11/04/2025
The Last Mohicans, Kisah Suku Asli Indian di New York Yang Punah
------------------------------------------------------------------------------------
“….Sebelum membaca kisah ini, anggaplah anda sedang berada di suatu tempat yang alamnya indah, damai, tentram dan masih alami. Lalu duduklah menepi sejenak, pandanglah sekeliling, dan mainkanlah instrumental musik panflute dari Youtube berjusul “The Last Mohicans” yang dimainkan Alexandro Querevalu atau Leo Rojas. Lalu resapilah alunan music ini dan bacalah cerita ini……”
Wilayah yang kini menjadi negara bagian New York (New York State) dan kotanya yang kini menjadi wilayah megapolitan paling diimpikan untuk dikunjungi orang-orang di seluruh dunia, dulunya merupakan tanah milik berbagai suku asli Indian. Mereka adalah suku-suku Indian seperti; Mohican, Lenape, Oneida, Mohawk, dan Seneca.
Namun, sejak abad ke-17 hingga ke-18, bangsa-bangsa ini mengalami proses penghapusan dan kepunahan. Baik secara paksa maupun sistemik melalui penaklukan militer, perjanjian yang tidak setara, serta infiltrasi budaya kolonial kaum kulit putih Eropa.
Salah satu fase sejarah kelam yang terkait dengan situasi itu adalah perang antara kolonialis Prancis dan suku-suku Indian pada 1754-1763. Ini tercacat sebagai konflik besar yang mempercepat penghancuran bangsa pribumi Indian. Meski dinamai demikian, perang tersebut sesungguhnya adalah perang antara Inggris dan Prancis untuk memperebutkan dominasi atas benua Amerika, dengan suku-suku asli sebagai aliansi atau korban.
Dalam perang ini, banyak suku yang sebelumnya berdiri bebas terjebak dalam strategi aliansi dan permusuhan yang mempercepat kehancuran mereka sendiri. The Mohican, yang digambarkan Cooper sebagai bangsa yang nyaris punah, dalam kenyataannya telah kehilangan banyak wilayah mereka sejak awal 1700-an. Ini terjadi akibat ekspansi pemukiman kaum kolonial kulit putih Eropa dan tekanan ekonomi (Richter, 2001).
Di sinilah kisah The Last of the Mohicans menjadi penting. Ia adalah salah satu teks pertama dalam sejarah sastra Amerika yang tidak hanya mengakui eksistensi penduduk asli, tetapi juga mengisahkan kepunahan mereka.
Meskipun karya ini masih diliputi oleh pandangan kolonial yang romantik dan paternalistik, kehadirannya membuka ruang narasi tentang ketidakadilan sejarah yang telah lama diabaikan.
Narasi, Mitologi Frontier, dan Bangsa Yang Hilang
Richard Slotkin (2000) dalam Regeneration Through Violence menyatakan bahwa mitos tentang perbatasan (frontier) dalam budaya Amerika diciptakan melalui kisah-kisah kekerasan yang dianggap sebagai syarat bagi kelahiran bangsa.
Dalam logika ini, pembunuhan, penaklukan, bahkan penghilangan budaya asli menjadi semacam “pengorbanan” untuk membangun peradaban baru. The Last of the Mohicans berada dalam pusat mitologi ini.
Cooper menggambarkan dunia yang indah tetapi brutal, penuh nilai-nilai luhur tetapi juga darah dan air mata. Ia mengakui keberanian, kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual penduduk asli benua Amerika yang disebut Indian atau bangsa pribumi Amerika (Native American). Tetapi tidak memberi mereka jalan untuk bertahan hidup.
Akhir dari novel itu bukanlah kemenangan seperti kebanyakan film heroik, melainkan keheningan. Dengan matinya Uncas, dan pernyataan Chingachgook sebagai “yang terakhir” atau “The Last”, pembaca disuguhkan simbol dari hilangnya bukan hanya satu orang, tetapi satu suku bangsa, satu dunia!
Namun, narasi ini pun perlu dikritik. Cooper, seperti banyak penulis zamannya, menempatkan orang asli sebagai “bangsa yang mulia tapi terkutuk” (the noble savage), sebuah stereotip yang sekaligus mengagungkan, merendahkan dan menghapuskan.
Ia menunjukkan kekaguman terhadap budaya Mohican, namun tidak bisa membayangkan bahwa mereka bisa bertahan dalam dunia modern. Dalam cara ini, novel ini mencerminkan gagasan kolonial bahwa budaya asli hanya bisa “hidup” sebagai bagian dari masa lalu.
Cinta, Identitas, dan Politik Rasial
Hubungan antar ras menjadi bagian penting dari novel itu dan lebih ditekankan dalam adaptasi film dengan judul yang sama, The Last Mohicans. Dalam novel, Cora Munro adalah karakter perempuan berdarah campuran yang memiliki hubungan emosional dengan Uncas.
Namun, kisah cinta ini tak pernah benar-benar terjadi, karena terhalang oleh norma sosial, prasangka rasial, dan akhirnya kematian. Film tahun 1992 mengubah ini. Alih-alih menampilkan Cora sebagai pasangan Uncas, film menjadikan Hawkeye (pria kulit putih) sebagai pahlawan romantik.
Uncas dan saudarinya Alice tetap menjadi karakter tragis, tetapi tidak lagi menjadi pusat. Hal ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana narasi sejarah diubah demi kenyamanan dan romantisme narasi kulit putih yang bias rasial.
Kritikus postkolonial mencatat bahwa dalam proses ini, sejarah dan penderitaan penduduk asli kembali disingkirkan untuk memberi ruang pada pahlawan kulit putih yang “lebih mudah diterima” (Shohat & Stam, 1994).
Namun, film ini juga memberi kedalaman visual pada penderitaan dan kehancuran. Adegan terakhir ketika Chingachgook berdiri di atas gunung sambil menyatakan dirinya sebagai yang terakhir adalah salah satu momen sinematik paling menyayat hati. Dalam diamnya, kita mendengar gema ribuan suara yang telah dibungkam. Sedih!
Dampak Budaya dan Pembacaan Kritis Kontemporer
Saat ini, pembacaan ulang The Last of the Mohicans menjadi bagian penting dalam studi sastra postkolonial dan sejarah budaya. Ia dianggap sebagai salah satu karya awal yang mencoba, meski dengan keterbatasan zamannya, membayangkan tragedi yang disebabkan oleh kolonialisme Eropa terhadap penduduk asli benua Amerika. Namun, pembacaan ini harus disertai kesadaran kritis akan posisi dan perspektif pengarang.
Philip J. Deloria (2004) menekankan pentingnya memahami narasi-narasi seperti ini bukan sebagai kebenaran sejarah. Tapi sebagai representasi, sebagai cara orang kulit putih memaknai dan mengarsipkan kehadiran penduduk asli. Mereka mungkin merasa bersimpati, namun tetap melihat bangsa asli sebagai “orang lain” yang tak bisa bertahan hidup tanpa asimilasi atau penghapusan.
Dalam konteks global, kisah ini mencerminkan pola kolonial yang berulang di berbagai tempat di dunia: Papua, Aborigin Australia, suku Maori, hingga suku-suku Amazon. Mereka semua menghadapi logika serupa: ekspansi, dominasi, eksotisasi, dan akhirnya penghapusan dan kepunahan!
Refleksi Pribadi: Dari Fiksi ke Tanggung Jawab Sejarah
Sebagai penulis dan pembaca yang berasal dari wilayah yang juga mengalami kolonialisme dan marginalisasi, saya merasa kisah The Last of the Mohicans bukan hanya kisah masa lalu Amerika. Ia adalah kisah universal tentang bagaimana kekuasaan meminggirkan yang lemah, dan bagaimana sejarah resmi menghapus suara-suara terbungkam yang tak masuk dalam narasi pemenang.
Membaca novel ini, saya teringat pada masyarakat adat Papua yang kini bergulat mempertahankan hutan, bahasa, dan identitas mereka di tengah pembangunan dan globalisasi. Seperti orang-orang suku Mohican di New York, mereka pun kerap disebut “terbelakang” atau “tidak cocok untuk zaman modern”. Padahal merekalah penjaga bumi yang sejati!
Di sinilah pentingnya mengangkat kembali kisah seperti ini. Bukan untuk mengulang tragedi, tetapi untuk belajar darinya. Agar tidak ada lagi generasi yang harus berkata, seperti Chingachgook: “I am the last of my people.” Saya adalah yang terakhir dari bangsa saya!
Penulis (Julian Haganah Howay)
Wene Bulitin