Teratai

Teratai Posting video yg sekiranya bermanfaat dari berbagai sumber

15/04/2021

Antara Angka & Nilai

Siapapun orangnya, pasti ingin buah hatinya menjadi apa yg diinginkannya. Pintar matematika, jago bahasa Inggris hingga menarget anaknya untuk menjadi juara. Ketika usia dini, mungkin anak belum merasakan tekanan tersebut, namun seiring waktu, tekanan itu akan terasa menyiksanya.

Sayangnya orang tua sering lupa, jika materi pembelajaran anak sekarang amatlah jauh berbeda dengan jaman tahun 80-90an, yg mana saat itu memasuki waktu mau ujianpun kita masih bisa santai. Sekarang ini pelajaran anak SD yang baru masukpun amat sulit. Saya sering trenyuh melihat anak les saya datang dengan tas yang berat, bagi usianya.

Sehingga tuntutan orangtua terasa bagai momok untuk sang anak. Orang tua sering tidak peduli akan angka yg di dapat anak pada mata pelajarannya, jika angkanya melewati 80. Tapi jika angkanya dibawah itu,,, orang tua akaan "bernyanyi" (baca : ngomel) sepanjang ingat. Nah bagaimana jika angkanya lebih dibawah lagi? Walaaaahh ,,, alamat pagi siang sore mamak ini nyureng .. Pokoknya anaknya harus dapat 100, minim 80 lah.

Lalu apa yg terjadi pada sang anak? Bisa jadi dia mencari celah agar mendapatkan angka seperti yang mamaknya mau. Dengan cara apa? Ya dengan cara yg mereka bisa. Dari minta bocoran ke kawannya hingga menyontek.
Yang penting mereka bisa dapat angka 100.

Dengan cara seperti ini, bagaimana kita memberi contoh yang baik untuk buah hati kita. Kita sebagai orang tua terlalu bangga akan angka sehingga melupakan NILAI.

Padahal sejatinya, dalam hidup ini, nilai lah yang utama.
Nilai kemanusian, nilai kasih sayang, nilai kepedulian yg melahirkan empati, nilai memberi tanpa pamrih dan masih bamyak nilai-nilai positif lainnya. Nilai itu yg sering terlupakan untuk kita transfer pada buah hati kita.

Maka, jika kita mengutuk dengan keras apa itu yang namanya korupsi, mencuri, maling, begal, perampok dan kejahatan lainnya, mungkin sudah waktunya bagi kita, yang notabene adalah orang tua mulai berfikir, apakah selama ini yang kita ajarkan & contohkan kepada buah hati kita sudah benar.

Apakah kita masih bertahan mengejar angka saja? Alangkah indahnya jika orang tua menyadari bahwa tidak semua orang bisa melakukan banyak hal dengan sempurna, seperti hal bahwa buah hatinya pun adalah manusia dalam bentuk kecil yang mempunyai kelebihan dan juga kekurangan.
Dengan lapangnya dada kita dalam menerima kekurangan buah hati, maka tuntutan kitapun akan sesuai dengan porsinya.

Di mata buah hati kita, kitapun belum tentu sempurna, jadi, kenapa kita harus membebani buah hati kita dengan tuntutan yg akan bisa menyakitinya, bahkan bisa menimbulkan amarah terpendam?

punya cerita

24/12/2020

Selama pandemi ini, KB Teratai masih off. Semoga awal tahun bisa dibuka kembali 🙏🙏

Hai para orang tua ... Salam sehat selalu 👍
28/08/2020

Hai para orang tua ... Salam sehat selalu 👍

31/03/2020

Saat anak bertingkah buruk di hadapan org, biasanya ortu mengatakan, "anaknya nakal, tdk bisa dinasehati, dll "

Mungkin ortu lupa jika polah sang anak adalah hasil dr penanganan mrk se'hari2.

sharing hari Selasa

temans 😍

29/03/2020

Repost tulisan 09032018

Perlu "anti-mainstream" dalam mendidik anak

Tulisan ini terpantik karena adanya pertanyaan dari anak saya, si bungsu.

Pertanyaannya singkat saja sebetulnya, tapi bagi saya cukup menggelitik. Dia bertanya, " Darimana umi belajar mendidik anak, koq anti mainstream begitu "

Haaha ... Ternyata anak saya sudah remaja, waktu cepat berlalu.

Saya gak langsung jawab pertanyaannya, tapi saya malah balik bertanya. Saya ingin tahu dia bertanya karena sekedar ingin tahu atau dia memang benar-benar mengerti atas pertanyaannya sendiri.

Saya tanya, " anti mainstream itu apa toh ? "
" beda dari biasanya ", jawabnya.

Kemudian ...

" umi didik anak ngerasa biasa-biasa aja tuh, koq bisa kamu bilang antimainstream ? ", saya kejar dengan pertanyaan tersebut.
Dan selanjutnya akan ada adegan kejar-kejaran pertanyaan.

( Anak ) " iya, aku liat beda aja cara umi sama ibu-ibu yang lain "

( Saya ) " bedanya dimana ? "

( A ) : " aduuuhh, aku koq susah ya ngomongnya "

( S ) : " yowes, kalau susah ngomong, coba kamu contohin, apa yang buat kamu bisa bilang didikan umi beda dengan ibu- ibu yang lain "

Anak saya diam sejenak, sepertinya dia sedang menyusun kalimat jawaban yang tepat.

( A ) : " contoh'e hape. Abang sama mbak Luna umi pegangin hape pas lulus SMA. Kalau ibu-ibu yang lain kan enggak "

( S ) : " semua ibu bakal ngasih yang terbaik buat anak-anaknya .... "

( A ) : " iya sih, tapi tetep aja gak sama. Aku tau itu. Tapi gini lho mi, kata umi, hape itu kan gak bagus buat anak kecil. Ibu-ibu yang lain pasti juga banyak yang tau. Tapi koq anak-anak mereka tetap dikasih hape, tab ? Mereka sayang sama anaknya tapi kan jangka pendek. Kalau umi kan gak, anaknya dijaga untuk jangka panjang "

Olalaaa ... Heeeeii ... Ini anakku kah yang sedang bicara ? Lihaaaat, betapa cepat waktu berlalu.

Dia sudah pandai mendebat jika perkataan dan perbuatan kita tidak sinkron. Dia akan protes saat diingatkan untuk berkata halus ketika sedang marah, dengan dalih, " aku mencontoh apa yang aku lihat dan aku merekamnya ".

Duhai anakku ...., rupanya ibumu terlalu terlena akan dunia, sehingga tumbuh kembangmu menjadi luar biasa di mataku. Setiap sanggahanmu adalah boomerang bagiku yang mengajak untuk berkaca lebih seksama.

Ketahuilah, sikap mendidik yang anti mainstream seperti yang kau katakan itu adalah agar kalian selamat dunia akhirat. ALLAH SWT titipkan kalian pada kami dalam keadaan SUCI dan seperti kondisi itulah kami akan berusaha mengembalikan kalian kpd Sang Pencipta, ALLAH SWT ...

Ibumu memang penuh noda, tapi ibumu tak ingin ada noda sedikitpun pada kalian.

Anti mainstream ... Bikin saya tersenyum. Melempar ingatan ke masa kakak-kakaknya masih kecil.

Saat dimana teman-temannya pegang uang banyak untuk jajan di luar, saya uplek di dapur untuk menyiapkan camilan buat mereka.

Saat PS meraja dimana-mana, mereka hanya bisa main PS di hari Sabtu & itupun hanya 2-3 jam saja. Kan besoknya libur.
Sedang jika hari Minggu, mereka bebas bermain hingga adzan Dhuhur berkumandang, selebihnya mereka harus istirahat untuk menyambut hari Senin.

Saat teman-temannya bermain, mereka lebih memilih mengikuti kegiatan yang saya sodorkan ( si abang dengan pilihannya mengaji, les dan renang. Sedang mbaknya memilih ngaji, renang, menari dan les )

Pendidikan " anti mainstream " yang seperti si bungsu bilang memang butuh nyali buat yang menjalankan. Bayangkan saja, anak-anak saya ritme aktivitasnya seperti orang kantoran. Jam 6.30 pagi keluar rumah, jam 8.00 malam baru sampai rumah ( tetap ada waktu istirahat, walau hanya sekejap ).

Menerapkan 4 magic word ( MAAF, TOLONG, TERIMA KASIH, PERMISI ) yang dimulai saat si sulung hadir, mungkin dipandang antimainsream juga oleh si bungsu.

Belum lagi, 5 tahun sudah kami meniadakan televisi dari rumah kami, semakin mempertebal pendapat si bungsu, bahwa ibunya anti mainstream ... Haha ....

Ya sudalah ... Intinya sama saja, harapan saya, seperti harapan- harapan orang tua yang lain, yaitu KEBAHAGIAAN DUNIA AKHIRAT bagi anak-anak saya ...

Salam bahagia ....

punya cerita

22/01/2020

Polling :

Apa kriteria Bapak/Ibu dalam memilih tempat penitipan anak utk sang buah hati? Tuliskan satu kriteria utama anda dalam memilih tempat tersebut

day_care utk buah hati


Polling bisa dikirim ke no wa 081333745010

polling adalah keluarga dengan anak usia 2 - 7 tahun

polling ke 1405 berhak mendapatkan bingkisan dari kami

dihitung dari kolom komentar & wa

polling hanya bisa mengirim 1 suara/akun

mengikuti ♥♥♥

01/01/2020

Masih relevan ... 👍

21/04/2019

Nih

19/12/2018

tulisan cantik, smga bermanfaat

*RANGKING KELAS DI AMERIKA*

(Cerita WNI di Amerika)

Jumat lalu, kedua anak saya menerima *Report Card* dari sekolahnya Ronald Reagan Elementary School (rapor kalau di Indonesia).
Melihat keduanya mendapat nilai-nilai yang sangat bagus. Anehnya kok tidak tercantum *info tentang rangking?*,
Saya tergoda bertanya ke salah satu gurunya...
*“Anak saya ranking berapa, Ms. Batey?”*

Dia balik bertanya, *“Kenapa Anda orang Asia selalu nanya seperti itu?”*

"Wah, salah apa saya ini....?" kata saya dalam hati.

Dia melanjutkan bicara, *“Anda kok sangat s**a sekali berkompetisi?"* katanya.
"Di level anak Anda, tidak ada rangking2an...!"
"Tidak ada kompetisi!" tambahnya.
*"Kami mengajari mereka tentang 'cooperation' alias kerjasama....!"*
"Mereka harus bisa bekerja dalam *'team work'"*
*"Dan mereka harus bisa cepat bersosialisasi dan beradaptasi."*
*"Mereka harus punya banyak teman!"*
*"Lebih penting bagi kami untuk mengajari mereka story telling dan bagaimana mengungkapkan isi pikiran dalam bahasa yang terstruktur dan sistematis!"*
*"Kami mengajari mereka "logika" dalam setiap kalimat yang mereka ucapkan!"*

Dari sini, rupanya kenapa teman2 saya di kantor mentalnya slalu *"How can I help you?* Hampir tidak pernah saya lihat mereka *jegal-jegalan.*
Dan, di Amrik hampir semua profesi mendapat penghasilan/penghargaan yang layak. *Tidak harus semua jadi dokter, insinyur atau profesi lain yang terlihat "terhormat" seperti di Indonesia...*
Semua orang boleh mencari penghidupan sesuai *passionnya,* sehingga semua bidang kehidupan berkembang maju, *karena diisi oranng2 yang bekerja dengan penuh gairah.*

Wah…saya jadi ingat, memang pendidikan di negeri saya sangat kompetitif.
Banyak orangtua yang narsis kemudian memajang prestasi anak-anaknya di sosmed. *Wow!*
*Tanpa disadari sebagian dari mereka nanti akan tumbuh menjadi orang-orang yang terlalu s**a berkompetisi dan lupa bekerjasama.*
Kiri-kanannya dianggap *saingan* bahkan sangat mungkin sebagai *musuhnya?*
*Dirinya harus menjadi yang terbaik!*
Mending kalau si anak bisa mengembangkan dirinya supaya menang persaingan. Yang ada, kadang mereka justru menunjukkan kebaikan dirinya dengan *cara menungkapkan kejelekan2 temannya ataupun orang lain...*
*"Kalo bukan kita siapa lagi?"* begitu jargonnya…

Wuih..., betapa arogannya, seakan-akan fihak lain tidak ada yg bisa! *Hanya dia sendiri yang mampu!*
*Kemudian yg ada adalah menjadi sakit mentalnya….*
*"Aku menang.....aku menang....!"* begitu suara anak-anak dari sebuah gang di ibukota...
Entah permainan apa yang mereka menangkan?
*Entah kapan dia sadar, bahwa hidup bukan melulu soal menang atau kalah!*
The magic words is *"How can I help you...”*

Dishare oleh:
*SMPIT & MA Jur. IPA PONPES AL-AZHAR ASY-SYARIF*
Srigunung, S. Lilin, Muba, Sumsel.

22/08/2018

Menurut saya, anak-anak itu amat s**a jika menerima tantangan daripada menerima perintah. Dalam kbm, memberikan instruksi yang dibalut dengan tantangan, akan lebih cepat direspon dibanding jika kita hanya sekedar memberi instruksi.

Bisa juga, jika mereka termasuk anak yang tidak mudah, cobalah beri mereka pilihan, biarkan mereka memilih. Contohnya, bunda berikan buku pada mereka, tanyakan halaman mana yang akan mereka pilih, jika mereka mau memilih, selanjutnya mudah bunda. Bunda bisa tanya, kenapa mereka memilih halaman tersebut dan sebagainya. InsyaALLAH interaksi akan terjalin.

Semoga membantu ...

punya cerita

04/07/2018

Kalau Teratai mau buat acara edukasi, acara apa yang kalian harapkan?

& malam temans ...

14/06/2018

tulisan Yoanita Astrid

Situasi: Bella buka kulkas nyari makanan, nemu jelly dan hendak memakannya
Mama: "Bukannya jelly punya Bella udah dimakan tadi?"
Bella: "Tapi Bella s**a"
Mama: "Silakan ijin dulu ke Berry. Kalo diijinkan, Bella boleh makan, kalo enggak balikin lagi ke kulkas. Itu bukan punya Bella."

*wis rapopo, mung panganan koyo ngono. Mengko Berry iso ditukokke meneh

NO!
Justru mereka sedang belajar tentang hak milik. Agar kelak gak waton serobot sana sini atas sesuatu yang bukan haknya.

Situasi: Rebutan mainan
Mama: "Silakan gantian mainnya. 10 menit-an. Kalo gak bisa gantian mama ambil mainannya. Dua-duanya gak bisa main."

*Anake loro dolanane yo kudu loro. Susah bener, beliin aja mainan yang sama biar gak rebutan.

NO!
Justru mereka sedang belajar untuk saling berbagi dan tidak egois. Agar kelak hati mereka lebih peka terhadap sesama.

Situasi: Padu a.k.a berantem
Mama: "Siapa yang salah? gimana critanya?"
Bla bla bla bla.... ketemunya Bella yang salah
Mama: "Bella yang salah karena ini ni ni ni.... Silakan minta maaf ke Berry."

*Udaah... masalah kecil aja diributin. Yang kakaknya d**g yang ngalah.

NO!
Justru mereka sedang belajar tentang keadilan, mengalahkan ego dan berani megaku salah. Agar kelak tak mudah mencari kambing hitam dan tak gengsi saat harus meminta maaf.

Situasi: Mainan berserakan di lantai
Mama: "Ini siapa yang tadi ambil mainan? Silakan dibalikin masing-masing. Tadi udah janji. Yang masih di lantai nanti kalo kesapu gak usah marah."

*Cuma beresin mainan ini, selesein pas mereka tidur juga langsung beres.

NO!
Justru mereka sedang belajar bertanggung jawab terhadap konsekuensi2 yang harus mereka terima dari setiap keputusan yang mereka ambil.

Kadang solusi2 semu itu tampak menggiurkan, mudah dan tidak merepotkan. Langsung beres sekarang juga. Tapi tidak untuk 20 atau 30 tahun lagi.

Apakah setelah ditanamkan hal-hal kaya gini trus mereka jadi anak2 manis yang nurut dan jarang nangis?
Enggak!! Bocah tetaplah bocah. Berebut, bertengkar, berantem, mengadu, menangis, ngambek, tiap menit.

Tapi paling tidak, sejak awal mereka sudah mulai belajar mengerti bahwa hidup itu ada aturannya, gak bisa s**a2 mereka. Hidup bukan tentang mereka saja. Ada pemahaman2 baik yang harus mereka junjung. Ada prinsip2 hidup yang harus mereka pegang. Pemahaman dan prinsip yang disemai saat ini dan dituai di kelak kemudian hari. Karena attitude itu hasil tempaan belasan tahun. Dia tidak datang secara instan.

Kita hanya diwajibkan mengupayakan yang terbaik yang kita bisa untuk mereka. Adapun hasil, itu sudah bukan ranah kita lagi.

Address

Singhasari Residence
Malang
65153

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Teratai posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share