29/10/2025
Gubernur Jabar Soroti Dugaan Kejanggalan Aliran Dana Aqua ke PDAM dan PJT II
Sidak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) Aqua di Subang berujung pada temuan yang memantik tanda tanya besar. Dari hasil kunjungan itu, Dedi menemukan adanya aliran dana perusahaan ke dua badan usaha milik daerah (BUMD), yakni PDAM dan Perum Jasa Tirta (PJT) II—meski sumber air yang dimanfaatkan Aqua bukan berasal dari keduanya.
Dalam rekaman yang diunggah di kanal YouTube pribadinya, Kang Dedi Mulyadi (KDM), seorang karyawan pabrik menjelaskan bahwa perusahaan tetap diwajibkan membayar ke PDAM apabila air limbah olahan mereka digunakan kembali oleh pihak lain. “Kalau air yang dibuang itu dimanfaatkan, ada meternya dan tetap bayar ke PDAM,” ujar karyawan tersebut.
Pernyataan itu membuat Dedi terperanjat. Ia mempertanyakan dasar logika pembayaran tersebut. “Kenapa harus bayar ke PDAM? Bukankah airnya bukan dari PDAM?” tanya Dedi dalam video itu.
Penjelasan karyawan bahwa pembayaran dilakukan karena “pajak masuknya lewat PDAM” justru menambah kebingungan. Aqua, kata dia, tidak mengambil air dari PDAM, melainkan dari sumber mata air dengan izin resmi melalui Surat Izin Pengusahaan Air Tanah (SIPA).
Dari percakapan itu juga terungkap bahwa perusahaan membayar ke tiga lembaga sekaligus: Bapenda, PDAM, dan PJT II. Dedi menganggap pola pembayaran semacam itu tidak masuk akal. “Kalau ke PJT itu biasanya karena ambil air permukaan. Tapi Aqua kan ambil dari mata air, bukan sungai,” ujarnya.
Ia menilai praktik pungutan ganda ini berpotensi menyalahi aturan tata kelola air. “PDAM tidak boleh memungut dari perusahaan yang tidak membeli air dari mereka. Tugas PDAM adalah menjual air, bukan menarik pungutan dari sumber yang dikelola pihak lain,” tegas Dedi.
Karyawan Aqua mengakui, selama ini perusahaan memang diperlakukan layaknya pelanggan PDAM. Namun posisi itu, menurut Dedi, tidak berdasar. “Kalau bayarnya bukan untuk air yang dibeli dari PDAM, itu harus dievaluasi. Pajaknya cukup satu, pajak air tanah atau pajak mata air,” kata dia.
Konteks dan Dugaan Tumpang Tindih Regulasi
Temuan Dedi menguak persoalan lama dalam tata kelola sumber daya air di daerah: tumpang tindih kewenangan dan pungutan antarinstansi. Dalam kasus ini, PDAM, Bapenda, dan PJT II sama-sama mengklaim memiliki hak pungutan atas aktivitas pengambilan atau pengolahan air, meski dasar hukumnya kerap kabur.
Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air sebenarnya telah mengatur pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Namun di lapangan, batas antara air permukaan, air tanah, dan air olahan kerap tidak diinterpretasikan secara seragam. Akibatnya, muncul praktik pembayaran ganda yang menimbulkan beban administratif sekaligus membuka ruang abu-abu dalam pengelolaan dana.
Langkah Dedi melakukan evaluasi bisa menjadi pintu masuk untuk menertibkan mekanisme pungutan air di Jawa Barat, terutama bagi sektor industri yang bergantung pada sumber air tanah. Transparansi dan penegasan wewenang antara BUMD serta instansi pengelola air dinilai penting untuk mencegah potensi penyimpangan, sekaligus memastikan bahwa pajak dan retribusi benar-benar sesuai peruntukan.
Dedi menegaskan akan mengusut lebih jauh aliran dana tersebut. “Ini harus dibenahi. Jangan sampai ada lembaga yang menarik pungutan tanpa dasar yang jelas,” ujarnya.
Sidak yang awalnya sekadar memastikan kepatuhan lingkungan pun kini berubah menjadi sorotan publik terkait tata kelola dan etika bisnis air di daerah.