07/10/2025
SINDOSULSEL.COM, Luwu — Sistem Hari Orang Kerja (HOK) yang sejatinya dirancang untuk memberdayakan masyarakat desa justru diselewengkan di Desa Lampuara, Kecamatan Ponrang Selatan, Kabupaten Luwu.
Kepala desa, sekertaris desa hingga bendahara desa kini resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan ini setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Luwu menemukan bukti kuat adanya rekayasa laporan pertanggungjawaban (LPJ) dan pemalsuan tanda tangan warga dalam sejumlah proyek fisik dana desa tahun anggaran 2022–2024.
Kajari Luwu Zulmar Adhy Surya, menjelaskan bahwa penyidikan menemukan penyimpangan mendasar pada mekanisme pelaksanaan proyek dana desa.
Proyek pembangunan tut, rabat beton, jalan tani, poskesdes, semestinya dikerjakan dengan sistem swakelola berbasis HOK, di mana warga desa menerima upah sesuai jumlah hari kerja mereka sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi lokal.
Namun kenyataannya, proyek-proyek tersebut justru dikerjakan secara borongan oleh pihak tertentu.
Meski demikian, laporan keuangan yang disusun para perangkat desa tetap menunjukkan bahwa kegiatan dilakukan dengan sistem HOK.
"Sistem HOK dibuat untuk memastikan masyarakat desa ikut bekerja dan menerima manfaat langsung dari dana desa," ungkap Kajari Luwu, Zulmar, Selasa (7/10/2025).
"Tapi dalam kasus ini, laporan dibuat seolah proyek dikerjakan secara swakelola, padahal dikerjakan oleh pihak borongan. Bahkan tanda tangan penerima upah dipalsukan,” sambung Zulmar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, penyidik menemukan sejumlah nama dalam daftar penerima upah yang tidak pernah menerima gaji, dan bahkan ada beberapa nama yang bukan warga Desa Lampuara.
Fakta itu diperkuat dengan audit Inspektorat Daerah Kabupaten Luwu yang menemukan kerugian keuangan negara mencapai Rp239.615.691.
Kejari Luwu pun menetapkan tiga perangkat desa sebagai tersangka, masing-masing AL (Kepala Desa Lampuara), AR (Sekretaris Desa), dan R (Bendahara Desa).
Ketiganya diduga berperan aktif dalam memanipulasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban penggunaan dana desa.
“Ketiga tersangka secara bersama-sama membuat laporan fiktif yang tidak sesuai kondisi sebenarnya," tambah Kasipidus Kejari Luwu, Andi Ardi Aman.
"Ini bukan hanya bentuk penyalahgunaan wewenang, tapi juga penghianatan terhadap amanah publik,” tegas Andi Ardi Aman.
Menurut Kasipidus, penyimpangan sistem HOK seperti ini menjadi modus korupsi yang kian marak di tingkat desa karena sulit terdeteksi tanpa pemeriksaan mendalam.
“Mereka menggunakan administrasi sebagai tameng. Dokumen terlihat sah, tapi praktik di lapangan berbeda jauh. Akibatnya masyarakat yang seharusnya menerima upah justru dirugikan,” ujarnya.
Penyidik Kejari Luwu kini menahan ketiga tersangka.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) KUHP karena turut serta melakukan tindak pidana.
Sangkaan pasal tersebut, para tersangka terancam pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Kami pastikan perkara ini kami kawal hingga tuntas. Sistem HOK bukan ruang untuk manipulasi, tapi sarana untuk menyejahterakan rakyat," kata Zulmar.
"Setiap rupiah dari dana desa harus kembali ke masyarakat, bukan ke kantong pribadi,” tegas Zulmar menutup.
berat semua orang Sorotan