18/10/2025
Kabar mengejutkan datang dari salah satu raksasa makanan dan minuman dunia, Nestlé. Perusahaan asal Swiss itu mengumumkan rencana untuk memangkas sekitar 16 ribu karyawan di seluruh dunia dalam dua tahun ke depan. Keputusan besar ini diumumkan tidak lama setelah CEO baru, Philipp Navratil, resmi mengambil alih kendali perusahaan. Langkah ini langsung menjadi sorotan publik dan pasar karena bukan hanya menyangkut angka besar dalam bisnis, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dari ribuan orang yang akan kehilangan pekerjaan.
Menurut laporan dari Reuters, kebijakan PHK ini merupakan bagian dari upaya besar Nestlé untuk melakukan efisiensi dan restrukturisasi perusahaan. Dari total sekitar 277 ribu tenaga kerja yang dimiliki Nestlé secara global, jumlah pemangkasan itu setara dengan hampir 6%. Sekitar 12 ribu posisi yang terdampak berasal dari bagian kantor atau staf manajerial, sedangkan sekitar 4 ribu lainnya berasal dari sektor produksi dan rantai pasok. Meskipun keputusan ini terdengar pahit, pihak perusahaan menilai langkah tersebut perlu dilakukan agar perusahaan bisa tetap tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi ekonomi dunia yang berubah cepat.
Dalam laporan yang dikutip dari Financial Times, Nestlé menargetkan penghematan biaya hingga 3 miliar franc Swiss atau sekitar 54 triliun rupiah sampai tahun 2027. Target ini naik dari rencana awal perusahaan yang sebelumnya hanya 2,5 miliar franc Swiss. CEO Philipp Navratil mengatakan bahwa langkah efisiensi ini diperlukan untuk memperkuat struktur bisnis dan memastikan Nestlé tetap kompetitif di pasar global. Dengan kata lain, pemangkasan tenaga kerja bukan semata-mata karena perusahaan merugi, tetapi sebagai strategi untuk memperbaiki margin keuntungan dan mengarahkan kembali fokus perusahaan agar lebih ramping serta cepat merespons perubahan pasar.
Namun di balik strategi efisiensi tersebut, banyak pihak mempertanyakan dampaknya terhadap para karyawan yang akan kehilangan pekerjaan. Associated Press menulis bahwa restrukturisasi besar ini bisa menurunkan moral pekerja yang masih bertahan dan menimbulkan tekanan pada citra perusahaan, terutama jika proses PHK tidak dilakukan dengan adil atau transparan. Selain itu, karena Nestlé beroperasi di banyak negara dengan regulasi ketenagakerjaan yang berbeda, proses pemangkasan ini juga berpotensi menimbulkan perdebatan di beberapa wilayah yang memiliki perlindungan tinggi terhadap pekerja.
Di sisi lain, investor justru menyambut positif langkah efisiensi besar-besaran ini karena dianggap mampu memperbaiki kinerja perusahaan. Saham Nestlé dilaporkan naik sekitar 7 hingga 8% setelah pengumuman resmi tersebut sebagaimana dilaporkan oleh Reuters. Kenaikan harga saham ini menandakan bahwa pasar menilai strategi Navratil sebagai sinyal kuat bahwa perusahaan berkomitmen memperbaiki kinerja keuangannya. Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa penjualan organik Nestlé naik sekitar 3,3% selama sembilan bulan pertama tahun 2025, sedangkan pertumbuhan volume penjualan mencapai 1,5% pada kuartal ketiga yang berarti melampaui perkiraan para analis yang hanya sekitar 0,3%.
Konteks ini menunjukkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, efisiensi perusahaan dianggap sebagai langkah manajerial yang rasional untuk menjaga stabilitas bisnis. Namun di sisi lain, keputusan tersebut menyisakan dilema sosial yang tidak kecil karena ribuan keluarga akan kehilangan mata pencaharian, dan tidak semua akan mudah beradaptasi di tengah persaingan kerja yang semakin ketat.
Kita sebagai pembaca, terutama yang hidup di tengah era perubahan cepat seperti sekarang, dapat mengambil pelajaran penting dari peristiwa ini. Dunia kerja modern tidak lagi stabil seperti dulu karena perusahaan besar pun bisa melakukan pemangkasan besar-besaran demi bertahan dan beradaptasi. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk terus meningkatkan keterampilan, memperluas kemampuan, dan menyiapkan diri menghadapi kemungkinan perubahan di dunia kerja. Keputusan Nestlé memang tidak mudah diterima, tetapi kisah ini menjadi pengingat bahwa efisiensi bisnis selalu memiliki sisi kemanusiaan yang perlu diperhatikan. Dari kasus ini, kita bisa belajar bahwa kemajuan ekonomi tidak boleh hanya diukur dari seberapa besar laba yang dicapai, melainkan juga dari bagaimana manusia yang menjadi bagian dari roda industri itu tetap dihargai dan dilindungi.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.