
24/07/2025
Satu nyawa melayang bukan karena takdir semata, tapi karena kelalaian yang dibiarkan menahun. Seorang ibu yang setiap hari menyebrangi jembatan darurat demi hidup kini hanya bisa dikenang. Ia jatuh. Ia meninggal. Ia pergi, karena jembatan itu tak kuat menampung langkah yang terlalu sering dikesampingkan oleh mereka yang merasa berkuasa.
Ironisnya, setelah semuanya terlambat, baru muncul suara-suara dari balik meja dan baliho, seolah ikut berduka, padahal sebelumnya tak pernah peduli. Padahal warga sudah berulang kali bersuara. Padahal video jembatan lapuk itu sudah berkali-kali beredar. Tapi tak ada gerak. Tak ada aksi. Yang ada hanya janji, janji, dan janji. Kini, saat nyawa telah tiada, barulah mereka datang membawa kamera dan pernyataan simpati yang basi.
Di mana kalian saat papan jembatan itu mulai lapuk?
Di mana kalian saat warga pasrah menyebrang dengan nyawa di tangan?
Dan sekarang kalian bicara soal "langkah cepat"? Cepat? Setelah mati?
Kami bukan hanya kehilangan ibu. Kami kehilangan kepercayaan.
Kami kehilangan rasa hormat pada jabatan yang hanya hidup saat viral.
Kami muak dengan pejabat yang lebih peduli pada citra dibanding penderitaan nyata.
Ibu itu tak pernah meminta banyak. Ia hanya ingin pulang dan pergi dengan selamat. Tapi yang didapat adalah jembatan tanpa standar, tanpa perlindungan, dan tanpa perhatian. Bahkan tanpa rasa bersalah dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab.
Jangan salahkan hujan. Jangan salahkan licin. Salahkan sistem yang sudah lama basah oleh pembiaran. Salahkan kepala yang terlalu tinggi melihat ke atas, hingga lupa menunduk pada jembatan rapuh di bawah sana.
Jika satu kematian belum cukup menyadarkan, maka jangan bicara soal pembangunan. Jangan bicara soal rakyat. Karena nyatanya, satu rakyat gugur pun masih belum cukup membuat kalian bergerak sebelum kamera datang.
Semoga kalian bisa tidur nyenyak malam ini sementara ada keluarga yang kehilangan ibu, bukan karena waktu, tapi karena kelalaian yang bisa dicegah, jika kalian benar-benar peduli.