13/08/2025
Ada satu penyakit yang jarang kita akui tapi sering kita alami, kebodohan kolektif saat jatuh cinta. Penyakit ini tidak hanya mengenal jenis kelamin. Perempuan, laki-laki semuanya bisa terkena tanpa memandang gender. Bedanya hanya gejala yang muncul di permukaan. Lucunya, meski berkali-kali kena, kita jarang belajar dari pengalaman. Kita sering membungkus luka dengan kata, “tulus” atau “demi cinta”, padahal sejatinya itu hanya cara halus untuk bertahan dengan luka yang sama dan hubungan yang tidak sehat.
Mari kita mulai dari fakta yang sering di bicarakan, perempuan yang cenderung mengutamakan perasaan. Begitu cinta datang, sebagian dari mereka rela menjadikan pasangan sebagai pusat gravitasi hidupnya. Segala energi, waktu, materi, perhatian, disalurkan sebagai proyek bantuan tanpa batas waktu. Harga diri yang sejak kecil dijaga orang tua dengan nasihat dan didikan, tiba-tiba hilang seketika. Mereka membangun pasangan itu menjadi “rumah”, tempat untuk pulang, tempat bercerita, tempat berlindung, sekaligus tambatan harapan. Sayangnya, beberapa laki-laki menganggap hal tersebut bukan sebagai tanda cinta, melainkan gangguan. “Terlalu berisik”, “terlalu clingy”, “nggak ngerti kesibukan,” begitu kira-kira komentar mereka. Ironisnya, kehadiran yang dulu dicari-cari, justru menjadi beban yang ingin dihindari.
Oleh: Resi
(Baca selengkapnya di link IG Stories )