MedKamp

MedKamp Media dari Kampung

TERIMA KASIH BANYAK PAK šŸ«”šŸ«”šŸ™šŸ˜Ÿ PANTAS SAJA BPK MENUNDA STATUS BENCANA NASIONAL šŸ¤” BIAR TDK KETAHUAN DUNIA.Presiden Prabowo ...
22/12/2025

TERIMA KASIH BANYAK PAK šŸ«”šŸ«”šŸ™šŸ˜Ÿ PANTAS SAJA BPK MENUNDA STATUS BENCANA NASIONAL šŸ¤” BIAR TDK KETAHUAN DUNIA.

Presiden Prabowo Subianto ternyata memiliki beberapa perusahaan yang dibergerak di pertambangan, perkebunan, dan perikanan.
Dilansir dari laman investasiku.id, Jumat (5/12/2025),

Prabowo Subianto memiliki 10 perusahaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Aceh sekitar 97.300 hektar.
PT Tusam Hutani Lestari (THL) bergerak di sektor kehutanan. Wilayah operasinya berada di Aceh Tengah, Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Utara.
Perusahaan ini telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri berdasarkan SK.556/KptsII/1997.
Melalui izin tersebut, menyatakan bahwa luas area kerja perusahaan ini sekitar 97.300 hektar. Izin usaha tersebut akan berakhir pada tahun 2035.

*Lemahnya Partisipasi Masyarakat Bawah dalam Pembangunan di Daerah Papua dan Hambatan Pemerintah Daerah dalam Pendekatan...
21/12/2025

*Lemahnya Partisipasi Masyarakat Bawah dalam Pembangunan di Daerah Papua dan Hambatan Pemerintah Daerah dalam Pendekatan Kontekstual*

MedKamp

*Pendahuluan*

Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat utama pembangunan yang demokratis, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dalam konteks Papua, partisipasi masyarakat khususnya masyarakat bawah dan masyarakat adat seharusnya menjadi fondasi utama pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Namun, realitas pembangunan di Papua menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat bawah masih lemah dan cenderung bersifat formalistik.
Kelemahan ini sering disederhanakan sebagai rendahnya kapasitas masyarakat, padahal akar persoalannya justru terletak pada *kegagalan pemerintah daerah mengembangkan pendekatan pembangunan yang kontekstual,* yaitu pendekatan yang selaras dengan struktur sosial, budaya, dan sistem nilai masyarakat Papua. Esai ini bertujuan menganalisis lemahnya partisipasi masyarakat bawah di Papua dengan menyoroti hambatan struktural dan institusional yang dihadapi pemerintah daerah dalam menerapkan pendekatan kontekstual.

*Kerangka Teoretis Partisipasi dalam Pembangunan*

Secara teoritis, partisipasi masyarakat dipahami sebagai keterlibatan aktif warga dalam seluruh siklus pembangunan—mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi (Cornwall, 2008). *Arnstein* (1969) melalui _Ladder of Citizen Participation_ membedakan partisipasi semu _*(tokenism)*_ dari partisipasi substantif yang melibatkan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan.

Sementara itu, *Robert Chambers* (1994) menekankan pentingnya pendekatan partisipatif berbasis pengetahuan lokal _(local knowledge)_ , yang memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Dalam perspektif *Capability Approach* (Sen, 1999), pembangunan seharusnya memperluas kebebasan dan kemampuan masyarakat untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, bukan sekadar memenuhi indikator administratif negara.

Kerangka teoritis ini relevan untuk Papua, mengingat masyarakat Papua memiliki sistem sosial komunal, struktur adat yang kuat, serta relasi spiritual dengan tanah dan alam yang tidak dapat direduksi dalam logika pembangunan teknokratis.

*Konteks Papua dan Otonomi Khusus*

Pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (dan perubahannya melalui UU No. 2 Tahun 2021) dimaksudkan untuk mengoreksi ketimpangan pembangunan sekaligus memberikan ruang lebih besar bagi masyarakat asli Papua sebagai subjek pembangunan. Otsus secara normatif mengamanatkan:
- Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat
- Pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan
- Pembangunan berbasis kebutuhan dan konteks lokal

Namun, setelah lebih dari dua dekade implementasi Otsus, berbagai indikator menunjukkan bahwa hasil pembangunan belum sebanding dengan besarnya kewenangan dan dana yang dialokasikan. Tingginya angka kemiskinan, rendahnya IPM, serta konflik sosial terkait pembangunan mengindikasikan adanya masalah mendasar dalam proses partisipasi masyarakat.

*Lemahnya Partisipasi Masyarakat Bawah di Papua.*

_*1. Partisipasi yang Bersifat Formalistik.*_

Di tingkat daerah dan kampung, mekanisme partisipasi seperti Musrenbang sering berlangsung sebagai prosedur administratif. Masyarakat hadir secara fisik, tetapi tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keputusan akhir. Agenda pembangunan umumnya telah disusun oleh elite birokrasi atau aktor politik lokal.
Fenomena ini mencerminkan apa yang oleh Arnstein disebut sebagai tokenism, di mana partisipasi hanya menjadi legitimasi kebijakan, bukan sarana demokratisasi pembangunan.

_*2. Marginalisasi Pengetahuan dan Struktur Adat*_

Sistem musyawarah adat, peran kepala suku, para-para adat, dan mekanisme konsensus tradisional jarang dijadikan rujukan utama dalam perencanaan pembangunan. Pemerintah daerah cenderung memaksakan model perencanaan nasional yang seragam, sehingga pengetahuan lokal masyarakat Papua dipinggirkan.
Akibatnya, banyak program pembangunan tidak sesuai kebutuhan riil masyarakat dan gagal berkelanjutan.

_*3. Ketimpangan Relasi Kekuasaan*_

Masyarakat bawah terutama perempuan, pemuda adat, dan marga kecil berada pada posisi subordinat dalam struktur pengambilan keputusan. Kekuasaan terkonsentrasi pada elite politik lokal dan birokrasi daerah, yang seringkali menjadikan pembangunan sebagai arena distribusi kepentingan, bukan pelayanan publik.

*Hambatan Pemerintah Daerah dalam Pendekatan Kontekstual*

_*1. Dominasi Paradigma Pembangunan Top-Down*_

Pemerintah daerah masih kuat dipengaruhi paradigma pembangunan sentralistik dan teknokratis. Keberhasilan pembangunan diukur melalui serapan anggaran dan output fisik, bukan kualitas partisipasi masyarakat.
Pendekatan ini bertentangan dengan realitas Papua yang membutuhkan dialog sosial dan waktu panjang untuk membangun kepercayaan.

_*2. Keterbatasan Kapasitas dan Sensitivitas Budaya*_

Banyak aparat pemerintah daerah tidak memiliki pemahaman memadai tentang budaya, bahasa, dan struktur sosial lokal. Hal ini menyebabkan komunikasi pembangunan tidak efektif dan menimbulkan jarak antara negara dan masyarakat.

_*3. Ketidaksinkronan antara Regulasi dan Implementasi Otsus*_

Meskipun UU Otsus memberikan landasan hukum bagi partisipasi masyarakat adat, implementasinya sering tidak konsisten. Pengakuan adat bersifat simbolik dan tidak diikuti dengan pelibatan nyata dalam pengambilan keputusan strategis, termasuk pengelolaan dana Otsus dan pembangunan berbasis wilayah adat.

*Implikasi terhadap Pembangunan di Papua*

Lemahnya partisipasi masyarakat bawah dan kegagalan pendekatan kontekstual berdampak langsung pada:
- Rendahnya rasa memiliki terhadap program pembangunan
- Meningkatnya resistensi dan konflik sosial
- Tidak berkelanjutannya proyek pembangunan
- Reproduksi ketimpangan struktural antara negara dan masyarakat Papua

Pembangunan kemudian dipersepsikan sebagai proyek negara, bukan proses kolektif masyarakat.

*Kesimpulan*

Lemahnya partisipasi masyarakat bawah dalam pembangunan di Papua bukan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat, melainkan oleh kegagalan struktural pemerintah daerah dalam menerapkan pendekatan pembangunan yang kontekstual. Meskipun Otonomi Khusus menyediakan kerangka hukum yang progresif, praktik pembangunan masih didominasi pendekatan top-down yang mengabaikan struktur sosial dan pengetahuan lokal masyarakat Papua.
Oleh karena itu, penguatan partisipasi masyarakat bawah di Papua mensyaratkan perubahan paradigma pembangunan: dari birokratis ke deliberatif, dari formalistik ke substantif, dan dari sentralistik ke berbasis adat dan komunitas. Tanpa perubahan mendasar ini, pembangunan di Papua akan terus mengalami stagnasi dan kehilangan legitimasi sosial.

_**Daftar Pustaka**_

- Arnstein, S. R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35(4), 216–224.
- Chambers, R. (1994). Participatory Rural Appraisal (PRA): Challenges, Potentials and Paradigms. World Development, 22(10), 1523–1542.
- Cornwall, A. (2008). Unpacking ā€˜Participation’: Models, Meanings and Practices. Community Development Journal, 43(3), 269–283.
- Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21 Tahun 2001.

Berdamai dengan Alam: Kritik Ekologis terhadap Ekspansi Sawit, Pertambangan, dan Program Swasembada Pangan di Indonesia....
18/12/2025

Berdamai dengan Alam: Kritik Ekologis terhadap Ekspansi Sawit, Pertambangan, dan Program Swasembada Pangan di Indonesia.

Krisis ekologis yang terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah adat seperti Papua, tidak dapat dilepaskan dari model pembangunan yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi ekonomi. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan skala besar, serta program swasembada pangan nasional sering dipromosikan atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan tersebut justru memperdalam kerusakan lingkungan, merampas ruang hidup masyarakat adat, dan memicu konflik sosial. Esai ini menggunakan kerangka teori berdamai dengan alam yang mencakup ekologi dalam, etika lingkungan, ekologi politik, dan kearifan lokal masyarakat adat untuk mengkritisi paradigma pembangunan ekstraktif tersebut. Tulisan ini berargumen bahwa swasembada dan pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keadilan ekologis pada hakikatnya merupakan bentuk kolonialisme ekologis modern.

Kata kunci: berdamai dengan alam, sawit, pertambangan, swasembada pangan, kolonialisme ekologis, masyarakat adat.

Pendahuluan

Pembangunan modern sering dipahami sebagai proses penaklukan alam demi memenuhi kebutuhan ekonomi manusia. Paradigma ini berakar pada pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas alam (White, 1967). Di Indonesia, paradigma tersebut terejawantahkan dalam ekspansi industri ekstraktif seperti kelapa sawit dan pertambangan, serta program swasembada pangan nasional yang berbasis pada pembukaan lahan besar-besaran.

Di Papua dan wilayah adat lainnya, pembangunan semacam ini tidak hanya berdampak pada degradasi ekologis, tetapi juga mengancam eksistensi sosial, budaya, dan spiritual masyarakat adat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif yang tidak sekadar berbicara tentang pengelolaan sumber daya, tetapi tentang relasi etis dan politik antara manusia dan alam yakni teori berdamai dengan alam.

Kerangka Teoretis, Berdamai dengan Alam

Teori berdamai dengan alam berpijak pada beberapa pendekatan utama. Pertama, ekologi dalam (deep ecology) yang dikembangkan Arne Naess menegaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia (Naess, 1973). Kedua, etika lingkungan menekankan tanggung jawab moral manusia terhadap alam dan generasi mendatang (Leopold, 1949). Ketiga, ekologi politik melihat kerusakan lingkungan sebagai hasil relasi kuasa yang timpang antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal (Bryant & Bailey, 1997).

Dalam konteks masyarakat adat, berdamai dengan alam juga berakar pada kosmologi lokal, di mana tanah, hutan, sungai, dan gunung dipandang sebagai ruang hidup yang sakral dan terhubung dengan leluhur. Dengan demikian, konflik ekologis bukan sekadar konflik sumber daya, melainkan konflik peradaban dan nilai.

Sawit dan Krisis Ekologis

Ekspansi perkebunan kelapa sawit sering dibenarkan sebagai upaya meningkatkan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa industri sawit berkontribusi signifikan terhadap deforestasi, degradasi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, serta konflik agraria (Cramb & McCarthy, 2016).

Dalam perspektif berdamai dengan alam, perkebunan monokultur sawit mencerminkan kegagalan manusia memahami batas-batas ekologis. Di Papua, pembukaan hutan adat untuk sawit berarti memutus relasi masyarakat adat dengan tanah ulayatnya. Alam direduksi menjadi komoditas, sementara masyarakat adat direduksi menjadi penghalang pembangunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sawit bukan sekadar isu lingkungan, melainkan isu keadilan ekologis dan hak asasi manusia.

Pertambangan dan Kolonialisme Ekologis

Industri pertambangan, khususnya pertambangan skala besar, merupakan bentuk paling nyata dari relasi eksploitatif manusia terhadap alam. Pertambangan tidak hanya mengeruk mineral, tetapi juga menghancurkan bentang alam, mencemari air dan tanah, serta meminggirkan masyarakat lokal (Bebbington et al., 2008).

Dalam kerangka ekologi politik, pertambangan di wilayah adat dapat dipahami sebagai kolonialisme ekologis, di mana negara dan korporasi mengekstraksi sumber daya dari wilayah pinggiran demi kepentingan pusat. Proses ini sering dilegitimasi melalui hukum negara, sementara hukum adat dan hak ulayat diabaikan. Berdamai dengan alam dalam konteks ini berarti menolak model pembangunan yang mengorbankan kehidupan demi akumulasi modal.

Swasembada Pangan dan Paradoks Pembangunan

Program swasembada pangan nasional sering dipromosikan sebagai solusi ketahanan pangan. Namun, ketika swasembada dijalankan melalui pembukaan lahan besar-besaran, intensifikasi kimia, dan penyeragaman sistem pertanian, program ini justru menciptakan paradoks ekologis. Tanah menjadi rusak, air tercemar, dan petani serta masyarakat adat kehilangan kedaulatan atas sistem pangan lokalnya (McMichael, 2012).

Dalam perspektif berdamai dengan alam, swasembada sejati bukanlah soal produksi massal, melainkan soal keselarasan antara manusia, tanah, dan sistem pangan lokal. Swasembada yang mengabaikan kearifan lokal dan daya dukung ekologis pada dasarnya merupakan bentuk kolonialisme pembangunan yang baru.

Penutup

Teori berdamai dengan alam menawarkan kritik mendasar terhadap paradigma pembangunan ekstraktif yang mendominasi kebijakan sawit, pertambangan, dan swasembada pangan di Indonesia. Krisis ekologis yang terjadi hari ini bukan semata-mata krisis teknis, melainkan krisis cara pandang dan relasi kuasa. Dalam konteks Papua dan wilayah adat lainnya, berdamai dengan alam berarti mengakui hak ulayat, menghormati kearifan lokal, serta menempatkan keadilan ekologis sebagai fondasi pembangunan.

Tanpa perubahan paradigma, pembangunan akan terus menjadi alat perampasan ruang hidup dan penghancuran masa depan. Sebaliknya, berdamai dengan alam membuka kemungkinan pembangunan yang benar-benar berkelanjutan, adil, dan bermartabat.

Daftar Pustaka

- Bebbington, A., Humphreys Bebbington, D., Bury, J., Lingan, J., MuƱoz, J. P., & Scurrah, M. (2008). Mining and social movements: Struggles over livelihood and rural territorial development in the Andes. World Development, 36(12), 2888–2905.
- Bryant, R. L., & Bailey, S. (1997). Third World Political Ecology. London: Routledge.
- Cramb, R., & McCarthy, J. F. (Eds.). (2016). The Oil Palm Complex: Smallholders, Agribusiness and the State in Indonesia and Malaysia. Singapore: NUS Press.
- Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford: Oxford University Press.
- McMichael, P. (2012). Development and Social Change: A Global Perspective. Thousand Oaks: Sage Publications.
- Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long‐range ecology movement. Inquiry, 16(1–4), 95–100.
- White, L. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

Jumlah TNI dan Polri di Papua sebanyak 83.177. Berperang melawan Gerilyawan pro-kemerdekaan yang perkiraan jumlahnya sek...
17/12/2025

Jumlah TNI dan Polri di Papua sebanyak 83.177. Berperang melawan Gerilyawan pro-kemerdekaan yang perkiraan jumlahnya sekitar 1.438. Puluhan tahun perang itu tak pernah selesai.

Kenapa personelnya sebanyak itu? Kenapa perang itu tak pernah selesai? Kenapa tak menggunakan pendekatan lain di luar perang?

Baca artikel selengkapnya berjudul ā€œPerang yang Timpang: 83.000 Pasukan Organik TNI-Polri dalam Agenda Kekerasan Indonesia di Papuaā€ hanya di projectmultatuli.org

Baca selengkapnya https://projectmultatuli.org/perang-yang-timpang-83-000-pasukan-organik-tni-polri-dalam-agenda-kekerasan-indonesia-di-papua/

Dan ikuti terus serial reportase .

Swasembada Pangan & Energi, Kolonialisme Modern di Tanah PapuaNegara terus menggaungkan swasembada pangan nasional dan s...
16/12/2025

Swasembada Pangan & Energi, Kolonialisme Modern di Tanah Papua

Negara terus menggaungkan swasembada pangan nasional dan swasembada energi nasional sebagai simbol kedaulatan. Namun di Papua, dua agenda ini justru menghadirkan ancaman serius bagi kehidupan masyarakat adat Papua (OAP), meskipun Papua memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang seharusnya melindungi hak hidup, tanah, dan budaya orang asli.

Di atas nama kepentingan nasional, tanah adat Papua dibuka secara masif untuk perkebunan skala besar, food estate, pertambangan, proyek energi, dan infrastruktur . Hutan yang selama ratusan tahun menjadi ruang hidup, sumber pangan, dan identitas kultural OAP perlahan dikonversi menjadi komoditas ekonomi. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai fasilitator penguasaan ruang hidup.

Padahal, masyarakat adat Papua tidak mengenal kelaparan dalam sistem hidup tradisionalnya. Sagu, umbi-umbian, hutan, sungai, dan laut adalah sistem pangan berdaulat yang diwariskan lintas generasi. Ketika negara memaksakan model swasembada berbasis produksi massal dan pasar nasional, maka yang dihancurkan bukan hanya ekologi, tetapi juga kedaulatan pangan lokal.

Secara teori, kondisi ini dapat dibaca sebagai kolonialisme modern . Patrick Wolfe menyebut kolonialisme pemukim sebagai struktur yang bekerja dengan logika ā€œpenghapusan orang asliā€ melalui penguasaan tanah. Di Papua, penghapusan itu tidak selalu berbentuk senjata, tetapi lewat izin konsesi, regulasi, dan narasi pembangunan . Tanah tetap ada, tetapi orang adat kehilangan kuasa atasnya.

Konsep food sovereignty (kedaulatan pangan) menegaskan bahwa masyarakat berhak menentukan sistem pangan sesuai budaya dan lingkungan mereka. Namun kebijakan swasembada negara justru menyingkirkan OAP dari peran sebagai subjek, dan mengubah mereka menjadi penonton, buruh murah, atau bahkan pengungsi di tanah sendiri.

Ironisnya, UU Otsus Papua yang menjanjikan perlindungan hak adat sering kali kalah oleh proyek strategis nasional. Konsultasi publik bersifat formalitas, FPIC (persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan) diabaikan, dan suara masyarakat adat dikorbankan demi target produksi nasional.

Swasembada yang mengorbankan masyarakat adat bukan kedaulatan, melainkan penjajahan gaya baru .
Jika negara sungguh ingin adil, maka pembangunan di Papua harus:
- Mengakui dan melindungi hak ulayat
- Menghormati kedaulatan pangan masyarakat adat
- Menghentikan konversi hutan adat atas nama swasembada
- Menempatkan OAP sebagai subjek utama pembangunan, bukan objek

Papua bukan tanah kosong.
Papua bukan lumbung nasional.
Papua adalah ruang hidup masyarakat adat.






*Tambang Rakyat, Hak Ulayat, dan Kerangka Hukum di Papua, Mencari Model Tata Kelola yang Berkeadilan*  _**Oleh MedKamp**...
15/12/2025

*Tambang Rakyat, Hak Ulayat, dan Kerangka Hukum di Papua, Mencari Model Tata Kelola yang Berkeadilan*

_**Oleh MedKamp**_

Pertambangan rakyat di Papua merupakan fenomena sosial-ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat atas tanah serta sumber daya alam. Namun, dalam praktiknya, pertambangan rakyat sering berbenturan dengan kerangka hukum negara yang bersifat formalistik, sentralistik, dan berorientasi pada investasi skala besar. Tulisan ini menganalisis konflik antara tambang rakyat, hak ulayat, dan regulasi pertambangan di Papua, serta menawarkan model tata kelola yang mengintegrasikan hukum adat dan hukum negara dalam kerangka Otonomi Khusus Papua. Pendekatan yang digunakan adalah analisis yuridis-normatif dan sosio-legal dengan menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama pengelolaan sumber daya alam.

Kata kunci: Tambang Rakyat, Hak Ulayat, Papua, Masyarakat Adat, Otonomi Khusus.

I. Pendahuluan

Papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk mineral dan logam mulia. Di sisi lain, Papua juga merupakan ruang hidup ratusan komunitas masyarakat adat yang memiliki sistem penguasaan tanah berbasis hak ulayat. Dalam konteks ini, pertambangan rakyat muncul sebagai praktik ekonomi tradisional dan modern yang dijalankan oleh masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Masalah muncul ketika aktivitas tambang rakyat dikategorikan sebagai ilegal karena tidak sesuai dengan rezim perizinan pertambangan nasional. Negara sering kali memandang tambang rakyat semata-mata sebagai pelanggaran hukum dan ancaman lingkungan, tanpa mempertimbangkan legitimasi adat dan konteks struktural ketimpangan pembangunan di Papua. Akibatnya, terjadi kriminalisasi masyarakat adat, konflik horizontal, serta kerusakan lingkungan yang tidak terkendali akibat ketiadaan pembinaan.

II. Kerangka Hukum Pertambangan dan Posisi Hak Ulayat

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengatur bahwa setiap kegiatan pertambangan harus memiliki izin resmi dari negara. Dalam regulasi ini, pertambangan rakyat diakomodasi melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun, dalam praktiknya, skema ini sulit diakses oleh masyarakat adat Papua karena persyaratan administratif, teknis, dan finansial yang tidak sesuai dengan realitas lokal.

Di sisi lain, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (sebagaimana diubah dengan UU No. 2 Tahun 2021) memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk melindungi hak-hak orang asli Papua, termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam.

Ketegangan antara hukum pertambangan nasional dan pengakuan hak ulayat inilah yang menjadi akar konflik tambang rakyat di Papua.

III. Tambang Rakyat dalam Perspektif Sosio-legal Papua

Bagi masyarakat adat Papua, tanah dan sumber daya alam bukanlah komoditas semata, melainkan bagian dari identitas, spiritualitas, dan keberlanjutan hidup komunitas. Aktivitas tambang rakyat sering kali dilakukan di wilayah adat yang secara turun-temurun dikuasai dan dikelola berdasarkan hukum adat.

Namun, karena negara belum sepenuhnya mengakui dan menetapkan wilayah adat secara legal, tambang rakyat berada dalam ruang abu-abu hukum. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemodal eksternal yang berlindung di balik masyarakat adat, sehingga merusak citra tambang rakyat dan memperparah kerusakan lingkungan.

Pendekatan penegakan hukum yang represif tanpa solusi struktural justru memperdalam ketidakpercayaan masyarakat adat terhadap negara, serta memperkuat persepsi bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

IV. Otonomi Khusus Papua dan Peluang Tata Kelola Alternatif

Otonomi Khusus Papua seharusnya menjadi instrumen korektif terhadap ketidakadilan struktural, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks tambang rakyat, Otsus membuka ruang bagi:
1. Penguatan kewenangan daerah untuk mengatur pertambangan rakyat berbasis kearifan lokal.
2. Pembentukan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengakui lembaga adat sebagai aktor utama dalam pengelolaan tambang rakyat.
3. Integrasi hukum adat dan hukum negara melalui mekanisme perizinan kolektif berbasis komunitas adat.

Sayangnya, peluang ini belum dimanfaatkan secara optimal karena dominasi kebijakan sektoral nasional dan lemahnya keberpihakan politik terhadap masyarakat adat.

V. Model Pengelolaan Tambang Rakyat Berkeadilan di Papua

Untuk mengatasi konflik tambang rakyat di Papua, diperlukan pendekatan kebijakan yang komprehensif:

1. Pengakuan dan Penetapan Wilayah Adat

Tanpa pengakuan wilayah adat, tambang rakyat akan terus dikriminalisasi. Pemetaan partisipatif harus menjadi dasar kebijakan.

2. IPR Berbasis Komunitas Adat

Izin pertambangan rakyat harus diberikan kepada komunitas adat secara kolektif, bukan individu, dengan lembaga adat sebagai penanggung jawab.

3. Pendampingan Teknis dan Lingkungan

Negara wajib menyediakan pendampingan teknologi sederhana yang ramah lingkungan, termasuk pengelolaan limbah dan reklamasi.

4. Pengawasan Partisipatif

Pengawasan tambang rakyat dilakukan bersama antara pemerintah daerah, lembaga adat, dan masyarakat sipil.

5. Penindakan Tegas terhadap Pemodal Ilegal

Negara harus membedakan secara tegas antara tambang rakyat asli dan tambang bermodal besar yang mengeksploitasi masyarakat adat.

VI. Penutup

Tambang rakyat di Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum positif yang kaku. Diperlukan paradigma baru yang menempatkan masyarakat adat sebagai subjek hukum dan pemilik sah atas wilayah adatnya. Otonomi Khusus Papua seharusnya menjadi ruang untuk menghadirkan keadilan substantif melalui pengelolaan sumber daya alam yang menghormati hak ulayat, menjaga lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.

Tanpa perubahan paradigma, konflik tambang rakyat akan terus berulang dan menjadi simbol kegagalan negara dalam mengelola keberagaman hukum dan keadilan sosial di Papua.

Daftar Pustaka

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Otonomi Khusus Papua.
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
- Safitri, M. A. (2015). Hak Ulayat dan Pluralisme Hukum. Jakarta: Epistema Institute.
- Arizona, Y. (2014). Konstitusionalisme Agraria. Jakarta: STPN Press.
- Sumule, A. (2003). Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua. Jakarta: Gramedia.
- Chauvel, R., & Bhakti, I. N. (2004). The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and Policies. Washington DC: East-West Center.

Sejarah Kekelaman Pembantaian Warga Sipil pada Pembebasan Penyanderaan di Mapenduma, NdugaOleh MedKamp Peristiwa Mapendu...
12/12/2025

Sejarah Kekelaman Pembantaian Warga Sipil pada Pembebasan Penyanderaan di Mapenduma, Nduga

Oleh MedKamp

Peristiwa Mapenduma tahun 1996 merupakan salah satu babak paling kelam dalam sejarah kekerasan di Papua. Pembebasan penyanderaan tim Ekspedisi Lorentz 1995 yang dilakukan melalui operasi militer besar-besaran meninggalkan dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar konflik antara OPM dan negara. Bagi masyarakat Mapenduma–Nduga, peristiwa ini adalah titik awal trauma panjang yang mempengaruhi generasi selama hampir tiga dekade.
Mapenduma bukan hanya tragedi kemanusiaan; ia adalah cermin dari bagaimana kebijakan negara dalam merespons konflik di Papua selama puluhan tahun—mengutamakan pendekatan keamanan, meminimalkan dialog, dan membiarkan warga sipil menjadi korban yang paling rentan.

1. Latar Belakang, Ketegangan Lama Papua–Indonesia

Ketegangan antara Papua dan Indonesia telah berlangsung sejak proses integrasi tahun 1960-an. Banyak orang Papua menilai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 tidak mencerminkan aspirasi masyarakat, sehingga membentuk luka panjang yang belum sembuh.
Pada 1990-an, aktivitas kelompok bersenjata meningkat di wilayah Pegunungan Tengah. Minimnya layanan publik, kecurigaan antara masyarakat dan aparat, serta minimnya ruang dialog menciptakan kondisi yang mudah menyulut konflik. Peristiwa Mapenduma terjadi dalam konteks ini ketidakpercayaan yang mengeras dan komunikasi politik yang buntu.

2. Penyanderaan Ekspedisi Lorentz (8 Januari 1996)

Pada 8 Januari 1996, kelompok OPM pimpinan Kelly Kwalik menahan 26 anggota Ekspedisi Lorentz 1995. Tuntutan utama kelompok ini adalah agar dunia internasional memperhatikan persoalan Papua, yang mereka anggap telah lama didiamkan.
Negara menilai penyanderaan tersebut sebagai ancaman serius sehingga memutuskan melakukan operasi militer dalam skala besar. Helikopter, pasukan elit, dan strategi intelijen dikerahkan untuk membebaskan sandera.

3. Operasi Mapenduma, Harga yang Dibayar Warga Sipil

Operasi militer yang melibatkan Kopassus dan aparat lainnya benar-benar mengubah Mapenduma dan wilayah sekitar. Memang benar bahwa dua sandera berhasil diselamatkan, tetapi operasi tersebut juga meninggalkan rangkaian kekejaman yang tercatat dalam berbagai laporan gereja dan lembaga HAM.
Dampak utama di lapangan mencakup:
• Pembunuhan dan penyiksaan warga sipil yang dituduh menyembunyikan atau membantu OPM.
• Pengungsian massal, di mana ribuan warga lari ke hutan dan ke kabupaten tetangga.
• Kematian akibat kelaparan, penyakit, dan paparan dingin selama pengungsian.
• Penghilangan paksa, di mana sejumlah warga tidak pernah ditemukan hingga hari ini.

Laporan lembaga gereja menyebutkan adanya pola kekerasan yang sistematis terhadap warga yang tidak memiliki kaitan langsung dengan penyanderaan. Dalam logika operasi militer, wilayah Mapenduma dianggap zona merah, sehingga tindakan represif mudah terjadi tanpa ada mekanisme pengawasan.

4. Jejak Trauma di Nduga, Luka yang Tak Pernah Sembuh

Mapenduma membuka babak baru kekerasan berulang di Nduga. Banyak warga yang selamat dari tragedi 1996 menceritakan bahwa rasa takut terhadap helikopter, tentara bersenjata, dan operasi penyisiran terus melekat hingga hari ini.
Trauma Mapenduma berkontribusi pada:
• Migrasi permanen sebagian keluarga ke Wamena, Yahukimo, dan Timika.
• Putusnya pendidikan generasi muda akibat situasi keamanan.
• Stigma negatif terhadap masyarakat Nduga sebagai pendukung perlawanan.
• Siklus kekerasan berulang, termasuk peristiwa pasca 2018 ketika operasi militer kembali menimbulkan pengungsian besar.

Sejarah Mapenduma mengajarkan bahwa operasi keamanan yang tidak berfokus pada perlindungan warga sipil pada akhirnya merusak legitimasi negara dan memperkuat siklus perlawanan.

5. Pembacaan Etis dan Politik, Negara Berhak Menegakkan Hukum, tetapi Tidak Berhak Mengorbankan Warga

Dari sudut pandang moral dan hukum humaniter internasional, pembebasan sandera harus mengutamakan prinsip:
• Zero civilian casualty
• Proportionality
• Non-combatant protection
Dalam kasus Mapenduma, prinsip tersebut tidak ditegakkan. Negara memang memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan sandera, tetapi tanggung jawab itu tidak boleh menghapus prinsip kemanusiaan.
Di Papua, pendekatan keamanan yang berlebihan justru memperkuat narasi ketidakadilan yang telah lama dirasakan masyarakat.

6. Jalan Ke Depan, Dari Kekerasan ke Dialog Bermartabat

Mapenduma memberi pelajaran penting bahwa:
• Konflik Papua tidak bisa diselesaikan melalui kekuatan militer.
• Keadilan bagi korban harus menjadi prioritas.
• Negara perlu membuka ruang penyelidikan independen terhadap pelanggaran HAM berat.
• Dialog setara dan bermartabat harus menggantikan pendekatan kekerasan.
• Pemulihan trauma dan rekonsiliasi perlu melibatkan masyarakat lokal, gereja, dan lembaga adat.
Jika negara sungguh ingin membangun Papua, maka kejujuran terhadap sejarah kelam termasuk Mapenduma adalah langkah awal yang etis.

DAFTAR PUSTAKA

Buku & Laporan

1. Elmslie, Jim. Irian Jaya Under the Gun: Indonesian Economic Development Versus West Papuan Nationalism. University of Hawaii Press, 2002.
2. King, Peter. West Papua & Indonesia Since Suharto: Independence, Autonomy or Chaos? UNSW Press, 2004.
3. McGibbon, Rodd. Secessionist Challenges in Aceh and Papua: Is Special Autonomy the Solution? East-West Center, 2004.
4. Tapol. West Papua Report: Human Rights Violations in the Central Highlands. Tapol Human Rights Campaign, London.
5. ELSAM & KontraS. Laporan Pelanggaran HAM Papua 1990–2000. Jakarta.
6. Jubi. Dossier Mapenduma 1996: Luka yang Masih Terbuka. Jayapura.

Artikel dan Jurnal

7. Budiardjo, Carmel & Liem, Soei Liong. ā€œWest Papua: The Obliteration of a People.ā€ TAPOL Bulletin, 1996.
8. Giay, Benny. ā€œMenuju Papua Tanah Damai: Menimbang Kekerasan dan Rekonsiliasi di Tanah Papua.ā€ Jurnal Teologi STT Walter Post, 2005.
9. Rutherford, Danilyn. Living in Papua’s Shadow of History. Comparative Studies in Society and History, 1999.
Kesaksian & Dokumen Gereja
10. Sinode Gereja Kingmi Papua. Kesaksian Jemaat Mapenduma 1996–1997. Wamena.
11. Keuskupan Jayapura. Laporan Pastoral Konflik dan Pengungsian Nduga. Jayapura.

Address

Nabire
98814

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when MedKamp posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share