16/08/2025
GIORGIONO KIDI sang PRESIDEN YG TAK BERIJAZAH
Bab 1 – Anak dari Desa Kidiwa
Di sudut paling barat Republik Ninesins, tersembunyi sebuah desa bernama Kidiwa. Desa itu tak pernah masuk berita, tak terdaftar dalam peta wisata, bahkan pejabat jarang menengoknya. Jalan menuju Kidiwa hanyalah tanah berdebu yang berubah jadi lumpur di musim hujan.
Di sanalah, pada suatu pagi berembun, lahirlah seorang bayi laki-laki dari keluarga tukang kayu. Ayahnya, Tomaso Kidi, bekerja sebagai tukang kayu dia pandai mengolah kayu JD bernilai tinggi . Ibunya, Mira, berjualan sayur keliling kampung dengan keranjang di punggung. Mereka menamai bayi itu Georgiono—nama yang dianggap asing di telinga warga desa, tapi penuh doa agar kelak anak itu berbeda dari orang lain.
Sejak kecil, Georgiono menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Ia tak punya mainan, tapi s**a duduk di bawah pohon asem, memperhatikan orang-orang berbicara, mendengar cerita tetua, dan bertanya dengan polos tapi tajam.
“Kenapa petani harus menyerahkan hasil panen pada tuan tanah, padahal kita yang bekerja keras?” tanyanya pada usia delapan tahun.
Pertanyaan itu membuat ayahnya terdiam lama, lalu hanya menjawab lirih:
“Karena begitulah aturan, Nak. Kalau melawan, kita bisa diusir.”
Namun jawaban itu justru menyalakan api kecil di dalam dada Georgiono. Ia tidak puas. Ia merasa ada yang salah dengan dunia yang membiarkan ketidakadilan berlangsung begitu saja.
Di sekolah desa yang berdinding bambu, Georgiono selalu jadi murid yang menonjol. Guru-gurunya sering kehabisan jawaban untuk pertanyaannya yang tajam. Ia tak hanya menghafal, tapi selalu menuntut alasan. Teman-temannya menyebutnya “Si Mulut Panjang”, kadang mengejek, tapi sering juga kagum.
Meskipun miskin, Georgiono menyukai buku. Ia meminjam dari guru, membaca koran lama yang terbuang di pasar, bahkan belajar mengeja iklan-iklan pudar yang tertempel di dinding kota kecamatan. Dari sana, ia mengenal kata-kata besar: kemerdekaan, demokrasi, keadilan. Kata-kata itu menempel di kepalanya, menjadi mimpi-mimpi yang tak bisa dipadamkan.
Malam hari, ketika ibunya menyalakan lampu minyak, Georgiono sering berkata pelan:
“Bu, suatu hari nanti aku akan bicara di depan banyak orang. Aku akan membuat mereka mendengar suara kita, suara orang kecil.”
Mira menatap anaknya dengan mata basah. Ia tahu hidup di desa seperti Kidiwa jarang melahirkan pemimpin. Tapi dalam sorot mata anaknya, ia melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan: keyakinan yang terlalu besar untuk tubuh sekecil itu.
Di usianya yang masih belasan, Georgiono sudah mulai menggerakkan teman-teman sebaya. Ia mengajak mereka menanam sayur sendiri, menjual hasil panen tanpa melalui tengkulak. Ia mengorganisir ronda malam agar pencuri tak lagi merajalela. Ia bahkan berani menulis surat terbuka ke kantor kecamatan, menuntut agar jalan desa diperbaiki.
Surat itu tak pernah dijawab, tapi namanya mulai diperbincangkan. Ada yang kagum, ada p**a yang kesal.
“Anak kecil macam dia berani-beraninya melawan aturan,” gumam seorang aparat desa.
Namun bagi warga kecil, nama Georgiono mulai menjadi harapan. Dari mulut ke mulut, ia mulai disebut sebagai “anak yang akan membawa perubahan.”
Mereka tidak salah. Dari desa kecil bernama Kidiwa inilah, Georgiono Kidi akan melangkah menuju panggung terbesar negeri—menuju kursi Presiden Republik Ninesins. Tapi jalan yang ditempuhnya kelak bukan jalan lurus penuh cahaya. Ada bayang-bayang gelap yang sudah menunggu di ujungnya.
Cerita bersambung.....