17/08/2025
Polemik royalti lagu di Indonesia memicu perdebatan di kalangan musisi Tanah Air. Ironisnya, pelaku usaha ikut merasa cemas dan bertanya-tanya tentang hak dan kewajiban mereka dalam pembayaran royalti musik di tempat usahanya.
Terkait hal itu, muncul anggapan masalah ini tak akan selesai tanpa keterbukaan data dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) hingga revisi aturan yang tumpang tindih
Usut punya usut, awal mula kisruh royalti mencuat ke permukaan, setelah kasus lagu "Bilang Saja" karya Ari Bias yang dipopulerkan Agnez Mo.
Berkaitan dengan kasus yang menjerat Agnes Monica, Piyu sebagai Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), pernah mengutarakan dukungan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan denda sebesar Rp1,5 miliar kepada sang penyanyi.
Tepatnya, pada Maret 2025, sebanyak 29 musisi mengajukan gugatan uji materiil terhadap Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam debat terbuka dengan AKSI dan perwakilan musisi di Jakarta, pada Kamis, 10 April 2025 lalu, Ahmad Dhani pernah mengutarakan adanya kerancuan dalam aturan royalti musik.
"Selama 10 tahun dalam industri musik ini, ada kerancuan dalam undang-undang itu, yaitu pasal 23," tutur Ahmad Dhani.
Ari Lasso pun mempertanyakan pengelolaan royalti yang dilakukan Wahana Musik Indonesia.
“Banyak 'permainan' atau kecerobohan (WAMI) yang cukup layak rasanya untuk diperiksa lembaga negara, dalam hal ini mungkin BPK, KPK, atau Bareskrim. Bukan untuk menghukum tapi menjadikan .id sebagai sebuah lembaga yang kredibel,” tulis Ari Lasso dalam keterangan unggahan Instagram pribadinya , pada Senin, 11 Agustus 2025.
Di satu sisi, perlindungan hak cipta merupakan hal penting untuk memastikan para pencipta lagu mendapatkan apresiasi yang layak.
Kini “bola panas” ada di tangan pemerintah, LMKN, dan para pemangku kepentingan industri musik untuk duduk bersama untuk menyusun regulasi yang adil dan transparan bagi banyak pihak.