18/12/2025
Berdamai dengan Alam: Kritik Ekologis terhadap Ekspansi Sawit, Pertambangan, dan Program Swasembada Pangan di Indonesia.
Krisis ekologis yang terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah adat seperti Papua, tidak dapat dilepaskan dari model pembangunan yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi ekonomi. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan skala besar, serta program swasembada pangan nasional sering dipromosikan atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan tersebut justru memperdalam kerusakan lingkungan, merampas ruang hidup masyarakat adat, dan memicu konflik sosial. Esai ini menggunakan kerangka teori berdamai dengan alam yang mencakup ekologi dalam, etika lingkungan, ekologi politik, dan kearifan lokal masyarakat adat untuk mengkritisi paradigma pembangunan ekstraktif tersebut. Tulisan ini berargumen bahwa swasembada dan pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keadilan ekologis pada hakikatnya merupakan bentuk kolonialisme ekologis modern.
Kata kunci: berdamai dengan alam, sawit, pertambangan, swasembada pangan, kolonialisme ekologis, masyarakat adat.
Pendahuluan
Pembangunan modern sering dipahami sebagai proses penaklukan alam demi memenuhi kebutuhan ekonomi manusia. Paradigma ini berakar pada pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas alam (White, 1967). Di Indonesia, paradigma tersebut terejawantahkan dalam ekspansi industri ekstraktif seperti kelapa sawit dan pertambangan, serta program swasembada pangan nasional yang berbasis pada pembukaan lahan besar-besaran.
Di Papua dan wilayah adat lainnya, pembangunan semacam ini tidak hanya berdampak pada degradasi ekologis, tetapi juga mengancam eksistensi sosial, budaya, dan spiritual masyarakat adat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif yang tidak sekadar berbicara tentang pengelolaan sumber daya, tetapi tentang relasi etis dan politik antara manusia dan alam yakni teori berdamai dengan alam.
Kerangka Teoretis, Berdamai dengan Alam
Teori berdamai dengan alam berpijak pada beberapa pendekatan utama. Pertama, ekologi dalam (deep ecology) yang dikembangkan Arne Naess menegaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia (Naess, 1973). Kedua, etika lingkungan menekankan tanggung jawab moral manusia terhadap alam dan generasi mendatang (Leopold, 1949). Ketiga, ekologi politik melihat kerusakan lingkungan sebagai hasil relasi kuasa yang timpang antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal (Bryant & Bailey, 1997).
Dalam konteks masyarakat adat, berdamai dengan alam juga berakar pada kosmologi lokal, di mana tanah, hutan, sungai, dan gunung dipandang sebagai ruang hidup yang sakral dan terhubung dengan leluhur. Dengan demikian, konflik ekologis bukan sekadar konflik sumber daya, melainkan konflik peradaban dan nilai.
Sawit dan Krisis Ekologis
Ekspansi perkebunan kelapa sawit sering dibenarkan sebagai upaya meningkatkan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa industri sawit berkontribusi signifikan terhadap deforestasi, degradasi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, serta konflik agraria (Cramb & McCarthy, 2016).
Dalam perspektif berdamai dengan alam, perkebunan monokultur sawit mencerminkan kegagalan manusia memahami batas-batas ekologis. Di Papua, pembukaan hutan adat untuk sawit berarti memutus relasi masyarakat adat dengan tanah ulayatnya. Alam direduksi menjadi komoditas, sementara masyarakat adat direduksi menjadi penghalang pembangunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sawit bukan sekadar isu lingkungan, melainkan isu keadilan ekologis dan hak asasi manusia.
Pertambangan dan Kolonialisme Ekologis
Industri pertambangan, khususnya pertambangan skala besar, merupakan bentuk paling nyata dari relasi eksploitatif manusia terhadap alam. Pertambangan tidak hanya mengeruk mineral, tetapi juga menghancurkan bentang alam, mencemari air dan tanah, serta meminggirkan masyarakat lokal (Bebbington et al., 2008).
Dalam kerangka ekologi politik, pertambangan di wilayah adat dapat dipahami sebagai kolonialisme ekologis, di mana negara dan korporasi mengekstraksi sumber daya dari wilayah pinggiran demi kepentingan pusat. Proses ini sering dilegitimasi melalui hukum negara, sementara hukum adat dan hak ulayat diabaikan. Berdamai dengan alam dalam konteks ini berarti menolak model pembangunan yang mengorbankan kehidupan demi akumulasi modal.
Swasembada Pangan dan Paradoks Pembangunan
Program swasembada pangan nasional sering dipromosikan sebagai solusi ketahanan pangan. Namun, ketika swasembada dijalankan melalui pembukaan lahan besar-besaran, intensifikasi kimia, dan penyeragaman sistem pertanian, program ini justru menciptakan paradoks ekologis. Tanah menjadi rusak, air tercemar, dan petani serta masyarakat adat kehilangan kedaulatan atas sistem pangan lokalnya (McMichael, 2012).
Dalam perspektif berdamai dengan alam, swasembada sejati bukanlah soal produksi massal, melainkan soal keselarasan antara manusia, tanah, dan sistem pangan lokal. Swasembada yang mengabaikan kearifan lokal dan daya dukung ekologis pada dasarnya merupakan bentuk kolonialisme pembangunan yang baru.
Penutup
Teori berdamai dengan alam menawarkan kritik mendasar terhadap paradigma pembangunan ekstraktif yang mendominasi kebijakan sawit, pertambangan, dan swasembada pangan di Indonesia. Krisis ekologis yang terjadi hari ini bukan semata-mata krisis teknis, melainkan krisis cara pandang dan relasi kuasa. Dalam konteks Papua dan wilayah adat lainnya, berdamai dengan alam berarti mengakui hak ulayat, menghormati kearifan lokal, serta menempatkan keadilan ekologis sebagai fondasi pembangunan.
Tanpa perubahan paradigma, pembangunan akan terus menjadi alat perampasan ruang hidup dan penghancuran masa depan. Sebaliknya, berdamai dengan alam membuka kemungkinan pembangunan yang benar-benar berkelanjutan, adil, dan bermartabat.
Daftar Pustaka
- Bebbington, A., Humphreys Bebbington, D., Bury, J., Lingan, J., MuƱoz, J. P., & Scurrah, M. (2008). Mining and social movements: Struggles over livelihood and rural territorial development in the Andes. World Development, 36(12), 2888ā2905.
- Bryant, R. L., & Bailey, S. (1997). Third World Political Ecology. London: Routledge.
- Cramb, R., & McCarthy, J. F. (Eds.). (2016). The Oil Palm Complex: Smallholders, Agribusiness and the State in Indonesia and Malaysia. Singapore: NUS Press.
- Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford: Oxford University Press.
- McMichael, P. (2012). Development and Social Change: A Global Perspective. Thousand Oaks: Sage Publications.
- Naess, A. (1973). The shallow and the deep, longārange ecology movement. Inquiry, 16(1ā4), 95ā100.
- White, L. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203ā1207.