Sablon Kaos Digital Medan

Sablon Kaos Digital Medan Melayani
- Sablon Kaos
- Pembuatan Stempel
- Edit Foto

"Kita punya rumah sendiri mas, kenapa kita masih tinggal di sini?? Ini udah satu bulan, sudah cukup kita tinggal di sini...
01/07/2025

"Kita punya rumah sendiri mas, kenapa kita masih tinggal di sini?? Ini udah satu bulan, sudah cukup kita tinggal di sini," ucapku pada Mas Davin. Aku harus segera membawa suamiku pergi dari sini karena aku merasa benar-benar tidak nyaman dengan tingkah Dinar yang semakin hari semakin tidak masuk akal.

"Tapi--"

"Kalau mas masih mau tinggal di sini, itu terserah mas. Aku akan tetap pergi dari sini," tegasku. Tidak perduli apapun yang terjadi, aku sudah tidak nyaman di tempat ini.

"Baiklah, kita akan pergi dari sini besok, tapi malam ini kita di sini dulu, nggak enak kan sama Mama dan yang lainnya kalau kita pergi malam-malam, apa kata mereka?? Mereka akan berpikir kalau kita sedang bertengkar."

Baiklah, aku menyetujui saran dari mas Davin dan tetap tidur malam ini dirumah orang tuanya, karena aku tidak mau orang-orang mengira kami sedang bertengkar.

Keesokan paginya, aku dan Mas Davin bersiap untuk pamit pada semua keluarga.

"Loh, kalian mau kemana??" Tanya Mama heran ketika sedang bersiap untuk sarapan.

"Aku ... Sama Mas Davin mau pamit ma."

Semua orang diam.

"Aku dan Khalisa mau pamit p**ang ke apartemen kami sendiri ma. Sudah cukup lama kami tinggal di sini."

"Itu terserah kalian, kalian juga punya kehidupan sendiri. Mama nggak keberatan," ujar Mama.

Mama mertuaku itu sangat baik dan menyayangiku sejak dulu dan aku sangat bersyukur karena memiliki ibu mertua seperti Mama.

"Kalau Davin pergi dari sini, terus yang jagain Dinar siapa?? Kalau Dinar sedih, siapa yang mau menghiburnya??" Mbak Sila angkat bicara.

"Dinar bukan an ak kecil lagi. Dia sudah dewasa dan pasti bisa mengatasi semuanya sendiri," jawabku. Lagi p**a kenapa juga kami yang harus memikirkan Dinar?? Wanita itu sudah dewasa dan tidak mungkin terus bergantung pada suamiku.

"Tapi yang bisa menenangkan Dinar itu cuma Davin. Kalau nanti terjadi sesuatu yang bu ruk pada Dinar karena dia sedih bagaimana??"

"Itu bukan tanggung jawab suamiku. Dia bukan istri suamiku, kenapa mas Davin yang harus menenangkan Dinar??"

"Karena cuma Davin yang bisa membuat Dinar melupakan kesedihannya karena kehilangan Fandi. Kamu ngerti sedikit kenapa sih? Eg ois banget jadi orang!!" Mbak Sila terlihat em osi.

"Mbak ... Maaf kalau aku lan cang jawab ucapan mbak, tapi mas Davin itu udah punya istri dan kewajiban mas Davin itu cuma sama aku, bukan sama kakak iparnya."

"Sudah ... Sila, Khalisa benar. Dia dan Davin tidak punya tanggung jawab pada Dinar, jadi biarkan mereka kembali ke apartemen mereka sendiri. Mereka sudah menikah dan mereka juga punya kehidupan mereka sendiri."

"Iya ma ... Tapi kan kondisi Dinar belum pulih betul, dia masih sedih karena kehilangan Fandi, nanti kalau dia sedih dan nggak ada Davin bagaimana??" Kakak iparku itu tetap ngo tot dengan keinginannya yang menginginkan mas Davin tetap di sini.

"Nanti Mama yang akan nemenin Dinar, jadi nggak perlu khawatir. Mama yang akan menghiburnya," kata Mama.

"Sebelum p**ang, kalian sarapan dulu ya."

Baru saja aku dan Mas Davin ingin duduk di kursi, tiba-tiba saja kami mendengar suara berde bum di luar.

"Mbak Dinar!!!!" Pe kik asisten rumah tangga Mama saat itu. Semua orang bangkit dan berlari ke asal suara.

"Mbak Dinar lom pat dari lantai atas!!" Jerit Bibi asisten rumah tangga Mama di sana.

"Dinar!!"

"Dinar!!"

Semua orang me me kik kaget ketika melihat Dinar tergeletak tak sadarkan diri dengan da-rah yang mengalir di sana.

"Dinar!!" Mas Davin ingin berlari tapi aku menahan tangannya.

"Ada Papa dan mas Irfan disini, biar mereka yang membawa Dinar mas," ucapku.

Bukan aku egois dan tidak mementingkan keselamatan orang lain, tapi di sini ada beberapa pria, kenapa harus mas Davin yang menolong Dinar??

"Kamu nggak wa-ras!!! Kamu nggak lihat keadaan Dinar saat ini?? Dia se ka rat dan kamu masih bers*kap keka nak-ka nakan!!" Untuk pertama kalinya mas Davin bicara ka sar dan memben takku, cuma karena Dinar. Kenapa aku merasa Dinar sangat spesial untuk mas Davin??

Aku pun melepaskan tangan mas Davin yang saat itu berlari dan menolong Dinar. Dinar dilarikan kerumah sakit oleh mas Davin dan meninggalkan aku disini.

Hatiku sakit, sangat sakit, kenapa mas Davin sangat perhatian pada Dinar? Dan kenapa Dinar selalu saja membuat ulah ketika aku ingin bersama mas Davin??

"Mungkin aku p**ang sore karena Dinar masih harus di rawat dan menjalani berbagai pemeriksaan," ucap Mas Davin melalui samb**gan telepon saat itu.

"Bukannya kita mau p**ang ke apartemen mas??"

"Ya Tuhan ... Khalisa, Dinar sedang kritis, bagaimana bisa kamu masih memikirkan untuk p**ang ke apartemen?? Kenapa sekarang kamu berubah jadi nggak punya hati nurani??"

*
*
Baca selengkapnya di KBM
Judul: Diam-diam Kita sudah mantan
Aplikasi: KBM
Penulis: Nafisa ica

📸 Belum Punya Foto Keluarga? Tenang, Kami Bisa Bantu!Tak sempat berfoto? Atau salah satu anggota keluarga sudah tiada?Cu...
29/06/2025

📸 Belum Punya Foto Keluarga? Tenang, Kami Bisa Bantu!
Tak sempat berfoto? Atau salah satu anggota keluarga sudah tiada?
Cukup kirim foto wajah masing-masing, kami akan edit dan gab**gkan jadi satu foto keluarga yang indah.

🖼️ Pilihan Layanan:

✨ Edit Saja – Rp 30.000
✔ Kirim foto wajah
✔ Kami edit jadi 1 foto keluarga

🎨 Media Canvas Asli + Bingkai – Rp 200.000
✔ Ukuran 60x40 cm
✔ Edit + Cetak
✔ Free Ongkir

📄 Media Kertas + Bingkai – Rp 130.000
✔ Ukuran 60x40 cm
✔ Edit + Cetak
✔ Free Ongkir

🚫 Mohon Maaf – Kami tidak menerima COD
Karena banyak pemesan PHP 🙏
Proses setelah pembayaran ya kak

📱 Order / Tanya-tanya WA:
0853-8548-3338

Cek hastagh
Banyak customers kami selesai foto tidak mau bayar.

Edit Foto Ala Studio Foto | Rp 15.000 dapat 3 Foto| Selesai Baru Bayar | Maksimal pengerjaan 32 Jam WA 0853-8548-3338
28/06/2025

Edit Foto Ala Studio Foto | Rp 15.000 dapat 3 Foto| Selesai Baru Bayar | Maksimal pengerjaan 32 Jam
WA 0853-8548-3338

PURA-PURA JADI PENGEMISBAB 2Aku masih berdiri terpaku di balik pintu, kamera kecil dari Andra merekam diam-diam dari bal...
28/06/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 2

Aku masih berdiri terpaku di balik pintu, kamera kecil dari Andra merekam diam-diam dari balik jendela mobil. Tapi aku tak lagi peduli soal video atau konten. Mataku tak bisa lepas dari tubuh kurus itu, istriku.

Perempuan yang selama ini kupikir hidup tenang bersama keluargaku, ternyata justru berada dalam neraka di rumah aku sendiri.

Tapi kenapa Mya hanya diam saja? Kenapa dia tidak melapor padaku?

Ya, aku tahu. Waktuku untuk menghub**gi dia hanya satu Minggu sekali. Itu pun melalui ibu. Mya bahkan tidak pernah sama sekali memberiku kabar melalui ponselnya sendiri.

“Cepat ambilkan! Jangan ngajak ribut terus!” bentak Ibu lagi, suaranya makin naik.

“Maaf, Bu. Tapi aku benar-benar capek. Tanganku bahkan masih pegal dari semalam. Aku bukan babu di sini, Bu. Aku ini menantu ibu. Aku—”

Duggg!

Aku tersentak. Kakiku reflek maju satu langkah. Ibu menendang kaki Mya hingga istriku jatuh tersungkur.

"Berani kamu ngelawan? Hah?!" gusar ibu dengan mata nyalang sembari berkacak pinggang.

Istriku meringis kesakitan. Dia terduduk.

Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. Perkataan ibu tak sesuai dengan kenyataan yang selama ini kudengar.

"Bu ... sakit ...," lirih istriku.

“MAKANYA JANGAN BANTAH KALO AKU SURUH!!” pekik Ibu, matanya melotot, napasnya memburu seperti orang kesurupan. “Sadar diri kamu siapa! Kamu cuma numpang di rumah anakku!!”

Mya meringis menahan sakit, kedua tangannya menyangga tubuh lemah yang sudah tak kuat berdiri. Matanya basah. Tapi dia tak menangis.

Dia terlalu kuat, meskipun dunia memperlakukan dia dengan kejam.

"Aku sadar, Bu .... Aku ini cuma menantu yang nggak diinginkan," sahut Mya lagi.

"Nah, itu sadar. Makanya nurut aja apa perintahku. Nggak usah bantah! Mau ngelapor ke Rafa? Nggak akan bisa. Mau pakai apa kamu ngelapor? HP-mu kan diambil sama Damar buat sekolah."

Jadi ... selama ini. Aku ... tak tahan lagi.

Masker itu kulepas, kulempar jauh ke tanah bersamaan dengan rambut palsuku. Napasku memburu seperti menahan gempa dari dalam dadaku sendiri. Kakiku menghentak keras menuju teras.

“IBU, HENTIKAN!!"

Suara teriakku membelah suasana.

Semua menoleh bersamaan. Mya mend**gak. Matanya langsung membulat. Bibirnya bergetar, seolah ingin menyebut namaku tapi terlalu terkejut.

Ibu terbelalak. Wajahnya pucat, dan rautnya berubah seketika dari garang menjadi kaget tak karuan.

“Ra-fa ...?” Ibu tergugu.

Aku menatapnya. Bukan lagi dengan rasa hormat. Bukan lagi dengan kasih anak kepada ibu. Tapi dengan luka yang menganga, yang ditoreh oleh tangan orang yang seharusnya menjagaku dan orang yang kucintai.

"Bu ... Apa yang Ibu lakukan barusan?” suaraku nyaris bergetar. Ada tangis yang tertahan. Aku berusaha tegar, tapi dadaku mendidih.

Ibu buru-buru menurunkan nada bicaranya, mencoba membela diri. “Nak, ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat. Dia itu—”

“Cukup!” potongku tajam.

Aku berlutut dan menggenggam tangan Mya yang gemetar. Kupeluk tubuhnya perlahan, seperti ingin memeluk semua luka yang pernah dia telan diam-diam. Dia mulai terisak di pelukanku.

Tapi Ibu masih belum diam.

“Rafa, kamu terlalu terbawa emosi. Jangan dibutakan cinta. Kamu itu anakku. Bukan suaminya. Aku yang melahirkanmu. Aku yang berhak atas harta kamu, rumah kamu! Dia itu hanya numpang. Hanya istri. Bukan pemilik!"

Aku mend**gak perlahan, menatap langsung ke mata Ibu. Nafasku dalam-dalam, tapi tetap tak bisa meredakan gemuruh amarahku.

“Jadi ... begitu cara Ibu lihat Mya?” tanyaku pelan. “Cuma karena dia bukan pilihan Ibu, Ibu s*k sa dia kayak begini?”

“Kalau aku mau, dari dulu juga bisa aku fitnah dia biar kamu ceraikan!” kata Ibu dengan nada tinggi, tanpa rasa bersalah. “Tapi aku masih punya hati! Syukur-syukur selama ini dia masih bisa tinggal di rumah ini!”

Aku bangkit berdiri.

Kali ini, bukan aku yang gemetar.

Ibu yang terlihat mulai mundur pelan.

“Apa Ibu pikir semua yang aku punya itu hanya milik Ibu? Apa Ibu pikir Ibu bisa main hak atas hidupku?” suaraku tegas. Lebih dingin dari sebelumnya.

Ibu membuka mulut, ingin membalas, tapi aku angkat tangan. Menghentikannya.

“Kalau selama ini Mya tetap diam, itu karena dia menghormati Ibu. Tapi Ibu balas hormat itu dengan kekerasan dan hinaan. Maaf, Bu ... tapi aku nggak akan biarkan itu terjadi lagi. Aku p**ang, dan akan melindungi istriku."

"Oh ... jadi kamu lebih bela istri kamu dari ibu yang sudah melahirkanmu?"

Aku menahan napas, mencoba angkat suara.

"Iya. Aku ingin hidup berdua dengan istriku. Bukan dengan kalian lagi," jawabku tegas.

"Kalau begitu, kamu bayar tanah tempat rumahmu ini berdiri kokoh. Kamu harus bayar dua miliyar! Kalau kamu nggak bisa bayar, jadi aku dan adik-adikku berhak tinggal di atas tanah ayah mereka."

Aku tersentak mendengar ibu. Du-a milyar?

Next?

Penulis Linda M
Cari di kbm app, ya.

Klik link buat baca

pura-pura jadi pengemis - Linda M
Aku pura-pura jadi pengemis saat p**ang dari Jepang. Aku ingin memberi kejutan kepada ibu dan istrik...

MARBOT ITU TERNYATA SULTANPART 7PENULIS NAYA RNovel ini sudah tamat di KBM APPSep**ang dari shalat zuhur di masjid, Fahr...
28/06/2025

MARBOT ITU TERNYATA SULTAN
PART 7
PENULIS NAYA R

Novel ini sudah tamat di KBM APP

Sep**ang dari shalat zuhur di masjid, Fahri menelepon Pak Aryo, papa mertuanya. Fahri menceritakan jika papanya sedang sakit dan ia harus p**ang menemui kedua orang tuanya. Fahri mengatakan jika ia belum bisa membawa Amara ikut bersamanya.

Selain karena Amara kuliah, Fahri juga akan menyelesaikan banyak hal di kotanya. Dan yang paling utama, tentu saja karena Fahri belum bercerita jika ia telah menikah. Fahri merasa perlu waktu untuk menjelaskan tentang Amara kepada kedua orang tuanya.

Pak Aryo mengizinkan Fahri untuk p**ang. Pak Aryo mengatakan akan segera menelepon Bi Ana dan meminta wanita paruh baya itu untuk segera kembali ke rumah menemani Amara. Fahri merasa tenang meninggalkan Amara jika ada yang menemani.

Jauh di dasar hatinya, Fahri sebenarnya tidak ingin p**ang menemui kedua orang tuanya. Setelah apa yang terjadi dua tahun lalu, Fahri bertekad untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi, Fahri tidak ingin menjadi anak durhaka. Ketika disuruh pergi, ia pergi. Dan ketika disuruh p**ang, ia juga akan p**ang.

Ketika makan siang, Fahri menceritakan kepada Amara jika ia harus p**ang untuk beberapa waktu ke rumah orang tuanya. Amara hanya mengangguk dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca oleh Fahri.

Tiga minggu menikah, hub**gan mereka masih tidak ada kemajuan. Fahri telah berusaha untuk memangkas jarak di antara mereka. Tetapi, Amara seperti tidak terjangkau. Perempuan itu masih asyik dengan dunianya sendiri.

Kehadiran Fahri seakan tidak berarti apa-apa untuknya. Dia hanya datang ketika membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Fahri. Namun, Fahri akan selalu bersabar. Ia telah menjatuhkan pilihan, maka ia akan menjaga dan memperjuangkan pilihannya itu.

Esok hari, Bi Ana datang dengan sekardus oleh-oleh. Ada pisang, kerupuk, wingko, sampai bandeng. Fahri menyambut Bi Ana dan meminta maaf karena perempuan yang telah mengasuh Amara dari kecil itu harus p**ang lebih awal dari yang disepakati dengan Pak Aryo dan Bu Ayunda.

Tetapi, Bi Ana mengatakan, jika ia memang sudah rindu untuk kembali ke rumah ini. Berada di kampung membuat wanita sederhana itu merasa suntuk, karena ketiga anak-anaknya telah berkeluarga semua dan tinggal di kampung terpisah.

Malam hari, setelah Fahri membereskan beberapa pakaiannya, Fahri masuk ke kamar Amara. Amara terlihat telah tidur dengan lelap. Fahri menghela napas berat. Sebenarnya, Fahri sangat berharap, sebelum mereka berpisah, ia dan Amara bisa menciptakan sebuah kenangan indah yang akan menjadi pengikat hati dan raga mereka.

Fahri berbaring di samping Amara. Diusapnya rambut Amara dengan lembut. Pelan ditepuk-tepuknya p**i istrinya itu. Amara menggumam tidak jelas.

“Amara.”

Amara yang merasa diganggu membuka matanya perlahan.

“Kamu ngantuk, ya?”

“Hhmm.” Amara memutar tubuhnya membelakangi Fahri. Lagi-lagi Fahri menarik napas dalam.

“Amara, besok aku sudah harus pergi. Aku nggak tahu berapa lama aku bisa kembali. Tidak kah kamu ingin kita saling menunaikan kewajiban sebagai suami istri?” Fahri berucap dengan hati-hati.

Amara meremas selimutnya dengan kuat. Ucapan Fahri membuat dadanya berdetak kencang. Mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu gugup? ‘Apakah mereka akan melakukannya malam ini? Bagaimana jika Fahri pergi dan tidak pernah kembali lagi? Bagaimana jika ini adalah pertemuan terakhir mereka?’

Amara tidak mengenal orang tua Fahri. Tidak mengenal sanak saudaranya. Tidak tahu di mana rumahnya. Kalau hub**gan satu malam ini tiba-tiba membuat ia hamil, apa yang akan dilakukannya nanti? Berbagai pikiran negatif memenuhi rongga dada Amara. Membuat dada Amara terasa sesak.



“Kita shalat sunnah dulu, yuk.”

Fahri kembali mengusap kepala Amara dengan lembut. Tanpa sadar, Amara menarik tubuhnya menjauh. Tangan Fahri menggantung di udara. Sikap Amara telah menunjukkan penolakan perempuan itu kepadanya. Fahri merasakan dadanya bergemuruh. Rasa kecewa, malu, dan amarah menyatu jadi satu.

Hampir tiga minggu ia menunggu Amara siap menerimanya. Tidak kah waktu selama itu cukup bagi seorang perempuan untuk mempersiapkan diri? Amara bukan anak kecil lagi. Usianya sudah cukup dewasa untuk mengerti apa kewajiban seorang istri terhadap suami.

Fahri akhirnya bangun dan turun dari tempat tidur. Ia tidak ingin rasa marah menguasai hatinya sampai pagi. Walau bagaimanapun, ia telah memilih Amara sebagai pendamping hidupnya. Itu artinya, ia harus bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan istrinya itu.

Fahri ke luar dari kamar dan berjalan ke dapur. Tiba-tiba ia ingin minum kopi untuk menenangkan pikiran dan hatinya.

Sementara itu, Amara menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya hingga kepala. Entah mengapa, ia spontan menarik tubuhnya begitu Fahri mengungkapkan tentang kewajiban suami dan istri. Amara tidak tahu, bagaimana cara menerima ajakan itu tanpa diliputi oleh rasa malu.

Hingga subuh menjelang, Fahri tidak kembali lagi ke kamar Amara. Entah mengapa ada sedikit rasa kecewa di hati Amara. Fahri tidak berusaha membujuk dan merayunya.

Pulang dari masjid, sarapan pagi telah terhidang di meja makan. Bi Ana telah menyiapkan semua kebutuhan Fahri dan Amara.

Mereka duduk berdua menikmati sarapan. Fahri menyendok nasi gorengnya dalam diam. Amara pun sama. Sampai keduanya menyelesaikan sarapan, tidak ada seorang pun yang bicara.

Pukul 07.00, Amara telah bersiap untuk berangkat kuliah. Fahri juga sama. Laki-laki itu telah siap dengan travel bag-nya.

“Aku pamit. Baik-baik di sini. Kalau ada apa-apa, hub**gi aku.” Fahri mengusap kepala Amara yang tertutup hijab sekilas.

“Iya, hati-hati.”

“Pegang ini buat belanja sehari-hari dan juga jajan ke kampus.” Fahri mengambil tangan Amara dan meletakkan sebuah kartu di telapak tangan perempuan itu. Amara menatap Fahri dengan tatapan bingung.

“Tidak usah. Papa sudah meninggalkan uang jajan untuk aku. Lagian seminggu lagi papa dan mama sudah p**ang.” Amara mencoba menolak, tetapi Fahri sudah melepaskan tangannya dari Amara. Sehingga kartu itupun tertinggal di telapak tangan perempuan itu.

“Kamu tahu, kewajiban suami itu memberikan nafkah lahir dan batin pada istrinya. Mungkin aku belum bisa memberikan nafkah batin karena kamu menolaknya. Tetapi, setidaknya izinkan aku memberikan nafkah lahir untumu.”

Amara membeku. Ucapan Fahri menusuk sampai ke relung hatinya.

“Maaf …” Amara sungguh menyesal.

“Tidak apa.” Fahri mencoba tersenyum.

Sudut-sudut mata Amara terasa panas.

Bunyi klakson mobil di luar pagar menyadarkan mereka. Fahri beranjak ke dalam dan pamit pada Bi Ana.

Fahri menyeret travel bag-nya menuju teras. Amara mengikuti dari belakang. Sebelum masuk ke dalam mobil, Fahri menoleh ke belakang. Amara yang juga sedang menatap punggungnya, tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Fahri masuk ke mobil. Supir taksi membantu Fahri memasukkan travel bag-nya ke dalam bagasi.

Mobil bergerak perlahan meninggalkan Amara yang masih berdiri mematung di halaman rumah. Setetes air mata jatuh membasahi p**i mulusnya. Mengapa ada yang terasa ungkai dari hatinya? ‘Akan kah laki-laki itu kembali?’

Bersamb**g ...

Baca kisah gratisnya dengan klik link di kolom komentar

Setahun kutinggal, putriku sudah menggend**g bayi. Padahal dia masih gadis! Saat kutanya siapa ayahnya, dia malah menang...
28/06/2025

Setahun kutinggal, putriku sudah menggend**g bayi. Padahal dia masih gadis! Saat kutanya siapa ayahnya, dia malah menangis. Ternyata ....(4)
___

"Iya, Darmadi rekan bisnismu yang gila perempuan itu, Mas."

Melinda memberikan bayi itu pada baby sitter-nya. Setelah itu, ia merangkul tanganku menuju kamar. Sedangkan aku, masih diam, memikirkan perkataan Melinda.

Darmadi Utomo. Seorang pebisnis yang usianya sudah cukup tua. Bahkan jika dibandingkan denganku, jelas masih tua dirinya. Selain itu, ia memiliki banyak istri. Meski begitu, semua istrinya begitu akur. Mungkin karena kelebihan harta yang dia berikan.

Sesampainya di kamar, Melinda mengajakku duduk di tepi ranjang. Ia menghela napasnya sejenak, kemudian mengelus pelan tanganku. "Dengar, Mas. Mau bagaimana pun, hidup Nayara harus tetap berjalan. Dia nggak mungkin terus-menerus mengurung dirinya di kamar pembantu seperti itu. Lagip**a, bayi itu juga butuh pengakuan, Mas. Dia tetap keturunanmu, keturunan kita. Masa harus diumpetin terus?"

Aku membuang muka.

Menikahkan Nayara? Ide itu tidak pernah terlintas di kepala. Apalagi mengingat usia Nayara yang masih sangat muda. Terlebih, dengan lelaki tua? Oh, ayolah. Itu sama saja membuatku malu dan merasakan sakit hati untuk kedua kalinya.

"Mas ...."

Suara Melinda berhasil membuyarkan lamunanku.

Aku menghela napas panjang. "Dengar, Melinda. Menikahkan Nayara dengan Darmadi, sama saja dengan mempermalukan diriku sendiri. Jika ujungnya tetap seperti itu, lebih baik aku usir aja anak tidak tahu diri itu. Tidak peduli meski semua dunia tahu apa yang telah ia perbuat selama aku tidak ada di sampingnya."

Aku bangkit. Rasanya muak sekali membahas masalah Nayara di pagi-pagi buta begini.

"Tapi, Mas." Melinda meraih pergelangan tanganku. "Hidup Nayara harus tetap berjalan 'kan?"

Aku melepaskan tangan Melinda dariku. "Ya, dan kalaupun dia memang harus dinikahkan, aku akan mencari tahu siapa lelaki yang telah menghamilinya, bukan dengan lelaki gila perempuan seperti Darmadi!"

Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi menuju kamar mandi. Hari ini, aku ada jadwal di kantor. Sebenarnya ada hal yang harus aku urus hingga membuatku p**ang. Namun, gara-gara masalah Nayara, semuanya malah menjadi kacau dan terbengkalai.

***

"Mas, kita sarapan dulu, ya."

Aku yang sudah siap mengenakan setelan kantor, menatap tidak minat ke arah Melinda, apalagi melihat di sampingnya ada Nayara yang sedang makan juga.

"Tidak usah. Aku makan di luar saja."

Kulangkahkan kaki ini menjauh dari mereka.

Nayara, entah mau seberapa kali kamu mengucapkan maaf, rasanya semua itu tidak akan ada gunanya. Rasa sakit itu tidak bisa dihilangkan begitu saja.

"Jalan!" ucapku pada supir setelah berada di dalam mobil.

Tidak butuh lama, mobil ini pun berhasil membawaku ke kantor. Baskara International Holdings. Itulah nama yang tertera di kantor tersebut. Sebuah perusahaan yang aku bangun sejak masih dengan istri pertamaku dulu.

Di depan sana, beberapa karyawan terlihat menyambut kehadiranku. Red karpet menjuntai saat supir membukakan pintu mobil.

"Selamat datang kembali Pak Satria, kantor ini terasa hampa tanpa Bapak."

Bram, direktur operasional yang selama ini memimpin selama aku di London menyambutku dengan hangat.

Aku tersenyum tipis. "Kalau kantor ini hampa, berarti kalian tidak bekerja cukup keras."

Suasana tiba-tiba mendadak canggung. Namun, aku tidak peduli. Hingga tiba-tiba, Reno, asisten pribadi yang selama ini menjadi tangan kananku melangkah mendekat dengan iPad di tangan.

"Saya sudah siapkan laporan rekap satu tahun terakhir, Pak. Agenda meeting pertama jam sepuluh."

"Baik, terima kasih."

***

"Satria ...?"

Saat jam makan siang, aku memutuskan untuk makan di luar. Restoran mewah yang sedikit jauh dari kantor. Tidak diduga, aku malah bertemu dengan Angga, temanku saat baru merintis sekaligus orang tua dari temannya Nayara.

"Apa kabar, Lo?"

Aku bangkit lantas berjabat tangan dengannya.

"Baik. Lo gimana?"

Ia tertawa hambar. "Baik. Btw makin keren aja, Lo. Gimana di London, lancar semuanya?"

Aku mengangguk samar. "Ya, lancar. Nggak ada masalah, sih, di sana nyaman."

Setelah itu, aku mempersilakan ia untuk duduk dan memesankan sebuah makanan untuknya juga. Tanpa adanya rencana, kami pun makan siang bersama.

Selang beberapa menit, ia berdehem pelan. "Oh, ya, gimana kabar Nayara?"

Aku mengerutkan kening heran. "Kabar Nayara?"

Untuk apa Angga menanyakan kabar Nayara? Apa jangan-jangan dia tahu sesuatu tentang apa yang dialami putriku itu?

"Ya. Udah lama 'kan dia nggak main ke rumah. Dania selalu nanyain tuh. Nggak punya temen sekarang dia."

Aku menghela napas lega. Rupanya hanya karena itu. Aku pikir Angga mengetahui sesuatu.

Aku diam sejenak.

Apa menceritakan masalah itu pada Angga tidak akan terjadi apa-apa?

"Jadi, gimana?"

Suara Angga membuyarkan lamunanku.

"Ah, iya. Dia baik, kok." Aku tersenyum canggung.

"Betah dia di London?" tanya Angga membuatku kembali mengerutkan kening heran. "Eh, dia ikut p**ang juga atau tetap tinggal di sana?"

Kepalaku tiba-tiba serasa mau pecah. Ingin makan untuk melupakan segalanya, malah bertemu Angga dengan banyak pertanyaannya. Apa jangan-jangan, Melinda mengarang sesuatu untuk menutupi kehamilan Nayara selama ini?

Aku meneguk ludah susah payah. "Ya, dia ikut p**ang kemarin."

"Oh, bisa, d**g, gue sekeluarga main ke rumah kalian?" ucap Angga terdengar antusias. "Anak gue kangen banget sama Nayara, padahal baru sebulan ditinggal, ya, tapi kek udah bertahun-tahun aja tuh anak!"

Deg.

"Satu bulan?"

"Ya. Baru satu bulan ini dia nyusul Lo ke London, kan?" ucap Angga. "Kata anak gue, dia mau lanjut sekolah di sana. Eh, ternyata udah p**ang aja. Apa sekarang kalian di sini sebentar, ya?"

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Itu artinya anak Lo ketemu sama Nayara sebulan sebelum dia ke London?"

"Iyalah. Kan mereka sahabatan. Apa-apa pasti pamitan dulu. Lo aneh, deh!"

Tidak mungkin. Itu artinya, anaknya Angga tahu kalau perut Nayara saat itu sudah membesar? Atau jangan-jangan ....

Baca selengkapnya di kbm app
Bayi di Pangkuan Putriku karya LaylaAmelia

RESEP SAMBAL TERASI ENAKBahan :- 10 buah cabai merah keriting- 10 buah cabai rawit- 3 siung bawang merah- 2 siung bawang...
28/06/2025

RESEP SAMBAL TERASI ENAK

Bahan :
- 10 buah cabai merah keriting
- 10 buah cabai rawit
- 3 siung bawang merah
- 2 siung bawang putih
- 1/2 buah terasi (ABC digoreng)
- 3 buah tomat (yg kecil)
- 1/2 buah gula merah
- 1/4 sdt gula putih
- 1 sdt peres garam
Cara Membuat :
1. Goreng cabai merah, cabe rawit, bawang merah, bawang putih sampai agak layu, angkat kemudian di ulek bersama gula, garam, terasi goreng
2. Goreng tomat sampai layu dgn api kecil (jgn sampai gosong krn akan mempengaruhi rasa)
3. Tambahkan tomat yg sudah digoreng ke dlm ulekan, ulek lg tp jgn terlalu halus.
4. Sambal siap dihidangkan

Aira ping san setelah kecapekan mengha jar Zaki dengan memba bi bu ta. Setelah memastikan kondisi Aira baik-baik saja. A...
28/06/2025

Aira ping san setelah kecapekan mengha jar Zaki dengan memba bi bu ta. Setelah memastikan kondisi Aira baik-baik saja. Aizar mendekat ke arah Zaki dan Wina yang tengah diobati oleh perawat.

“Pak, Bu~ kondisi men tal bu Aira sedang tergun cang, saya harap ibu dan bapak maklum. Bu Aira butuh dukungan dan support dari orang-orang terdekatnya,” ucap Aizar.

“Baik Dok,” jawab Zaki sementara Wina hanya mendeng kus ke sal.

Hari ke Empat setelah operasi, Aira diperbolehkan untuk p**ang ke rumahnya. Hingga saat ini Aira mengunci mulutnya dan tidak berkeinginan untuk berkomunikasi dengan Zaki maupun ibu mertuanya. Bahkan saat warga kampung dan tetangga mereka menengok, Aira hanya diam dan sama sekali tidak membuka mulutnya.

Zaki menatap Aira yang kini berbaring di kasur membelakanginya. Rasa bersalah tentu bersarang dalam hatinya, jika saja dia tidak memaksakan keinginannya agar putranya terlahir normal, mungkin saat ini mereka sedang bahagia menimang buah hati mereka.

“Maafkan Mas, Sayang~” Zaki mengusap kepala Aira dengan lembut.

“Apa dengan kata maaf dari Mas, bisa mengembalikan putra kita? Apa hanya dengan ucapan maaf, Mas bisa mengembalikan ra him aku yang sudah diangkat?” tanya Aira dengan suara dingin.

Zaki menghela nafas panjang, lidahnya membeku dan tidak bisa membalas ucapan Aira.

“Kamu istirahat, kalo butuh apa-apa kasih tau Mas!” Zaki memilih meninggalkan Aira di kamar daripada mendengar ucapan ta jam dari Aira.

“Mas~ ibu bilang Mbak Aira jadi gi la?” tanya Zaskia saat Zaki keluar dari kamar.

“Dijaga mu lut kamu!” tegur Zaki.

“Ibu yang bilang kok, katanya Mbak Aira ngamuk di rumah sakit!” Zaksia mengendikkan bahunya cuek.

“Itu karena dia kehilangan ba yinya,” ucap Zaki.

“Cih! Itu pasti karma dari aku! Coba pas itu Mbak Aira beliin aku iphone, pasti an aknya selamat!” decih Zaskia.

“Ssstt! Kamu ngomong jangan kenceng-kenceng, ntar kalo si Aira nga muk kan repot!” Wina memperingati putrinya. Dia sungguh takut Aira kembali menga muk seperti di rumah sakit.

“Kamu kalo cuman mau ngerecokin, p**ang aja sana!” Zaki juga lelah, dia ingin beristirahat.

“Kak, kan a nak Kakak udah ma ti, u ang buat lah iran sama beli perlengkapan ba yinya beliin iphone d**g!” pinta Zaksia tidak tahu malu.

Klontang! Tiba-tiba pajangan kayu seukuran kepalan tangan mela yang ke kepala Zaskia hingga wanita berusia Dua puluh tahun itu meme kik kesa kitan.

Aira berdiri di depan pintu kamar sambil menatap nya lang Zaskia yang kini sedang berter iak kesa kitan sambil memegang kepalanya.

“Kamu kalo mau Iphone kerja! Jangan minta-minta terus kayak penge mis! Ju al diri kan bisa?” Aira menatap Zaskia penuh em osi.

“Apa Mbak bilang?” te riak Zaskia.

“Bu! Bawa Zaskia p**ang!” pinta Zaki.

“Aku gak mau p**ang! Aku harus kasih pelajaran sama cewek gi la itu! Liat Bu, jidat aku ben jol!” protes Zaskia saat Wina menarik tangannya untuk keluar rumah.

“Ayo p**ang! Men tal Aira lagi gak stabil!” ucap Wina.
Aira kini meraih remot yang tergeletak di bufet, Zaki dengan sigap memegang tangan Aira sebelum remot TV mela yang ke wajah Zaskia.

“Dasar cewek gi la! Aku pastiin Mas Zaki cerein kamu karena Kamu udah enggak bisa lagi punya an ak!” teriak Zaskia.

“Ha ha ha ha,” Aira malah tertawa sangat kencang mendengar ucapan Zaskia.
Aira mendekat ke arah Zaskia dan mengangkat sebelah garis bi birnya. “Apa kamu tahu, kakak kamu menderita Zero spe*rma?” tanya Aira yang membuat Zaskia dan Wina membolakan matanya.

“Tujuh dari Sepuluh s*erma Zaki itu ko song, dan Tiga lainnya berenang sangat lemah. Butuh perjuangan ekstra keras supaya sp*rma milik Zaki bisa membu ahi sel te lur. Apa istri barunya nanti bisa sesabar aku yang menjalani program keha milan yang sudah diluar na lar!” Aira kini tidak lagi menutupi ai b suaminya.

“A—apa maksud kamu Aira?” gagap Wina.

“Selama Tiga tahun aku selalu diam saat Ibu menyebutku man dul, tapi kenyataannya akan kebanggan ibu yang sper*manya le toy!” ucap Aira penuh penghi naan.

“Cukup AIRA!” Zaki menarik lengan Aira dengan em osi.

“Pergi Bu! Kia!” pinta Zaki.

Wina dan Zaskia lalu keluar dari rumah Zaki dengan memban ting pintu. Ibu dan ana k itu pergi sambil misuh-misuh dengan su mpah sera pah yang keluar dari mulut mereka.

“Apa sekarang kamu mau mengumumkan tentang ai b aku?” tanya Zaki dengan nada dingin.

“Hah! Kenapa? Malu? Ibu dan adik kamu juga sudah menyebarkan kabar kalau aku kini tidak memiliki ra him lagi. Semua warga di kampung ini mengirim pesan bertanya tentang kebenaran kabar ini padaku!” desis Aira.

“Selama ini ibu dan adik kamu selalu menyebut aku man dul di setiap giba han dan go sip mereka. Apa kamu pernah menegur mereka? Apa kamu pernah membela aku dan menyebut aku su bur dan tidak ada masalah dengan kan dungan ku? Kamu hanya pura-pura tidak tahu dan tutup mata karena takut orang-orang curiga kamu yang bemasalah!” pek ik Aira.

Zaki b**g kam. Dia mengakui tidak pernah membela istrinya saat semua orang menyebutnya man dul. Har ga diri Zaki terlalu tinggi dan enggan mengakui kalau dirinyalah yang bermasalah karena memiliki spe*rma yang kurang berkualitas.

“Maaf Aira~” lirih Zaki.

“Aku mu ak mendengar permintaan maaf dari kamu Mas!” Aira mena brak bahu Zaki dan kembali ke kamarnya.

Selama ini Aira sangat lembut dalam bertutur kata, walau Aira bisa bers*kap tegas namun Aira tidak pernah sampai membe ntak atau mengeluarkan kata-kata kasar. Namun setelah kehilangan an ak dan ra himnya, s*kap Aira berubah Seratus Delapan puluh derajat.

**
Judul buku : Rah im Yang Tereng gut.
Penulis : Jenny_Kim
Aplikasi KBM

Address

Medan

Telephone

+6282165427555

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Sablon Kaos Digital Medan posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share