Pace Yarinap

Pace Yarinap Kita berdua menatap langit yang sama

Dengan Christinn So'e – Saya baru saja diakui sebagai salah satu penggemar berat mereka! 🎉
15/04/2025

Dengan Christinn So'e – Saya baru saja diakui sebagai salah satu penggemar berat mereka! 🎉

15/04/2025

Orang Papua tidak dilahirkan untuk membenci pendatang. Tapi kolonialisme menciptakan jurang itu: Satu kelompok dijaga, satu kelompok dimusuhi. Satu kelompok berdagang, satu kelompok diusir dari tanah. Satu kelompok disebut warga spesial, satu kelompok disebut separatis. Ini diciptakan penjajah.

62 tahun praktek kolonialisme di West Papua telah melahirkan generasi yang secara psikologis membentuk dikotomi "kami terjajah dan kalian penjajah". Kekerasan pada warga bangsa penjajah (non-Papua/pendatang) bukan sekedar emosi reaktif, tapi bentuk kesadaran psikopolitik.

Dalam kondisi di mana tidak ada saluran untuk menyuarakan keadilan, amarah menjadi satu-satunya cara untuk "didengar". Dalam psikoanalisis, ini adalah bentuk displacement: agresi yang seharusnya diarahkan ke sistem yang abstrak, dipindahkan ke tubuh-tubuh konkret yang diasosiasikan dengan sistem itu, warga penjajah.

Para pendatang datang ke Papua dalam jumlah banyak dan tidak terkontrol membuka tokoh, pasar, punya jaringan distrisbusi barang, dan hidup dalam zona yang dilindungi aparat negara kolonial. Mereka ciptakan struktur sosial kolonial: TNI/Polri sebagai penguasa senjatta, sipil pendatang sebgai penguasa pasar dan ekonomi, orang tetap sebagai pihak yang diperas dan dijadikan musuh negara.

Maka tidak heran jika hampir semua orang Papua akan memandang warga pendatang bukan hanya sebagai "orang luar" tetapi juga sebagai kolaborator penjajah. Ketika konflik meledak, siapa yang dilindungi? Bukan mama2 Papua, bukan mahasiswa, bukan aktivis, tapi para pedagang pendatang. Polisi dan tentara akan langsung turun tangan jika ada kekerasan terhadap mereka. Tapi ketika orang Papua dibunuh atau disiksa, negara diam, atau malah menyalahkan korban.

Dalam banyak konflik kolonial, penjajah jarang tampil sendiri. Ia hadir bersama lapisan sipil yang mengambil untung. Inilah yang terjadi di Papua: militer membuka jalan, pendatang mengisi ruang. Militer menguasai senjata, pendatang menguasai pasar.

Jadi jika anak-anak Papua menyerang bukan karena pendatang itu jahat secara pribadi,
tetapi karena negara menjadikan tubuh mereka sebagai benteng dari sistem penindasan.

Ketika warga pendatang menolak mengakui bahwa ada penjajahan, memilih diam dan tidak bersolidaritas dengan gerakan pembebasan Papua, ketika mereka hanya menjaga posisi ekonominya, maka mereka telah memilih menjadi bagian dari mesin penjajahan. Dan setiap mesin yang menindas, cepat atau lambat, akan mendapat perlawanan.

Orang Papua tidak memusuhi karena warna kulit atau asal daerah. Mereka memusuhi karena pilihan posisi. Jika pendatang memilih diam dan tetap menjadi bagian dari struktur penjajahan, maka jangan salahkan ketika diserang. Karena dalam medan kolonial, tidak ada “penonton”. Yang ada hanya yang menjajah dan yang melawan.

Kalau pendatang ingin damai, maka mereka juga harus memilih posisi. Karena bagi rakyat Papua, saat ini bukan lagi waktunya menjelaskan perasaan. Ini adalah saatnya menyusun barisan: siapa kawan, siapa lawan. Dan satu hal juga untuk orang Papua, Kolonialisme tidak akan runtuh jika hanya korban yang melawan, maka galang solidaritas tanpa batas ras, suku, agama, dan kelompok.

Banyak pendatang yang secara moral sadar akan ketidakadilan yang terjadi di Papua, tetapi mereka takut akan kehilangan status, posisi ekonomi, atau bahkan keselamatan mereka sendiri. Ketakutan ini adalah bagian dari strategi kolonial untuk memecah dan mengisolasi, menempatkan mereka yang berpotensi bersolidaritas dalam posisi dilematis. Jika mereka bergabung dalam perjuangan rakyat Papua, mereka mungkin kehilangan pekerjaan, posisi sosial, atau bahkan keselamatan.

Namun, meskipun ada rasa takut dan keterjebakan dalam sistem, nurani masih bisa menjadi titik awal untuk bergerak. Ketakutan itu hanya efektif jika mereka tetap terisolasi dalam ketidakpastian. Ketika pendatang mulai berbicara, berbagi pengalaman, dan membangun solidaritas dengan orang Papua, ketakutan itu mulai hilang.

Banyak pendatang yang merasa takut untuk melawan, berpikir bahwa perjuangan ini adalah "urusan orang Papua". Tetapi pada kenyataannya, perjuangan ini adalah urusan kita bersama, karena jika sistem penjajahan tetap berdiri, itu akan terus melanggengkan ketidakadilan yang juga mempengaruhi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

POST :Viktor Yeimo

Tumbuh Dewasa******************Kita mengawali hidup dalam mengenal dunia dengan menagis agar di peluk orang tua. Kita me...
11/04/2025

Tumbuh Dewasa
******************

Kita mengawali hidup dalam mengenal dunia dengan menagis agar di peluk orang tua.

Kita mengarungi masa kanak -kanak dengan mencoba sesuatu dengan mencari perhatian agar orang tua selalu ada untuk kita.

Kita merasak remaja, kita mulai berkata., "percayalah Bpa, mama saya tahu apa saya lakukan"

Kita meranjak dewasa di usia 30 thn , " Apa pendapat orang Tua tetang apa yang kami capai"

Dan di usia 70 Tahun kita akan berkata
" Andai saja saya bisa bertanya pada orangtuaku"😢

@~¥
SSorotanpublik

The Last Mohicans, Kisah Suku Asli Indian di New York Yang Punah--------------------------------------------------------...
11/04/2025

The Last Mohicans, Kisah Suku Asli Indian di New York Yang Punah
------------------------------------------------------------------------------------

“….Sebelum membaca kisah ini, anggaplah anda sedang berada di suatu tempat yang alamnya indah, damai, tentram dan masih alami. Lalu duduklah menepi sejenak, pandanglah sekeliling, dan mainkanlah instrumental musik panflute dari Youtube berjusul “The Last Mohicans” yang dimainkan Alexandro Querevalu atau Leo Rojas. Lalu resapilah alunan music ini dan bacalah cerita ini……”

Wilayah yang kini menjadi negara bagian New York (New York State) dan kotanya yang kini menjadi wilayah megapolitan paling diimpikan untuk dikunjungi orang-orang di seluruh dunia, dulunya merupakan tanah milik berbagai suku asli Indian. Mereka adalah suku-suku Indian seperti; Mohican, Lenape, Oneida, Mohawk, dan Seneca.

Namun, sejak abad ke-17 hingga ke-18, bangsa-bangsa ini mengalami proses penghapusan dan kepunahan. Baik secara paksa maupun sistemik melalui penaklukan militer, perjanjian yang tidak setara, serta infiltrasi budaya kolonial kaum kulit putih Eropa.

Salah satu fase sejarah kelam yang terkait dengan situasi itu adalah perang antara kolonialis Prancis dan suku-suku Indian pada 1754-1763. Ini tercacat sebagai konflik besar yang mempercepat penghancuran bangsa pribumi Indian. Meski dinamai demikian, perang tersebut sesungguhnya adalah perang antara Inggris dan Prancis untuk memperebutkan dominasi atas benua Amerika, dengan suku-suku asli sebagai aliansi atau korban.

Dalam perang ini, banyak suku yang sebelumnya berdiri bebas terjebak dalam strategi aliansi dan permusuhan yang mempercepat kehancuran mereka sendiri. The Mohican, yang digambarkan Cooper sebagai bangsa yang nyaris punah, dalam kenyataannya telah kehilangan banyak wilayah mereka sejak awal 1700-an. Ini terjadi akibat ekspansi pemukiman kaum kolonial kulit putih Eropa dan tekanan ekonomi (Richter, 2001).

Di sinilah kisah The Last of the Mohicans menjadi penting. Ia adalah salah satu teks pertama dalam sejarah sastra Amerika yang tidak hanya mengakui eksistensi penduduk asli, tetapi juga mengisahkan kepunahan mereka.

Meskipun karya ini masih diliputi oleh pandangan kolonial yang romantik dan paternalistik, kehadirannya membuka ruang narasi tentang ketidakadilan sejarah yang telah lama diabaikan.

Narasi, Mitologi Frontier, dan Bangsa Yang Hilang

Richard Slotkin (2000) dalam Regeneration Through Violence menyatakan bahwa mitos tentang perbatasan (frontier) dalam budaya Amerika diciptakan melalui kisah-kisah kekerasan yang dianggap sebagai syarat bagi kelahiran bangsa.

Dalam logika ini, pembunuhan, penaklukan, bahkan penghilangan budaya asli menjadi semacam “pengorbanan” untuk membangun peradaban baru. The Last of the Mohicans berada dalam pusat mitologi ini.

Cooper menggambarkan dunia yang indah tetapi brutal, penuh nilai-nilai luhur tetapi juga darah dan air mata. Ia mengakui keberanian, kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual penduduk asli benua Amerika yang disebut Indian atau bangsa pribumi Amerika (Native American). Tetapi tidak memberi mereka jalan untuk bertahan hidup.

Akhir dari novel itu bukanlah kemenangan seperti kebanyakan film heroik, melainkan keheningan. Dengan matinya Uncas, dan pernyataan Chingachgook sebagai “yang terakhir” atau “The Last”, pembaca disuguhkan simbol dari hilangnya bukan hanya satu orang, tetapi satu suku bangsa, satu dunia!

Namun, narasi ini pun perlu dikritik. Cooper, seperti banyak penulis zamannya, menempatkan orang asli sebagai “bangsa yang mulia tapi terkutuk” (the noble savage), sebuah stereotip yang sekaligus mengagungkan, merendahkan dan menghapuskan.

Ia menunjukkan kekaguman terhadap budaya Mohican, namun tidak bisa membayangkan bahwa mereka bisa bertahan dalam dunia modern. Dalam cara ini, novel ini mencerminkan gagasan kolonial bahwa budaya asli hanya bisa “hidup” sebagai bagian dari masa lalu.
Cinta, Identitas, dan Politik Rasial

Hubungan antar ras menjadi bagian penting dari novel itu dan lebih ditekankan dalam adaptasi film dengan judul yang sama, The Last Mohicans. Dalam novel, Cora Munro adalah karakter perempuan berdarah campuran yang memiliki hubungan emosional dengan Uncas.

Namun, kisah cinta ini tak pernah benar-benar terjadi, karena terhalang oleh norma sosial, prasangka rasial, dan akhirnya kematian. Film tahun 1992 mengubah ini. Alih-alih menampilkan Cora sebagai pasangan Uncas, film menjadikan Hawkeye (pria kulit putih) sebagai pahlawan romantik.

Uncas dan saudarinya Alice tetap menjadi karakter tragis, tetapi tidak lagi menjadi pusat. Hal ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana narasi sejarah diubah demi kenyamanan dan romantisme narasi kulit putih yang bias rasial.

Kritikus postkolonial mencatat bahwa dalam proses ini, sejarah dan penderitaan penduduk asli kembali disingkirkan untuk memberi ruang pada pahlawan kulit putih yang “lebih mudah diterima” (Shohat & Stam, 1994).

Namun, film ini juga memberi kedalaman visual pada penderitaan dan kehancuran. Adegan terakhir ketika Chingachgook berdiri di atas gunung sambil menyatakan dirinya sebagai yang terakhir adalah salah satu momen sinematik paling menyayat hati. Dalam diamnya, kita mendengar gema ribuan suara yang telah dibungkam. Sedih!

Dampak Budaya dan Pembacaan Kritis Kontemporer

Saat ini, pembacaan ulang The Last of the Mohicans menjadi bagian penting dalam studi sastra postkolonial dan sejarah budaya. Ia dianggap sebagai salah satu karya awal yang mencoba, meski dengan keterbatasan zamannya, membayangkan tragedi yang disebabkan oleh kolonialisme Eropa terhadap penduduk asli benua Amerika. Namun, pembacaan ini harus disertai kesadaran kritis akan posisi dan perspektif pengarang.

Philip J. Deloria (2004) menekankan pentingnya memahami narasi-narasi seperti ini bukan sebagai kebenaran sejarah. Tapi sebagai representasi, sebagai cara orang kulit putih memaknai dan mengarsipkan kehadiran penduduk asli. Mereka mungkin merasa bersimpati, namun tetap melihat bangsa asli sebagai “orang lain” yang tak bisa bertahan hidup tanpa asimilasi atau penghapusan.

Dalam konteks global, kisah ini mencerminkan pola kolonial yang berulang di berbagai tempat di dunia: Papua, Aborigin Australia, suku Maori, hingga suku-suku Amazon. Mereka semua menghadapi logika serupa: ekspansi, dominasi, eksotisasi, dan akhirnya penghapusan dan kepunahan!
Refleksi Pribadi: Dari Fiksi ke Tanggung Jawab Sejarah

Sebagai penulis dan pembaca yang berasal dari wilayah yang juga mengalami kolonialisme dan marginalisasi, saya merasa kisah The Last of the Mohicans bukan hanya kisah masa lalu Amerika. Ia adalah kisah universal tentang bagaimana kekuasaan meminggirkan yang lemah, dan bagaimana sejarah resmi menghapus suara-suara terbungkam yang tak masuk dalam narasi pemenang.

Membaca novel ini, saya teringat pada masyarakat adat Papua yang kini bergulat mempertahankan hutan, bahasa, dan identitas mereka di tengah pembangunan dan globalisasi. Seperti orang-orang suku Mohican di New York, mereka pun kerap disebut “terbelakang” atau “tidak cocok untuk zaman modern”. Padahal merekalah penjaga bumi yang sejati!

Di sinilah pentingnya mengangkat kembali kisah seperti ini. Bukan untuk mengulang tragedi, tetapi untuk belajar darinya. Agar tidak ada lagi generasi yang harus berkata, seperti Chingachgook: “I am the last of my people.” Saya adalah yang terakhir dari bangsa saya!

Penulis (Julian Haganah Howay)

Wene Bulitin

Address

Kalisusu
Nabire
98811

Telephone

+81251513295

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Pace Yarinap posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Pace Yarinap:

Share