04/08/2025
Arsitektur Sebagai Sarana Pelestarian Rumah Adat: Interaksi Budaya Lintas Generasi Menembus Ruang dan Peradaban (Beyond Interaction)
https://itnmalangnews.id/
Penulis: Bara Andana Subagyo
ITNMalangnews - Di tengah arus disrupsi informasi dan modernisasi, peradaban masa kini menghadapi dilema besar. Arus informasi yang mengalir tanpa batas mendorong modernisasi yang berlangsung nyaris tanpa jeda. Dalam dunia arsitektur, hal ini membuka peluang inovasi, namun di sisi lain nilai-nilai luhur tradisional terancam tenggelam. Ketika arsitektur lokal kehilangan tempatnya, manusia pun kian jauh dari jati diri, lingkungan, dan kekayaan budaya sendiri. Maka, arsitektur harus mampu melampaui wujud fisiknya, berfungsi sebagai penghubung antar generasi yang merealisasikan "Beyond Interaction."
https://itnmalangnews.id/arsitektur-sebagai-sarana-pelestarian-rumah-adat-interaksi-budaya-lintas-generasi-menembus-ruang-dan-peradaban/
Sama halnya dengan bidang lain, arsitektur tanpa upaya penyegaran akan kehilangan relevansinya seiring waktu. Jika ini terjadi, kita sebagai masyarakat akan kehilangan pemahaman tentang identitas dan gaya khasnya. Menggali dan mengungkapkan jati diri arsitektur Indonesia sama saja dengan menjelajahi perjalanan budaya dan peradaban bangsa. Penting bagi kita untuk setidaknya memahami pengetahuan ini agar interaksi kebudayaan tidak terputus dan terus bergerak dinamis seiring perkembangan zaman.
Sebenarnya, keterkaitan arsitektur dengan dinamika budaya ini sudah menjadi bukti sejarah sejak dulu. Hadirnya Arsitektur Nusantara terjadi secara alamiah dan wajar, melalui lingkungan melahirkan suatu ide yang disepakati secara bersama. Melahirkan norma berupa aturan sistematis mengenai pandangan hidup semesta (kosmologi) hingga melahirkan tradisi. Kata tradisi berasal dari bahasa latin traditionem, dari kata traditio yang berarti "serah terima" atau "estafet". Kata ini merujuk pada kepercayaan atau kebiasaan yang diajarkan dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Proses arsitektur berawal dari percikan ide yang merespons suatu masalah, lalu secara alami membentuk upaya pemecahan masalah tersebut. Misalnya, masalah iklim merupakan tantangan umum dalam arsitektur, namun setiap tempat/lokasi memiliki adaptasinya sendiri menghadapi iklim. Ini terlihat dari penggunaan atap berbentuk verhang (memanjang), baik melengkung ke atas maupun melebar ke samping, seperti pada rumah adat Uma Mbatangu dan Bokulu di Kepulauan Sumba, Tanean Lanjhang di Madura, Joglo di Jawa, dan lain-lain.
Dari berbagai suku bangsa yang mendiami daerah di Indonesia sejak berabad-abad lamanya telah membentuk karakteristik budaya dan arsitekturnya masing-masing. Itulah sebabnya terjadi aneka ragam bangunan tradisional mulai dari bentuk yang sederhana, hingga bentuk yang sempurna, berdiri berkelompok maupun yang tunggal, masing-masing mempunyai ciri khas atau kekhususan sesuai pandangan masing-masing suku.
Perkembangan arsitektur tradisional bersamaan dengan perkembangan suatu suku bangsa, menjadikannya identitas dari suatu suku atau masyarakat yang mendukungnya, dan dalam arsitektur tradisional tercermin kepribadian masyarakat pendukungnya. (Lullulangi & Sampebua’ 2007, h. 10).
Pertanyaannya kini, bagaimana membawa pengalaman budaya tersebut dapat diteruskan kepada generasi sekarang dan masa depan? Perlu sebuah kesadaran bersama dari berbagai lini sosial. Namun, peran sentral justru pada ranah akademis. Kaum terpelajar termasuk pengajar, dan mahasiswa didukung oleh instansi terkait baik perguruan tinggi, dan pemerintah. Pada konteks ini peran akademisi sangat diperlukan dalam upaya pelestarian/konservasi bangunan adat dengan memiliki kewajiban melaksanakan aktivitas penelitian dan pengembangan.
Pendidikan dan teknologi bekerja sebagai mediator sekaligus katalisator membawa nilai-nilai kolektif lintas generasi dalam bentuk baru. Namun, teknologi kerap terjebak dalam pusaran kapitalisasi yang dipakai sebatas alat produksi massal, komodifikasi gaya, atau visualisasi arsitektur demi kepentingan industri. Arsitektur tradisional pun tak luput dari eksploitasi ini yang dikemas dalam bentuk tiruan estetis tanpa makna, serta kehilangan konteks sosial budayanya.
Arsitektur tradisional tidak semata hadir untuk eksistensi visual, tetapi juga harus menjelma sebagai ruang interaksi dan dialog budaya yang melampaui batas ruang dan waktu. Maka, jati diri arsitektur kultural terbentuk bukan dari konstruksi instan, melainkan melalui proses interaksi budaya yang hidup dan terus berkembang. Beyond Interaction bukan hanya konsep, tetapi cara pandang bahwa pelestarian warisan bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan jembatan menuju masa depan. Secara etimologis, kata “beyond” mengandung makna melampaui batas baik secara fisik maupun konseptual sementara “interaction” menandakan keterlibatan aktif antara dua entitas atau lebih.
Gagasan ini mendorong kita untuk tidak lagi memandang rumah adat atau arsitektur tradisional sebagai objek yang pasif, tetapi sebagai entitas hidup yang terus berdialog dengan manusia melalui waktu dan ruang. Lewat teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) dan Geographic Information System (GIS), warisan arsitektur Nusantara dapat direkam, dimodelkan, dan dimaknai ulang dalam bentuk digital yang interaktif. Ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan upaya menghadirkan kembali nilai-nilai tradisional dalam dunia pendidikan, riset, dan pengembangan masyarakat.
Masyarakat Sumba bisa mengenali dirinya lewat atap-atap menjulang yang menantang langit, masyarakat Jawa memaknai budayanya melalui ruang yang sarat filosofi, sementara masyarakat Madura menemukan semangat juangnya dalam keteguhan struktur rumahnya. Di balik keragaman rupa tersembunyi pesan-pesan lintas generasi yang menegaskan bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan, melainkan peristiwa hidup yang terus tumbuh dan bertransformasi.
Arsitektur tradisional tak semestinya lekang oleh zaman, tak boleh larut oleh derasnya nilai-nilai asing. Justru, ia harus hadir sebagai tonggak identitas yang kokoh, menjadi representasi budaya yang mampu menembus batas ruang dan peradaban. Maka, arsitektur bukan hanya soal bangunan, tetapi ruang perjumpaan: antara masa lalu dan masa depan, antara warisan dan inovasi, antara jati diri dan dunia. “Jamahlah arsitektur Nusantara sebelum ia tinggal nama dalam buku sejarah dan tak bernyawa.”
Penulis: Bara Andana Subagyo, mahasiswa Arsitektur S-1 ITN Malang, angkatan 2022.