Rahma Karput02

Rahma Karput02 AssalamuAlaikum...

11/02/2025

Assalamualaikum. . .

04/11/2024

Assalamualaikum, bismillah.

10/06/2024

Bagaimana caranya memaksakan diri keluar dari zona nyaman 😖

Serasa ingin terbang, tapi sayapnya bahkan belum tumbuh.

Lanjut ya, part 4 Adikku Genderuwo 4 Tangisan RuniPenulis: Bintang Gerhana Bilal ZeilanJantungku berdebar kencang. Bukan...
22/05/2024

Lanjut ya, part 4

Adikku Genderuwo 4
Tangisan Runi
Penulis: Bintang Gerhana Bilal Zeilan

Jantungku berdebar kencang. Bukan hanya takut jika para warga menghakimi aku tapi juga takut terjadi sesuatu pada Runi.

Runi adalah bayi yang baru dilahirkan. Terlepas dari asal kelahirannya yang tak jelas karena separuh manusia dan separuh jin, dia tetaplah makhluk yang belum mengerti apa-apa. Entah apa hukumnya anak seperti ini yang jelas aku khawatir terjadi sesuatu padanya.

Apa aku gi la? Atau sudah dipengaruhi oleh se tan? Jelas-jelas yang berada dalam gendonganku ini adalah jin tapi mengapa aku melindunginya.

Apa pun itu, aku menyayangi Runi. Tiba-tiba saja perasaan seperti itu muncul. Bagaimanapun, darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah darah Bapak. Darah yang sama dengan darah yang mengalir di tubuhku. Jika terjadi sesuatu pada adikku ini, aku tak dapat memaafkan diriku sendiri. Kakak macam apa aku jika melindungi adiknya pun tak bisa?

“Runi, diamlah, Dek. Tolong Abang. Tolong, Dek. Jangan menangis kek gitu. Kalau ketangkep, ma ti kita, Deek,” bisikku di telinga Runi.

“Suaranya di sana!”

Dari celah batang bambu, aku melihat seseorang menunjuk ke arah rumpun bambu tempat kami bersembunyi.

Habislah sudah!

Semua orang memandang ke arah rumpun bambu. Dua orang mendekat. Sementara tangisan Runi semakin keras.

Aku merutuk Bapak. Bisa-bisanya pergi tanpa menunggu aku. Apa dia lupa ada anak barunya yang ketinggalan.

Begitu cintanyakah Bapak pada si Ruwi itu. Si han tu belau!

Runi tak mengecilkan suara. Tak ada tanda-tanda dia akan berhenti. Aku harus mencari cara agar mereka pergi dari sini tanpa menyentuh kami. Harus!

“Suaranya di sanaaa!” Seseorang berseru.

“Benar! Di sana!” Seseorang lain juga membenarkan.

Semua orang menoleh ke arah yang berlawanan dengan rumpun bambu. Orang yang tadi mendekati pun kembali berkumpul dengan warga lainnya.

“Bukan! Di sana!” Seseorang menunjuk ke arah lainnya.

“Bukan! Di sana!”

Mereka seperti kebingungan. Tak ada satu pun arah yang mereka kira itu benar.

Aku girang. Itu artinya mereka tak bisa mendeteksi secara tepat di mana tangisan Runi berasal.

Kukira itu karena Runi yang bukan bayi biasa.

Dasar anak se tan!

Tangisan Runi semakin keras. Warga juga semakin kebingungan. Aku semakin senang.

Para warga terlihat berdisk**i. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk p**ang ke desa karena hampir subuh.

“Nangis yang kenceng, Dek. Lebih kenceng. Kerjain mereka,” bisikku pada Runi.

Namun, Runi justru berhenti. Dia sangat tenang.

Huh! Dasar anak se tan! Dari bayi sudah keras kepala melawan perintah!

Dug!

Tiba-tiba kaki kecil Runi menendang dadaku.

Aku terbatuk. Ten dangan Runi sangat keras. Secara logika, tak mungkin bayi sekecil Runi memiliki kekuatan sebesar itu. Akan tetapi, aku harus sadar. Runi anak se tan.

“Sebentar! Kalian dengar suara batuk?”

Mam pus aku!

Semua orang berhenti.

“Benar! Suaranya dari balik rumpun bambu itu!”

“Kita liat!”

Aku tak bisa menghindar lagi. Bisikan pada Runi menjadi hal yang kusesali. Harusnya aku tetap sadar bahwa yang kubawa bukan manusia. Sekarang, pasrah saja.

Lima orang mendekat.

Di saat yang sama, Runi menangis lagi. Para warga kebingungan lagi.

“Terserah Adek ajala,” bisikku.

Tangisan Runi tak membuat para warga pergi. Mereka kembali berunding. Jika seperti ini, aku bisa kehilangan jejak Bapak.

Huh!

Bapak entah sudah ada di mana. Menyesal tadi aku membawa Runi dan memutuskan untuk ikut.

Dug!

Lagi-lagi dadaku diten dang Runi. Kali ini lebih keras. Sakit sekali.

Namun, sekuat tenaga kutahan rasa ingin batuk. Bahaya.

Runi seperti mengerti apa yang kuucapkan dalam hati. Masih bayi saja sudah sesakti ini. Apalagi jika besar nanti?

“Sudahlah! Kalian p**anglah. Ini sudah mau subuh. Sehebat apa pun kalian, tak mungkin begitu saja bisa menangkap gendoruo yang tentu jumlahnya tak sedikit itu.” Dari arah jalan desa, seseorang yang sangat kukenal datang. Ki Moruto.

Ki Moruto adalah seorang paranormal desa yang terkenal sakti. Dia sering diminta untuk mengobati penyakit warga terutama yang dideteksi berasal dari gangguan jin. Jika dia yang sakti saja berkata seperti itu, tentu makhluk-makhluk hutan ini memang berbahaya.

Aku merasa diselamatkan dukun itu meski selama ini aku tak percaya padanya. Dia membawa orang pada kesyirikan menurutku. Namun sekarang? Aku lebih parah dari dia. Adikku sendiri adalah se tan.

“Bukankah tadi Ki Moruto sendiri yang menyuruh kami mengejar gendoruo itu? Dan Ki Moruto juga yang memberitahu ada gendoruo yang mengawal kembalinya gendoruo perempuan yang sedang melahirkan?” ketus Pak RT.

Dari pembicaraan itu, aku jadi semakin yakin. Perbuatan Bapak sudah diketahui.

“Iya, memang benar. Tapi masalahnya, hutan ini gudangnya para se tan. Kalian tak akan sanggup melawan. Biar aku saja. Sekarang p**anglah.” Lelaki lima puluh tahun berperawakan tinggi besar dan berambut ikal panjang dengan wajah berewokan itu menjawab.

“Aaah! Ki Moruto memang menyusahkan! Jadi bagaimana kalau gendoruo yang s**a nyamar itu datang lagi mengganggu kita?”

Aku selama ini tak mendengar ada kabar genderuwo yang berkeliaran menyamar. Baru ini aku tahu jika desa terserang teror.

Aku terlalu lama tak bermain di desa sendiri. Tempat mainku di desa yang berada dekat pinggiran kota karena di sana aku memiliki lebih banyak teman. Alasan lainnya adalah karena aku tak ingin jadi gunjingan warga sebagai pemuda yang s**a keluyuran malam dan begadang.

Runi berhenti menangis. Keadaan menjadi lebih tenang.

Orang-orang yang tadi berkumpul perlahan pergi. Mereka kembali ke desa. Hanya ki Moruto yang tetap di tempat.

Aku belum berani keluar. Kuputuskan akan pergi setelah Ki Moruto juga pergi.

Namun bukannya pergi, Ki Moruto sedikit mendekat ke rumpun bambu. Entah kenapa aku kembali khawatir.

Jika niat Ki Moruto buruk, jelas aku akan mendapatkan masalah besar. Semoga saja tidak.

“Keluarlah anak manusia yang berada di balik bambu! Keadaan sudah aman.” Ada yang aneh dengan suara Ki Moruto. Nadanya datar tapi serak dan berat. Sangat berbeda dengan aslinya.

Aku merinding. Sedikit pun aku tak bergerak. Kulirik Runi. Adikku itu tertidur. Itu artinya aku tak perlu khawatir ketahuan.

“Jika kau tak mau keluar, aku yang akan menarik lehermu itu anak muda! Keluar dan berikan bayi itu!” bentak Ki Moruto.

Aku bimbang. Serba salah. Tak mungkin kuserahkan Runi. Entah apa maksud Ki Moruto meminta Runi.

Setelah berpikir dengan matang, aku berdiri dan berjalan ke kanan melalui celah antara rumpun batu dan semak belukar. Nanti saja kupikirkan soal risiko. Toh, dukun itu sudah tahu. Soal Runi, aku hanya berharap Bapak kembali.

“Ini aku, Ki!” Aku dan Ki Moruto cukup saling mengenal. Hanya saja, aku memang tak menyukainya.

“Hahaha! Hahaha! Zian, serahkan bayi itu!” ben tak Ki Moruto. “Atau seumur hidup kau akan kesusahan!”

Meski sedikit gentar, aku coba melawan. “Tenanglah, Ki. Kau tentu tau siapa bayi ini dan dari mana dia berasal. Dia tak penting buatmu!”

“Siapa bilang? Adikmu itu akan jadi rebutan para silu man! Dia berbahaya. Seluruh silu man menginginkan kema tiannya! Berikan dia padaku dan dia akan selamat!”

Runi akan jadi rebutan? Pantas! Masih kecil saja sudah terlihat menyusahkan!

Dug!

Runi menendangku lagi. Dia benar-benar tahu apa yang kuucapkan meski hanya dalam hati. Jika dia begitu terus, umurku tak akan lama. Ten dangannya keras membuat isi dadaku seperti hancur. Sakit.

“Iya, Dek. Maaf. Berhentilah memukuli Abang kalau nggak mau abangmu ini jadi almarhum,” bisikku ke telinga Runi.

Setelah berkata, Ki Moruto tiba-tiba berubah aneh. Perlahan tapi pasti, tubuh Ki Moruto membesar dan berbulu. Rambutnya merah dan wajahnya ... berbulu!


Selengkapnya
Sudah tamat di KBMapp
Dengan Judul : Adikku Genderuwo
Username : Shadam_Adivio

Link:
https://read.kbm.id/book/detail/3c2bfeb3-c686-4bb9-92c2-a486611496e4

Ayo bergabung dan subscribe buku Adikku Genderuwo agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Bintang Gerhana / Bilal Zeilan di aplikasi KBM.

22/05/2024

Pasang surut Kuota sangat berpengaruh pada misi peningkatan akun 🤭

Ketika tidak memiliki anak lelaki(RUANG RINDU IBU)Bab 1 KESEPIAN"Pak, apa kita salah dalam mendidik anak-anak?" Mak Mina...
09/05/2024

Ketika tidak memiliki anak lelaki
(RUANG RINDU IBU)

Bab 1 KESEPIAN

"Pak, apa kita salah dalam mendidik anak-anak?" Mak Minah bertanya pada sang suami yang sedang istirahat di bale-bale pinggir sawah.

"Ada apa, Bu, uhuk.. uhukk... apa yang membuat Ibu berkata demikian?" Sambil terbatuk Pak Sanusi menjawab.

Raut wajah Mak Minah sangat mendung, gurat kesedihan di wajah tuanya jelas terlihat oleh sang suami. Bukan tanpa alasan Mak Minah bersedih. Memiliki cukup banyak anak dan cucu, tapi masa tua mereka begitu sepi.

"Pak, apa segitu merepotkannya kita untuk anak-anak. Kenapa tidak ada yang mau mengajak kita untuk tinggal bersama mereka?" Menetes cairan bening di mata tua Mak Minah.

"Bu, sudahlah. Anak kita itu perempuan semua, mereka harus ikut kata suami. Kalau tidak dapat izin, ya mau bagaimana."

Meskipun sebenarnya di dasar hati yang paling dalam, Pak Sanusi merasa menjadi orang tua yang tidak beruntung. Tidak dapat mempertahankan satu saja anaknya untuk tinggal menemani mereka.

Di hari tua, mereka harusnya lebih banyak beristirahat, bermain dengan cucu-cucunya di rumah. Tapi apalah daya, mereka masih harus berjuang karna tidak bisa berharap banyak kepada anak-anak mereka.

Setahu Mak Minah, anak-anak mereka hanya sebatas ibu rumah tangga, hanya suami mereka yang bekerja. Makanya Mak Minah dan Pak Sanusi begitu sungkan untuk sekedar meminta meski sedikit kepada sang anak.

Ya, anak mereka ada empat, semuanya perempuan. Sudah menikah dan ikut bersama suami masing-masing. Bahkan si bungsu Aisyah, harapan terakhir mereka agar bisa tinggal bersama itu pun kandas. Suami Aisyah yang ternyata anak lelaki satu-satunya membuatnya harus tetap tinggal bersama sang ibu yang memang sudah janda. Jadi kewajiban Arya suami Aisyah tidak bisa lepas dari sang ibu yang tinggal seorang diri.

Anak pertama mereka adalah Khadijah, ia ikut suaminya tinggal di luar kota, Khadijah inilah yang tinggal paling jauh. Sementara yang ke dua adalah Sarifa yang masih satu kota dengan Aisyah cukup dekat sekitaran tiga sampai empat jam perjalanan ke kampung mereka. Sedangkan Latifa anak ke tiga juga cukup jauh. Meskipun mereka masih tinggal dalam provinsi yang sama, tapi jarak mereka jauh dari kampung halaman emak bapaknya.

***

Siang semakin terik, saat selesai istirahat dan makan, ke dua orang tua tersebut melanjutkan kegiatan mereka. Menanam padi di sawah orang dan di beri upah harian menjadi salah satu mata pencarian mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Panas terik matahari tak menyurutkan semangat mereka untuk bekerja, bayangan upah yang akan mereka terima membuat mereka enggan untuk mengeluh, biasanya perorang akan diberi upah tujuh puluh ribu sehari. Upah yang lumayan banyak menurut Mak Minah, apalagi dia bersama sang suami.

Lelah tak terasa, bukan hanya Mak Minah dan Pak Sanusi saja yang ada di sawah. Banyak warga lain yang ikut menanam, sehingga mereka tidak merasa kesepian, sesekali mereka bercerita dan tertawa bersama.

Tak terasa senja sudah mulai menampakkan keindahannya. Samar-samar telinga Mak Minah mendengar teriakan seseorang memanggil namanya.

Dengan berlari kecil, Rasya bocah kecil berusia tujuh tahun itu memanggil Mak Minah, "Mak, ada yang nyariin di rumah."

"Siapa, Nak?" Sambil naik dan membersihkan lumpur di badannya Mak Minah bertanya pada anak tetangganya tersebut.

"Gak tau Mak, gak pernah liat, tapi dia cewek, kayaknya sama anaknya dua," Rasya menjawab pasih pertanyaan Mak Minah.

Mak Minah mengangguk tanda mengerti dan berterima kasih pada bocah itu, Mak Minah kemudian memanggil sang suami yang sedang membersihkan diri karna pekerjaan mereka sudah selesai.

"Ayo p**ang, Pak!"

"Iya, Bu. Nanti bapak aja yang singgah di rumah juragan tanah, ngambil upah. Mak duluan aja ke rumah, ya!"

Di perjalanan p**ang, Mak Minah terus berfikir, siapa gerangan tamu yang Rasya sebut. Apakah salah satu anaknya ada yang p**ang menjenguk.

Sesampainya di rumah, Mak minah membuka pintu belakang rumahnya, dikarenakan area sawah yang ditanami itu berada di belakang. Setelah mencuci kaki dan tangan sekali lagi, Mak Minah bergerak ke arah depan untuk membuka pintu dan melihat siapa tamu yang datang.

Krieettt!

Bunyi pintu tua rumah Mak Minah berbunyi nyaring, membuat seseorang yang duduk di bale-bale tersebut menoleh.

"Mak ...!"

"Di ... Dijah ...."

Ayo bergabung dan subscribe buku RUANG RINDU IBU (ketika tidak memiliki anak Laki-laki) agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Karput02 di aplikasi KBM.

Adikku Genderuwo 3Hutan SilumanPenulis: Bintang Gerhana Bilal ZeilanMeski Bapak keberatan, aku tetap memaksa dengan alas...
09/05/2024

Adikku Genderuwo 3
Hutan Siluman
Penulis: Bintang Gerhana Bilal Zeilan

Meski Bapak keberatan, aku tetap memaksa dengan alasan aku menerima Ziaruni sebagai adikku apa pun keadaannya.

Semua masih membingungkan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin aku bisa begitu saja melihat makhluk gaib berupa genderuwo tanpa perlu memiliki ilmu apa-apa dan bagaimana caranya p**a Bapak punya istri makhluk menyeramkan seperti itu. Namun, aku memilih menjalaninya saja karena tak tahu bagaimana harus bersikap.

“Kalau begitu cepatlah! Ambil gendongan bayi di lemari!”

Dengan cepat, aku melakukan perintah Bapak. Gendongan bayi bekas milikku segera kuambil. Meski harus bersusah payah, aku berhasil menggendong Runi. Iya, aku menyebutnya Runi.

Setelah itu, aku ke kamar mengambil tas gunung yang sudah berisi berbagai macam perlengkapan mendaki termasuk makanan karena rencananya hari Minggu aku akan mendaki. Lalu, aku ke dapur mengambil termos berisi air panas dan memasukkannya ke tas.

“Ziaaan! Cepat! Sudah hampir azan!” Bapak berseru lagi. Suaranya terdengar khawatir.

Aku tak menjawab tapi bergerak cepat menyusul Bapak yang sudah ada di luar setelah mengunci pintu.

Langkah Bapak cepat sekali. Dia berjalan tapi seperti berlari. Aku kerepotan mengikuti.

Aku agak merinding ketika melihat Runi terus menatapku. Matanya mengeluarkan cahaya kuning kemerahan. “Dasar anak hantu!” gumamku.

Runi bereaksi. Tubuhnya menggeliat kuat dan mengeluarkan suara akan menangis.

Huh! Sekecil ini sudah tahu protes! Padahal dia memang keturunan hantu.

“Oeek egh eee!” Runi menangis.

Bapak menoleh. “Zian! Usahakan adikmu itu jangan menangis. Bisa mengundang kecurigaan!”

Aaargh! Baru saja punya adik sudah disalah-salahkan.

Sambil terus berjalan dengan beban depan belakang, aku mengusap alis Runi yang masih sangat lembut. “Nggak usah nangis, Dek. Kasian sama Abang. Kena marah Bapak,” bisikku.

Aku tertawa dalam hati. Geli mendengar aku sendiri mengucapkan abang.

Abang hantu?

Iya, kan? Runi adalah hantu! Tak ada alasan menyebutnya manusia karena dari bentuknya yang berbulu pun, dia sudah aneh.

Sekeliling alam masih gelap. Desa sunyi sepi tanda penghuninya masih banyak yang terlelap di alam mimpi meski subuh telah mendekati. Lokasi rumah kami yang berada di paling belakang desa dekat hutan memudahkan kami untuk leluasa bergerak.

Jarak dengan rumah tetangga terdekat saja sekitar dua ratus meter. Jadi saat gelap begini, tak perlu risau dengan perhatian tetangga.

Mungkin itu juga sebabnya perbuatan Bapak tak terendus. Tak ada yang melihat istri seram Bapak itu datang dan pergi. Buktinya selama satu tahun, Bapak aman-aman saja hingga punya anak dari genderuwo.

Aku bisa saja marah dan memberi tahu warga soal kesesatan dan penyimpangan hubungan yang dilakukan oleh Bapak. Akan tetapi, mana mungkin aku bisa setega itu? Bagaimanapun, itu adalah Bapakku. Harga dirinya adalah harga diriku seperti darahku yang berasal dari darahnya.

Hawa dingin menyergap ketika aku tiba di mulut hutan. Bapak sudah berada sekitar lima puluh langkah di depan. Kegelapan semakin bertambah karena langit mulai tertutup rimbunnya pepohonan yang besar-besar. Hutan ini jarang dimasuki orang kecuali yang memang sudah terbiasa seperti bapakku yang pekerjaannya mencari rotan untuk dibuat perabotan.

Aku sendiri bisa dihitung dengan jari berapa kali masuk ke sini mengikuti Bapak. Di dalam sana gelap meski siang hari. Hawanya juga berbeda dengan di luar. Dingin tapi tak membuat nyaman. Binatang yang beragam jenisnya pun sangat banyak karena tak ada yang berani memburunya. Pernah ada yang nekat membu nuh hewan secara sembarangan, ma ti dengan tubuh seperti terca bik-ca bik macan.

Di bagian sebelah kanan luar hutan, ada sebuah gubuk kecil yang dihuni oleh seorang paranormal pemegang kunci pesugihan. Ki Jago Linto namanya. Aku kenal karena beberapa kali bersama Bapak ke tempat itu.

Iya. Hutan ini tempat mencari pesugihan bagi orang-orang yang tak sabar hidup dalam kemiskinan hingga mencari kekayaan dengan cara yang instan. Untuk caranya, aku tak tahu pasti yang jelas tak hanya satu. Yang pernah kudengar adalah tuyul dan pesugihan sate gagak. Itu di antaranya.

Intinya, hutan ini diisi oleh makhluk-makhluk gaib.

Bapak berjalan cepat sekali padahal dia menggendong han tu. Aku curiga bapakku itu juga hantu. Dasar han tu!

Runi menangis lagi. Huh!

“Diamlah, Dek! Yang Abang sebut hantu itu juga bapakku. Kita sama-sama anak hantu!”

Eh?

Benar juga. Jika bapakku hantu, tentu aku juga hantu. Aku kan anak Bapak.

Saat seperti ini, aku berharap aku bukan anak Bapak. Lebih baik jika aku anak angkat saja!

Huuuh! Bapak!

Aku belum tiba di mulut hutan ketika dari kejauhan terdengar suara orang-orang berteriak menyerukan sumpahan pada genderuwo. Apa itu artinya perbuatan Bapak telah terendus warga?

Suara itu semakin lama semakin mendekat, sementara kakiku sulit sekali untuk diajak melangkah lebih cepat. Ketika menoleh, belasan obor dan beberapa senter bergerak ke arahku.

“Larinya ke hutan!”

“Apa pun caranya, harus kita tangkap!”

“Meresahkan!”

Aku tak mungkin bisa menghindari mereka jika tetap berjalan perlahan. Bersembunyi adalah satu-satunya cara agar mereka tak menemukanku.

Di samping kanan, ada rumpun bambu yang lebat. Meski konon di situ di huni oleh silu man ular, mau tak mau tetap harus kudekati untuk bersembunyi. Toh, soal silu man itu aku tak pernah melihatnya sendiri.

Tepat ketika aku tiba di balik rumpun, orang-orang yang memburu tiba. Mereka berhenti dekat dengan tempat persembunyianku. Semoga saja Runi tak menangis.

“Diam ya, Dek,” bisikku di telinga Runi.

Mata Runi mengeluarkan cahaya merah. Andai ini bukan adikku, sudah kucampakkan di tengah jurang di belakangku. Menakutkan!

“Apa kita masuk hutan?” Aku mengenal suara yang bertanya itu. Dia adalah Pendi. Teman yang tergolong akrab.

“Jangan. Bahaya. Hutan ini tau sendiri angkernya bukan main-main.” Itu p**a suara Pak RT.

“Iya, kita p**ang saja daripada masalah.”

“Bisa-bisanya gendoruwo keluar dari rumah Azlan! Apa dia bekerja sama dengan setan, ya.”

“Kupikir begitu. Sejak pisah sama istrinya kan dia kayak orang gi la!”

“Iya. Bisa jadi juga dia nikah sama gendoruwo. Aku pernah dengar suara-suara aneh di rumahnya.”

“Kita ini terlalu segan pada Bang Azlan. Gendoruwo bikin kita jadi waswas aja. Ingat nggak kemarin pernah nyaru jadi Pak RW terus nyuruh kita bubar dari pos?”

“Iya! Beberapa kali juga nyamar jadi warga. Aku khawatir ada wanita desa kita dikerjai setan itu!”

“Sudahlah! Kita p**ang saja. Kita tunggu di desa.”

Aku lega. Mereka berencana pergi. Namun, aku gusar sekali. Mereka ternyata telah mencurigai Bapak. Ini gawat. Aku juga dalam bahaya. Risiko teringan adalah dikucilkan warga desa. Kemungkinan lainnya adalah kami diperse k**i.

Belum sempat mereka bergerak menjauh, Runi menangis. Ce laka! Tangisannya keras sekali.

“Apa kalian dengar suara tangisan bayi itu?”

“Itu tangisan bayi gendoruwo! Begitulah suara bayi silu man menangis.”

“Kita cari bayi gendoruwonya! Ba kaaar!”

Ma ti aku!


Selengkapnya
Sudah tamat di KBMapp
Dengan Judul : Adikku Genderuwo
Username : Shadam_Adivio

Link:
https://read.kbm.id/book/detail/3c2bfeb3-c686-4bb9-92c2-a486611496e4

Ayo bergabung dan subscribe buku Adikku Genderuwo agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Bintang Gerhana / Bilal Zeilan di aplikasi KBM.

Adikku Genderuwo 2Adikku AnehPenulis: Bintang Gerhana Bilal ZeilanKarena getar tubuh yang tak sanggup lagi ditahan, aku ...
05/05/2024

Adikku Genderuwo 2

Adikku Aneh

Penulis: Bintang Gerhana Bilal Zeilan

Karena getar tubuh yang tak sanggup lagi ditahan, aku luruh dan berlutut di depan pintu dalam posisi menyamping.

“Zian! Ka-kapan kamu p**ang?”

Aku menoleh. Bapak terlihat gugup. Dengan buru-buru, Bapak meletakkan bayinya ke kasur keranjang bayi lalu menutupi tubuh makhluk genderuwo di ranjang dengan selimut. Karena terlalu tinggi, selimut itu tak cukup menutupi seluruh tubuh makhluk itu.

“Itu apa, Pak?” Kucoba untuk tetap tenang. Meski jantung berdegup seperti motor yang sedang balapan.

Sembari berdiri, aku melawan rasa takut. Jika Bapak saja tak risi berada di dekat makhluk itu, harusnya aku juga biasa saja.

Heh? Jelas saja Bapak tak takut. Itu kan istrinya atau entah siapanya. Bayi itu juga jelas anak Bapak karena tadi Bapak menyebut ‘anakku’.

Bayi aneh di ranjang menangis keras. Makhluk kecil itu menggeliat hingga handuknya terlepas. Bapak masih sibuk mencari sesuatu di lemari.

Meski masih merasa takut, aku mendekati bayi di keranjang kecil bekas milikku. Bapak sepertinya sudah mempersiapkan semuanya. Tanpa melihat ke arah sosok tinggi besar di ranjang, aku menutupkan kembali handuk ke tubuh bayi yang tubuhnya mirip mo nyet. Namun, wajah bayi itu seperti bayi manusia pada umumnya. Tak ada bulu atau kelainan apa pun. Rambutnya saja yang sedikit tebal dan gimbal.

Jika ini anak Bapak, artinya anak ini perpaduan manusia dan genderuwo.

“Mereka ini siapa, Pak?” Aku bertanya lagi sembari mengusap pelan p**i bayi di keranjang.

“Bapak bisa jelaskan. Tapi tidak sekarang. Tolong rahasiakan semua ini,” jawab Bapak lirih.

Bapak terlihat sayang sekali pada makhluk mengerikan yang diam tak bergerak di ranjang. Setelah menutupi kaki hitam berbulu makhluk itu dengan kain, Bapak membersihkan sisa darah dengan air dari baskom.

“Kenapa nggak sekarang. Bolehkah kita bicara? Bapak setahun ini terlalu pendiam. Aku sudah lama ingin bertanya soal keanehan di rumah ini. Tapi Bapak selalu cuek saat kusapa.”

Bapak diam saja. Dia dengan tenang meneruskan tugasnya.

Makhluk hitam besar di ranjang menurunkan selimut batas leher. Jujur saja aku takut melihatnya. Seram sekali. Namun, makhluk itu seperti tak berdaya. Dia terlihat sangat kelelahan. Mungkin karena baru melahirkan.

Makhluk itu lalu seperti berbicara tapi dengan bahasa yang tak kupahami. Suaranya serak, kecil, tapi nadanya datar.

Sepertinya Bapak paham karena Bapak menjawab suara itu.

“Maksudnya? Kamu tidak mau menyu suinya, Ruwi?”

Nama makhluk itu Ruwi. Apakah itu karena dia genderuwo jenis perempuan? Gendoruwi?

Makhluk itu bicara lagi.

“Oh, jadi begitu. Apakah jika diberi susu kaleng anak kita bisa seperti manusia biasa?” Bapak terlihat serius sekali.

Agak panjang makhluk hitam besar itu bersuara. Aku tak ingin mengganggu pembicaraan mereka. Entah kenapa aku jadi s**a bayi di keranjang. Wajahnya lucu. Sekilas juga mirip ... aku!

Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak mengerti sebenarnya sedang terjadi apa. Sudah jelas Bapak memperlakukan makhluk itu seperti istrinya dan menyebut bayi ini anaknya. Terima atau tidak, bayi ini adalah adikku. Namun, apakah aku harus bersikap layaknya seorang abang?

“Kalau begitu, aku serahkan keputusannya padamu. Kalau memang kamu mau anak ini tetap menjadi bangsa jin, silakan susui. Kalau kamu ingin dia hidup layaknya manusia, aku akan mencari susu kaleng sekarang juga.”

Makhluk itu diam. Bapak juga diam.

Bapak mengemas kain yang digunakan untuk membersihkan makhluk bernama Ruwi itu lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap wajah Ruwi dengan lembut. Aku dianggap tidak ada.

Mereka kembali bicara.

“Aku sayang kalian. Kalau tidak, buat apa aku menikahimu? Kalau keputusanmu adalah membiarkan bayi kita menjalani hidup sebagai manusia, aku ikut saja. Biarlah kutanggung segala resikonya.”

Ruwi bersuara lagi.

“Tidak apa-apa. Biarkan anakku terbiasa dengan adiknya. Aku akan menjelaskannya nanti,” jawab Bapak.

Mereka membahas aku.

“Sudah hampir subuh. Sekarang jam tiga. Kamu mau kita pergi sekarang?” tanya Bapak ketika Ruwi bicara lagi.

Makhluk Ruwi bicara agak panjang.

“Oh, iya. Aku lupa. Biar aku pikirkan nama untuk anak kita.”

Bapak lalu memandangku. “Zian, ini istri Bapak. Maafkan Bapak. Dia berasal dari dunia di luar kita. Bapak tidak minta kamu paham, tapi Bapak mohon kamu mengerti.”

“Maksud Bapak? Kapan Bapak menikahi dia?”

“Satu bulan setelah kepergian ibumu. Panjang ceritanya. Bapak harap kamu mengerti dan jangan banyak tanya dulu. Tolong Bapak.”

Pernikahan macam apa itu? Seperti tak ada saja perempuan dari golongan manusia!

Ingin marah tapi bingung bagaimana caranya. Ini membingungkan.

“Nama bayi ini Diruyi.”

“Diruyi? Kasih kek agak panjang,” ucapku pelan.

“Siapa?”

Heh? Bapak bertanya. Mana kutahu!

“Diruyi Ziaruni.” Aku menjawab asal.

“Boleh juga. Itu adikmu. Dia bisa bersifat dan bersikap seperti manusia kalau tidak minum susu ibunya. Jadi maukah kamu tunggui mereka sebentar? Bapak mau cari susu.”

Aku ingin tertawa. Genderuwo minum susu sapi?

Aku tak mau bersama makhluk ini. Menyeramkan. Bagaimana kalau aku dicekiknya? Lebih baik aku yang pergi.

“Biar aku aja yang nyari susu. Bapak di rumah aja.”

“Kamu mau?”

“Daripada aku di rumah. Aku tak biasa dengan makhluk selain manusia.”

“Kalau begitu pergilah! Tapi waktumu hanya sampai jam empat. Karena Bapak harus bawa mereka ke rumah yang di hutan sebelum subuh.”

Aku tak menjawab lagi.

Waktu untuk pergi ke minimarket yang buka dua puluh empat jam sekitar dua puluh menit karena tak ada di dekat sini. Aku harus cepat.


Setelah tiba di dalam minimarket, aku bingung. Susu apa yang harus kubeli. Rencananya aku juga ingin membeli perlengkapan yang lain. Terpaksa aku meminta bantuan karyawan yang bertugas.

Kudekati satu perempuan yang berwajah teduh. Nama yang tertera di baju depannya adalah Sisilia.

“Maaf, Mbak Sisil.” Aku sok akrab. “Boleh bantu nyari perlengkapan bayi?”

“Oh, boleh. Istrinya baru melahirkan?” Perempuan bernama tampilan Sisil balik bertanya.

“Oh, bukan. Tapi adikku baru lahir. Aku disuruh beli perlengkapan tapi nggak tau apa aja.”

“Wah, selamat, ya. Moga adiknya sehat.”

Huh! Adik?

Adik dari alam gaib!

Sisil mengambil keranjang lalu bertanya. “Ini mau lengkap atau bagaimana?”

“Kalau lengkap berapa kira-kira?”

“Nggak nyampe lima ratus ka.”

Uuuh! Mahal!

Aku memang baru gajian mingguan satu juta. Akan tetapi, langsung mengeluarkan setengah juta?

“Iya. Lengkap.”

“Aku yang pilihkan?”

“Iya.”

Dalam sekejap, keranjang penuh. Ada kain kecil, susu, minyak telon satu set dengan bedak dan entah apa. Botol susu pun tak ketinggalan.

Totalnya empat ratus tiga puluh ribu rupiah. Kugenapkan saja lima ratus ribu dengan menambahkan rokok dan mi instan.


“Bapak mau ke mana?” Aku buru-buru bertanya begitu masuk ke kamar Bapak karena Bapak sudah menggendong Ruwi di depan. Kuat juga Bapak. Padahal makhluk itu dua kali lebih besar.

“Kamu p**ang pas jam empat. Bapak harus pergi. Tolong masukkan apa yang kamu beli itu ke tas Bapak. Tolong juga angkat adikmu taro di atas ibunya.”

Aku tak membantah. Dengan cepat aku melakukan perintah Bapak. Hanya saja ketika akan mengangkat bayi itu, aku bingung bagaimana caranya.

“Angkat saja pelan-pelan.” Bapak seperti mengerti apa yang kupikirkan.

Kugendong bayi itu dengan cara mendekapnya. Mata kecil di wajah lucu bayi itu memandangku. Kakinya bergerak-gerak. Aku tambah s**a.

Aku tak tahu kenapa Bapak terburu-buru. Itu yang membuat aku penasaran.

“Letakkan di sini, Zian.”

“Biar aja aku yang gendong. Aku ikut!”


Selengkapnya
Sudah tamat di KBMapp
Dengan Judul : Adikku Genderuwo
Username : Shadam_Adivio

Link:
https://read.kbm.id/book/detail/3c2bfeb3-c686-4bb9-92c2-a486611496e4

Ayo bergabung dan subscribe buku Adikku Genderuwo agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Bintang Gerhana / Bilal Zeilan di aplikasi KBM.

Karya kak Widya Yasmin Istriku Pulang Setelah Dua Hari Dimakamkan (2)Rasa sesak kini menyelimuti dada, aku sangat menyes...
05/05/2024

Karya kak Widya Yasmin

Istriku Pulang Setelah Dua Hari Dimakamkan (2)

Rasa sesak kini menyelimuti dada, aku sangat menyesal karena tak mendengar ucapan Kinasih yang terus menyuruhku untuk berhenti bekerja lalu mencari pekerjaan di tanah air. Saat itu yang kupikirkan hanyalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar aku bisa membeli rumah untukku juga Kinasih. Selain itu aku juga berniat untuk membuka toko sembako di rumah agar aku tak perlu merantau jauh untuk mencari nafkah.

Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan istriku, andai saja waktu bisa diputar kembali, aku akan lebih memilih mencari pekerjaan di daerah sendiri meskipun dengan gaji sedikit yang penting aku bisa bertemu istriku setiap hari.

"Nirwan." Tiba-tiba lamunanku buyar saat mendengar sebuah suara disertai sentuhan di pundakku.

Aku langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Kulihat seorang lelaki paruh baya yang tubuhnya sedikit bau amis menatapku dengan iba.

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya istrimu," ujar Pak Hasan, seorang pekerja di pemotongan ayam milik Haji Gofar.

Tampaknya ia langsung berlari menghampiriku saat aku melewati kandang ayam tempat ia bekerja.

"Terima kasih, Pak," jawabku.

"Tolong sampaikan pada ibumu, ada banyak bangkai ayam di kandang, biasanya ibumu membeli ayam yang sudah mati."

Seketika dahiku mengernyit saat mendengar ucapan lelaki yang kausnya terdapat cipratan darah ayam itu.

"Untuk apa ibu saya membeli ayam yang sudah mati?" Aku menatapnya dengan heran.

"Katanya sih untuk pakan lele."

Dahiku semakin mengernyit saat mendengar ucapannya, karena aku tahu persis kalau keluargaku tak memelihara lele. Tiba-tiba aku teringat Kinasih yang selalu mengatakan di telpon bahwa setiap hari Ibu memasak daging ayam untuknya, tetapi daging yang dimasak Ibu selalu tak enak, tetapi Kinasih dipaksa untuk tetap memakannya.

Jangan-jangan ....

Ah, tidak mungkin ibuku sejahat itu pada istriku.

"Kok malah melamun, Jang Nirwan," ucapnya lagi hingga membuyarkan lamunanku.

"Ya udah, Pak. Nanti saya sampaikan sama Ibu," ujarku, ia mengangguk lalu aku bergegas p**ang.

______

"Kamu dari mana aja, Jang? Ibu khawatir sama kamu." Ibu langsung menyambutku dengan wajah cemas.

"Ibu punya empang? Ibu memelihara lele?" Aku langsung menyampaikan rasa penasaran yang sejak tadi memenuhi rongga dada.

"Enggak, ibu gak punya empang. Kamu mau makan lele goreng sambal terasi? Akan ibu masakan buat kamu," ujarnya lagi.

"Jadi Ibu gak punya empang?" Aku kembali bertanya sembari menatapnya lekat.

Wanita yang telah melahirkanku itu langsung menggeleng dan menatapku dengan dahi yang mengernyit.

"Lalu untuk apa Ibu rutin membeli ayam mati?"

Seketika Ibu tampak terhenyak saat mendengar pertanyaanku.

"M-maksud kamu apa?" tanyanya terbata dengan wajah yang langsung berkeringat.

"Tadi aku bertemu dengan Pak Hasan, ia bercerita jika Ibu sering membeli bangkai ayam untuk pakan lele."

Wajah Ibu langsung memucat saat mendengar penuturanku, mataku melirik ke arah tangan dan kakinya yang gemetaran, ia tampak sangat gugup seolah tertangkap basah telah melakukan Kejahatan.

"Ibu kenapa gugup gitu?" Aku menatapnya penuh selidik, sementara Ibu tampak tak berani menatap mataku

"I-itu, ibu selalu beli bangkai ayam buat diberikan pada temen ibu yang budidaya lele."

Ibu tampak mengusap keringat di wajahnya, sementara matanya melirik sana sini seolah tak berani menatapku.

"Temen Ibu siapa? Aku kenal loh semua temen Ibu."

"I-itu Mang Onay yang tinggal di desa sebelah."

"Waktu itu Kinasih selalu cerita kalau Ibu tiap hari masak ayam goreng, tapi katanya ayam gorengnya bau bangkai."

Mendengar ucapanku, ibu tampak semakin gugup. Sementara rongga dada ini semakin terasa sesak. Mungkinkah wanita yang telah melahirkanku itu memperlakukan istriku dengan tidak manusiawi?

"Nirwan, kamu harus percaya sama Ibu. Kinasih itu terus memfitnah ibu dan Dini agar kamu menyuruhnya tak lagi tinggal di rumah ini. Tujuannya agar dia bebas berselingkuh di saat kamu berada di Korea."

Dadaku semakin terasa sesak saat mendengar ucapan ibu, aku yakin jika Kinasih tak seburuk seperti yang ia katakan. Lalu mengapa ibuku harus terus memfitnahnya, padahal aku sangat tahu jika Kinasih berjuang mati-matian untuk mengambil hatinya.

"Salah Kinasih apa sih, Bu? Ibu terus saja memfitnahnya padahal dia sudah meninggal."

Ibu tampak terhenyak saat mendengar ucapanku, mungkin ia kecewa karena dulu aku tak berani menentang apapun ucapannya.

"Kamu banyak berubah, Nirwan. Kamu jadi seperti ini sejak menikah dengan Kinasih."

"Tapi bukankah Ibu sendiri yang dulu ngebet banget agar aku segera menikahi Kinasih?"

Aku memang menyukai Kinasih sejak ia SMA hingga akhirnya kami jadian. Lalu setelah hampir 2 tahun pacaran, tiba-tiba Ibu menyarankan agar aku segera menikahinya. Lalu setelah 2 bulan menikah, tiba-tiba Ibu menyarankan agar aku bekerja di Korea, mengikuti jejak tetangga yang kini telah sukses setelah 3 tahun bekerja di negara ginseng itu.

"Dulu ibu pikir Kinasih wanita yang baik, tetapi rupanya dia tak sebaik yang ibu pikir. Dia itu ular berkepala dua, wajahnya aja polos, tapi hatinya busuk."

Lagi, hatiku terasa teriris saat mendengar ucapan Ibu. Entah siapa yang harus aku percaya, tetapi hatiku seolah sulit untuk menerima semua yang ibu katakan.

Bugh! Tiba-tiba pintu dapur seperti ada yang membanting dengan keras hingga membuatku seketika terhenyak, lalu tidak lama kemudian terdengar suara tangis yang begitu menyayat hati.

"Dini! Kamu nangis, Din?" tanyaku sembari melangkah ke arah dapur.

"Dini lagi belanja bahan buat tahlil nanti sore, dia belum p**ang," ujar Ibu sembari memegangi lengan bajuku.

"Terus siapa tadi yang nangis, Bu?" tanyaku dengan wajah bingung.

Kulihat Ibu langsung bergidik ngeri sembari memegangi tanganku dengan erat.

"Ibu takut, Wan," ujarnya dengan wajah ketakutan.

Ku beranikan diri untuk melangkah menuju dapur, karena tak mungkin ada hantu di siang bolong seperti ini. Setibanya di sana, seketika bulu kudukku meremang, tetapi tak kutemukan siapapun, padahal tadi aku bisa mendengar jelas ada suara tangis dari arah dapur.

"Gak ada siapa-siapa kok, Bu. Sepertinya tadi kita salah dengar." Aku mencoba menenangkan Ibu yang terlihat sangat ketakutan.

Setelah itu aku langsung bergegas menuju kamar, aku langsung mengambil air wudhu lalu shalat dzuhur, setelah itu duduk termenung dengan tatapan kosong. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk tidur siang, karena rasanya seluruh tubuh ini lelah dan letih.

Aku langsung berbaring dan menutup kelopak mata ini, meski dadaku terasa sesak setiap kali mengingat jika aku telah kehilangan Kinasih untuk selamanya.

Tidak lama kemudian terdengar suara motor Dini, sepertinya ia telah p**ang. Meski seluruh tubuh ini terasa lelah dan letih, tetapi aku tak bisa lekas masuk ke alam mimpi. Masih bisa terdengar suara obrolan Ibu dan Dini di luar yang sedang membahas acara tahlil.

Ba'da ashar, acara tahlilan pun dilaksanakan di rumahku. Tampak beberapa warga datang, lalu acara pun dimulai setelah ustaz kampung ini datang.

"Permisi." Terdengar suara wanita dari arah pintu yang dibiarkan terbuka hingga membuat semua orang menghentikan membaca alfatihah.

"Juriiiiig!" teriak beberapa orang lelaki yang duduk di dekat pintu setelah melihat siapa yang datang.

Suasana tampak riuh, karena beberapa orang tampak berteriak histeris, beberapa lainnya berlari kabur meninggalkan rumahku.

Aku langsung melangkah mendekat, lalu seketika jantung ini seakan terlepas dari tempatnya saat melihat sesosok tubuh berselimutkan kain kafan yang dipenuhi tanah sedang berdiri di depan pintu.

"K-Kinasih ...."

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

Ayo bergabung dan subscribe buku Istriku Pulang Setelah Dua Hari Dimakamkan agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Widya Yasmin di aplikasi KBM.

Address

Jalan Pendidikan Bonto Lebang
Makassar

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rahma Karput02 posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share