18/12/2025
Tragis Di tengah lumpur bencana dan jerit korban, seharusnya negara hadir dengan empati dan keterbukaan.
Namun yang terjadi di Posko Terpadu Penanganan Bencana Alam Aceh di Lanud Sultan Iskandar Muda justru sebaliknya. Seorang jurnalis Kompas TV, Davi Abdullah, mengaku mengalami intimidasi dan pemaksaan penghapusan rekaman saat menjalankan tugas jurnalistik pada 11 Desember 2025. Ironisnya, peristiwa ini terjadi bukan di ruang rahasia militer, melainkan di posko bencana, tempat publik seharusnya berhak tahu apa yang sedang terjadi. Pertanyaannya menjadi getir, kenapa kamera jurnalis terasa lebih mengancam daripada bencana itu sendiri?
Menurut penuturan Davi, insiden bermula saat ia merekam aktivitas sekelompok warga negara asing yang datang ke area posko dengan koper dan atribut tertentu. Situasi memanas ketika sejumlah anggota TNI dan seseorang yang mengaku dari unsur intelijen mendekati lokasi. Permintaan untuk menghentikan perekaman berubah menjadi tekanan untuk menghapus rekaman. Davi menjelaskan posisinya sebagai jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik, namun penjelasan itu tidak cukup. Ponselnya disebut sempat diambil, dan dua file rekaman berdurasi sekitar empat menit dihapus secara paksa, disertai ancaman perusakan perangkat. Ini bukan sekadar konflik di lapangan, tapi sinyal serius tentang relasi negara dengan pers di situasi darurat.
Di sinilah masalah kebijakan dan mentalitas bertemu. Indonesia secara hukum mengakui kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas melindungi kerja jurnalistik dan melarang segala bentuk penghalangan.
Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berulang kali menegaskan bahwa intimidasi, perampasan alat, dan penghapusan paksa rekaman adalah pelanggaran serius. Namun di lapangan, terutama di wilayah bencana atau operasi keamanan, hukum sering kalah oleh tafsir kekuasaan. Sarkas Nya begini, di atas kertas kita negara demokrasi, di lapangan kamera masih diperlakukan seperti ancaman keamanan.
Kasus ini juga membuka pertanyaan tentang standar transparansi penanganan bencana. Bencana bukan hanya urusan logistik dan evakuasi, tapi juga akuntabilitas. Publik berhak tahu siapa yang datang, bantuan apa yang masuk, dan bagaimana koordinasi dilakukan. Kehadiran jurnalis justru membantu negara menunjukkan kinerjanya. Tapi ketika kamera diminta dimatikan dan rekaman dihapus, yang muncul bukan rasa aman, melainkan kecurigaan. World Bank dan berbagai lembaga internasional menekankan bahwa transparansi informasi adalah kunci kepercayaan publik dalam manajemen bencana. Tanpa itu, negara tampak defensif, bahkan ketika tidak ada yang disembunyikan.
Lebih jauh, intimidasi terhadap jurnalis di lokasi bencana juga berdampak langsung pada hak korban. Tanpa liputan bebas, penderitaan mudah diredam, kesalahan mudah ditutup, dan evaluasi sulit dilakukan. Sejarah menunjukkan banyak perbaikan kebijakan lahir dari liputan kritis media,dari distribusi bantuan yang timpang hingga kelalaian birokrasi. Jika jurnalis dibungkam, yang hilang bukan hanya rekaman, tapi peluang memperbaiki sistem. Memberangus kamera di posko bencana sama saja dengan mematikan alarm kebijakan.
Solusinya tidak rumit, tapi membutuhkan keberanian institusional. Pertama, aparat di lapangan perlu pedoman jelas dan pelatihan tentang interaksi dengan pers, terutama di situasi darurat. Kedua, mekanisme pengaduan harus cepat dan berpihak pada korban intimidasi, bukan berlarut dalam klarifikasi tanpa ujung. Ketiga, pimpinan institusi militer maupun sipil harus tegas menyatakan bahwa kerja jurnalistik adalah mitra, bukan musuh. Tanpa sikap tegas dari atas, budaya intimidasi akan terus berulang, berganti wajah tapi dengan pola yang sama.
Refleksi nasionalnya pahit namun perlu. Kita sering bangga menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tapi demokrasi bukan hanya soal pemilu, melainkan keberanian menerima sorotan, terutama saat negara diuji oleh bencana. Jurnalis yang bekerja di tengah lumpur dan puing bukan lawan negara, melainkan saksi sejarah. Jika saksi dipaksa bungkam, yang tersisa hanya narasi resmi yang steril dari kritik. Kita lahir di negeri yang rawan bencana, jangan tambahkan satu bencana lagi berupa matinya kebebasan pers. Karena bangsa yang kuat bukan yang menutup kamera, tapi yang berani membuka diri even ketika yang terlihat tidak selalu indah.
---
pecah telur