10/06/2025
Narasi ”Zero Attack” yang Menyesatkan
Oleh: Noor Huda Ismail. Visiting Fellow RSIS Nanyang University, Singapura
Opini Kompas, 27 Mei 2025
Terorisme hari ini telah bermetamorfosis. Ia tak lagi selalu datang dalam bentuk ledakan bom atau aksi kekerasan, tapi menyusup secara halus melalui narasi, komunitas maya, dan algoritma digital. Ia tumbuh dalam senyap, bersabar sembunyi, menunggu momen untuk kembali menyala.
Menjawab pertanyaan anggota DPR, seorang pejabat tinggi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan, ”Jika sudah tidak ada lagi serangan terorisme, mengapa BNPT masih harus ada?”
Ini bukan sekadar pertanyaan tentang eksistensi BNPT, melainkan juga tentang sesuatu yang lebih besar, bahkan dari sekadar argumen anggaran: tentang persepsi publik bahwa tak ada serangan, berarti tak ada ancaman. Seorang menteri bahkan pernah mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto pun pernah menanyakan hal serupa.
Terbukti tidak sedikit—dan bukan hanya dari kalangan masyarakat awam—yang berpandangan bahwa ketenangan tanpa ledakan bom dan korban jiwa adalah tanda bahwa teror telah usai.
Tetapi, benarkah demikian?
Damai yang menipu
Kita mengenal tiga fase dalam teori manajemen krisis, yaitu prakrisis, respons krisis, dan pascakrisis. Ketiganya tidak terhubung dalam sebuah garis lurus, tetapi berada dalam suatu siklus yang saling tumpang tindih.
Dalam konteks terorisme, ketiadaan serangan hanyalah penanda bahwa kita sedang berada di masa senyap, entah menuju badai, atau sedang menata diri setelahnya. Jadi, sama sekali bukan sebuah kondisi yang mengisyaratkan untuk menurunkan kewaspadaan.
Indonesia telah mengadopsi pendekatan ini dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menekankan tidak hanya pada penindakan (respons krisis), tetapi juga kegiatan-kegiatan prakrisis berupa pencegahan dan kontra-radikalisasi, serta kegiatan pascakrisis seperti deradikalisasi dan kesiapsiagaan nasional yang berkelanjutan.
Pasal 43A dan 43B undang-undang tersebut menugaskan BNPT memimpin koordinasi lintas sektor, membina masyarakat, dan memproduksi narasi alternatif terhadap ideologi kekerasan.
Ketenangan memang bisa menipu. Ibarat danau yang tampak tenang di permukaan, padahal menyimpan arus deras di dasarnya. Absen dari bom bukan berarti absen dari teror.
Apalagi, terorisme hari ini telah bermetamorfosis. Ia tak lagi selalu datang dalam bentuk ledakan bom atau aksi kekerasan, tetapi menyusup secara halus dan menunggu momen untuk kembali menyala dan meledak.
Aparat hukum seperti Densus 88 tetap bekerja tanpa henti di balik layar. Nama-nama dipetakan, jaringan-jaringan diperbarui, wajah-wajah baru muncul setiap tahun. Meski tak ramai diberitakan, tersangka teroris terus ditangkap. Kondisi senyap ini bukan sebuah akhir, tapi hanya pergeseran medan pertempuran.
Pondok-pondok pesantren yang dulu menjadi simpul kaderisasi Jamaah Islamiyah masih berdiri. Mereka kini berwajah lebih moderat, lebih lembut, dan lebih berorientasi pada ”umat”—tetapi bukankah tetap perlu dicermati barangkali struktur kaderisasinya masih rapi dan ideologinya tetap kuat?
Aktivitas dakwah, halakah, dan pelatihan keterampilan tak lagi digerakkan dengan semangat revolusioner, tetapi melalui pendekatan yang sistematis dan berstrategi. Ideologi yang dulu disampaikan dengan nada konspiratif kini hadir dalam bentuk yang lebih tenang, tetapi tetap dalam.
Kejahatan terorisme hingga kini belum berakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, aksi terorisme berskala dampak besar telah mereda, namun modus dan bentuk kejahatan terorisme mengalami evolusi.
Saya teringat ucapan seorang mantan narapidana teroris yang pernah mengikuti pelatihan militer di Filipina selatan. Di sebuah warung kopi di pinggiran Solo, dia berkata, ”Sekarang bukan saatnya angkat senjata. Kita menangkan hati dan pikiran dulu.”
Ucapannya terdengar bijak, nyaris damai—tetapi ada bias makna yang dalam yang terkandung di baliknya. Ia mencerminkan strategi panjang berbasis dua konsep penting dalam studi radikalisasi: cognitive opening dan frame alignment.
Saat seseorang berada dalam krisis atau mengalami kekecewaan mendalam, ia menjadi lebih terbuka terhadap ideologi baru—itulah cognitive opening. Lalu, ketika kerangka berpikirnya selaras dengan narasi gerakan ideologis, proses radikalisasi bisa berjalan tanpa perlu aksi kekerasan—itulah frame alignment.
Dengan kata lain, seseorang bisa menjadi radikal bukan karena diajarkan cara membuat bom, melainkan karena pikirannya perlahan disesuaikan dengan narasi ideologis yang ekstrem. Inilah bentuk kekerasan baru: kekerasan dalam bentuk infiltrasi gagasan. Dan, seperti kata penulis Perancis, Victor Hugo, ”Tidak ada yang lebih kuat dari sebuah ide yang waktunya telah tiba.”
Transformasi JI
Banyak yang mengira Jamaah Islamiyah (JI) telah tiada setelah putusan pengadilan pada 2008 yang melarang keberadaannya. Ini anggapan yang terlalu naif sebab Jamaah Islamiyah adalah jaringan yang sudah teruji oleh waktu.
Ia tumbuh sebagai komunitas dari struktur sosial, jaringan alumni, persahabatan, dan loyalitas ideologis yang sulit diputus. Sebelum menyatakan diri bubar pada pertengahan tahun lalu, Jamaah Islamiyah mengubah strategi dakwah yang tak lagi membicarakan jihad bersenjata secara terang-terangan.
Mereka melakukan infiltrasi sosial—masuk ke lembaga pendidikan, yayasan amal, dan organisasi masyarakat sipil. Jamaah Islamiyah juga mendirikan puluhan yayasan legal, memanfaatkan celah hukum dan kepercayaan publik.
Narasi mereka juga bergeser. Tak lagi ”perang melawan thaghut,” tapi ”penyelamatan moral bangsa,” ”kedaulatan syariat,” dan ”perlindungan umat”. Mereka menyusup ke ruang publik melalui isu-isu populer seperti Islamofobia, antikorupsi, dan gaya hidup halal.
Di tengah transformasi lokal Jamaah Islamiyah, kita tidak bisa menutup mata terhadap keterkaitan global. Sejumlah kader muda Jamaah Islamiyah saat ini masih berada di Suriah, sebagian bergabung dengan faksi jihad seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang merupakan reinkarnasi dari Jabhat al-Nusra—afiliasi Al Qaeda di kawasan tersebut.
Dalam konteks inilah, BNPT dan Densus 88 tidak boleh mengendurkan kewaspadaan. Indonesia harus terus memperkuat filter intelijen, pengawasan komunitas, dan program reintegrasi yang kredibel.
Di balik narasi ”zero attack”
Narasi zero attack sering kali terdengar menenangkan, seolah menjadi bukti keberhasilan negara dalam menjaga keamanan warganya dari ancaman terorisme. Namun, narasi tersebut justru bisa sangat menyesatkan jika dipahami secara dangkal.
Dalam laporan tahunan Terrorism Situation and Trend Report (TESAT) yang dikeluarkan Europol, serangan teror tidak hanya dihitung dari insiden yang benar-benar terjadi dan menimbulkan korban, tetapi juga meliputi serangan yang berhasil digagalkan oleh aparat keamanan, serta yang gagal karena kesalahan teknis atau keputusan individu pelaku yang berubah di tengah jalan.
Kita perlu waspada terhadap jebakan ilusi statistik. Sebagaimana dipahami dalam pendekatan counter-terrorism yang berbasis pencegahan, keberhasilan tidak hanya diukur dari absennya ledakan atau korban, tetapi dari seberapa dalam dan luas masyarakat dibentengi dari bibit-bibit ekstremisme.
Filsuf perempuan Amerika, Hannah Arendt, mengingatkan, ”Kejahatan terbesar dalam sejarah sering kali bukan berasal dari kebencian, tetapi dari ketidakpedulian yang membiarkan ide berbahaya tumbuh dalam diam.”
Ini adalah peringatan serius tentang bahaya kelambanan dan sikap acuh tak acuh. Ketika masyarakat dan pemerintah terlalu percaya dengan statistik, apalagi sampai terlena oleh narasi zero attack, ruang bagi ideologi ekstrem bisa tumbuh tanpa terdeteksi.
Perlu narasi tandingan
Statistik boleh nol, tetapi ancaman tidak pernah benar-benar absen. Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh berpangku tangan. Pencegahan terorisme tak cukup dengan senjata dan penjara, tak cukup dengan sekadar tindakan responsif-reaktif. Ini soal membangun narasi, memperkuat komunitas, dan merawat kemanusiaan.
Sudah banyak terbukti bahwa marjinalisasi adalah bahan bakar ekstremisme. Karena itu, pendekatan GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) harus menjadi bagian inti dari strategi, bukan sekadar tambahan. Ketika perempuan hanya dilihat sebagai korban, penyandang disabilitas diabaikan, dan kelompok minoritas dipinggirkan, ruang radikalisasi pun melebar.
Pendekatan GEDSI tersebut memastikan bahwa tidak ada yang merasa ditinggalkan. Ia membuka ruang partisipasi yang setara, memperkuat rasa memiliki, dan mendorong keterlibatan aktif semua kelompok dalam membangun ketahanan sosial.
Inklusi bukan wacana moral semata. Ia adalah strategi keamanan yang cerdas. Sebab, dalam perang melawan ekstremisme, vaksin terbaik adalah komunitas yang utuh, yakni ketika setiap orang merasa dihargai, didengar, dan punya masa depan.
Pun, pendekatan deradikalisasi tidak boleh direduksi sekadar pada bimbingan agama. Pasalnya, motivasi radikalisasi sering kali berakar pada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan isu-isu identitas.
Beberapa mantan narapidana terorisme kembali melakukan aksi kekerasan dan kejahatan bukan karena motif ideologi, melainkan karena frustrasi ekonomi dan stigmatisasi sosial.
Ada mantan teroris yang terlibat dalam tambang ilegal, pencurian kendaraan, hingga kasus narkoba. Ini menunjukkan bahwa reintegrasi harus lebih holistik: mencakup pelatihan kerja, rehabilitasi psikologis, dukungan keluarga, dan keterlibatan komunitas.
Dalam konteks ini, rencana pemulangan warga negara Indonesia (WNI), terutama perempuan dan anak-anak dari kamp Suriah, adalah sejalan dengan pendekatan PRR (prosecution, rehabilitation, reintegration) yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Unicef menegaskan bahwa anak-anak yang terasosiasi dengan kelompok bersenjata adalah korban, bukan pelaku, dan mereka harus diperlakukan dengan prinsip kepentingan terbaik mereka. Negara perlu memastikan pemulihan dan reintegrasi mereka, bukan memperpanjang stigma. Mengabaikan aspek kemanusiaan hanya akan memperkuat siklus radikalisasi.
Kemenangan sejati melawan terorisme
Kemenangan sejati dalam melawan terorisme bukan hanya soal mencegah ledakan, tetapi mencegah lahirnya generasi baru yang percaya bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan. Dan, untuk itu, kedamaian bukanlah akhir.
Ia adalah awal dari perjuangan panjang—perjuangan untuk tetap waspada, terus membangun, dan merawat nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, seperti ide, ekstremisme tidak mati—ia hanya berubah bentuk. Dan, tugas kita adalah memastikan bahwa bentuk barunya tidak menemukan ruang untuk tumbuh.