Sablon Kaos Digital Medan

Sablon Kaos Digital Medan Melayani
- Sablon Kaos
- Pembuatan Stempel
- Edit Foto

Part 9"Bicara apa kamu, Darren?" Ibu Renata menanggapi pertanyaan anak semata wayangnya sambil melengos. Tidak menunggu ...
11/08/2025

Part 9

"Bicara apa kamu, Darren?" Ibu Renata menanggapi pertanyaan anak semata wayangnya sambil melengos. Tidak menunggu anaknya menjawab. Sorot mata ibu Renata tetap tajam, melotot tak s**a atau mungkin gengsi.

Darren hanya mengulum senyum, menggelengkan kepala melihat Ibu Renata yang melenggang masuk ke dalam rumah. Darren tahu kalau Ibu Renata gengsi mengungkapkan rasa s**anya terhadap Sabrina. Namun, hati Darren semakin yakin kalau suatu saat atau mungkin sebentar lagi Ibu Renata akan menyukai istri keduanya.

Darren masuk ke dalam rumah, langkah kakinya menuju dapur. Samar-samar terdengar suara Ibu Renata yang meng-introgasi wanita yang dicintainya.

"Memangnya kamu kursus masak dan bikin kue di mana?"

Intonasi ibu Renata masih terdengar ketus. Sabrina tersenyum sebelum menjawab pertanyaan wanita yang sangat disegani di rumah ini. Sabrina berusaha menunjukkan s*kap tidak takut pada Ibu Renata.

"S-saya enggak pernah kursus, Nyonya."

Ibu Renata tampak tak percaya kalau Sabrina tidak kursus memasak atau membuat kue.

"Benarkah? Kamu pasti berbohong!" Cetus Ibu Renata memalingkan wajah.

Salah satu asisten rumah tangga membuatkan teh hijau untuk Ibu Renata tanpa diperintah. Mereka berdua sudah mengerti jika jam-jam segini Ibu Renata selalu ingin dibuatkan teh hijau.

"Enggak bohong, Nyonya. Saya bicara jujur," jawab Sabrina sambil membuat olahan cake.

"Terus, kamu bisa dari mana?" tanya Ibu Renata lagi, mengangkat cangkir berisi teh hijau.

"Dulu waktu di desa, saya kerja di salah satu rumah makan dan s**a membantu membuat pesanan kue tetangga. Kadang mereka memesan cake, brownis atau kue bolu."

Jawaban Sabrina membuat kening Ibu Renata mengkerut. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad tidak percaya dengan jawaban Sabrina.

"Kamu jangan bohongi saya. Masa orang desa s**a makanan kota?"

Sangat angkuh ucapan Ibu Renata. Seolah merendahkan orang-orang yang tinggal di desa. Sabrina tidak marah, ia semakin bersemangat menunjukkan keahliannya di depan Ibu Renata.

"Saya enggak bohong, Nyonya. Zaman sekarang kan hampir semua masyarakat punya handphone. Mereka jadi tau makanan atau masakan orang kota seperti apa. Biasanya saya pelajari itu semua sambil melihat youtube," jawab Sabrina merunduk, tersenyum.

Ibu Renata semakin terkejut. "Kamu hanya nonton youtube, enggak kursus masak atau membuat kue-kue?"

"Enggak, Nyonya," jawab Sabrina tegas.

"Kenapa?"

"Enggak ada uang, Nyonya."

Ibu Renata menggelengkan kepala mendengar jawaban Sabrina.

"Oh iya ya. Jangankan buat kursus, buat kamu makan juga pasti susah."

Sabrina tak menimpali ucapan merendahkan Ibu Renata.

Tiba-tiba Darren datang sambil berdehem. Sedari tadi lelaki itu mendengar obrolan antara Ibu Renata dan Sabrina.

"Darren, ngapain kamu di dapur? Ayok sana! Ayookk!"

Tangan Darren ditarik paksa Ibu Renata agar menjauh dari dapur.

"Ma, jangan tarik-tarik tanganku kayak gini. Aku bukan anak kecil, Ma." protes Darren berusaha melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya.

"Kamunya ngeyel!" Ibu Renata melotot, menatap anak semata wayangnya. "Sekarang kamu masuk kamar! Inget kata Mama, seharian ini jangan ganggu Sabrina! Paham, Darren?" Lagi, kedua mata Ibu Renata seperti mau melompat. Darren tersenyum menganggukkan kepala. Perintah Ibu Renata bagianya, awal mula yang baik untuk pendekatan dengan Sabrina.

Darren masuk kamar, Ibu Renata kembali ke dapur. Wanita tua itu duduk di kursi, memerhatikan Sabrina dan dua asisten rumah tangganya sedang membuat cake.

Tidak dapat dipungkiri, melihat Sabrina yang cekatan membuat cake, hati Ibu Renata cukup bahagia. Paling tidak, sekarang dia memiliki menantu yang sesuai keinginannya. Tidak seperti Angelica yang hanya bisa makan, tidur, foya-foya, sungguh menantu tak ada guna.

"Wow, ada apa ini? Tumben sekali Mama ada di dapur?"

Orang yang baru saja berada dalam lamunan Ibu Renata, kini muncul di hadapan mata.

"Kamu nyindir Mama, Angelica?" Ibu Renata bertanya dingin. Tatapan tak s**a terhadap menantu pertamanya itu tak bisa disembunyikan.

"Bukan nyindir, Ma ... aku tuh nanya. Mama ngapain duduk di dapur? Enggak takut badan Mama bau dapur?" tanya Angelica berusaha tidak terpancing emosi. Wanita itu duduk di kursi samping ibu mertua.

"Lebih baik badan bau dapur ketimbang bau alkohol kayak kamu," tandas ibu Renata menatap lekat Angelica. Istri pertama Darren itu menelan saliva, memutar bola mata malas. Bibirnya menyeringai seolah mengejek Ibu Renata.

Sabrina yang mendengar obrolan mereka hanya melirik. Tidak berani melihat langsung apalagi nimbrung dalam pembicaraan menantu dan mertua itu.

"Wajarlah, aku s**a minum-minuman. Siapa yang enggak stres, punya suami tapi kayak enggak punya suami. Gimana aku mau punya anak, usaha membuatnya saja jarang banget."

"Diam kamu, Angelica!" sentak Ibu Renata tak s**a mendengar ucapan yang mengarah dalam privasi hubungan rumah tangga.

"Kenapa aku harus diam, Ma. Itu fakta! Harusnya Mama ngebujuk Darren supaya mau meny3ntuhku bukan justru nyuruh nikah lagi sama dia!" Emosi Angelica tak bisa dikendali. Sebagai perempuan, Angelica sangat tidak terima suaminya menikah lagi hanya karena tidak bisa memberinya keturunan.

Ibu Renata tak langsung menjawab. Napasnya turun naik karena menahan amarah yang semakin memuncak.

"Kenapa, Ma? Benar kan apa kataku? Mama mulai merasa bersalah sama aku? Mau minta maaf? Boleh ...."

Angelica merasa di atas awan. Bibirnya menyunggingkan senyum, pandangannya beralih pada Sabrina yang tengah sibuk membuat cake atas permintaan ibu Renata.

"Mulutmu makin kurang ajar, Angelica. Kamu benar-benar wanita yang enggak tau diri! Harusnya kamu berpikir, apa yang membuat Darren tidak ingin menyentuhmu?"

Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Angelica seketika redup. Kepalanya menoleh, membalas tatapan sang ibu mertua.

"Mama tetap nyalahin aku?" Kali ini, intonasi suara Angelica rendah.

"Kamu memang pantas disalahkan, Angelica. Baiklah, sekarang Mama akan kasih tau kamu alasan Darren enggan menyentuhmu."

Raut wajah Angelica berubah pias. Sikapnya mendadak salah tingkah. Dia takut kalau ibu mertua mengetahui kelakukannya di luar sana. Alasan Darren tak ingin menyentuhnya. Darren sendiri pernah mengungkapkan itu. Ternyata Darren sudah tahu kelakuan Angelica yang s**a bergonta-ganti pasangan di luar sana. Ia yang sering datang ke club malam, yang s**a mabuk-mabukan, selalu melakukan hubungan int1m dengan laki-laki yang baru dikenalinya malam itu. Bagaimana Darren tidak jijik melihat kelakuan istrinya yang sudah sangat biasa bers3lingkuh dan melakukan hubungan yang semestinya hanya dilakukan oleh suami istri?

"Sudahlah, Ma. Aku mau istirahat. Lama-lama aku semakin stres tinggal di sini. Suami enggak perhatian, nikah lagi, eh mertua bawel sekali!"

Angelica benar-benar ngelunjak. Ibu Renata tak tahan lagi, mengatakan aib menantunya itu.

"Perlu kalian tau, anakku Darren enggak mau menyentuh dia karena tau kalau istrinya bers3lingkuh dengan banyak lelaki di luar sana. Jadi, wajar saja kalau Darren merasa jij1k menyentuh daging yang dinikmati banyak lelaki. Benar begitu, Angelica?"

Penulis: Syatizha2
Judul: Rahim Dua Ratus Juta
Tamat di KBM App

Erland sedang berada di dalam kamar mandi, ketika ponsel miliknya berdering di atas nakas. Kiara yang tadinya berbaring ...
11/08/2025

Erland sedang berada di dalam kamar mandi, ketika ponsel miliknya berdering di atas nakas. Kiara yang tadinya berbaring telentang, mau tidak mau beringsut dari atas tempat tidur. Ditutupinya tu buh bagian a tas yang terbuka dengan sel imut lalu meraih ponsel milik Erland. Melihat nama yang tertera di layar ponsel milik bos sekaligus kekasih ge lapnya, Kiara refleks memutar bola mata dan mendeng kus keras. Dia sama sekali tidak berniat mengangkat panggilan itu. Dibiarkannya saja hingga akhirnya ponsel Erland ma ti dengan sendirinya.

"Siapa, Kia?" tanya Erland yang baru keluar dari dalam kamar mandi. Aroma segar sabun mandi menggelitik hidung Kiara yang kecil dan mancung. Bagian ping gang ke bawah Erland dili lit han duk putih tebal, sementara bagian atas tubuhnya masih tampak setengah ba sah. Kiara lalu terpana ketika melihat Erland mengibaskan rambutnya yang ba sah.

"Kia," panggil Erland lagi. Kini lelaki jangkung bertubuh atletis itu melangkah dan merebut ponsel miliknya dari tangan Kia. "Kok, enggak diangkat?"

Kiara menyandarkan punggungnya yang lembab karena keri ngat di kepala ran jang kemudian melipat tangan di depan da da. Wajahnya cemberut. "Mama kamu. Kalau aku yang angkat, beliau pasti ma ki - ma ki aku."

Erland memakai kaus putih ke tat dan celana panjang kain lalu duduk di atas ran jang sambil menadahkan tangan. "Siniin!"

"Kamu janji malam ini mau tidur di sini," ra juk Kiara lalu menggenggam erat ponsel milik Erland.

"Barangkali ada yang penting," kata Erland. Seingatnya tadi mamanya marah - marah karena kar tu bla ck ca rd punya Amara tidak bisa digunakan. Begitu juga dengan kar tu kre ditnya. "Kia ... kamu enggak mau mama semakin be nci padamu, kan?"

Kiara mencebbikkan bibir lalu mengulurkan tangan dan menyerahkan ponsel milik kekasihnya itu. Erland menempelkan jari telunjuknya di bi bir sebagai isyarat agar Kiara tidak bersuara sementara dia akan menelepon balik mamanya.

"Kenapa enggak diangkat, sih? Jangan bilang kamu sedang bersama ja lang mis kin itu?" sembur Tania saat mendengar kata 'Hallo' dari Erland.

Erland melirik Kiara sekilas dan tersenyum tipis. "Kenapa, Ma?"

"Kamu beneran enggak ada dihubungi pihak rumah sakit sama sekali?" tanya Tania. Nada suaranya terdengar panik.

"Enggak ada. Kenapa memangnya?" Erland refleks duduk dengan posisi waspada.

"Amara udah enggak ada di sini. Kata perawat, Amara sudah p**ang ke rumah dijemput sama Pandu."

"Apa?" Erland bertanya dengan suara setengah berteriak dan langsung berdiri tegak. Ekspresi wajahnya serius. Kiara pun memasang ekspresi yang sama.

"Jadi dia beneran udah bangun? Bukannya dia sedang koma waktu --"

"Buruan p**ang ke rumah. Mama juga udah mau on the way!" potong Tania.

Begitu telepon ditutup, Erland buru-buru mengenakan kemeja kerjanya.

"Mas, kenapa?" tanya Kiara. Entah kenapa dia merasa teran cam.

"Amara sudah sadar. Sekarang dia sudah p**ang ke rumah," jawab Erland cepat.

"Apa?" Sama seperti reaksi Erland tadi, Kiara juga sama terkejutnya. "Bukannya Mas bilang kemaren dia sudah sangat seka rat? Kenapa bisa tiba-tiba sehat begini?"

"Aku p**ang dulu." Setelah beres berpakaian rapi, Erland mencu ri ciu man singkat di bi bir Kiara.

"Sia lan! Padahal tinggal selangkah lagi aku bisa menjadi Nyonya Erland Maheswara!" Kiara mengepalkan tangan erat-erat di balik se limut.

*

Erland mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Jarak dari apartemen Kiara menuju rumah masih kurang dari lima kilometer lagi. Beruntung sekarang bukan waktunya orang - orang p**ang bekerja sehingga jalanan tidak terlalu macet.

Sepanjang perjalanan, Erland terus bertanya -tanya, kenapa pihak rumah sakit tidak mengabarinya jika Amara sudah sadar dari koma? Kalau pihak rumah sakit membolehkan Amara p**ang, itu artinya kondisi Amara sudah cukup kuat dan stabil. Lalu, kenapa Amara sendiri juga tidak mengabarinya.

Ketika sampai di halaman rumah yang luas, Erland bisa melihat Tania berdiri dengan menyandarkan bo kongnya di bagian samping mobil. Erland turun dari mobil dan menghampiri mamanya yang tampak berpikir keras.

"Ada yang enggak beres," ucap Tania tanpa menoleh pada Erland yang kini sudah berdiri persis di sampingnya.

Erland menatap lurus gedung tiga lantai di depannya. "Ayo, kita cari tahu di dalam."

Saat Erland dan mamanya masuk, beberapa asisten rumah tangga yang kebetulan berpapasan dengan mereka menunduk hormat.

"Bu Amara kapan sampai?" tanya Erland pada dua asisten rumah tangga yang bertugas membersihkan rumah.

"Sore tadi, Pak. Jam empat," jawab salah satu asisten rumah tangga. "Bu Amara sekarang di kamarnya, Pak."

Tania mengangguk lalu mengibaskan tangan meminta pekerja di rumah itu untuk kembali bertugas sementara dirinya dan an ak laki-lakinya berjalan menuju kamar utama yang terletak di lantai satu.

"Sayang," tegur Erland sesaat setelah membuka pintu kamar utama. Di atas ran jang berukuran king size, dia melihat Amara yang setengah berbaring dengan gaun tidurnya yang berwarna putih tulang. "Kenapa enggak bilang - bilang kalau kamu sudah bangun dan p**ang?"

Erland dan Tania melangkah mendekati tempat tidur. Amara menatap keduanya dengan sorot dingin.

"Enggak mau merepotkan kalian," jawab Amara pendek.

"Repot gimana, sih, Sayang?" Erland kini duduk di tepi ran jang dan mere mas telapak tangan Amara yang terasa sedikit hangat. Dengan gerakan perlahan, Amara melepaskan tangan suaminya dan memasukkannya ke dalam seli mut. Erland mengerutkan kening.

"Sayang, maaf kalau Mama bertanya di waktu yang tidak tepat." Tania sudah tidak sabar bertanya. Dia bahkan masa bo doh dengan tatapan protes Erland padanya. "Tadi sore mama dan teman - teman sedang berjalan ke mall. Mau mencari barang - barang buat kegiatan amal rumah sakit. Tapi ... kartu bla ck ca rd kamu sama kartu mama, kenapa enggak bisa dipakai, ya?"

"Ma, kok, nanya itu, sih?" tegur Erland.

Amara tersenyum pa hit. Di saat dirinya baru p**ang, mama mertuanya itu malah bertanya tentang ua ng, bukan tentang kesehatan dirinya. Kalau diingat - ingat, ini bukan kali pertama. Amara saja yang kelewat buta dan menganggap wajar s*kap sang ibu mertua.

"Mama bilang tidak butuh ua ng Amara, kan? Mama terte kan karena menjadi bahan gun jingan orang - orang, lantaran dianggap seperti para sit yang menumpang hidup dengan inangnya," sin dir Amara halus.

"Pa rasit?" Tania mengepalkan tangan tanpa sadar.

"He em. Eh, mereka bukan bilang mama seperti para sit. Apa, ya? Amara lupa."

Tania menyipitkan mata. "Terus, kamu yang blo kir kartu - kartu itu?"

"Iya. Sekarang enggak ada lagi yang akan mengata i mama para sit lagi. Kan, mama enggak bisa pakai ua ng Amara lagi. Iya, kan?" tanya Amara kalem.

***

Baca selengkapnya di KBM App
Penulis: Kalishgan
Judul: Amarantha (Den dam sang Pewaris)

23/07/2025

👶 BUNDA!! Bayinya lucu banget, tapi fotonya biasa aja?
Yuk edit jadi ala studio kece cuma Rp15.000 dapet 5 tema!
Tema banyak banget: dari bayi sultan, bayi jadi pilot, sampai bayi naik awan juga ada 😆

💬 “Takut ditipu nih…”
Tenang Bun, di sini edit dulu baru bayar!
Tapi jangan kabur yaa, nanti bayinya malu loh… masa orang tuanya kabur setelah dieditin 😜

📲 Langsung WA: 0853-8548-3388
Slot edit terbatas! Jangan sampai bayi lain duluan tampil di IG Story 😁

"Kita punya rumah sendiri mas, kenapa kita masih tinggal di sini?? Ini udah satu bulan, sudah cukup kita tinggal di sini...
01/07/2025

"Kita punya rumah sendiri mas, kenapa kita masih tinggal di sini?? Ini udah satu bulan, sudah cukup kita tinggal di sini," ucapku pada Mas Davin. Aku harus segera membawa suamiku pergi dari sini karena aku merasa benar-benar tidak nyaman dengan tingkah Dinar yang semakin hari semakin tidak masuk akal.

"Tapi--"

"Kalau mas masih mau tinggal di sini, itu terserah mas. Aku akan tetap pergi dari sini," tegasku. Tidak perduli apapun yang terjadi, aku sudah tidak nyaman di tempat ini.

"Baiklah, kita akan pergi dari sini besok, tapi malam ini kita di sini dulu, nggak enak kan sama Mama dan yang lainnya kalau kita pergi malam-malam, apa kata mereka?? Mereka akan berpikir kalau kita sedang bertengkar."

Baiklah, aku menyetujui saran dari mas Davin dan tetap tidur malam ini dirumah orang tuanya, karena aku tidak mau orang-orang mengira kami sedang bertengkar.

Keesokan paginya, aku dan Mas Davin bersiap untuk pamit pada semua keluarga.

"Loh, kalian mau kemana??" Tanya Mama heran ketika sedang bersiap untuk sarapan.

"Aku ... Sama Mas Davin mau pamit ma."

Semua orang diam.

"Aku dan Khalisa mau pamit p**ang ke apartemen kami sendiri ma. Sudah cukup lama kami tinggal di sini."

"Itu terserah kalian, kalian juga punya kehidupan sendiri. Mama nggak keberatan," ujar Mama.

Mama mertuaku itu sangat baik dan menyayangiku sejak dulu dan aku sangat bersyukur karena memiliki ibu mertua seperti Mama.

"Kalau Davin pergi dari sini, terus yang jagain Dinar siapa?? Kalau Dinar sedih, siapa yang mau menghiburnya??" Mbak Sila angkat bicara.

"Dinar bukan an ak kecil lagi. Dia sudah dewasa dan pasti bisa mengatasi semuanya sendiri," jawabku. Lagi p**a kenapa juga kami yang harus memikirkan Dinar?? Wanita itu sudah dewasa dan tidak mungkin terus bergantung pada suamiku.

"Tapi yang bisa menenangkan Dinar itu cuma Davin. Kalau nanti terjadi sesuatu yang bu ruk pada Dinar karena dia sedih bagaimana??"

"Itu bukan tanggung jawab suamiku. Dia bukan istri suamiku, kenapa mas Davin yang harus menenangkan Dinar??"

"Karena cuma Davin yang bisa membuat Dinar melupakan kesedihannya karena kehilangan Fandi. Kamu ngerti sedikit kenapa sih? Eg ois banget jadi orang!!" Mbak Sila terlihat em osi.

"Mbak ... Maaf kalau aku lan cang jawab ucapan mbak, tapi mas Davin itu udah punya istri dan kewajiban mas Davin itu cuma sama aku, bukan sama kakak iparnya."

"Sudah ... Sila, Khalisa benar. Dia dan Davin tidak punya tanggung jawab pada Dinar, jadi biarkan mereka kembali ke apartemen mereka sendiri. Mereka sudah menikah dan mereka juga punya kehidupan mereka sendiri."

"Iya ma ... Tapi kan kondisi Dinar belum pulih betul, dia masih sedih karena kehilangan Fandi, nanti kalau dia sedih dan nggak ada Davin bagaimana??" Kakak iparku itu tetap ngo tot dengan keinginannya yang menginginkan mas Davin tetap di sini.

"Nanti Mama yang akan nemenin Dinar, jadi nggak perlu khawatir. Mama yang akan menghiburnya," kata Mama.

"Sebelum p**ang, kalian sarapan dulu ya."

Baru saja aku dan Mas Davin ingin duduk di kursi, tiba-tiba saja kami mendengar suara berde bum di luar.

"Mbak Dinar!!!!" Pe kik asisten rumah tangga Mama saat itu. Semua orang bangkit dan berlari ke asal suara.

"Mbak Dinar lom pat dari lantai atas!!" Jerit Bibi asisten rumah tangga Mama di sana.

"Dinar!!"

"Dinar!!"

Semua orang me me kik kaget ketika melihat Dinar tergeletak tak sadarkan diri dengan da-rah yang mengalir di sana.

"Dinar!!" Mas Davin ingin berlari tapi aku menahan tangannya.

"Ada Papa dan mas Irfan disini, biar mereka yang membawa Dinar mas," ucapku.

Bukan aku egois dan tidak mementingkan keselamatan orang lain, tapi di sini ada beberapa pria, kenapa harus mas Davin yang menolong Dinar??

"Kamu nggak wa-ras!!! Kamu nggak lihat keadaan Dinar saat ini?? Dia se ka rat dan kamu masih bers*kap keka nak-ka nakan!!" Untuk pertama kalinya mas Davin bicara ka sar dan memben takku, cuma karena Dinar. Kenapa aku merasa Dinar sangat spesial untuk mas Davin??

Aku pun melepaskan tangan mas Davin yang saat itu berlari dan menolong Dinar. Dinar dilarikan kerumah sakit oleh mas Davin dan meninggalkan aku disini.

Hatiku sakit, sangat sakit, kenapa mas Davin sangat perhatian pada Dinar? Dan kenapa Dinar selalu saja membuat ulah ketika aku ingin bersama mas Davin??

"Mungkin aku p**ang sore karena Dinar masih harus di rawat dan menjalani berbagai pemeriksaan," ucap Mas Davin melalui sambungan telepon saat itu.

"Bukannya kita mau p**ang ke apartemen mas??"

"Ya Tuhan ... Khalisa, Dinar sedang kritis, bagaimana bisa kamu masih memikirkan untuk p**ang ke apartemen?? Kenapa sekarang kamu berubah jadi nggak punya hati nurani??"

*
*
Baca selengkapnya di KBM
Judul: Diam-diam Kita sudah mantan
Aplikasi: KBM
Penulis: Nafisa ica

📸 Belum Punya Foto Keluarga? Tenang, Kami Bisa Bantu!Tak sempat berfoto? Atau salah satu anggota keluarga sudah tiada?Cu...
29/06/2025

📸 Belum Punya Foto Keluarga? Tenang, Kami Bisa Bantu!
Tak sempat berfoto? Atau salah satu anggota keluarga sudah tiada?
Cukup kirim foto wajah masing-masing, kami akan edit dan gabungkan jadi satu foto keluarga yang indah.

🖼️ Pilihan Layanan:

✨ Edit Saja – Rp 30.000
✔ Kirim foto wajah
✔ Kami edit jadi 1 foto keluarga

🎨 Media Canvas Asli + Bingkai – Rp 200.000
✔ Ukuran 60x40 cm
✔ Edit + Cetak
✔ Free Ongkir

📄 Media Kertas + Bingkai – Rp 130.000
✔ Ukuran 60x40 cm
✔ Edit + Cetak
✔ Free Ongkir

🚫 Mohon Maaf – Kami tidak menerima COD
Karena banyak pemesan PHP 🙏
Proses setelah pembayaran ya kak

📱 Order / Tanya-tanya WA:
0853-8548-3338

Cek hastagh
Banyak customers kami selesai foto tidak mau bayar.

👶 BUNDA!! Bayinya lucu banget, tapi fotonya biasa aja?Yuk edit jadi ala studio kece cuma Rp15.000 dapet 5 tema!Tema bany...
28/06/2025

👶 BUNDA!! Bayinya lucu banget, tapi fotonya biasa aja?
Yuk edit jadi ala studio kece cuma Rp15.000 dapet 5 tema!

Tema banyak banget: dari bayi sultan, bayi jadi pilot, sampai bayi naik awan juga ada 😆

💬 “Takut ditipu nih…”
Tenang Bun, di sini edit dulu baru bayar!

Tapi jangan kabur yaa, nanti bayinya malu loh… masa orang tuanya kabur setelah dieditin 😜

📲 Langsung WA: 0853-8548-3388
Slot edit terbatas! Jangan sampai bayi lain duluan tampil di IG Story 😁

PURA-PURA JADI PENGEMISBAB 2Aku masih berdiri terpaku di balik pintu, kamera kecil dari Andra merekam diam-diam dari bal...
28/06/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 2

Aku masih berdiri terpaku di balik pintu, kamera kecil dari Andra merekam diam-diam dari balik jendela mobil. Tapi aku tak lagi peduli soal video atau konten. Mataku tak bisa lepas dari tubuh kurus itu, istriku.

Perempuan yang selama ini kupikir hidup tenang bersama keluargaku, ternyata justru berada dalam neraka di rumah aku sendiri.

Tapi kenapa Mya hanya diam saja? Kenapa dia tidak melapor padaku?

Ya, aku tahu. Waktuku untuk menghubungi dia hanya satu Minggu sekali. Itu pun melalui ibu. Mya bahkan tidak pernah sama sekali memberiku kabar melalui ponselnya sendiri.

“Cepat ambilkan! Jangan ngajak ribut terus!” bentak Ibu lagi, suaranya makin naik.

“Maaf, Bu. Tapi aku benar-benar capek. Tanganku bahkan masih pegal dari semalam. Aku bukan babu di sini, Bu. Aku ini menantu ibu. Aku—”

Duggg!

Aku tersentak. Kakiku reflek maju satu langkah. Ibu menendang kaki Mya hingga istriku jatuh tersungkur.

"Berani kamu ngelawan? Hah?!" gusar ibu dengan mata nyalang sembari berkacak pinggang.

Istriku meringis kesakitan. Dia terduduk.

Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. Perkataan ibu tak sesuai dengan kenyataan yang selama ini kudengar.

"Bu ... sakit ...," lirih istriku.

“MAKANYA JANGAN BANTAH KALO AKU SURUH!!” pekik Ibu, matanya melotot, napasnya memburu seperti orang kesurupan. “Sadar diri kamu siapa! Kamu cuma numpang di rumah anakku!!”

Mya meringis menahan sakit, kedua tangannya menyangga tubuh lemah yang sudah tak kuat berdiri. Matanya basah. Tapi dia tak menangis.

Dia terlalu kuat, meskipun dunia memperlakukan dia dengan kejam.

"Aku sadar, Bu .... Aku ini cuma menantu yang nggak diinginkan," sahut Mya lagi.

"Nah, itu sadar. Makanya nurut aja apa perintahku. Nggak usah bantah! Mau ngelapor ke Rafa? Nggak akan bisa. Mau pakai apa kamu ngelapor? HP-mu kan diambil sama Damar buat sekolah."

Jadi ... selama ini. Aku ... tak tahan lagi.

Masker itu kulepas, kulempar jauh ke tanah bersamaan dengan rambut palsuku. Napasku memburu seperti menahan gempa dari dalam dadaku sendiri. Kakiku menghentak keras menuju teras.

“IBU, HENTIKAN!!"

Suara teriakku membelah suasana.

Semua menoleh bersamaan. Mya mendongak. Matanya langsung membulat. Bibirnya bergetar, seolah ingin menyebut namaku tapi terlalu terkejut.

Ibu terbelalak. Wajahnya pucat, dan rautnya berubah seketika dari garang menjadi kaget tak karuan.

“Ra-fa ...?” Ibu tergugu.

Aku menatapnya. Bukan lagi dengan rasa hormat. Bukan lagi dengan kasih anak kepada ibu. Tapi dengan luka yang menganga, yang ditoreh oleh tangan orang yang seharusnya menjagaku dan orang yang kucintai.

"Bu ... Apa yang Ibu lakukan barusan?” suaraku nyaris bergetar. Ada tangis yang tertahan. Aku berusaha tegar, tapi dadaku mendidih.

Ibu buru-buru menurunkan nada bicaranya, mencoba membela diri. “Nak, ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat. Dia itu—”

“Cukup!” potongku tajam.

Aku berlutut dan menggenggam tangan Mya yang gemetar. Kupeluk tubuhnya perlahan, seperti ingin memeluk semua luka yang pernah dia telan diam-diam. Dia mulai terisak di pelukanku.

Tapi Ibu masih belum diam.

“Rafa, kamu terlalu terbawa emosi. Jangan dibutakan cinta. Kamu itu anakku. Bukan suaminya. Aku yang melahirkanmu. Aku yang berhak atas harta kamu, rumah kamu! Dia itu hanya numpang. Hanya istri. Bukan pemilik!"

Aku mendongak perlahan, menatap langsung ke mata Ibu. Nafasku dalam-dalam, tapi tetap tak bisa meredakan gemuruh amarahku.

“Jadi ... begitu cara Ibu lihat Mya?” tanyaku pelan. “Cuma karena dia bukan pilihan Ibu, Ibu s*k sa dia kayak begini?”

“Kalau aku mau, dari dulu juga bisa aku fitnah dia biar kamu ceraikan!” kata Ibu dengan nada tinggi, tanpa rasa bersalah. “Tapi aku masih punya hati! Syukur-syukur selama ini dia masih bisa tinggal di rumah ini!”

Aku bangkit berdiri.

Kali ini, bukan aku yang gemetar.

Ibu yang terlihat mulai mundur pelan.

“Apa Ibu pikir semua yang aku punya itu hanya milik Ibu? Apa Ibu pikir Ibu bisa main hak atas hidupku?” suaraku tegas. Lebih dingin dari sebelumnya.

Ibu membuka mulut, ingin membalas, tapi aku angkat tangan. Menghentikannya.

“Kalau selama ini Mya tetap diam, itu karena dia menghormati Ibu. Tapi Ibu balas hormat itu dengan kekerasan dan hinaan. Maaf, Bu ... tapi aku nggak akan biarkan itu terjadi lagi. Aku p**ang, dan akan melindungi istriku."

"Oh ... jadi kamu lebih bela istri kamu dari ibu yang sudah melahirkanmu?"

Aku menahan napas, mencoba angkat suara.

"Iya. Aku ingin hidup berdua dengan istriku. Bukan dengan kalian lagi," jawabku tegas.

"Kalau begitu, kamu bayar tanah tempat rumahmu ini berdiri kokoh. Kamu harus bayar dua miliyar! Kalau kamu nggak bisa bayar, jadi aku dan adik-adikku berhak tinggal di atas tanah ayah mereka."

Aku tersentak mendengar ibu. Du-a milyar?

Next?

Penulis Linda M
Cari di kbm app, ya.

Klik link buat baca

pura-pura jadi pengemis - Linda M
Aku pura-pura jadi pengemis saat p**ang dari Jepang. Aku ingin memberi kejutan kepada ibu dan istrik...

MARBOT ITU TERNYATA SULTANPART 7PENULIS NAYA RNovel ini sudah tamat di KBM APPSep**ang dari shalat zuhur di masjid, Fahr...
28/06/2025

MARBOT ITU TERNYATA SULTAN
PART 7
PENULIS NAYA R

Novel ini sudah tamat di KBM APP

Sep**ang dari shalat zuhur di masjid, Fahri menelepon Pak Aryo, papa mertuanya. Fahri menceritakan jika papanya sedang sakit dan ia harus p**ang menemui kedua orang tuanya. Fahri mengatakan jika ia belum bisa membawa Amara ikut bersamanya.

Selain karena Amara kuliah, Fahri juga akan menyelesaikan banyak hal di kotanya. Dan yang paling utama, tentu saja karena Fahri belum bercerita jika ia telah menikah. Fahri merasa perlu waktu untuk menjelaskan tentang Amara kepada kedua orang tuanya.

Pak Aryo mengizinkan Fahri untuk p**ang. Pak Aryo mengatakan akan segera menelepon Bi Ana dan meminta wanita paruh baya itu untuk segera kembali ke rumah menemani Amara. Fahri merasa tenang meninggalkan Amara jika ada yang menemani.

Jauh di dasar hatinya, Fahri sebenarnya tidak ingin p**ang menemui kedua orang tuanya. Setelah apa yang terjadi dua tahun lalu, Fahri bertekad untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi, Fahri tidak ingin menjadi anak durhaka. Ketika disuruh pergi, ia pergi. Dan ketika disuruh p**ang, ia juga akan p**ang.

Ketika makan siang, Fahri menceritakan kepada Amara jika ia harus p**ang untuk beberapa waktu ke rumah orang tuanya. Amara hanya mengangguk dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca oleh Fahri.

Tiga minggu menikah, hubungan mereka masih tidak ada kemajuan. Fahri telah berusaha untuk memangkas jarak di antara mereka. Tetapi, Amara seperti tidak terjangkau. Perempuan itu masih asyik dengan dunianya sendiri.

Kehadiran Fahri seakan tidak berarti apa-apa untuknya. Dia hanya datang ketika membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Fahri. Namun, Fahri akan selalu bersabar. Ia telah menjatuhkan pilihan, maka ia akan menjaga dan memperjuangkan pilihannya itu.

Esok hari, Bi Ana datang dengan sekardus oleh-oleh. Ada pisang, kerupuk, wingko, sampai bandeng. Fahri menyambut Bi Ana dan meminta maaf karena perempuan yang telah mengasuh Amara dari kecil itu harus p**ang lebih awal dari yang disepakati dengan Pak Aryo dan Bu Ayunda.

Tetapi, Bi Ana mengatakan, jika ia memang sudah rindu untuk kembali ke rumah ini. Berada di kampung membuat wanita sederhana itu merasa suntuk, karena ketiga anak-anaknya telah berkeluarga semua dan tinggal di kampung terpisah.

Malam hari, setelah Fahri membereskan beberapa pakaiannya, Fahri masuk ke kamar Amara. Amara terlihat telah tidur dengan lelap. Fahri menghela napas berat. Sebenarnya, Fahri sangat berharap, sebelum mereka berpisah, ia dan Amara bisa menciptakan sebuah kenangan indah yang akan menjadi pengikat hati dan raga mereka.

Fahri berbaring di samping Amara. Diusapnya rambut Amara dengan lembut. Pelan ditepuk-tepuknya p**i istrinya itu. Amara menggumam tidak jelas.

“Amara.”

Amara yang merasa diganggu membuka matanya perlahan.

“Kamu ngantuk, ya?”

“Hhmm.” Amara memutar tubuhnya membelakangi Fahri. Lagi-lagi Fahri menarik napas dalam.

“Amara, besok aku sudah harus pergi. Aku nggak tahu berapa lama aku bisa kembali. Tidak kah kamu ingin kita saling menunaikan kewajiban sebagai suami istri?” Fahri berucap dengan hati-hati.

Amara meremas selimutnya dengan kuat. Ucapan Fahri membuat dadanya berdetak kencang. Mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu gugup? ‘Apakah mereka akan melakukannya malam ini? Bagaimana jika Fahri pergi dan tidak pernah kembali lagi? Bagaimana jika ini adalah pertemuan terakhir mereka?’

Amara tidak mengenal orang tua Fahri. Tidak mengenal sanak saudaranya. Tidak tahu di mana rumahnya. Kalau hubungan satu malam ini tiba-tiba membuat ia hamil, apa yang akan dilakukannya nanti? Berbagai pikiran negatif memenuhi rongga dada Amara. Membuat dada Amara terasa sesak.



“Kita shalat sunnah dulu, yuk.”

Fahri kembali mengusap kepala Amara dengan lembut. Tanpa sadar, Amara menarik tubuhnya menjauh. Tangan Fahri menggantung di udara. Sikap Amara telah menunjukkan penolakan perempuan itu kepadanya. Fahri merasakan dadanya bergemuruh. Rasa kecewa, malu, dan amarah menyatu jadi satu.

Hampir tiga minggu ia menunggu Amara siap menerimanya. Tidak kah waktu selama itu cukup bagi seorang perempuan untuk mempersiapkan diri? Amara bukan anak kecil lagi. Usianya sudah cukup dewasa untuk mengerti apa kewajiban seorang istri terhadap suami.

Fahri akhirnya bangun dan turun dari tempat tidur. Ia tidak ingin rasa marah menguasai hatinya sampai pagi. Walau bagaimanapun, ia telah memilih Amara sebagai pendamping hidupnya. Itu artinya, ia harus bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan istrinya itu.

Fahri ke luar dari kamar dan berjalan ke dapur. Tiba-tiba ia ingin minum kopi untuk menenangkan pikiran dan hatinya.

Sementara itu, Amara menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya hingga kepala. Entah mengapa, ia spontan menarik tubuhnya begitu Fahri mengungkapkan tentang kewajiban suami dan istri. Amara tidak tahu, bagaimana cara menerima ajakan itu tanpa diliputi oleh rasa malu.

Hingga subuh menjelang, Fahri tidak kembali lagi ke kamar Amara. Entah mengapa ada sedikit rasa kecewa di hati Amara. Fahri tidak berusaha membujuk dan merayunya.

Pulang dari masjid, sarapan pagi telah terhidang di meja makan. Bi Ana telah menyiapkan semua kebutuhan Fahri dan Amara.

Mereka duduk berdua menikmati sarapan. Fahri menyendok nasi gorengnya dalam diam. Amara pun sama. Sampai keduanya menyelesaikan sarapan, tidak ada seorang pun yang bicara.

Pukul 07.00, Amara telah bersiap untuk berangkat kuliah. Fahri juga sama. Laki-laki itu telah siap dengan travel bag-nya.

“Aku pamit. Baik-baik di sini. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.” Fahri mengusap kepala Amara yang tertutup hijab sekilas.

“Iya, hati-hati.”

“Pegang ini buat belanja sehari-hari dan juga jajan ke kampus.” Fahri mengambil tangan Amara dan meletakkan sebuah kartu di telapak tangan perempuan itu. Amara menatap Fahri dengan tatapan bingung.

“Tidak usah. Papa sudah meninggalkan uang jajan untuk aku. Lagian seminggu lagi papa dan mama sudah p**ang.” Amara mencoba menolak, tetapi Fahri sudah melepaskan tangannya dari Amara. Sehingga kartu itupun tertinggal di telapak tangan perempuan itu.

“Kamu tahu, kewajiban suami itu memberikan nafkah lahir dan batin pada istrinya. Mungkin aku belum bisa memberikan nafkah batin karena kamu menolaknya. Tetapi, setidaknya izinkan aku memberikan nafkah lahir untumu.”

Amara membeku. Ucapan Fahri menusuk sampai ke relung hatinya.

“Maaf …” Amara sungguh menyesal.

“Tidak apa.” Fahri mencoba tersenyum.

Sudut-sudut mata Amara terasa panas.

Bunyi klakson mobil di luar pagar menyadarkan mereka. Fahri beranjak ke dalam dan pamit pada Bi Ana.

Fahri menyeret travel bag-nya menuju teras. Amara mengikuti dari belakang. Sebelum masuk ke dalam mobil, Fahri menoleh ke belakang. Amara yang juga sedang menatap punggungnya, tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Fahri masuk ke mobil. Supir taksi membantu Fahri memasukkan travel bag-nya ke dalam bagasi.

Mobil bergerak perlahan meninggalkan Amara yang masih berdiri mematung di halaman rumah. Setetes air mata jatuh membasahi p**i mulusnya. Mengapa ada yang terasa ungkai dari hatinya? ‘Akan kah laki-laki itu kembali?’

Bersambung ...

Baca kisah gratisnya dengan klik link di kolom komentar

Address

Jalan MUSEUM KOTA CINA PAYA PASIR MEDAN MARELAN
Medan

Telephone

+6282165427555

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Sablon Kaos Digital Medan posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share