Mandeh Islands

Mandeh Islands Follow and Share

Satu nyawa melayang bukan karena takdir semata, tapi karena kelalaian yang dibiarkan menahun. Seorang ibu yang setiap ha...
24/07/2025

Satu nyawa melayang bukan karena takdir semata, tapi karena kelalaian yang dibiarkan menahun. Seorang ibu yang setiap hari menyebrangi jembatan darurat demi hidup kini hanya bisa dikenang. Ia jatuh. Ia meninggal. Ia pergi, karena jembatan itu tak kuat menampung langkah yang terlalu sering dikesampingkan oleh mereka yang merasa berkuasa.

Ironisnya, setelah semuanya terlambat, baru muncul suara-suara dari balik meja dan baliho, seolah ikut berduka, padahal sebelumnya tak pernah peduli. Padahal warga sudah berulang kali bersuara. Padahal video jembatan lapuk itu sudah berkali-kali beredar. Tapi tak ada gerak. Tak ada aksi. Yang ada hanya janji, janji, dan janji. Kini, saat nyawa telah tiada, barulah mereka datang membawa kamera dan pernyataan simpati yang basi.

Di mana kalian saat papan jembatan itu mulai lapuk?
Di mana kalian saat warga pasrah menyebrang dengan nyawa di tangan?
Dan sekarang kalian bicara soal "langkah cepat"? Cepat? Setelah mati?

Kami bukan hanya kehilangan ibu. Kami kehilangan kepercayaan.
Kami kehilangan rasa hormat pada jabatan yang hanya hidup saat viral.
Kami muak dengan pejabat yang lebih peduli pada citra dibanding penderitaan nyata.

Ibu itu tak pernah meminta banyak. Ia hanya ingin pulang dan pergi dengan selamat. Tapi yang didapat adalah jembatan tanpa standar, tanpa perlindungan, dan tanpa perhatian. Bahkan tanpa rasa bersalah dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab.

Jangan salahkan hujan. Jangan salahkan licin. Salahkan sistem yang sudah lama basah oleh pembiaran. Salahkan kepala yang terlalu tinggi melihat ke atas, hingga lupa menunduk pada jembatan rapuh di bawah sana.

Jika satu kematian belum cukup menyadarkan, maka jangan bicara soal pembangunan. Jangan bicara soal rakyat. Karena nyatanya, satu rakyat gugur pun masih belum cukup membuat kalian bergerak sebelum kamera datang.

Semoga kalian bisa tidur nyenyak malam ini sementara ada keluarga yang kehilangan ibu, bukan karena waktu, tapi karena kelalaian yang bisa dicegah, jika kalian benar-benar peduli.

Di tengah apatisme terhadap wakil rakyat, tiga nama mencuat dari Pesisir Selatan: Novermal, Teguh Dehalsa, dan Iel Fauzi...
23/07/2025

Di tengah apatisme terhadap wakil rakyat, tiga nama mencuat dari Pesisir Selatan: Novermal, Teguh Dehalsa, dan Iel Fauzi Anwar. Mereka bukan sekadar duduk manis di DPRD, tapi tampil di lapangan, terpantau publik, dan dinilai langsung oleh warga.

Dari 72.000 data digital, mereka memperoleh skor tertinggi dalam pemetaan persepsi publik: Novermal (99/100 dari 26.000 suara), Teguh Dehalsa (98 dari 27.000), dan Iel Fauzi Anwar (97 dari 18.000). Penilaian berdasarkan tren pemberitaan lokal, komentar netizen, aktivitas medsos, hingga respon terhadap aksi nyata mereka.

Novermal tampil beda. Ia satu-satunya yang berani melaporkan pembalakan liar di Jalan Bayang–Sarik–Alahan Panjang ke aparat, lengkap dengan dokumentasi. Ia juga getol mengawal pengawasan pesisir Air Haji dari pukat harimau dan mendorong Perda CSR agar korporasi tidak sekadar manis di proposal, tapi nyata menyumbang untuk daerah.

Teguh Dehalsa mendorong keterbukaan dana desa, membentuk tim pendamping keuangan nagari, serta membina desa wisata mandiri tanpa pencitraan. Ia aktif di lapangan, dari konflik tapal batas hingga pelatihan UMKM lokal. Tidak banyak bicara di media, tapi kerjanya terasa.

Iel Fauzi Anwar tegas soal transparansi. Ia menekan walinagari agar membuka rincian APBDes secara publik. Dalam isu lingkungan, ia membentuk Forum Warga Anti Perambahan dan ikut memantau distribusi kayu malam hari di Silaut dan Tapan. Ia pilih berisik demi rakyat.

Mereka bukan sempurna, tapi tiga ini membuktikan: di antara ratusan yang diam, masih ada yang bertindak.

Pagi joget di pantai. Musik menggelegar, tubuh meliuk-liuk, pakaian ketat menonjolkan setiap lekuk yang bisa mengundang ...
03/07/2025

Pagi joget di pantai. Musik menggelegar, tubuh meliuk-liuk, pakaian ketat menonjolkan setiap lekuk yang bisa mengundang decak kagum... atau nafsu. Wajah-wajah haus hiburan tersenyum di pinggir arena, tak peduli anak-anak ikut menonton. Katanya senam sehat, tapi yang dinikmati bukan olahraganya melainkan panggung gratis penuh visual yang dis**ai pria-pria berhasrat pendek.

Lalu malam datang. Berita muncul: razia PSK di balik kafe murahan. Beberapa wanita dibawa paksa, sebagian remaja. Di balik kamar sempit, tubuh kembali jadi komoditas bukan demi olahraga, tapi demi bertahan hidup, atau sekadar mengejar gaya hidup.

Yang lucu, penonton pagi dan pemakai malam seringkali orang yang sama. Teriak “Astagfirullah” saat lihat berita prostitusi, tapi tak pernah mengalihkan pandangan saat tubuh-tubuh dipertontonkan di ruang publik. Nafsu dinikmati diam-diam, lalu moral diumbar keras-keras. Kemunafikan, jadi aroma paling kental di setiap bibir yang pura-pura suci.

Bagi perempuan yang menjual diri: jangan bangga karena laku. Laris bukan berarti bermartabat. Dan bagi yang membeli jangan merasa lebih bersih hanya karena membayar. Tubuh yang kau sewa hanya mencerminkan isi kepalamu yang kosong.

Dan yang paling patut malu adalah mereka yang senang jadi penonton yang tak menyentuh, tapi merekam; yang tak berani membeli, tapi senang mengintip. Diam melihat, cepat menghakimi.

Pesisir ini bukan rusak karena satu dua PSK. Tapi karena banyak yang hidup dari nafsu dan pura-pura tak tahu. Ini bukan soal adat atau agama, ini soal kemanusiaan yang pelan-pelan hilang.

Kalau tubuh terus dipamerkan, dikomentari, dijadikan objek, maka jangan kaget kalau makin banyak yang melihat dunia hanya dari balik paha dan dada. Bukan dari hati dan akal.

Ada hal yang tak tertulis dalam proposal investasi Cina di Sumatera Barat: fakta bahwa tanah yang mereka incar bukan mil...
01/07/2025

Ada hal yang tak tertulis dalam proposal investasi Cina di Sumatera Barat: fakta bahwa tanah yang mereka incar bukan milik negara, bukan milik pribadi, tapi milik adat. Wilayah ulayat. Pusako tinggi. Warisan yang bukan cuma fisik, tapi spiritual dan kultural.

Pertanyaannya: apakah mereka benar-benar tahu itu? Atau pura-pura tidak tahu?

Tanah ulayat tidak bisa dijual. Bahkan oleh pemiliknya sendiri. Karena tidak ada pemilik tunggal. Yang ada hanya penjaga adat, pewaris nilai, dan pengemban amanah leluhur. Tapi kenapa tiba-tiba tanah itu bisa masuk dalam peta perencanaan investasi asing?

Jawabannya ada di balik meja rapat. Di sana, para elit—yang kadang bahkan bukan bagian dari kaum adat—berperan jadi makelar. Mereka bungkus kepentingan dengan istilah “pembangunan” dan “kemajuan”. Tanah ulayat di-framing jadi lahan tidur. Lalu ditukar dengan janji pabrik, pariwisata, tambang, atau jalan tol.

Dan Cina? Datang dengan mental korporat. Bukan untuk belajar adat, tapi mengamankan akses. Masalah sosial dianggap urusan lokal. Asal izin bisa diurus, sisanya hanya “komunikasi budaya”—yang sering kali berarti “bayar saja yang ribut”.

Tapi Minangkabau bukan tanah kosong. Setiap jengkalnya punya cerita. Setiap batasnya punya sejarah. Ulayat bukan objek investasi. Dan kalau investor—termasuk Cina—masuk tanpa paham apa itu tanah adat, maka yang mereka bangun bukan masa depan, tapi bom waktu sosial.

Konflik horizontal mulai muncul. Kaum adat dipinggirkan oleh kaum oportunis. Nagari jadi tempat transaksional, bukan lagi ruang musyawarah. Padahal dari dulu, Minang hidup karena nilai. Tapi sekarang, nilainya dihitung pakai mata uang yuan.

Jadi mari ulangi pertanyaannya:
Apakah Cina paham makna tanah ulayat?
Atau kita yang dengan sengaja membiarkan mereka tidak paham—asal semua dapat jatah?

Jabatan itu amanah, bukan alat mencuri dengan cara yang sah. Tapi hari ini, justru yang memegang kuasa sering kali jadi ...
30/06/2025

Jabatan itu amanah, bukan alat mencuri dengan cara yang sah. Tapi hari ini, justru yang memegang kuasa sering kali jadi yang paling rakus. Punya pangkat, punya akses, lalu mulai main mata dengan proyek, potong anggaran, akal-akali laporan. Semuanya dibungkus rapi atas nama 'kelancaran.'

Dan yang lebih menyakitkan, bukan musuh yang mencuri dari negara ini, tapi justru yang duduk bersama, makan bersama, berbicara soal integritas—kini ikut dalam lingkaran busuk itu. Bukan orang jauh, tapi yang dikenal baik. Bahkan yang pernah dibela mati-matian, sekarang tersenyum puas di balik permainan kotor.

Diamnya terlalu tenang, mulutnya terlalu manis. Tapi uangnya mengalir dari sumber yang tak pernah jelas. Gaya hidupnya melambung, seolah tak tersentuh. Padahal rakyat semakin terjepit, dana publik makin sempit, dan pelayanan makin sakit.

Korupsi bukan hanya soal hukum, tapi soal harga diri. Dan ketika teman sendiri menggadaikan nurani untuk amplop dan kemudahan, maka tak ada lagi yang layak disebut 'kawan.'

Jangan kira kedekatan bisa jadi perisai. Jangan pikir hubungan lama bisa membungkam suara kebenaran. Justru karena kenal, pengkhianatan itu lebih terasa. Dan justru karena pernah percaya, kemarahan itu lebih dalam.

Yang bermain kotor di dekat api, cepat atau lambat akan terbakar. Yang pura-pura tak tahu, akan ikut terseret. Dan yang hari ini merasa aman, akan jadi sorotan pertama saat badai kebenaran datang.

Cukuplah jadi bagian dari masalah. Negeri ini tak kekurangan musuh, tapi terlalu banyak kawan yang diam saat uang rakyat dicuri perlahan.

Tapi ini bukan sekadar insiden kebakaran biasa. Ini alarm keras buat kita semua — pembeli, penjual, dan regulator. Seped...
29/06/2025

Tapi ini bukan sekadar insiden kebakaran biasa. Ini alarm keras buat kita semua — pembeli, penjual, dan regulator. Sepeda listrik, produk yang kini jadi favorit banyak orang karena dianggap hemat energi dan praktis, ternyata juga bisa jadi bom waktu di rumah atau toko Anda.

Penjual? Banyak dari mereka menawarkan sepeda listrik murah dengan janji kemudahan, tanpa transparansi soal sertifikat kelayakan, standar keamanan, dan izin edar resmi. Barang impor asal-asalan, baterai abal-abal, charger tak berstandar semua dilepas ke pasar tanpa pengawasan ketat.

Pembeli? Terpikat harga miring dan kemudahan COD, tanpa menanyakan “Apakah produk ini sudah aman?” “Apakah baterainya asli dan lolos uji?” Mereka memilih cepat pakai, cepat puas, tapi lupa waspada.

Akibatnya, bukan cuma kerugian materi yang menanti — tapi juga nyawa dan keselamatan pengguna serta lingkungan sekitar.

Regulasi soal kelayakan alat transportasi listrik ini tampak belum berjalan optimal. Sehingga produk ilegal bebas masuk dan beredar tanpa sanksi berarti.

Ruko yang terbakar di Padang hanyalah contoh nyata bahwa kelalaian penjual dan ketidaktahuan pembeli bisa berujung tragedi besar.

Jadi, buat kamu yang masih pakai sepeda listrik, tanya dulu pada diri sendiri:
Apakah kamu benar-benar tahu apa yang kamu gunakan? Apakah baterai dan charger sepeda listrikmu sudah bersertifikat resmi?

Jangan sampai kamu jadi korban berikutnya karena lengah dan percaya pada harga murah tanpa kualitas terjamin.

Karena dalam dunia yang serba cepat ini, waspada adalah investasi terbaik untuk keselamatan.

📢 Upgrade Laptop, Operator Gercep!Biar entri Dapodik, cut-off BOS, dan laporan-laporan penting bisa disikat cepat tanpa ...
24/06/2025

📢 Upgrade Laptop, Operator Gercep!
Biar entri Dapodik, cut-off BOS, dan laporan-laporan penting bisa disikat cepat tanpa drama!

🔧 Apa yang kamu dapatkan?
✅ Performa ngebut untuk semua aplikasi pendidikan
✅ Lebih hemat waktu, lebih fokus bantu sekolah
✅ Konsultasi gratis sesuai kebutuhan dapodik & ARKAS

📍 Khusus untuk Operator Sekolah 🤝 Mitra Micom Indonesia
dapat Fee 10% jika Pembayaran Lewat NCM

🎯 Jangan tunggu error baru upgrade!
Segera Lapor kepala Sekolah, dan jadilah Operator ALL IN di sekolahmu!

1,9 Miliar untuk Jalan-Jalan, Bikin Konten, dan Jadi Pahlawan Palsu"Sementara ribuan warga Pesisir Selatan masih berebut...
22/06/2025

1,9 Miliar untuk Jalan-Jalan, Bikin Konten, dan Jadi Pahlawan Palsu"
Sementara ribuan warga Pesisir Selatan masih berebut bantuan beras dan air bersih, para wakil rakyat di DPRD justru sibuk menumpuk tunjangan yang bahkan tak sesuai aturan, dengan total mencapai Rp1.928.980.000.

Yes, hampir 2 MILIAR rupiah duit rakyat terbang ke:

Tunjangan komunikasi: Rp1,57 Miliar

Tunjangan reses: Rp264 juta

Belanja operasional: Rp91 juta

Itu semua hasil temuan BPK tahun 2024, yang baru diupdate 19 Mei lalu. Tapi lihatlah: apa yang sudah mereka komunikasikan ke rakyat?
Apa hasil dari reses mereka?
Dan operasional untuk siapa? Atau untuk makan-makan dan selfie saja?

Kondisi ekonomi Pesisir Selatan anjlok, data terakhir menunjukkan angka kemiskinan terus meningkat. Tapi yang punya jabatan tetap punya ruang sejuk ber-AC dan dana operasional, sementara rakyat berteduh di balik tenda bantuan bencana.

Kita tidak butuh anggota DPRD yang rajin bikin konten dan pencitraan.
Kita butuh mereka bekerja nyata, bukan jadi figuran sinetron setiap turun ke lapangan.

Terlalu banyak "tanda tangan" tapi terlalu sedikit "tanggung jawab".
Terlalu sering “kunjungan kerja”, tapi nihil kerja yang berdampak.
Anggaran diserap habis, hasilnya entah ke mana.

Pesisir Selatan sedang sakit, dan yang duduk di kursi empuk itu tidak sedang jadi tabib, mereka jadi benalu.

Dan hari ini kita harus bicara keras:
Jangan minta rakyat diam ketika uang mereka dikorupsi pelan-pelan dengan legalitas yang busuk.

Beberapa minggu terakhir, tubuh perempuan ditemukan dalam potongan. Dibuang ke sungai. Dikubur di sawah. Disembunyikan d...
20/06/2025

Beberapa minggu terakhir, tubuh perempuan ditemukan dalam potongan. Dibuang ke sungai. Dikubur di sawah. Disembunyikan dalam karung. Sumatera Barat tampak tenang, tapi ada sesuatu yang busuk di dalamnya.

Kami ingin tahu apa yang sebenarnya dipikirkan para pria. Bukan hanya pelaku, tapi mereka yang duduk di sampingmu saat ngopi, yang kirim stiker lucu di grup WA, yang bilang "aku baik-baik saja" padahal pikirannya gelap.

Kami tanya langsung, kadang diam-diam. Ini beberapa jawaban paling menyeramkan:

🩸**“Gue pengen tahu rasanya bunuh orang. Tapi gak sembarang orang. Harus yang bikin gue ngerasa berkuasa. Perempuan, biasanya.”**
– Laki-laki, 26 tahun, jobless, mengaku nonton video eksekusi di dark web buat hiburan.

🧠**“Dia bilang aku lemah di ranjang. Sejak itu suara dia gak berhenti di kepala. Tiap malam.”**
– Dosen honorer, 35 tahun, bercerita soal mantan pacarnya yang kini hilang entah ke mana.

👣**“Kalau aku nggak bisa punya dia, lebih baik dia gak dipunya siapa-siapa.”**
– Petani, usia 42 tahun, setelah ditanya soal perempuan yang menikah dengan pria lain.

🩶**“Aku s**a lihat dia takut. Waktu dia nangis, aku malah ngerasa tenang.”**
– Pria 28 tahun, tinggal sendiri di rumah orang tuanya, penggemar horor dan boneka.

🩺**“Aku tahu itu salah, tapi aku gak bisa berhenti bayangin darah di lehernya.”**
– Mahasiswa keperawatan, 21 tahun.

Ini bukan cerita kriminal. Ini realita yang diam-diam hidup di sekitar kita.

Kami sadar, bukan semua pria seperti ini. Tapi kenapa yang seperti ini makin banyak bersuara — atau bertindak — tanpa takut?

Di Sumbar, kita sibuk memperdebatkan pakaian perempuan. Tapi kita diam saat perempuan dipotong-potong dan dibuang seperti sampah.

Dan yang paling gila:
Kadang, pelakunya disayang ibunya. Dibelain tetangganya. Dimengerti oleh netizen.

Kami bertanya lagi:
Apakah benar, perempuan di Sumbar hanya aman kalau mereka mati di rumah, patuh, diam, dan tidak membuat laki-laki ‘hilang kontrol’?

🕌 “Saat Aceh dan Minang Bertemu di Titik Takdir ”Dalam gelombang sejarah panjang dunia Islam, ada dua tanah yang mungkin...
16/06/2025

🕌 “Saat Aceh dan Minang Bertemu di Titik Takdir ”
Dalam gelombang sejarah panjang dunia Islam, ada dua tanah yang mungkin tampak jauh dari pusat kota, namun menyimpan api yang tidak padam sejak ratusan tahun yang lalu: Aceh Darussalam dan Ranah Minangkabau . Dua negeri yang berada di barat Nusantara, di ujung samudra, namun jantungnya berdetak bersama dengan denyut umat Islam global.

Bukan kebetulan jika kedua wilayah ini 100% menganut Islam , bukan semata-mata karena doktrin, tetapi karena roh perjuangan dan identitas yang menyatu dengan keyakinan. Minangkabau dan Aceh tidak pernah mengenal Islam sebagai “agama warisan”, melainkan Islam sebagai jalan hidup, sebagai sistem berpikir, dan sebagai keberanian untuk menolak persetujuan —baik kepada penjajah, kapitalis, maupun oligarki politik.

🔥 Kesamaan Karakter: Darah yang Sama, Nafas yang Sama
Masyarakat Aceh dikenal keras, jujur, dan siap mati demi harga diri. Minangkabau dikenal cerdas, kritis, dan tidak pernah kehilangan semangat argumentatif. Tapi keduanya punya akar yang sama : tidak akan tunduk pada ketidakadilan, dari manapun datangnya.

Aceh membentuk sistem pemerintahan Islam tersendiri: Kesultanan Islam yang diakui dunia.

Minang menggabungkan adat dan syariat secara elegan: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Keduanya memiliki ikatan emosional dan spiritual dengan darah Rasulullah SAW . Banyak tokoh di Aceh dan Minang yang dalam catatan silsilah keluarga besar adalah dzurriyah Nabi (keturunan Rasulullah), baik dari jalur Sayyidina Hasan maupun Sayyidina Husein. Namun silsilah itu lebih banyak disembunyikan, karena bagi mereka bukan status keturunan yang penting, melainkan pengabdian terhadap umat dan agama .

📜 Dari Pemikiran Hingga Perlawanan
Di Aceh, Teungku Chik di Tiro mati syahid demi melawan Belanda. Generasi Aceh hidup dalam narasi jihad yang tertanam kuat.

Di Minang, Syekh Ahmad Khatib menjadi ulama pertama dari Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram. Muridnya—KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari—mendirikan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia: Muhammadiyah dan NU.

Lalu Buya Hamka , dengan warisan pemikiran dan spiritualitasnya, menyentuh dunia hingga Timur Tengah. Bahkan dalam dunia keilmuan Islam kontemporer, pemikiran Minangkabau tetap diperhitungkan.

🧭 Dunia Hari Ini: Siapkah Mereka Kembali?
Dunia sedang menuju ke titik kritis. Perang dunia ke-3 tidak lagi sekedar spekulasi, tapi mulai terasa dari ekonomi, konflik kawasan, dan propaganda ideologi. Dunia Islam terpecah, dan negara-negara besar Islam pun tentu belum mampu menyatukan barisan.

Lalu, siapa yang akan memulai gelombang baru kebangkitan Islam—dengan akal dan semangat, bukan hanya senjata?

Mungkin penjelasannya tidak akan datang dari Timur Tengah.
Mungkin datang dari Barat. Dari Sumatera Barat. Dari dua tanah yang menyimpan jejak darah Nabi, pemikiran tajam, dan keberanian tanpa kompromi.

⚔️ Aceh dan Minang, Jika Bersatu:
Bukan untuk memberontak, tapi untuk menghidupkan Islam yang adil dan beradab .

Bukan untuk memecah belah bangsa, tapi untuk mengingatkan bahwa kekuatan Islam tidak lahir dari kompromi terhadap kemungkaran .

Bukan untuk mendirikan kekuasaan, tapi untuk menegakkan peradaban yang menjunjung ilmu, kejujuran, dan keberanian.

🚩 Akhir Kata
Kalau dunia terbakar, kita tahu siapa yang akan bergerak lebih dulu

Solok hari ini bukan sekadar daerah dengan potensi emas. Ini sudah jadi ladang eksploitasi brutal. Sejak Idulfitri 2025,...
16/06/2025

Solok hari ini bukan sekadar daerah dengan potensi emas. Ini sudah jadi ladang eksploitasi brutal. Sejak Idulfitri 2025, alat berat masuk ke hutan-hutan Nagari Supayang. Tanpa izin, tanpa kontrol. Siapa yang mengatur? Bukan pemerintah. Bukan warga. Tapi jaringan tambang ilegal yang dilindungi orang dalam.

Ekskavator bebas beroperasi siang-malam. Warga tak berdaya. Sungai keruh, air tidak bisa dipakai lagi. Anak-anak terkena dampak penyakit kulit. Tapi tidak ada yang peduli. Bupati diam. Sekda diam. Dinas Lingkungan hidup tidak berfungsi. Bahkan polisi dan TNI yang seharusnya mengamankan, justru ikut bermain. Ada bukti Ada percakapan WhatsApp. Mereka diduga terlibat langsung dalam pengamanan tambang liar.

Satu ekskavator bisa setor puluhan juta rupiah per minggu ke oknum. Itulah biaya "koordinasi pengamanan". Negara tidak hanya gagal hadir, tapi sudah ikut ambil bagian. Semua tahu ini terjadi. Tapi semua pura-pura buta.

Sementara itu, warga hanya bisa menonton tanahnya dirusak. Hutan hilang. Air habis. Longsor kapan saja bisa datang. Beberapa bulan lalu, longsor akibat tambang ilegal di Sungai Abu menewaskan belasan orang. Tidak ada proses hukum. Tidak ada yang ditangkap. Semua menguap. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada keadilan.

Ketika tambang ilegal jadi sumber uang cepat, hukum mati. Solok jadi contoh bagaimana aparat bisa disewa dan hukum bisa dibeli. Ini bukan isu lingkungan biasa. Ini perampokan sumber daya secara terbuka, dengan restu diam-diam dari pejabat lokal.

Semua tahu. Tidak ada yang bergerak. Pemerintah hanya sibuk rapat, sementara warga kehilangan kampung. Ini bukan kelalaian. Ini pembiaran. Dan pembiaran berarti keterlibatan.

Jika ini terus dibiarkan, Solok hanya akan jadi wilayah rusak yang ditinggalkan ketika semua emas habis. Yang tersisa hanya lubang tambang, sungai mati, dan rakyat yang ditipu.

Pemerintah harus dipaksa turun tangan. Kapolda dan Kapolri harus masuk. Aparat yang terlibat harus dicopot dan diproses pidana. Jika tidak, maka jelas: negara ikut bermain di bisnis kotor ini.

Rumah-rumah warga Pesisir Selatan rusak parah karena banjir. Tapi saat bantuan datang, yang kebagian kerja justru perusa...
11/06/2025

Rumah-rumah warga Pesisir Selatan rusak parah karena banjir. Tapi saat bantuan datang, yang kebagian kerja justru perusahaan luar. PT.XX dikabarkan memborong seluruh pekerjaan, dari bahan bangunan sampai pengerjaan. Warga? Hanya jadi penonton di tanah sendiri.

Padahal ada aturan. Permen PUPR No. 7 Tahun 2019 jelas membuka ruang untuk swakelola—masyarakat bisa dan harus dilibatkan. Tapi Pemda malah kasih semua ke satu perusahaan. Tidak ada toko lokal yang dipakai, tidak ada tukang lokal yang dipanggil. Ini proyek "pemulihan", tapi masyarakat justru dimatikan akses ekonominya.

Jangan salah: ini bukan soal pembangunan. Ini soal bagaimana proyek atas nama bencana bisa jadi lahan bagi segelintir elit. Ketika rumah warga hancur, dan uang negara dipakai, tapi semua dikendalikan pihak luar—itu bukan bantuan, itu penguasaan.

Kita perlu tanya: di mana keadilan bencana kalau masyarakat tak dilibatkan?
Dan kenapa Pemda diam saja?

Address

Padang

Telephone

+6281361620101

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mandeh Islands posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Mandeh Islands:

Share