi digerakkan dengan semangat revolusioner, tetapi melalui pendekatan yang sistematis dan berstrategi. Ideologi yang dulu disampaikan dengan nada konspiratif kini hadir dalam bentuk yang lebih tenang, tetapi tetap dalam.

Kejahatan terorisme hingga kini belum berakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, aksi terorisme berskala dampak besar telah mereda, namun modus dan bentuk kejahatan terorisme mengalami evolusi.

Saya teringat ucapan seorang mantan narapidana teroris yang pernah mengikuti pelatihan militer di Filipina selatan. Di sebuah warung kopi di pinggiran Solo, dia berkata, ”Sekarang bukan saatnya angkat senjata. Kita menangkan hati dan pikiran dulu.”

Ucapannya terdengar bijak, nyaris damai—tetapi ada bias makna yang dalam yang terkandung di baliknya. Ia mencerminkan strategi panjang berbasis dua konsep penting dalam studi radikalisasi: cognitive opening dan frame alignment.

Saat seseorang berada dalam krisis atau mengalami kekecewaan mendalam, ia menjadi lebih terbuka terhadap ideologi baru—itulah cognitive opening. Lalu, ketika kerangka berpikirnya selaras dengan narasi gerakan ideologis, proses radikalisasi bisa berjalan tanpa perlu aksi kekerasan—itulah frame alignment.

Dengan kata lain, seseorang bisa menjadi radikal bukan karena diajarkan cara membuat bom, melainkan karena pikirannya perlahan disesuaikan dengan narasi ideologis yang ekstrem. Inilah bentuk kekerasan baru: kekerasan dalam bentuk infiltrasi gagasan. Dan, seperti kata penulis Perancis, Victor Hugo, ”Tidak ada yang lebih kuat dari sebuah ide yang waktunya telah tiba.”

Transformasi JI

Banyak yang mengira Jamaah Islamiyah (JI) telah tiada setelah putusan pengadilan pada 2008 yang melarang keberadaannya. Ini anggapan yang terlalu naif sebab Jamaah Islamiyah adalah jaringan yang sudah teruji oleh waktu.

Ia tumbuh sebagai komunitas dari struktur sosial, jaringan alumni, persahabatan, dan loyalitas ideologis yang sulit diputus. Sebelum menyatakan diri bubar pada pertengahan tahun lalu, Jamaah Islamiyah mengubah strategi dakwah yang tak lagi membicarakan jihad bersenjata secara terang-terangan.

Mereka melakukan infiltrasi sosial—masuk ke lembaga pendidikan, yayasan amal, dan organisasi masyarakat sipil. Jamaah Islamiyah juga mendirikan puluhan yayasan legal, memanfaatkan celah hukum dan kepercayaan publik.
Narasi mereka juga bergeser. Tak lagi ”perang melawan thaghut,” tapi ”penyelamatan moral bangsa,” ”kedaulatan syariat,” dan ”perlindungan umat”. Mereka menyusup ke ruang publik melalui isu-isu populer seperti Islamofobia, antikorupsi, dan gaya hidup halal.

Di tengah transformasi lokal Jamaah Islamiyah, kita tidak bisa menutup mata terhadap keterkaitan global. Sejumlah kader muda Jamaah Islamiyah saat ini masih berada di Suriah, sebagian bergabung dengan faksi jihad seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang merupakan reinkarnasi dari Jabhat al-Nusra—afiliasi Al Qaeda di kawasan tersebut.

Dalam konteks inilah, BNPT dan Densus 88 tidak boleh mengendurkan kewaspadaan. Indonesia harus terus memperkuat filter intelijen, pengawasan komunitas, dan program reintegrasi yang kredibel.

Di balik narasi ”zero attack”

Narasi zero attack sering kali terdengar menenangkan, seolah menjadi bukti keberhasilan negara dalam menjaga keamanan warganya dari ancaman terorisme. Namun, narasi tersebut justru bisa sangat menyesatkan jika dipahami secara dangkal.

Dalam laporan tahunan Terrorism Situation and Trend Report (TESAT) yang dikeluarkan Europol, serangan teror tidak hanya dihitung dari insiden yang benar-benar terjadi dan menimbulkan korban, tetapi juga meliputi serangan yang berhasil digagalkan oleh aparat keamanan, serta yang gagal karena kesalahan teknis atau keputusan individu pelaku yang berubah di tengah jalan.

Kita perlu waspada terhadap jebakan ilusi statistik. Sebagaimana dipahami dalam pendekatan counter-terrorism yang berbasis pencegahan, keberhasilan tidak hanya diukur dari absennya ledakan atau korban, tetapi dari seberapa dalam dan luas masyarakat dibentengi dari bibit-bibit ekstremisme.

Filsuf perempuan Amerika, Hannah Arendt, mengingatkan, ”Kejahatan terbesar dalam sejarah sering kali bukan berasal dari kebencian, tetapi dari ketidakpedulian yang membiarkan ide berbahaya tumbuh dalam diam.”

Ini adalah peringatan serius tentang bahaya kelambanan dan sikap acuh tak acuh. Ketika masyarakat dan pemerintah terlalu percaya dengan statistik, apalagi sampai terlena oleh narasi zero attack, ruang bagi ideologi ekstrem bisa tumbuh tanpa terdeteksi.

Perlu narasi tandingan

Statistik boleh nol, tetapi ancaman tidak pernah benar-benar absen. Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh berpangku tangan. Pencegahan terorisme tak cukup dengan senjata dan penjara, tak cukup dengan sekadar tindakan responsif-reaktif. Ini soal membangun narasi, memperkuat komunitas, dan merawat kemanusiaan.
Sudah banyak terbukti bahwa marjinalisasi adalah bahan bakar ekstremisme. Karena itu, pendekatan GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) harus menjadi bagian inti dari strategi, bukan sekadar tambahan. Ketika perempuan hanya dilihat sebagai korban, penyandang disabilitas diabaikan, dan kelompok minoritas dipinggirkan, ruang radikalisasi pun melebar.

Pendekatan GEDSI tersebut memastikan bahwa tidak ada yang merasa ditinggalkan. Ia membuka ruang partisipasi yang setara, memperkuat rasa memiliki, dan mendorong keterlibatan aktif semua kelompok dalam membangun ketahanan sosial.

Inklusi bukan wacana moral semata. Ia adalah strategi keamanan yang cerdas. Sebab, dalam perang melawan ekstremisme, vaksin terbaik adalah komunitas yang utuh, yakni ketika setiap orang merasa dihargai, didengar, dan punya masa depan.
Pun, pendekatan deradikalisasi tidak boleh direduksi sekadar pada bimbingan agama. Pasalnya, motivasi radikalisasi sering kali berakar pada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan isu-isu identitas.

Beberapa mantan narapidana terorisme kembali melakukan aksi kekerasan dan kejahatan bukan karena motif ideologi, melainkan karena frustrasi ekonomi dan stigmatisasi sosial.

Ada mantan teroris yang terlibat dalam tambang ilegal, pencurian kendaraan, hingga kasus narkoba. Ini menunjukkan bahwa reintegrasi harus lebih holistik: mencakup pelatihan kerja, rehabilitasi psikologis, dukungan keluarga, dan keterlibatan komunitas.

Dalam konteks ini, rencana pemulangan warga negara Indonesia (WNI), terutama perempuan dan anak-anak dari kamp Suriah, adalah sejalan dengan pendekatan PRR (prosecution, rehabilitation, reintegration) yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Unicef menegaskan bahwa anak-anak yang terasosiasi dengan kelompok bersenjata adalah korban, bukan pelaku, dan mereka harus diperlakukan dengan prinsip kepentingan terbaik mereka. Negara perlu memastikan pemulihan dan reintegrasi mereka, bukan memperpanjang stigma. Mengabaikan aspek kemanusiaan hanya akan memperkuat siklus radikalisasi.

Kemenangan sejati melawan terorisme

Kemenangan sejati dalam melawan terorisme bukan hanya soal mencegah ledakan, tetapi mencegah lahirnya generasi baru yang percaya bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan. Dan, untuk itu, kedamaian bukanlah akhir.

Ia adalah awal dari perjuangan panjang—perjuangan untuk tetap waspada, terus membangun, dan merawat nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, seperti ide, ekstremisme tidak mati—ia hanya berubah bentuk. Dan, tugas kita adalah memastikan bahwa bentuk barunya tidak menemukan ruang untuk tumbuh.

16/10/2024

DAKWAH RASULULLAH SAW.: TAFSIR QS. AT-TAUBAH/9: 128

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

14/10/2024

PERBEDAAN ANTARA RA'FAT DENGAN RAHMAT

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

Nama Apa yang Diajarkan Kepada Nabi Adam as. ?-Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, Ph.D.(Rais Syuriah PCI NU Australia dan New Ze...
12/10/2024

Nama Apa yang Diajarkan Kepada Nabi Adam as. ?

-Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, Ph.D.
(Rais Syuriah PCI NU Australia dan New Zealand)

Dapatkan Buku-buku karya Nadirsyah Hosen di https://linktr.ee/panritaid

Punya pertanyaan soal keIslaman?
Temukan jawabannya di https://fatwa.id/

10/10/2024

*Kearifan Lokal, Titik Temu antara Sakral dan Profan*

Oleh NASARUDDIN UMAR, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Kompas, 11 Oktober 2024

Kearifan lokal sering diartikan sebagai pengetahuan, nilai, kebiasaan, tradisi, dan praktik yang berkembang di suatu masyarakat lokal yang diwarisi dari generasi ke generasi.

Kearifan lokal ini berkaitan dengan kesadaran kolektif masyarakat setempat tentang relasi dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya, serta bagaimana mereka beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sendiri dan lingkungan dari luar.

Kearifan lokal sesungguhnya lebih banyak berada dalam wilayah profan ketimbang wilayah sakral. Profan sebagaimana dijelaskan Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) merujuk pada hal-hal yang biasa, sehari-hari, dan tak memiliki makna religius atau spiritual yang khusus.

Obyek atau aktivitas yang profan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan tak dianggap memiliki kekudusan atau signifikansi khusus dalam konteks agama atau spiritualitas, seperti bekerja, makan, atau bersosialisasi di luar konteks keagamaan. Sebaliknya, sakral merujuk ke hal-hal yang dianggap suci, keramat, atau memiliki nilai spiritual tinggi dalam suatu kebudayaan atau agama.

Obyek atau peristiwa yang sakral dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dari keseharian, penuh dengan makna dan kekudusan, dan sering kali dihubungkan dengan ritual keagamaan. Hal yang sakral sering diperlakukan dengan rasa hormat dan kehati-hatian karena dianggap memiliki kekuatan tertentu yang lebih tinggi, seperti tempat ibadah, kitab suci, relik suci, atau upacara keagamaan.

Beberapa kearifan lokal masih sering diperhadap-hadapkan dengan doktrin keagamaan karena terjadinya unsur sakralisasi terhadap yang profan dan sebaliknya profanisasi unsur sakral atas nama kearifan lokal.

Kontroversi sering muncul terutama yang bersentuhan dengan tradisi magis yang sering dipraktikkan di dalam suatu masyarakat atas dasar kearifan lokal, yakni mengikuti tradisi luhur nenek moyang setempat.

Misalnya, festival panen raya, pindah rumah baru, upacara pembukaan lahan pertanian/perkebunan, upacara ”persahabatan” dengan laut, danau, dan obyek lain yang dianggap memberi keuntungan atau kerugian bagi manusia, dengan berbagai ragam upacara lokal setempat.

Termasuk yang dipersoalkan ialah menghadirkan kembali obyek wisata yang dinilai bersifat sakral seperti festival budaya yang berbau mistik. Tak heran jika akronim bidah, khurafat, sinkretisme, dan syirik sering kali diperhadapkan dengan sejumlah praktik kearifan lokal.

Kearifal lokal yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya dapat diterima secara universal seperti etika moral yang menjaga kohesi sosial. Misalnya, gotong royong, penghormatan kepada orangtua, cara-cara menyelesaikan konflik secara damai, cara bercocok tanam, sistem irigasi, penggunaan tanaman obat, dan teknik berburu atau memancing yang efektif, arsitektur rumah yang sesuai dengan iklim, pola tanam yang mengikuti musim, atau metode pengelolaan air yang berkelanjutan.

Termasuk bahasa, seni, musik, tari, dan cerita rakyat yang menjadi ciri khas komunitas tersebut yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain. Kearifan lokal seperti ini amat konstruktif untuk terbinanya keindahan sebuah masyarakat yang menganut filosofi Bhinneka Tunggal Ika.

Antara sakral dan profan
Di masyarakat Indonesia, perbedaan antara yang sakral dan profan terkadang sangat halus. Ada sekelompok masyarakat menganggap sebuah tradisi itu sakral, sementara yang lainnya menganggapnya profan. Ada juga sebaliknya, sesuatu yang sesungguhnya masuk wilayah profan, dianggap sakral.

Yang pertama tentu mereka berasumsi terjadi desakralisasi hal-hal yang bersikap sakral. Atas dasar itu, muncullah klaim sekuler, pendangkalan agama, dereligioisasi, atau deislamisasi, dan lain-lain. Yang kedua berasumsi sebaliknya, terjadi sakralisasi hal-hal yang tidak sakral. Atas dasar itu muncul p**a klaim bidah, khurafat, sinkretik, syirik, dan lain-lain.

Roy A Rappaport dalam bukunya, Ritual and Religion in the Making of Humanity (1999), mencoba mengembangkan analisis yang cukup mendalam, dengan mengemukakan tujuh peran ritual untuk membedakan antara yang sakral dan profan.

Pertama, ritual berperan sebagai mekanisme utama untuk memediasi antara yang sakral dan yang profan. Melalui ritual, manusia dapat mengakses dan mengalami yang sakral, yang tidak dapat dijangkau dalam kehidupan profan.

Kedua, sakral bukanlah sesuatu yang inheren pada obyek atau tindakan tertentu, tetapi lebih merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui ritual. Artinya, suatu obyek, tempat, atau tindakan jadi sakral karena diperlakukan sebagai sakral oleh komunitas melalui praktik-praktik ritual. Konsekuensinya, sakralitas adalah hasil kesepakatan sosial yang dihasilkan dan dipelihara melalui ritual.

Ketiga, salah satu fungsi utama ritual untuk menciptakan dan memelihara diferensiasi antara domain sakral dan domain profan serta memastikan yang sakral dipisahkan dari yang profan, memberikan makna khusus pada yang sakral.

Keempat, ritual tak hanya menciptakan sakralitas, tetapi juga mengesahkan dan memperkuatnya. Melalui pengulangan ritual, nilai-nilai sakral masyarakat ditegaskan kembali secara terus-menerus, memperkuat komitmen individu terhadap nilai-nilai itu dan menanamkannya lebih dalam ke dalam struktur sosial. Pada akhirnya, ritual berfungsi menjaga stabilitas sosial dengan terus mengingatkan anggota masyarakat tentang pentingnya mematuhi norma-norma sakral.

Kelima, ritual sebagai alat pengendalian sosial yang kuat, karena ritual membedakan antara sakral dan profan serta menetapkan aturan yang mengatur perilaku di dalam konteks sakral. Ritual membantu menjaga ketertiban di masyarakat.

Pelanggaran terhadap aturan sakral yang ditegakkan oleh ritual dapat mengakibatkan sanksi sosial atau religius yang serius, yang menegaskan kembali pentingnya mematuhi norma yang telah ditetapkan.

Keenam, ritual mengatur transisi antara sakral dan profan. Sakralitas bukanlah keada- an yang tetap, melainkan sesuatu yang bisa diraih atau hilang tergantung konteks sosial dan ritual.

Ketujuh, meskipun sakral dan profan sering dianggap sebagai dua domain yang terpisah bahkan bertentangan, keduanya saling bergantung satu sama lain. Sakral tak bisa dipahami tanpa adanya yang profan, karena yang sakral mendefinisikan dirinya dengan perbedaannya dari yang profan.

Ritual berfungsi untuk terus mengelola hubungan dinamis antara kedua domain ini, memastikan bahwa keduanya tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan sosial.

Hal yang belum tuntas dibahas Émile Durkheim ialah makna ritual itu sendiri dan pernyataannya bahwa sakralitas ditentukan oleh persepakatan masyarakat. Tentu jika masyarakat bersepakat untuk menyakralkan yang profan, dengan sendirinya bisa terjadi.

Dalam pandangan agama-agama besar, terutama Abrahamic religion (Yahudi, Nasrani, Islam) kesakralan yang dilegitimasi dalam bentuk ritual bersumber dari kitab suci agama masing-masing. Walau pada akhirnya Durkheim mengakui bahwa pemisahan antara yang sakral dan yang profan adalah inti dari semua agama dan merupakan cara bagi masyarakat memelihara solidaritas sosial.

Dampak desakralisasi alam
Selain Durkheim, konsep sakral dan profan juga dibahas lebih mendalam di buku klasik, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion oleh fenomenolog agama, Mircea Eliade (1957). Buku ini banyak dirujuk Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Sacred Nature: Restoring Our Ancient Bond with the Natural World.

Menurut Eliade, pengalaman manusia terhadap dunia terbagi menjadi dua kategori utama: Yang sakral dan yang profan. Yang sakral merujuk pada sesuatu yang transendental, ilahi, dan memiliki makna spiritual. Sebaliknya, yang profan adalah dunia sehari-hari yang biasa, tak memiliki makna spiritual.

Dijelaskan, kehidupan keagamaan manusia berpusat pada upaya untuk terhubung dengan yang sakral lewat berbagai ritus, mitos, dan simbol. Ia membedakan antara waktu dan ruang sakral dengan waktu dan ruang profan. Waktu sakral adalah waktu mitos seperti waktu penciptaan yang bisa dihadirkan kembali lewat ritus keagamaan.

Ruang sakral adalah ruang yang dianggap suci dan berbeda dari ruang profan. Tempat-tempat suci seperti kuil atau altar dianggap sebagai ”pusat dunia” (axis mundi) yang menghubungkan Bumi dengan surga.

Karl Armsrong, penulis buku bestseller, History of God lebih menekankan perlunya mengubah pandangan dunia (worldviews) yang melihat alam semata-mata hanya sebagai obyek, tapi ia menganjurkan pendekatan yang lebih integratif, yang tak hanya memandang alam sebagai sesuatu yang fungsional, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik dan spiritual.

Ia juga menekankan pentingnya mengambil langkah-langkah praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk melestarikan dan merawat alam. Armstrong mendorong pembaca untuk tak hanya mengadopsi pandangan dunia yang lebih sakral terhadap alam, tapi juga menghubungkan kesadaran spiritual dengan tanggung jawab ekologis, mengajak pembaca berperan aktif menjaga keseimbangan alam.

Ia mengajak kita melihat masa masyarakat masa lampau mereka mempertahankan hidup melalui persahabatan dengan alam semesta, bukannya mengeksploitasi alam hingga melampaui daya dukungnya.

Pandangan sakral mereka yang lebih banyak menggunakan otak kanan membuat alam ini lestari. Sebaliknya, masyarakat modern lebih banyak menggunakan otak kiri sehingga terjadi desakralisasi alam, yang pada akhirnya merugikan umat manusia.

Hindari klaim tak produktif

Isu sensitif dan sesungguhnya tak produktif yang sering muncul terkait sosialisasi kearifan lokal ialah spiritualisasi hal-hal yang nonspiritual atau despiritualisasi hal-hal nonspiritual. Sebaiknya, kita tidak terlalu mudah membidahkan atau memusyrikkan praktik kearifan lokal jika hal itu bersifat hubungan horizontal-bilateral.

Sepanjang sebuah praktik masih di wilayah profan, maka itu tak bisa disebut bidah, syirik, atau akronim kesesatan lain. Persahabatan masyarakat Bugis-Makassar-Mandar dengan laut masih sebatas ”silaturahim” sebagai sesama makhluk Tuhan. Mereka secara ajaib bisa memperoleh jawaban positif apakah mereka bisa melaut atau menunda karena ada bahaya gelombang laut atau perubahan cuaca secara tiba-tiba.

Yang musyrik jika mereka meyakini laut memiliki kekuatan supernatural di samping keberadaan Allah SWT.

Demikian juga memelihara dan menghargai barang antik, praktik tolak bala (daf’ul bala’), sepanjang itu belum dimasukkan ke wilayah sakral, apalagi jika ada dasarnya dalam tradisi Nabi atau sahabat, tak bisa di- klaim sebagai perbuatan syirik.

Yang menjadi masalah jika sakralisasi sesuatu yang profan tanpa dasar lalu diperatasnamakan kearifan lokal, seperti tradisi melarung binatang hidup ke dalam laut, itu pun dalam pandangan Islam. Dalam pandangan tradisi lain mereka juga memiliki hak budayanya.

Sebaliknya, klaim sekuler, dereligioisasi, deislamisasi, pendangkalan akidah, dan akronim desakralisasi lainnya juga tidak tepat karena definisi sakral itu ternyata juga ditentukan oleh ruang, waktu, dan masyarakat, seperti kata Durkheim. Kita tak perlu mempertentangkan kearifan lokal dengan nilai-nilai agama. Sebaliknya kearifan lokal dan nilai-nilai agama saling mendukung dan memperkuat.

07/10/2024

MAKNA DIUTUSNYA RASULULLAH SAW.

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

07/10/2024

*Belajar Filsafat lewat Musik*

Oleh SATRIO WAHONO, Magister Filsafat Universitas Indonesia

Kompas, 5 Oktober 2024

Selama ini, filsafat yang secara akademis memiliki definisi ”pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh lapangan kenyataan” (Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, 2008) menyandang stigma sebagai disiplin ilmu yang rumit, mengawang-awang, dan tak punya kegunaan praktis nyata.

Alhasil, banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah Filsafat kesulitan mencerna berbagai konsep dalam ilmu filsafat. Terjadilah kemudian berbagai ilustrasi anekdotal di ruang kelas: mahasiswa tertidur kala kuliah, peserta ujian yang hanya menatap kertas kosong selama durasi penuh waktu pengerjaan soal, hingga mereka yang tiba-tiba merasa sakit kepala ketika berada di kelas filsafat.

Ini sungguh disayangkan mengingat filsafat adalah disiplin penting yang punya kegunaan praktis dalam kehidupan. Salah satunya, filsafat mengajak manusia untuk berpikir kritis terhadap segala sesuatu. Oleh karena itu, seseorang yang giat berfilsafat tidak akan gampang terpengaruh dan terombang-ambingkan oleh doktrin, propaganda, atau ide-ide dari pihak mana pun.

Dengan demikian, seorang yang berfilsafat akan biasa berpikir mandiri, kreatif, dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Hal ini tentu positif bagi perkembangan mentalitas bangsa kita secara keseluruhan. Bahkan, kebiasaan berpikir kritis semacam ini sekarang sudah dimasukkan sebagai salah satu Profil Pelajar Pancasila, yang berarti para murid dan mahasiswa di Indonesia sebenarnya wajib memiliki kebiasaan tersebut.

Selain itu, mengingat filsafat selalu ingin menelaah satu permasalahan dari berbagai sudut pandang secara komprehensif, aktivitas berfilsafat akan membuat orang lebih mudah berempati dan mengembangkan semangat toleransi, yang tentu berguna dalam hubungan antarmanusia dan dalam ikhtiar membangun satu kehidupan berbangsa yang lebih baik.

Bedah lirik lagu
Karena itu, tidaklah produktif bagi peradaban kita jika kita membiarkan kegiatan belajar filsafat dijauhi orang karena stigma rumitnya. Padahal, ada sejumlah cara untuk menjadikan filsafat kegiatan belajar yang menyenangkan.

Salah satunya, pengajar bisa menyampaikan konsep-konsep filosofis lewat sesi bedah lirik lagu-lagu populer, baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara. Apalagi ini sudah dikuatkan oleh Don G Campbell ketika mengatakan bahwa ada kaitan antara musik dengan kecerdasan anak (Mozart Effect, 2001).

Sebagai contoh, lagu-lagu the Beatles penuh dengan taburan teori filsafat. Lagu ”Across the Universe” dari band legendaris the Beatles adalah pintu masuk bagi siapa pun yang ingin mengenal filsafat Hindu yang lebih mengutamakan sensasi batin (Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, 1988). Atau, lagu nasional (anthem) aktivis perdamaian, ”Imagine”, gubahan John Lennon adalah alat jitu untuk mendiskusikan konsep humanisme universal (Rolling Stone Special Edition 500 Greatest Songs in the World, 2009).

Kemudian, lagu-lagu Bob Dylan yang sarat akan kritik sosial mampu memberi kita gambaran tentang filsafat dan semangat revolusi yang mewarnai suasana mental masyarakat Amerika tahun 1960-an sampai 1970-an, termasuk kemunculan generasi hippies dan ”generasi bunga” (flower generation) yang cinta damai itu. Tengok saja lirik lagu sarat kritik sosial Dylan terhadap masyarakat borjuis kosmopolitan, ”Like a Rolling Stone” atau refleksinya tentang perubahan semangat zaman dalam ”Times They Are A-Changin”

Dari dalam negeri, lirik-lirik puitis WS Rendra untuk Kantata Takwa adalah khazanah klasik dalam mempelajari bagaimana respons manusia dalam menyikapi tegangan antara tradisi dan modernitas. Belum lagi karya-karya sang legenda hidup lokal kita Iwan Fals—dijuluki sebagai ”Bob Dylan Indonesia”—seperti ”Bento” dan ”Bongkar” bersama grup Swami yang sarat nuansa satir melawan kepengapan iklim politik pasti menjadi pemicu ampuh bagi diskursus menarik soal demokrasi dan otokrasi.

Selain itu, kolaborasi Taufiq Ismail dan Bimbo dalam lagu-lagu religius mereka adalah pemicu asyik untuk merenungkan makna agama dan Tuhan bagi manusia. Bahkan, yang termasuk paling fenomenal, lagu-lagu dangdut dari sang ”Raja Dangdut” Rhoma Irama telah anyak mengundang kajian sosial-filosofis dari berbagai bidang.

Salah satunya, kajian M Shofan di jurnal pemikiran agama Ulumul Quran (”Rhoma Irama: Sang Revolusioner Musik Dangdut”, Jurnal Ulumul Quran 01/XXI/2012). Kajian ini menunjukkan bahwa musik dan karya Rhoma Irama mampu secara pas menunjukkan tegangan antara agama dan modernitas serta antara modernitas Barat dan tradisi Melayu Islam.

Dengan demikian, belajar filsafat lewat musik akan terasa menarik, asyik, menggelitik, dan punya dimensi praktik sehingga belajar filsafat yang sangat berguna itu bisa menjadi sangat menggairahkan. Semoga memang demikian!

06/10/2024

Rasulullah saw. Dan Umatnya: Tafsir QS. At-Taubah/9: 128

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

Address

Makassar

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Panrita Institute posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Panrita Institute:

Share

Category