23/11/2025
Pekanan mingguan
PKS 8 PAGAR ALAM
Lelaki Bersepeda
Di sebuah sudut kecil Kota Tangerang, ada seorang laki-laki sepuh berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya mungkin tak lagi sekuat dahulu, tapi langkah hidupnya masih tegap, seolah waktu tidak pernah berhasil meruntuhkan semangatnya. Ia penjual kopi keliling—dengan sepeda tua yang menjadi saksi perjalanan panjangnya.
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar membuka hari, ia sudah menuntun sepedanya dari Pasar Baru menuju Koang Jaya. Jarak yang tak dekat itu ditempuhnya dengan langkah ringan, kadang kayuh pelan, kadang dituntun saat tanjakan terasa berat. Semua dilakukan demi satu hal: tiba di masjid 15 menit sebelum azan Subuh. Ia ingin menjadi yang pertama menyalakan lampu, membuka pintu, dan duduk menunggu jamaah lain berdatangan. Baginya, ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan pada Sang Pemilik Waktu.
Kesehariannya sederhana: menjual kopi dari pagi hingga menjelang siang. Tapi yang membuat banyak orang mengenalnya bukanlah dagangannya, melainkan keteladanan yang secara diam-diam ia sebarkan. Ia selalu hadir dalam agenda apa pun—rapat, kegiatan sosial, kajian pekanan, bahkan acara besar partai. Tanpa pernah terlambat. Tanpa pernah mengeluh. Hanya dengan sepeda, ia tiba lebih dulu daripada mereka yang berkendara motor atau mobil.
Para sahabatnya sering menjadikannya andalan saat acara ditutup. “Silakan, Pak, pimpin doanya.” Ia tersenyum malu setiap kali diminta, tapi hafalannya yang kuat dan suaranya yang khusyuk selalu membuat suasana hening penuh keberkahan. Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak doa yang ia hafal; yang jelas, setiap kalimat yang keluar dari lisannya seolah membawa ketenangan.
Pada setiap Liqo pekanan, ia duduk paling awal. Segelas kopi di termos kecilnya menjadi teman setia sambil menunggu lingkaran halaqah lengkap. Wajahnya selalu cerah, meski sebagian besar hadirin tahu bahwa ia baru saja menempuh perjalanan jauh dari tempatnya berdagang.
Ketika ditanya mengapa ia begitu disiplin, ia hanya menjawab singkat,
“Kalau bukan kita yang menjaga amanah waktu, siapa lagi? Umur tidak ada yang tahu, tapi kesempatan berbuat baik selalu ada.”
Sederhana, tetapi ucapan itu menetap di hati banyak orang. Ia jarang berbicara panjang, namun hidupnya adalah ceramah yang tak pernah usai.
Tidak ada yang benar-benar tahu namanya—ia sendiri lebih senang begitu. “Biar amal saja yang menyebut,” katanya sekali waktu sambil tertawa kecil. Dan mungkin ia benar. Dalam diam, lelaki tua bersepeda itu telah menjadi lentera kecil yang menerangi langkah banyak orang: tentang ketulusan, kesungguhan, dan cintanya pada ibadah.
Setiap subuh, setiap kayuhan sepeda, setiap doa yang ia panjatkan, menjadi jejak yang tidak terlihat, tetapi terasa. Jejak seorang hamba yang mencintai Tuhannya dalam kesunyian, bekerja dalam keikhlasan, dan memberi inspirasi tanpa harus dikenali.
Ia tidak membutuhkan nama untuk dikenang.
Sebab teladanlah yang membuatnya abadi.