01/11/2025
Apakah Program Pangan Nasional (PSN) di Papua Bentuk Imperialisme Modern?
Oleh: MedKamp
Pemerintah pusat kini gencar menjalankan Program Strategis Nasional (PSN) di bidang pangan di berbagai wilayah Papua. Proyek ini diklaim sebagai langkah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dan pemerataan pembangunan. Namun di balik semangat tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah PSN pangan di Papua benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, atau justru menjadi bentuk imperialisme modern yang terselubung?
Secara historis, imperialisme tidak selalu hadir dalam bentuk penjajahan bersenjata. Dalam konteks modern, imperialisme dapat muncul melalui penguasaan ekonomi, kebijakan, dan budaya oleh kekuatan yang lebih dominan terhadap wilayah yang dianggap “tertinggal”. Jika kita cermati, pola PSN pangan di Papua kerap memperlihatkan ciri-ciri semacam itu.
Pemerintah pusat sering membawa narasi besar pembangunan membuka lahan sawah, memperluas produksi padi, dan mengganti sistem pangan lokal dengan sistem nasional berbasis beras. Padahal, Papua memiliki tradisi pangan yang sangat kuat dan beragam: sagu, ubi, keladi, dan pisang merupakan sumber pangan utama yang menyatu dengan budaya dan ekologi masyarakat adat.
Ketika proyek PSN datang dengan misi menanam padi di tanah adat, tanpa konsultasi yang mendalam dengan masyarakat lokal, maka yang terjadi bukan sekadar pembangunan, melainkan penggantian sistem pangan tradisional dengan sistem asing. Inilah yang disebut banyak ahli sebagai imperialisme pangan, proses di mana sistem pangan luar menggantikan kearifan lokal dengan alasan efisiensi dan produktivitas.
Selain itu, banyak proyek pangan di Papua melibatkan investor besar dan perusahaan dari luar daerah, sementara masyarakat lokal hanya dilibatkan sebagai pekerja lapangan. Hasil produksi dan keuntungan sering kali tidak berpihak pada pemilik tanah adat. Kondisi ini menunjukkan penguasaan ekonomi dari luar, sebuah ciri khas imperialisme modern yang menempatkan masyarakat setempat sebagai objek, bukan subjek pembangunan.
Dari sisi sosial, muncul p**a imperialisme budaya ketika nilai, cara hidup, dan sistem pertanian masyarakat adat dianggap tidak modern. Padahal, sistem pangan tradisional Papua terbukti berkelanjutan dan selaras dengan lingkungan. Mengganti sagu dan petatas dengan padi bukan hanya soal makanan, tetapi juga soal identitas dan martabat budaya.
Namun, tidak semua PSN pangan harus dipandang negatif. Jika dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif dan menghormati hak masyarakat adat, program ini bisa menjadi jembatan menuju kedaulatan pangan sejati di Papua. Pembangunan yang adil tidak boleh hanya diukur dari seberapa luas lahan sawah yang dibuka, tetapi dari seberapa besar masyarakat adat berdaulat atas tanah dan pangannya sendiri.
Karena itu, PSN pangan akan menjadi pembangunan yang membebaskan, jika ia menempatkan masyarakat Papua sebagai pemilik arah pembangunan. Tetapi jika hanya menguntungkan pihak luar, maka ia tak ubahnya imperialisme modern yang dibungkus dengan jargon pembangunan.