
21/06/2025
“Ketika Asap Kopi Padam, Ombak Tak Lagi Menyapa : Dengarlah Suara Lirih dari Teluk Ekas”
Cerpen : Amaq Bagok
Ekas, dulu ia adalah puisi yang dibisikkan alam setiap pagi. Lautnya jernih seperti cermin surga, angin membelai lembut daun waru, dan dari warung kecil milik Inaq Sebah, asap kopi mengepul seperti doa yang naik perlahan ke langit.
Aroma kayu bakar dan gula merah menyambut siapa pun yang singgah. Tamu-tamu asing duduk bersila, tertawa, menyapa anak-anak yang berlarian membawa kelapa muda.
Tak jauh dari sana, Salim anak muda yang belajar surfing tanpa guru, mempersiapkan papan selancar tuanya. Setiap pagi ia menyeka permukaannya dari embun malam, menanti tamu yang akan ia pandu menari di atas ombak. Ekas bukan sekadar tempat. Ia adalah kehidupan.
Namun itu cerita lama. Hari ini, segalanya berubah.
Perahu-perahu cepat datang dari arah barat. Mereka tak lagi singgah. Tamu-tamu asing dibawa langsung ke tengah Teluk, parkir di laut tanpa jejak di pasir. Tak ada sapaan, tak ada singgahan. Warung Inaq Sebah dilalui tanpa dilirik.
Gelasku, katanya pelan tinggal jadi saksi. Kompor jarang menyala. Anak-anaknya menatap kosong jalan setapak yang dulu ramai. Di sudut pondoknya, papan selancar Salim berdebu. Tak ada lagi tawa, hanya sunyi yang diam-diam memekakkan hati.
Dan ketika dunia maya sibuk memutar video seorang bupati yang suaranya meledak memecah angin pantai, hanya sedikit yang mau mendengar suara lain, suara Inaq Sebah dan Salim. Suara yang pelan, tapi menyesakkan dada.
Padahal yang penting bukan suaranya. Tapi *mengapa* suara itu muncul?
“Bupati Iron,” kata Salim, “mungkin keras suaranya. Tapi kami tahu... itu karena keluhan kami tak pernah cukup keras untuk didengar.”
Iron, sang Bupati, datang bukan sebagai pejabat yang ingin mencuri perhatian. Ia datang sebagai seorang ayah yang mendengar tangis anak-anaknya di tengah malam. Ia menyuarakan kegelisahan warga yang kehilangan ruang hidup di tanahnya sendiri.
“Orang boleh datang ke Ekas,” gumam Inaq Sebah. “Silakan. Tapi jangan lupa... kami juga hidup di sini. Kami bukan hantu di pesisir. Kami juga butuh makan.”
Ia tahu banyak netizen kecewa. Tapi ia hanya ingin bicara pada mereka yang belum pernah duduk di bangku reyot warungnya, menyeruput kopi hitam dengan latar laut biru yang pernah ia banggakan.
*“Saudara-saudaraku yang menonton dari jauh,”* ucapnya lirih, *“jangan hanya lihat videonya. Pahamilah luka kami.”*
Karena bagi Inaq Sebah dan Salim, yang menyakitkan bukan suara tinggi seorang pemimpin. Tapi ketidak adilan yang diam-diam menyusup, menghapus nama mereka dari peta harapan.
Mereka tak ingin membenci siapa pun. Tak ingin konflik. Tak ingin melarang orang datang. *Mereka hanya ingin dilibatkan, diakui, dan diberi tempat.*
Mereka berharap para pemimpin, baik di kantor pemerintahan, gedung DPRD, maupun dinas-dinas pariwisata dan yang menyebut diri aktivis, berhentilah saling menyalahkan dan menyisihkan yang kecil. *“Hentikan debat kosong yang tak menyentuh nasib kami,”* bisik Salim. *“Lihat kami. Dengar kami.”*
Ekas bukan panggung politik. Ia adalah rumah. Rumah bagi siapa saja, *tapi jangan lupa: rumah juga punya tuan.* Yang lebih dulu menanam pohon, menimba air, dan menyalakan bara kopi pagi.
Pagi itu, Inaq Sebah kembali menyeduh kopi. Bukan untuk tamu, tapi untuk harapan. Sementara Salim memanggul papan selancarnya, berjalan menyusuri pasir yang kini sepi. Ia masih percaya, ombak hari ini bisa membawa pesan damai.
Karena Ekas… adalah milik kita bersama.
Karena Ekas… bukan untuk direbut, tapi untuk dirawat bersama.