Kolektif Papua Belajar Bersama-KPBB

Kolektif Papua Belajar Bersama-KPBB Kelompok studi papua belajar bersama perjuangan untuk west Papua Merdeka
(1)

"KOLEKTIF PAPUA BELAJAR BERSAMA "
Dirikan sekret nenggam Po Nduga 13 Mey 2024,
"bertujuan untuk belajar sejarah Papua bersama,Belajar Menulis Bersama, belajar diskusi bersama, belajar lapak baca bersama, belajar membaca situasi umum bersama(*)

Kita menunggu bukan hanya kedatanganmu, tapi kami juga menunggu kedatangan dan reaksi dari negara ketika engkau lahir di...
24/07/2025

Kita menunggu bukan hanya kedatanganmu, tapi kami juga menunggu kedatangan dan reaksi dari negara ketika engkau lahir di bumi Indonesia.

"Nyamuk Karunggu"

Satu Peluru menembak satu kepala militer Indonesia, tapi satu Buku mampu menembak juta-an kepala Indonesia yang tidak tahu sejarah Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Lenin menyatakan bahwa tugas Revolusi adalah menghancurkan Negara.Hak menentukan nasib sendiri/(right to self-determinat...
19/07/2025

Lenin menyatakan bahwa tugas Revolusi adalah menghancurkan Negara.

Hak menentukan nasib sendiri/(right to self-determination) adalah hak setiap orang untuk ara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, serta budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya kebebasan dalam membuat pilihan.

Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak untuk menentukan nasib politik. Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa orang/pihak yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan.

Istilah right to self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum Timor Timur pada tahun 1999 dan perundingan Aceh yang kemudian melahirkan Otonomi Khusus.
Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang Eropa pasca-Perang Dunia I.
Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan ideologi berbeda, yakni Vladimir Lenin (dari 1903 sampai 1917) dan presiden Woodrow Wilson (pada 1918) Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, 14 Pokok Wilson menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri, namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa, dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di Eropa Tengah dan Eropa Timur, dengan di Eropa barat. Berkembangnya negara-negara modern di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.

Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh League of Nations (liga bangsa-bangsa – LBB) untuk memeriksa kasus pulau Aland, wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang Swedia, dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara Finlandia yang baru merdeka dari kekaisaran Rusia pada Desember 1917. Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik modern, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB. Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan peraturan positif Hukum Bangsa-Bangsa (Law of Nations). Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.

Bangsa Papua Barat tidak ada bertentangan dengan hukum internasional maupun hukum nasional karena bangsa Indonesia sudah Membebaskan bangsa timur Leste 1999 sesuai UUD 1945, kemerdekaan ialah hak segala bangsa,

Bangsa Indonesia tugas dan tanggung jawab memberikan bangsa Papua Barat yang sudah pernah merdeka dan berdaulat sejak 1961 di kolonisasi 1962 sampi Pepera 1969 melakukan tidak sesuai demokratis ataupun melanggar konstitusi hukum internasional tentang hak menentukan nasib sendiri.

Kawan Papua bersatu dan melawan adalah solusi tanpa bersatu tak akan suatu bangsa bisa merdeka.....

Bersatu adalah solusi tanpa bersatu kita akan mati persatu..

Kawan Indonesia itu penjajah bangsa Papua
Kawan harus bersatu' dan melawan Kolonialisme diatas tanah Papua.

Satu kata kawan kita harus lawan dan free west Papua adalah solusi yang tepat bagi Bangsa Papua Barat merdeka..

Wene Karunggu

Blok Wabu dan Perempuan MoniBlok Wabu adalah lokasi deposit emas di pegunungan tengah Papua. Sejarah awal ketika Freepor...
17/07/2025

Blok Wabu dan Perempuan Moni

Blok Wabu adalah lokasi deposit emas di pegunungan tengah Papua. Sejarah awal ketika Freeport pertama kali masuk pada April 1990.

Berlokasi di Intan Jaya dengan ketinggian sekitar 2.200-3.100 meter di atas permukaan air laut, berjarak sekitar 35 kilometer arah utara Distrik Mineral Grasberg di Mimika. Blok Wabu merupakan bagian dari yang sebelumnya disebut Blok B, area seluas 0,5 juta hektar tempat Freeport eksplorasi.

Rencana pertambangan dan konflik ideologi yang tengah berlangsung bisa menyebabkan perempuan Moni menerima beban ganda. Dalam masyarakat adat di Papua umumnya ada pembagian peran sangat kompleks antara laki dan perempuan, namun yang memperburuk dengan kehadiran eksploitasi diiringi kekerasan.

Menurut temuan Amnesty International Indonesia, eskalasi konflik di Intan Jaya meningkat akhir 2019 dengan peningkatan kehadiran militer. Dalam temuan itu, militer membangun markas-markas dan beberapa gedung pemerintahan juga digunakan.

Kehadiran militer selain faktor konflik ideologi ada juga karena lokasi tambang sebagai obyek vital negara hingga harus ‘dilindungi’. Dampaknya, langsung dirasakan masyarakat.

Amnesty International mendokumentasikan delapan kasus dengan 12 korban pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan Indonesia di Intan Jaya pada 2020 dan 2021.

Adapun beberapa kasus dari pembunuhan d luar hukum itu seperti dua bersaudara, Alpianus dan Luther Zanambani. Kasus pembunuhan Pendeta Zanambani dan tiga bersaudara di sebuah klinik.

Masyarakat termasuk perempuan Moni tak pernah mengetahui ataupun terlibat dalam rencana tambang di kampung mereka.

Beberapa persoalan ditanggung perempuan Moni ketika berhadapan dengan rencana tambang Blok Wabu. Pertama, akses informasi terbatas membuat mereka sulit mengikuti perkembangan rencana pertambangan Blok Wabu. Padahal, perempuan Moni sangat berperan besar dalam menjaga dan mengelola tanah.

Kedua, setelah tak ada akses informasi, mereka harus menanggung dampak kehadiran militer yang kemungkinan mengakibatkan hilangnya nyawa suami karena stigma separatis akibat konflik ideologi.

Kehadiran aparat juga membawa rasa takut bagi perempuan Moni yang akan berdampak kepada mereka yang sedang mengandung. Kehadiran militer juga membawa trauma psikologis bagi perempuan Moni karena pengalaman kekerasan militer di Papua.

Ketiga, secara ekonomi, perempuan Moni harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang karena tanah dan suami mereka yang hilang. Perempuan Moni harus menafkahi anak dan memenuhi kebutuhan lain seperti biaya sekolah.

Keempat, akses pendidikan perempuan Moni terbatas. Ada temuan Komnas HAM menyebutkam, militer mendirikan markas di sekolah.

Ratusan anak di Kampung Bomba, Distrik Hitadipa, Intan Jaya, tidak bisa sekolah karena gedung sekolah TNI jadikan Pos Koramil Persiapan Hitadipa.

Jadi, rencana tambang tanpa pelibatan, perlindungan hak dan pemahaman budaya setempat akan berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup kelompok rentan seperti perempuan. Kondisi ini juga akan makin memupuk ketidak percayaan Orang Papua terhadap sistem negara Indonesia hingga akan memperparah konflik selama ini.

Kasus Freeport memberikan pendidikan bagi Komunitas Adat Moni menolak rencana tambang di tanah mereka.

Papua Tak Butuh Gibran, Butuh Referendum!Ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengumumkan akan mulai berkantor d...
16/07/2025

Papua Tak Butuh Gibran, Butuh Referendum!

Ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengumumkan akan mulai berkantor di Papua, niat itu mungkin dimaknai sebagai bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap apa yang disebut "ketertinggalan Papua." Tetapi bagi rakyat Papua, langkah itu bukan simbol kepedulian, melainkan manifestasi dari kekuasaan kolonial yang terus memaksakan kehadirannya di atas tanah yang belum pernah memilih menjadi bagian dari Indonesia.

Apakah berkantor di tanah jajahan dapat menggantikan keadilan? Apakah kehadiran simbol negara di wilayah konflik politik dapat menghapuskan akar kolonialisme? Sebelum pemerintah membangun kantor, harusnya ia membangun kejujuran sejarah. Sebelum negara menanam bendera di daerah pemekaran baru, seharusnya ia menanyakan: apakah rakyat Papua memang ingin bendera itu di sana?

Rencana Wapres untuk berkantor di Papua harus dibaca dalam satu bingkai besar: negara berupaya menutup konflik politik dengan pendekatan administratif dan pembangunan infrastruktur, padahal yang dituntut rakyat Papua bukanlah proyek jalan raya atau istana wakil presiden -melainkan pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri yang selama ini disangkal.

Wapres boleh hadir secara fisik, tetapi ia tidak bisa mewakili kebenaran sejarah. Karena tak ada kekuasaan, jabatan, atau pangkat negara yang dapat menggantikan hak rakyat untuk memilih jalannya sendiri. Maka, daripada menambah gedung kekuasaan, lebih baik negara membangun proses keadilan yang dimulai dengan satu keputusan berani: menyelenggarakan referendum bagi rakyat Papua Barat.

Referendum: Solusi Sah, Legal, dan Damai untuk Papua

Referendum bukan agenda separatis, tetapi mekanisme legal dalam kerangka hukum internasional untuk penyelesaian konflik politik mengenai status teritorial. Referendum telah dijalankan di berbagai negara untuk menyelesaikan konflik dekolonisasi: Sudan Selatan (2011)[1], Timor Leste (1999)[2], dan Sahara Barat (masih berproses)[3].

Dalam konteks West Papua, dasar legal dan politik untuk referendum sangat kuat karena Pepera 1969 -yang dijadikan dasar integrasi- telah cacat secara prosedural dan substantif. Para ahli hukum, termasuk Pieter Drooglever[4], John Saltford[5], dan akademisi seperti Melinda Janki[6], telah menyimpulkan bahwa Pepera tidak memenuhi kriteria penentuan nasib sendiri berdasarkan hukum internasional.

Prinsip self-determination atau penentuan nasib sendiri adalah prinsip jus cogens atau hukum internasional yang tidak dapat diabaikan. Prinsip ini dinyatakan dalam Pasal 1(2) Piagam PBB[7] dan ditegaskan kembali dalam dua Kovenan Internasional: ICCPR dan ICESCR, yang keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005[8].

Mengapa Referendum Papua Bukan Hanya Sah, tetapi Wajib

1. Papua adalah wilayah belum didekolonisasi. Berdasarkan fakta sejarah dan posisi hukum internasional, wilayah West Papua pada tahun 1963 dipindahkan ke Indonesia oleh UNTEA tanpa referendum yang sah[9]. New York Agreement (1962) hanya bersifat administratif dan tidak pernah memberi kedaulatan kepada Indonesia[10].

2. Resolusi 2504 (XXIV) tidak mengesahkan Pepera 1969. Resolusi ini hanya mencatat laporan Sekjen PBB tanpa menyatakan pengesahan terhadap hasil Pepera. Tidak ada keputusan legal PBB yang mengakui Papua telah menentukan nasib sendiri[11].

3. Pelaksanaan Pepera melanggar asas universal suffrage. Dari sekitar 800.000 penduduk, hanya 1.025 orang dipilih oleh negara, dikarantina, dan dipaksa menyatakan dukungan bagi Indonesia. Ini bertentangan dengan prinsip one person one vote dan genuine act of self-determination[12].

4. Hukum Indonesia sendiri telah dilanggar. Dalam UUD 1945, pasal 28E, 28G, dan 28I menjamin hak asasi termasuk kebebasan menentukan pikiran dan keyakinan politik. Proses integrasi serta penindasan sesudahnya bertentangan dengan prinsip konstitusional Indonesia sendiri[13].

Subjek Hukum Referendum: Mengapa Hanya Orang Asli Papua yang Berhak Memilih

Hukum internasional dalam proses dekolonisasi menegaskan bahwa subjek hukum referendum hanyalah indigenous peoples atau penduduk asli yang menjadi korban penjajahan. Resolusi 1541 (XV), prinsip IX, menyatakan bahwa hanya rakyat dari wilayah jajahan yang sah memilih status politik mereka[14].

Memberi hak pilih kepada pendatang dalam konteks kolonial adalah bentuk rekayasa politik yang menghapus kehendak rakyat asli. Hal ini ditegaskan dalam pengalaman referenda di New Caledonia (2018, 2020)[15], Sahara Barat (1975)[16], dan Bougainville (2019)[17].

Dalam konteks Papua, program transmigrasi dan pendudukan militer sejak 1970-an telah menyebabkan pergeseran demografi yang masif[18]. Jika semua penduduk administratif diberi hak pilih, maka hasil referendum akan menjadi reproduksi ketidakadilan kolonial, bukan penyelesaian yang sah.

Kewajiban Negara: Hentikan Pendudukan dan Siapkan Referendum

Jika negara Republik Indonesia ingin mewujudkan keadilan dan perdamaian sejati, maka ia harus menghentikan praktik kolonialisme di West Papua. Termasuk: 1) Hentikan militerisasi: Penempatan TNI dan Polri di wilayah sipil bertentangan dengan prinsip perlindungan hak sipil. 2) Hentikan pemekaran provinsi: Ini bukan otonomi, tapi taktik pecah belah dan kontrol administratif. 3) Hentikan ekspansi investasi ekstraktif: Perampasan tanah adat dan eksploitasi SDA melanggar hukum internasional terkait hak-hak masyarakat adat (UNDRIP)[19].

Hentikan kriminalisasi gerakan damai: Seruan referendum bukan kejahatan, tetapi ekspresi hak politik yang dijamin oleh hukum nasional dan internasional.

Sebaliknya, negara harus:

1) Memulai dialog politik setara dengan perwakilan rakyat Papua dan komunitas internasional. 2) Mengakui bahwa integrasi Papua belum sah dan perlu dikoreksi melalui referendum. 3) Menyiapkan referendum yang kredibel, diawasi PBB, dan hanya melibatkan Orang Asli Papua.

Penutup: Seruan kepada Presiden Republik Indonesia

Kepada Presiden Republik Indonesia,

Sejarah tidak dapat dikubur oleh pembangunan. Hukum tidak bisa dibungkam oleh senjata. Keadilan tidak mungkin lahir dari ketakutan. Jika Anda benar-benar pemimpin bagi semua rakyat Indonesia, maka Anda juga adalah pemimpin yang bertanggung jawab menjawab jeritan sejarah rakyat Papua.

Bukan dengan pemekaran. Bukan dengan lebih banyak militer. Bukan dengan perampasan tanah untuk investasi. Tetapi dengan keberanian politik untuk mengatakan yang benar: bahwa bangsa Papua belum pernah menentukan nasibnya sendiri. Dan itu hanya dapat diperbaiki melalui referendum.

Kami tidak meminta belas kasih. Kami hanya meminta keadilan. Sebagaimana yang dijanjikan oleh hukum internasional. Sebagaimana yang dijanjikan oleh Piagam PBB. Sebagaimana yang Anda sendiri janjikan dalam konstitusi Republik.

Beranikah Anda memimpin sejarah ke arah yang benar? Jika iya, maka buka pintu referendum. Jika tidak, maka biarkan sejarah yang akan menghakimi Anda.

Victor Yeimo
Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB)

--
Referensi (footnote):

[1] United Nations Mission in South Sudan (UNMISS), 2011. [2] UNAMET Report on the Popular Consultation in East Timor, 1999. [3] ICJ Advisory Opinion, Western Sahara, 1975. [4] Drooglever, Pieter. An Act of Free Choice, Oneworld Publications, 2009. [5] Saltford, John. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, RoutledgeCurzon, 2003. [6] Janki, Melinda. The Right to Self-Determination in International Law, 2010. [7] Charter of the United Nations, Article 1(2). [8] Ratifikasi Indonesia terhadap ICCPR & ICESCR, UU No. 12 Tahun 2005. [9] United Nations Trusteeship Council Archives, 1962–1963. [10] New York Agreement, 15 Agustus 1962. [11] UNGA Resolution 2504 (XXIV), 1969. [12] UN Principles and Guidelines on the Right to Self-Determination, 2006. [13] Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28E, 28G, dan 28I. [14] UNGA Resolution 1541 (XV), Principle IX. [15] French Government Reports on New Caledonia Referendum, 2018–2021. [16] ICJ Advisory Opinion on Western Sahara, 1975. [17] Bougainville Referendum Commission Report, 2019. [18] Badan Pusat Statistik Papua dan LIPI, 2003–2020. [19] United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), 2007.

'Analisa Harian  Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua" Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kek...
16/07/2025

'Analisa Harian Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua"

Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kekerasan yang terjadi dalam bayang-bayang operasi militer. Di sejumlah wilayah yang disebut sebagai daerah konflik, aparat keamanan melakukan penangkapan, penyiksaan, hingga pembunuhan terhadap warga sipil dengan dalih keamanan negara. Dalam banyak kasus, tuduhan terhadap warga sipil dilakukan tanpa proses hukum yang adil, bahkan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka.

Salah satu ciri fisik yang sering dijadikan dasar kecurigaan adalah rambut gimbal. Di Papua, rambut gimbal bukan sekadar gaya, melainkan bagian dari identitas budaya dan ekspresi diri sebagian orang muda. Namun, kenyataannya tak sedikit dari mereka yang berambut gimbal justru menjadi sasaran kekerasan karena dianggap bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa rambut gimbal—sebuah ekspresi budaya—bisa dijadikan alasan untuk menstigmatisasi seseorang sebagai musuh negara? Apa yang sebenarnya terjadi ketika identitas budaya dianggap sebagai ancaman?

Tulisan ini bertujuan untuk mengurai hubungan antara stigma, identitas budaya, dan kekerasan negara terhadap warga sipil Papua. Dengan membedah bagaimana tubuh dan penampilan dijadikan alat ukur loyalitas, kita akan melihat bagaimana negara turut membentuk kekerasan melalui proses dehumanisasi terhadap warganya sendiri.

Rambut Sebagai Identitas: Perspektif Biologis dan Budaya

Secara biologis, rambut adalah struktur protein yang tumbuh dari folikel di kulit. Ia memiliki fungsi dasar seperti melindungi kulit kepala dari sinar matahari, menjaga suhu tubuh, dan menjadi bagian dari sistem sensorik tubuh manusia. Namun, di luar fungsinya secara fisiologis, rambut memegang peranan yang jauh lebih dalam kehidupan sosial dan budaya manusia.

Dalam berbagai kebudayaan, rambut bukan sekadar elemen fisik, melainkan simbol identitas, ekspresi diri, dan bahkan status sosial. Cara seseorang memperlakukan dan menata rambutnya sering kali mencerminkan nilai, kepercayaan, dan keterikatan dengan komunitas tertentu. Rambut dapat menjadi bentuk perlawanan, bentuk penghormatan terhadap leluhur, atau pernyataan tentang siapa diri seseorang di tengah masyarakat.

Dalam konteks sosial dan budaya, rambut seringkali menjadi medium perjuangan dan afirmasi identitas kelompok yang mengalami diskriminasi atau penindasan. Salah satu contoh yang paling dikenal adalah gerakan Black Power di Amerika Serikat pada tahun 1960-an dan 1970-an. Gerakan ini menjadikan rambut afro—rambut alami yang dibiarkan mengembang—sebagai simbol perlawanan terhadap standar kecantikan kulit putih yang selama ini mendominasi masyarakat dan media. Dengan membiarkan rambut mereka tumbuh alami, para aktivis dan pendukung gerakan ini tidak hanya menolak norma-norma estetika yang menindas, tetapi juga menegaskan kebanggaan dan identitas kulit hitam mereka. Rambut afro menjadi lambang pemberdayaan diri dan penolakan atas diskriminasi rasial yang sistemik.

Selain itu, dalam budaya Rastafari di Jamaika, dreadlocks atau rambut gimbal dianggap sebagai perpanjangan dari jiwa dan spiritualitas. Para pengikut Rastafari membiarkan rambut mereka menggimbal secara alami sebagai bentuk penghormatan terhadap ajaran agama mereka dan sebagai simbol kebebasan dari penindasan budaya barat. Mereka memandang rambut sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang tidak boleh dirusak atau dipotong sembarangan.

Tak hanya itu, di berbagai masyarakat adat di Nusantara dan belahan dunia lain, rambut panjang sering dikaitkan dengan kedewasaan, kekuatan, atau penghormatan terhadap tradisi. Di beberapa suku di Papua, rambut adalah bagian dari tubuh yang tidak boleh dipotong sembarangan karena dianggap memiliki kekuatan spiritual. Dalam konteks ini, rambut bukan hanya milik individu, tetapi juga milik komunitas, terikat pada nilai-nilai kolektif yang diwariskan secara turun-temurun.

Melihat dari sudut pandang ini, mereduksi rambut menjadi tanda kecurigaan atau ancaman adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai budaya dan kemanusiaan seseorang. Rambut adalah identitas dan memperlakukannya sebagai bukti keterlibatan dalam konflik bersenjata berarti mengkriminalisasi identitas itu sendiri.

Rambut Gimbal dalam Budaya Papua

Di Papua, rambut gimbal bukan sekadar gaya rambut—ia adalah bagian dari ekspresi diri dan simbol kebanggaan atas identitas lokal. Bagi sebagian orang muda Papua, membiarkan rambut tumbuh secara alami hingga menggimbal merupakan bentuk penerimaan terhadap warisan tubuh dan budaya mereka sendiri. Dalam konteks ini, rambut gimbal mencerminkan keberanian untuk tampil apa adanya, tanpa tunduk pada standar kecantikan yang ditentukan dari luar.

Beberapa komunitas dan individu di Papua memang memilih untuk menggimbal rambut mereka, bukan karena keterkaitan dengan kelompok bersenjata, melainkan sebagai bagian dari gaya hidup atau nilai-nilai budaya yang mereka anut. Hal ini bisa menjadi simbol perlawanan terhadap homogenisasi budaya, serta bentuk penghormatan terhadap identitas kepapuaan yang kuat.

Sayangnya, keberadaan rambut gimbal seringkali disalahartikan. Tidak semua orang yang memiliki rambut gimbal terlibat dalam perlawanan bersenjata atau aktivitas politik. Stigma semacam itu tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena dapat mengarah pada diskriminasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Rambut gimbal seharusnya dipandang sebagai bagian dari keragaman sosial dan budaya di Papua, bukan sebagai ancaman terhadap negara.

Dengan memahami makna rambut gimbal secara kultural dan personal, kita bisa melihatnya bukan sebagai simbol bahaya, melainkan sebagai ekspresi dari jati diri, harga diri, dan kebebasan berekspresi masyarakat Papua.

Kekerasan dan Stigmatisasi oleh Negara

Di Papua, rambut gimbal kerap dijadikan alasan aparat untuk menangkap, menyiksa, bahkan membunuh warga sipil. Rambut yang sejatinya merupakan ekspresi budaya dan identitas, justru sering dikaitkan dengan dugaan keterlibatan dalam kelompok bersenjata atau TPN-PB, meski tanpa bukti hukum yang sah. Stigma ini menghasilkan kekerasan sistemik yang terus berulang dan menimpa warga tidak bersalah.

Pada Agustus 2019 di Jayapura, seorang mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) bernama Alfa Hisage ditangkap saat mengikuti aksi damai menolak rasisme. Ia mengalami kekerasan fisik, dipukuli, dan rambut gimbalnya dipotong paksa oleh aparat sebagai bentuk penghukuman simbolik. Dalam kesaksiannya kepada media, Alfa mengaku hanya satu dari enam belas ikatan rambut gimbalnya yang tersisa setelah tindakan represif tersebut. Kepalanya berdarah dan ia mengalami trauma psikologis akibat kejadian itu.

Maret 2023, aparat gabungan menangkap tiga warga sipil di Kampung Pinbinom, Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, hanya karena mereka berambut panjang gimbal dan mengenakan gelang bergambar Bintang Kejora — atribut yang secara keliru dikaitkan dengan simbol separatis. Menurut laporan LBH Papua tidak ada bukti keterlibatan ketiganya dalam aktivitas bersenjata. Aman Yikwa dari Pokja Adat MRP menegaskan bahwa peristiwa ini mencerminkan kriminalisasi terhadap identitas budaya, bukan tindakan berdasarkan proses hukum.

Sementara itu, pada Oktober 2024 di Kabupaten Intan Jaya, aparat TNI Yonif 509 menangkap seorang warga dengan gangguan kejiwaan (ODGJ) bernama Alex Sondegau (30 tahun) di depan Pos Kodim Kampung Mamba. Ia dituduh sebagai kombatan meskipun tidak bersenjata dan tidak terkait dengan kelompok bersenjata manapun. Juru bicara TPNPB-OPM menyatakan bahwa insiden ini adalah salah tangkap, didasarkan pada asumsi visual tanpa dasar hukum yang jelas.

Ketiga insiden ini menegaskan bahwa penampilan fisik—khususnya rambut gimbal—telah dipakai oleh negara sebagai tolak ukur ancaman, bukan melalui prosedur hukum yang adil. Padahal, bagi banyak orang Papua, rambut gimbal adalah bagian penting dari keberagaman budaya dan ekspresi diri, bukan simbol pemberontakan atau kekerasan. Stigmatisasi semacam ini memperkuat sikap represif dan merusak kepercayaan antara warga sipil dan negara. Rambut gimbal bukan senjata, yang berbahaya adalah penggunaan stereotip visual sebagai dasar kekerasan negara.

Kriminalisasi Penampilan dan Hilangnya Ruang Aman

Ruang untuk mengekspresikan identitas dan budaya perlahan menghilang ketika negara menyamakan simbol-simbol budaya dengan simbol perlawanan. Rambut gimbal, pakaian tradisional, atau ornamen khas yang dulunya menjadi bentuk ekspresi diri, kini dikriminalisasi dan dianggap sebagai tanda keterlibatan dalam gerakan separatis. Penampilan fisik tidak lagi dipahami sebagai keragaman, melainkan diperlakukan sebagai potensi ancaman.

Dalam konteks ini, identitas visual dijadikan dasar kecurigaan sistemik. Aparat keamanan sering kali menilai warga bukan berdasarkan tindakan atau bukti, tetapi dari cara mereka tampil. Orang muda yang berambut gimbal atau mengenakan atribut lokal kerap dicurigai, diawasi, dan dalam banyak kasus mengalami intimidasi, penangkapan, bahkan kekerasan. Pola ini menandakan adanya kriminalisasi penampilan yang merusak prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Dampaknya sangat dirasakan oleh anak-anak muda. Mereka tumbuh dalam rasa takut, terpaksa menyembunyikan bagian dari dirinya demi keselamatan. Ekspresi diri menjadi sesuatu yang berisiko dan pilihan untuk tampil apa adanya berubah menjadi keputusan yang penuh konsekuensi. Ketakutan ini menciptakan trauma kolektif dan menghapus rasa aman di ruang-ruang yang seharusnya melindungi mereka—sekolah, rumah, dan komunitas.

Ketika cara berpakaian atau gaya rambut dijadikan dasar kekerasan, maka yang dirusak bukan hanya kebebasan berekspresi, tetapi juga rasa percaya terhadap negara. Mengembalikan ruang aman berarti mengakui bahwa identitas kultural adalah bagian dari hak dasar warga negara, dan tidak seharusnya dijadikan target kecurigaan. Rasa aman dimulai dari pengakuan terhadap hak untuk menjadi diri sendiri tanpa rasa takut.

Stigmatisasi terhadap rambut gimbal dan ekspresi budaya masyarakat Papua harus segera dihentikan. Rambut gimbal bukan simbol perlawanan, bukan tanda kejahatan, dan bukan alasan untuk ditakuti. Ia adalah bagian dari identitas, warisan budaya, dan ekspresi diri yang sah. Selama negara terus melihatnya sebagai ancaman, maka kekerasan terhadap warga sipil akan terus berlangsung atas dasar yang keliru.

Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi identitas budaya warganya, bukan mengkriminalkannya. Ketika institusi keamanan memperlakukan simbol budaya sebagai musuh, maka negara sedang gagal memahami keragaman yang seharusnya dirangkul. Yang dibutuhkan bukan senjata, melainkan pemahaman—bahwa rambut, pakaian, dan cara seseorang mengekspresikan dirinya bukan indikator bahaya, melainkan bagian dari kemanusiaannya.

Pertanggungjawaban atas kekerasan terhadap warga sipil tidak bisa ditunda. Para pelaku harus diadili secara adil, dan institusi harus dibenahi agar pelanggaran serupa tidak terulang. Di saat yang sama, pendidikan bagi aparat keamanan tentang keberagaman budaya menjadi hal mendesak. Tanpa pemahaman tentang konteks sosial dan budaya masyarakat yang mereka jaga, kekuasaan akan terus disalahgunakan.

Gimbal bukan senjata. Ia bukan peluru. Ia adalah rambut. Dan rambut bukan alasan untuk membunuh.

Sumber Lao-Lao Papua
Publik Inspirasi Sorotan Publik

Madame de Staël adalah feminis awal yang memperjuangkan hak perempuan untuk berpikir dan bersuara.Dalam Delphine dan Cor...
15/07/2025

Madame de Staël adalah feminis awal yang memperjuangkan hak perempuan untuk berpikir dan bersuara.

Dalam Delphine dan Corinne, ia menggambarkan perempuan yang berjuang melawan batasan sosial.

Kutipan ini mencerminkan semangatnya sebagai perempuan intelektual di era yang didominasi laki-laki.

Ia sering dikritik karena keberaniannya, namun justru itulah yang membuatnya luar biasa.

Salonnya di Paris dan Coppet menjadi tempat perempuan dan laki-laki berdiskusi setara, menantang norma patriarki. Kutipan ini adalah seruan untuk perempuan agar terus berani menyuarakan ide mereka.

Buat para perempuan hebat di luar sana: jangan takut untuk bersinar dengan pikiranmu! Dunia butuh suaramu.💜

Media Sosial dan Tanggung Jawab Generasi Muda Papua Generasi muda Papua saat ini diharapkan mengunakan media sosial deng...
15/07/2025

Media Sosial dan Tanggung Jawab Generasi Muda Papua

Generasi muda Papua saat ini diharapkan mengunakan media sosial dengan bijak, tidak hanya sekedar digunakan untuk mengubload aktivitas sehari-hari melainkan mengunakan media sosial untuk mengadvokasi masalah sosial yang terjadi di tanah Papua.

Hengky Yeimo, Wartawan Jubi ketika membawakan materi tentang Peran Media Sosial dalam kegiatan seminar sehari di Jayapura.

Dalam penyampaian materinya, ia mengajak anak-anak muda Papua untuk mengunakan media sosial untuk mengkampanyekan sesuatu yang bisa berikan kepada pembaca.

“tulis status sesuatu yang bisa memberikan satu pengetahuan baru kepada orang lain, baik itu sosial, ekonomi, budaya, kerusakan lingkungan, sampah dan politik,” katanya.

lanjutnya, media sosial mempunyai pengaruh sangat besar terutama ketika kita mempublikasikan sesuatu yang baru, lengkap dimana menjelaskan sesuatu yang orang tidak ketahui. secara tidak langsung status tersebut memberikan edukasi kepada si pembaca.

“saat ini generasi muda Papua lebih banyak mengeksploitasi tubuh mereka, (foto Selfi) dan mengunggah di media sosia agar direspon orang yang entah kita tidak tau asalnya dari mana, dibanding kita mengunggah satu gagasan atau pemikiran kritis yang bisa membangun pola pikir kita saat ini,” katanya yang juga kordinator Ko`SaPa.

Ia berharap generasi muda saat ini bisa memanfaatkan media sosial untuk mengkampanyekan masalah yang terjadi di Papua dari perspektif mahasiswa, terutama, pelangaran HAM, kerusakan lingkungan, minimnya pelayanan kesehatan di pedalaman Papua dan pendidikan Papua yang tidak merata.

Hendrik Yeimo
Ketua Komunitas Sastra Papua

15/07/2025
🎉 Saya memperoleh lencana bakat baru minggu ini, yang merupakan pengakuan untuk saya karena menciptakan konten menarik y...
15/07/2025

🎉 Saya memperoleh lencana bakat baru minggu ini, yang merupakan pengakuan untuk saya karena menciptakan konten menarik yang membangkitkan minat para penggemar saya!

Address

Mataram

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Kolektif Papua Belajar Bersama-KPBB posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Kolektif Papua Belajar Bersama-KPBB:

Share

Category