05/05/2024
Karya kak Widya Yasmin
Istriku Pulang Setelah Dua Hari Dimakamkan (2)
Rasa sesak kini menyelimuti dada, aku sangat menyesal karena tak mendengar ucapan Kinasih yang terus menyuruhku untuk berhenti bekerja lalu mencari pekerjaan di tanah air. Saat itu yang kupikirkan hanyalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar aku bisa membeli rumah untukku juga Kinasih. Selain itu aku juga berniat untuk membuka toko sembako di rumah agar aku tak perlu merantau jauh untuk mencari nafkah.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan istriku, andai saja waktu bisa diputar kembali, aku akan lebih memilih mencari pekerjaan di daerah sendiri meskipun dengan gaji sedikit yang penting aku bisa bertemu istriku setiap hari.
"Nirwan." Tiba-tiba lamunanku buyar saat mendengar sebuah suara disertai sentuhan di pundakku.
Aku langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Kulihat seorang lelaki paruh baya yang tubuhnya sedikit bau amis menatapku dengan iba.
"Saya turut berduka cita atas meninggalnya istrimu," ujar Pak Hasan, seorang pekerja di pemotongan ayam milik Haji Gofar.
Tampaknya ia langsung berlari menghampiriku saat aku melewati kandang ayam tempat ia bekerja.
"Terima kasih, Pak," jawabku.
"Tolong sampaikan pada ibumu, ada banyak bangkai ayam di kandang, biasanya ibumu membeli ayam yang sudah mati."
Seketika dahiku mengernyit saat mendengar ucapan lelaki yang kausnya terdapat cipratan darah ayam itu.
"Untuk apa ibu saya membeli ayam yang sudah mati?" Aku menatapnya dengan heran.
"Katanya sih untuk pakan lele."
Dahiku semakin mengernyit saat mendengar ucapannya, karena aku tahu persis kalau keluargaku tak memelihara lele. Tiba-tiba aku teringat Kinasih yang selalu mengatakan di telpon bahwa setiap hari Ibu memasak daging ayam untuknya, tetapi daging yang dimasak Ibu selalu tak enak, tetapi Kinasih dipaksa untuk tetap memakannya.
Jangan-jangan ....
Ah, tidak mungkin ibuku sejahat itu pada istriku.
"Kok malah melamun, Jang Nirwan," ucapnya lagi hingga membuyarkan lamunanku.
"Ya udah, Pak. Nanti saya sampaikan sama Ibu," ujarku, ia mengangguk lalu aku bergegas p**ang.
______
"Kamu dari mana aja, Jang? Ibu khawatir sama kamu." Ibu langsung menyambutku dengan wajah cemas.
"Ibu punya empang? Ibu memelihara lele?" Aku langsung menyampaikan rasa penasaran yang sejak tadi memenuhi rongga dada.
"Enggak, ibu gak punya empang. Kamu mau makan lele goreng sambal terasi? Akan ibu masakan buat kamu," ujarnya lagi.
"Jadi Ibu gak punya empang?" Aku kembali bertanya sembari menatapnya lekat.
Wanita yang telah melahirkanku itu langsung menggeleng dan menatapku dengan dahi yang mengernyit.
"Lalu untuk apa Ibu rutin membeli ayam mati?"
Seketika Ibu tampak terhenyak saat mendengar pertanyaanku.
"M-maksud kamu apa?" tanyanya terbata dengan wajah yang langsung berkeringat.
"Tadi aku bertemu dengan Pak Hasan, ia bercerita jika Ibu sering membeli bangkai ayam untuk pakan lele."
Wajah Ibu langsung memucat saat mendengar penuturanku, mataku melirik ke arah tangan dan kakinya yang gemetaran, ia tampak sangat gugup seolah tertangkap basah telah melakukan Kejahatan.
"Ibu kenapa gugup gitu?" Aku menatapnya penuh selidik, sementara Ibu tampak tak berani menatap mataku
"I-itu, ibu selalu beli bangkai ayam buat diberikan pada temen ibu yang budidaya lele."
Ibu tampak mengusap keringat di wajahnya, sementara matanya melirik sana sini seolah tak berani menatapku.
"Temen Ibu siapa? Aku kenal loh semua temen Ibu."
"I-itu Mang Onay yang tinggal di desa sebelah."
"Waktu itu Kinasih selalu cerita kalau Ibu tiap hari masak ayam goreng, tapi katanya ayam gorengnya bau bangkai."
Mendengar ucapanku, ibu tampak semakin gugup. Sementara rongga dada ini semakin terasa sesak. Mungkinkah wanita yang telah melahirkanku itu memperlakukan istriku dengan tidak manusiawi?
"Nirwan, kamu harus percaya sama Ibu. Kinasih itu terus memfitnah ibu dan Dini agar kamu menyuruhnya tak lagi tinggal di rumah ini. Tujuannya agar dia bebas berselingkuh di saat kamu berada di Korea."
Dadaku semakin terasa sesak saat mendengar ucapan ibu, aku yakin jika Kinasih tak seburuk seperti yang ia katakan. Lalu mengapa ibuku harus terus memfitnahnya, padahal aku sangat tahu jika Kinasih berjuang mati-matian untuk mengambil hatinya.
"Salah Kinasih apa sih, Bu? Ibu terus saja memfitnahnya padahal dia sudah meninggal."
Ibu tampak terhenyak saat mendengar ucapanku, mungkin ia kecewa karena dulu aku tak berani menentang apapun ucapannya.
"Kamu banyak berubah, Nirwan. Kamu jadi seperti ini sejak menikah dengan Kinasih."
"Tapi bukankah Ibu sendiri yang dulu ngebet banget agar aku segera menikahi Kinasih?"
Aku memang menyukai Kinasih sejak ia SMA hingga akhirnya kami jadian. Lalu setelah hampir 2 tahun pacaran, tiba-tiba Ibu menyarankan agar aku segera menikahinya. Lalu setelah 2 bulan menikah, tiba-tiba Ibu menyarankan agar aku bekerja di Korea, mengikuti jejak tetangga yang kini telah sukses setelah 3 tahun bekerja di negara ginseng itu.
"Dulu ibu pikir Kinasih wanita yang baik, tetapi rupanya dia tak sebaik yang ibu pikir. Dia itu ular berkepala dua, wajahnya aja polos, tapi hatinya busuk."
Lagi, hatiku terasa teriris saat mendengar ucapan Ibu. Entah siapa yang harus aku percaya, tetapi hatiku seolah sulit untuk menerima semua yang ibu katakan.
Bugh! Tiba-tiba pintu dapur seperti ada yang membanting dengan keras hingga membuatku seketika terhenyak, lalu tidak lama kemudian terdengar suara tangis yang begitu menyayat hati.
"Dini! Kamu nangis, Din?" tanyaku sembari melangkah ke arah dapur.
"Dini lagi belanja bahan buat tahlil nanti sore, dia belum p**ang," ujar Ibu sembari memegangi lengan bajuku.
"Terus siapa tadi yang nangis, Bu?" tanyaku dengan wajah bingung.
Kulihat Ibu langsung bergidik ngeri sembari memegangi tanganku dengan erat.
"Ibu takut, Wan," ujarnya dengan wajah ketakutan.
Ku beranikan diri untuk melangkah menuju dapur, karena tak mungkin ada hantu di siang bolong seperti ini. Setibanya di sana, seketika bulu kudukku meremang, tetapi tak kutemukan siapapun, padahal tadi aku bisa mendengar jelas ada suara tangis dari arah dapur.
"Gak ada siapa-siapa kok, Bu. Sepertinya tadi kita salah dengar." Aku mencoba menenangkan Ibu yang terlihat sangat ketakutan.
Setelah itu aku langsung bergegas menuju kamar, aku langsung mengambil air wudhu lalu shalat dzuhur, setelah itu duduk termenung dengan tatapan kosong. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk tidur siang, karena rasanya seluruh tubuh ini lelah dan letih.
Aku langsung berbaring dan menutup kelopak mata ini, meski dadaku terasa sesak setiap kali mengingat jika aku telah kehilangan Kinasih untuk selamanya.
Tidak lama kemudian terdengar suara motor Dini, sepertinya ia telah p**ang. Meski seluruh tubuh ini terasa lelah dan letih, tetapi aku tak bisa lekas masuk ke alam mimpi. Masih bisa terdengar suara obrolan Ibu dan Dini di luar yang sedang membahas acara tahlil.
Ba'da ashar, acara tahlilan pun dilaksanakan di rumahku. Tampak beberapa warga datang, lalu acara pun dimulai setelah ustaz kampung ini datang.
"Permisi." Terdengar suara wanita dari arah pintu yang dibiarkan terbuka hingga membuat semua orang menghentikan membaca alfatihah.
"Juriiiiig!" teriak beberapa orang lelaki yang duduk di dekat pintu setelah melihat siapa yang datang.
Suasana tampak riuh, karena beberapa orang tampak berteriak histeris, beberapa lainnya berlari kabur meninggalkan rumahku.
Aku langsung melangkah mendekat, lalu seketika jantung ini seakan terlepas dari tempatnya saat melihat sesosok tubuh berselimutkan kain kafan yang dipenuhi tanah sedang berdiri di depan pintu.
"K-Kinasih ...."
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
Ayo bergabung dan subscribe buku Istriku Pulang Setelah Dua Hari Dimakamkan agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Widya Yasmin di aplikasi KBM.