Jurnal Tabagsel

Jurnal Tabagsel ᯄᯬ ᯒ ᯚ᯲ ᯖᯅᯎ᯲ᯚᯞᯩ\
Sejarah, Adat, Budaya
Mengulas Seputar Informasi Edukasi Daerah
Tapanuli Bagian Selatan
"TAPPAR MARSIPAGODANGAN, UDUT MARSIPAGINJANGAN"

Prof. Bakri Siregar adalah salah satu tokoh intelektual Indonesia yang patut dikenang. Lahir di Langsa, Aceh, pada 14 De...
29/07/2025

Prof. Bakri Siregar adalah salah satu tokoh intelektual Indonesia yang patut dikenang. Lahir di Langsa, Aceh, pada 14 Desember 1922, ia berasal dari keluarga Batak Angkola bermarga Siregar. Namanya dikenal luas sebagai kritikus sastra Indonesia, penulis naskah drama, cerpen*s, dan dosen yang pernah mengajar hingga ke luar negeri.

Sejak muda, Bakri telah aktif menulis. Salah satu karya awalnya, Tanda Bahagia, dimuat saat masa pendudukan Jepang. Bakri juga aktif dalam dunia jurnalis dalam surat kabar Kedaulatan Ra'jat yang terbit di Sipirok. Pandangan hidupnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosialisme, yang ia dalami saat belajar di Uni Soviet. Ia menilai sistem tersebut mampu menciptakan pemerataan dan keadilan bagi rakyat.

Dalam karier akademiknya, ia pernah menjadi dosen Sastra Indonesia di:
Universitas Warsawa (Polandia),
Universitas Sumatera Utara (Medan),
dan Universitas Peking (Tiongkok).

Ia juga dikenal lewat buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern I (1964), sebuah kajian sejarah sastra Indonesia dari sudut pandang Marxis.

Namun, yang paling dikenal dari perjalanan hidupnya adalah ketika ia bergabung dan kemudian menjadi pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)—organisasi kebudayaan yang menjadi sayap dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam Lekra, ia memainkan peran penting dalam membentuk arah seni dan sastra Indonesia yang berpihak pada rakyat.

Prof. Bakri Siregar wafat di Jakarta pada 19 Juni 1994 dalam usia 71 tahun. Meski sejarah mencatatnya dalam konteks kontroversi ideologi, kontribusinya dalam dunia pemikiran dan sastra Indonesia tetap menjadi bagian penting dari perjalanan budaya bangsa.

Idhan Dhanvantary Lubis lahir di Yogyakarta, 19 April 1949, dari keluarga Mandailing bermarga Lubis. Idhan tumbuh dalam ...
27/07/2025

Idhan Dhanvantary Lubis lahir di Yogyakarta, 19 April 1949, dari keluarga Mandailing bermarga Lubis. Idhan tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan, disiplin, dan spiritualitas. Ayahnya seorang perwira militer, ibunya sosok yang lembut dan religius. Sejak kecil, Idhan sudah akrab dengan buku, puisi, dan kontemplasi.

Dalam keseharian, Idhan dikenal pendiam, dan cenderung filosofis. Ia bukan anak muda yang penuh ambisi duniawi, melainkan pribadi yang menyukai kesunyian dan perenungan. Tak heran, ia sering menulis puisi dan menggambarkan alam sebagai ruang spiritual, juga mengagumi keindahan visual.

Ia merupakan adik dari Idhat Shidarama Lubis, seorang tokoh lingkungan hidup yang kelak mendirikan Indonesian Green Ranger. Semangat cinta alam dan pengabdian rupanya sudah mengalir dalam darah keluarga ini.

Saat menempuh pendidikan di bangku perguruan tinggi, Idhan mengambil jurusan arsitektur. Tapi hasratnya tak sepenuhnya tertambat pada gambar teknik. Ia lebih tertarik pada dunia ide, sastra, dan pencarian makna hidup. Di kampus, ia dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas namun sederhana, tidak s**a tampil menonjol.

Hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan aktivis Mapala UI, seperti Herman O. Lantang dan Soe Hok Gie. Pertemanan inilah yang membawa Idhan mendaki gunung-gunung tinggi, hingga akhirnya menuju Mahameru tempat yang ia yakini sebagai gerbang surga, seperti kisah Pandawa dalam Mahabharata.

Idhan punya keyakinan kuat bahwa mendaki gunung bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk mendekat pada Tuhan. Ia bahkan menulis:

“Aku tidak pernah berniat menaklukkan gunung! Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian. Pengabdianku kepada YANG MAHA KUASA!”

Tanggal 16 Desember 1969, Idhan Lubis yang saat itu masih berusia 20 tahun dan Soe Hok Gie gugur diduga karena menghirup gas beracun di puncak Semeru.

Tahukah kamu bahwa salah satu spesies pinus tropis yang dikenal dunia, Pinus merkusii pertama kali diidentifikasi secara...
25/06/2025

Tahukah kamu bahwa salah satu spesies pinus tropis yang dikenal dunia, Pinus merkusii pertama kali diidentifikasi secara ilmiah di Sipirok, Tapanuli Selatan? Walaupun Junghun baru mengindentifikasi pohon ini tahun 1841, namun masyarakat di Sipirok sudah sejak lama mengenal pohon ini. Masyarakat lokal menyebut pohon ini adalah pohon Tusam.

Penemuan ini diidentifikasi secara ilmiah pertama kali oleh Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis dan penjelajah berkebangsaan Jerman yang melakukan perjalanan ilmiah ke wilayah pedalaman Sumatra pada tahun 1841. Dalam penjelajahannya ke lereng-lereng pegunungan Sipirok, Junghuhn menemukan pohon-pohon tinggi menjulang dengan batang lurus dan bergetah harum yang kemudian ia identifikasi sebagai spesies baru dan diberi nama botani Pinus merkusii Junghuhn et de Vriese.

Pinus merkusii adalah satu-satunya jenis pohon pinus di dunia yang tumbuh secara alami di selatan garis khatulistiwa, kawasan pegunungan Sipirok menjadi habitat alaminya yang paling khas. Hal ini menjadikan ekosistem botani di Sipirok menjadi bagian penting dalam dunia sejarah botani global.

Tak hanya menyumbang penemuan ilmiah penting, Sipirok juga memikat Junghuhn lewat bentang alamnya yang indah dan subur. Dalam catatan perjalanannya, ia menyebut wilayah ini sebagai surga tropis: pegunungan hijau yang sejuk, lembah yang subur.

Penemuan jenis pohon pinus ini juga menjadi langkah penting bagi penjajah Belanda untuk melakukan program reboisasi di wilayah jajahannya. Bahkan hingga pada saat ini, jenis pohon ini bersifat mudah tumbuh di daerah yang minim air sekalipun menjadikan pohon ini menjadi pilihan penting dalam program reboisasi hingga saat ini.

Malelo Siregar bukanlah tokoh yang dikelilingi sorotan kamera makanya kami sangat sulit untuk mendapatkan foto pribadiny...
31/05/2025

Malelo Siregar bukanlah tokoh yang dikelilingi sorotan kamera makanya kami sangat sulit untuk mendapatkan foto pribadinya. Malelo Siregar juga bukan tokoh besar yang sering dielu-elukan di panggung sejarah nasional. Ia datang dari Pergarutan, sebuah kampung kecil di Tapanuli Selatan, lahir pada 15 Mei 1905 di masa ketika mengucapkan kata “Indonesia” masih dilarang.

Sejak muda, meskipun hanya berpendidikan setingkat SD, Malelo sudah berkecimpung di dunia pers. Tulisan-tulisan Malelo menyuarakan keberanian, menggugat ketidakadilan, dan mengusik kenyamanan penguasa kolonial. Tulisannya hadir untuk menyuarakan: kemerdekaan, kejujuran, dan kesetiaan pada rakyat biasa.

Tahun 1936, keberaniannya berujung penangkapan. Ia dituduh terlibat sebagai pimpinan PARI (Partai Republik Indonesia), organisasi bawah tanah yang sangat vokal menyuarakan perlawanan dan kemerdekaan. Ia dipenjara, lalu dibuang ke Boven Digoel, di pedalaman Papua. Di sana, dalam pengasingan, ia tetap menyimpan bara keyakinan bahwa bangsa ini layak merdeka sepenuhnya.

Ketika perang dunia berkecamuk, Malelo dipindahkan ke Australia. Meski dibuang ke luar dari negaranya, Justru di sanalah ia dan kawan-kawan mendirikan FARKI (Front Kemerdekaan Indonesia). Malelo dari Australia kembali menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Tahun 1946 Malelo kembali ke tanah air setelah proklamasi. Tapi perjuangannya belum usai. Pada masa Agresi Militer, Malelo bertempur sebagai seorang pejuang yang berani mati demi mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

Follow guna mendapat info menarik lainnya.

Sejak pertama kali diresmikan oleh Bupati Tapanuli Selatan saat itu Syahrul M. Pasaribu pada 21 Januari 2021, mesjid Agu...
30/05/2025

Sejak pertama kali diresmikan oleh Bupati Tapanuli Selatan saat itu Syahrul M. Pasaribu pada 21 Januari 2021, mesjid Agung Syahrun Nur yang terletak di komplek perkantoran Pemkab Tapsel, Sipirok ini menjadi destinasi baru bagi masyarakat Tabagsel. Mesjid yang bergaya arsitektur khas Timur Tengah ini dipadupadankan dengan sentuhan ornamen Bolang yang membuat masjid ini terlihat sangat elok penuh estetika dan beradat.
-

Dalam lintasan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kontribusi tokoh-tokoh dari etnis Batak, khususnya sub-etnis An...
28/05/2025

Dalam lintasan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kontribusi tokoh-tokoh dari etnis Batak, khususnya sub-etnis Angkola dan Mandailing, sering kali luput dari perhatian publik. Padahal, mereka telah memainkan peran penting dalam berbagai lini perjuangan, mulai dari pendidikan, pergerakan politik, hingga pengorbanan dalam bentuk pengasingan di kamp konsentrasi kolonial yang paling mengerikan: Boven Digoel.

Berdasarkan buku Koloni Pengucilan Boven Digoel karya Purnama Suwardi, tercatat sekitar 400-an tokoh yang pernah ditahan di kamp pengasingan itu. Dalam daftar tersebut, terdapat sejumlah nama yang terverifikasi sebagai pejuang dari etnis Batak Angkola dan Mandailing. Mereka berasal dari kawasan Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), daerah yang sejak awal abad ke-20 telah menjadi ladang subur bagi tumbuhnya semangat nasionalisme dan gerakan anti-kolonial.

Tokoh-tokoh ini, meskipun berasal dari wilayah yang relatif jauh dari pusat pergerakan di Jawa, tidak absen dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan Belanda, bahkan banyak p**a tokoh beretnis Batak Angkola & Mandailing yang memainkan peran penting dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Di Boven Digoel, mereka hidup dalam kondisi yang mengenaskan. Terpapar malaria, tuberkulosis, dan tekanan psikologis dari isolasi berkepanjangan, banyak dari mereka wafat dalam kesunyian. Namun, justru dalam suasana keterasingan itu, ide-ide perjuangan terus tumbuh.

Dalam momen ini, mari kembali mengangkat kisah sejarah perjuangan yang digerakkan oleh tokoh-tokoh Tabagsel agar masuk kedalam ulasan catatan sejarah nasional.

Follow untuk mendapatkan informasi edukatif lainnya.

Foto berjudul “Goudmijnen” (Tambang Emas) pada halaman 45 buku Pakantan: Een Belangrijk Gedeelte van Sumatra karya Joh. ...
26/05/2025

Foto berjudul “Goudmijnen” (Tambang Emas) pada halaman 45 buku Pakantan: Een Belangrijk Gedeelte van Sumatra karya Joh. Thiessen merekam aktivitas penambangan emas tradisional di wilayah Muara Sipongi dan sekitar wilayah Mandailing. Gambar ini memperlihatkan bagaimana orang Belanda, dengan alat-alat sederhana, menggali terowongan di lereng-lereng curam untuk mencari emas yang terkubur jauh di dalam tanah.

Dalam penjelasannya, Thiessen mengungkap bahwa wilayah Mandailing menyimpan kekayaan alam yang luar biasa seperti emas, perak, tembaga, timah, batu bara, dan lainnya. Namun, baru pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kekayaan ini mulai dieksplorasi kemudian diekspoitasi secara lebih terorganisir oleh perusahaan-perusahaan Eropa. Didalam gambar bisa dilihat kegiatan penambangan dilakukan dengan cara menggali terowongan guna memperoleh kekayaan tersembunyi di perut bumi dengan susah payah, di tengah kondisi alam yang masih liar dan belum tersentuh modernisasi.

Menariknya, sebagai Misionaris, Thiessen menggunakan tambang emas ini sebagai metafora rohani. Ia menulis bahwa sebagaimana orang menggali dengan susah payah demi menemukan emas, manusia seharusnya juga bersungguh-sungguh menggali "harta yang lebih dalam dan kekal", yakni kebenaran dalam Injil. Menurutnya, banyak orang rela bekerja keras demi kekayaan duniawi, namun lalai mencari kekayaan rohani yang jauh lebih bernilai.

Meskipun dalam buku tidak mencantumkan tahun pengambilan foto, namun dokumentasi ini menjadi salah satu dokumentasi awal tentang tambang emas di Mandailing. Buku ini sendiri terbit pertama kali di Belanda pada tahun 1903, oleh karena itu, foto ini diduga diambil sebelum tahun 1900-an.

Kini Konflik pertambangan emas ilegal di wilayah Mandailing Natal masih terus terjadi dan urung mendapat penyelesaian. Kehadiran tambang emas ilegal dinilai menjadi salah satu kegiatan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam secara masif di wilayah Mandailing. Dilain sisi para pelaku dan bos tambang ilegal berdalih bahwa kegiatan penambangan menjadi upaya masyarakat untuk mensejahterakan nasib. Lantas gimana?
-
-
Follow untuk mendapatkan informasi menarik lainnya.

Marmoncak, seni bela diri orang Batak Angkola
24/05/2025

Marmoncak, seni bela diri orang Batak Angkola

20/05/2024
Jejak peninggalan kepemimpinan Raja Inal Siregar ketika menjadi Gubsu.
15/05/2024

Jejak peninggalan kepemimpinan Raja Inal Siregar ketika menjadi Gubsu.

Lihat postingan JURNAL TABAGSEL.

03/05/2024

Bia pandapot ni Par Tapsel mengenai keadaan on? Hahaha

Address

Padangsidempuan

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Jurnal Tabagsel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Jurnal Tabagsel:

Share