21/12/2025
Setelah kedua orang tuanya bercer4i, hidup Dimas seolah tak lagi memiliki rumah. Baik Ayah maupun Ibu sama-sama menol4k kehadirannya. Sempat tinggal bersama Ayah, ia diusir. Berharap kasih Ibu, ia pun ditol4k mentah-mentah. Di usia yang seharusnya penuh tawa, Dimas justru harus menanggung beban berat sendirian. "Sempat tinggal bersama ayah, tapi diusir,” kata Dimas. Tanpa tempat bernaung, kakinya wajib kuat. Sejak Kelas 2 SMP, sekolah harus ia lupakan. Masalah perut jauh lebih mendesak daripada buku pelajaran. Dimas luntang-lantung di jalanan, menjadi tunawisma, tidur di emperan toko, atau menumpang terlelap di masjid. Sudah tak terhitung jari, ia menahan lap4r.
Beruntung, ada uluran tangan kebaikan. Seseorang mengizinkannya menempati kamar kos sederhana berukuran 2x3 meter dengan biaya sewa hanya Rp 100.000 per bulan. Meski kini menunggak dua bulan, pemilik kos tidak mengusirnya. Namun, Dimas bukan tipe remaja yang hanya berpangku tangan. Ia berjuang m4ti-m4tian mencari nafkah, bukan untuk biaya sekolah, tapi sekadar untuk makan dan melunasi sewa kos. Setiap hari, tanpa kenal lelah, kakinya melangkah menjualkan ikan cupang milik orang lain. Harga jual per ekor hanya Rp 5.000, dan upah Dimas? Hanya Rp 2.000 per ekor yang laku.
Mirisnya, jika ada ikan yang m4ti, ia harus menggantinya dengan uang pribadinya. Ada hari di mana ikannya hanya laku satu ekor, dan hari paling laris ia hanya membawa pulang Rp 10.000. Ya Tuhan, sekadar makan saja, rasanya ia harus mengeluarkan seluruh tenaga. Kita mungkin bertanya, mengapa Ayah dan Ibu tega? Ini adalah beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Namun, di tengah ker4snya hidup, Dimas tidak menyerah pada kepahitan. Di balik tatapan lelahnya, masih ada angan-angan yang ia genggam erat: pendidikan. Ia ingin sekali kelak berprofesi sebagai Tentara.
Dimas, yakinlah, Tuhan punya rencana terbaik. Roda akan selalu berputar. Kisahmu adalah bukti bahwa seseorang bisa menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri.