
24/07/2025
/ Sekolah Kekurangan Siswa, Aneh, tetapi Nyata /
— Fenomena sekolah tanpa siswa baru kembali mencuat pada tahun ajaran 2025/2026 di sejumlah daerah di Indonesia. Puluhan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) tercatat tidak menerima pendaftar baru, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Di sejumlah provinsi terdapat SDN yang minim mendapatkan siswa baru kelas I. Bahkan, ada yang tidak bisa melaksanakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) akibat nihil peserta. Yang juga menjadi masalah, jumlah SDN yang sepi peminat itu tidak hanya satu atau dua, tetapi ratusan. Fenomena ini terjadi bukan baru tahun ini saja, melainkan sudah beberapa tahun.
- Faktor Penyebab -
Fenomena sekolah kekurangan siswa baru ini diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti penurunan angka kelahiran, urbanisasi dan perpindahan penduduk, preferensi orang tua terhadap sekolah swasta atau berbasis agama, serta kondisi sekolah yang tidak layak atau minim tenaga pendidik.
Selain itu, faktor demografi dan persebaran penduduk juga menjadi penyebab rendahnya jumlah pendaftar di sejumlah sekolah. Faktor lainnya, banyak pilihan alternatif sekolah yang dianggap lebih unggul oleh para orang tua.
Ketua Komisi IV DPRD Sragen Sugiyamto turut mempertanyakan penyebab sekolah negeri yang digratiskan justru kalah peminat dibandingkan SD swasta yang berbayar. Ia mengusulkan agar seluruh guru SDN—baik PNS, PPPK, maupun GTT (Guru Tidak Tetap)—mendapatkan gaji minimal setara Upah Minimum Kabupaten (UMK). Menurutnya, penggajian yang layak akan mendorong peningkatan kualitas mengajar serta tanggung jawab guru. Pasalnya, diskriminasi antara guru PNS dan non-PNS, baik dalam Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) maupun seragam, adalah fenomena yang nyata terjadi.
Untuk itu, di samping peningkatan kesejahteraan guru, upaya penting lainnya adalah pembenahan fasilitas pendidikan, termasuk penataan gedung, ketersediaan komputer atau laptop, serta lingkungan belajar yang layak. Juga peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, dan promosi mutu sekolah berdasarkan hasil asesmen. Dengan ini diharapkan akan menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke SDN.
- Aneh, tetapi Nyata -
Sungguh realitas ini aneh, tetapi nyata. Kondisi ini juga memicu keprihatinan serta menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan pendidikan. Krisis jumlah siswa baru ternyata tidak hanya menimpa sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta. Jelas, kita tidak bisa berdiam diri begitu saja.
Meski krisis jumlah siswa baru ada yang terjadi di sekolah swasta, secara umum jumlah siswa baru di SD swasta meningkat tajam. Menurut data Statistik Sekolah Dasar Kemendikdasmen Tahun Ajaran 2020/2021 hingga 2024/2025, jumlah siswa di SD swasta meningkat 4,8 kali dari siswa baru di SDN, yakni rata-rata meningkat rata-rata 17.580 siswa per tahun. Sedangkan pertambahan siswa baru SDN rata-rata 3.634 per tahun. Hal ini mengindikasikan SD swasta telah menjadi pilihan orang tua dalam menyekolahkan anak.
Pada tingkat SMP, rendahnya angka pendaftar turut dipengaruhi oleh kultur masyarakat setempat, yakni banyak orang tua yang lebih memilih mengirim anak-anak mereka ke pondok pesantren. Dampaknya, kuota siswa baru di SMPN tidak bisa terpenuhi. Padahal, pondok pesantren itu milik swasta, bukan negeri, biaya masuknya pun tidak murah.
Realitas ini menunjukkan bahwa selain rela dengan biaya mahal, masyarakat juga mempertimbangkan kualitas. Dahulu sekolah negeri banyak diminati karena biayanya murah, masih disubsidi penuh oleh pemerintah, dan kualitasnya juga dipandang baik, bahkan favorit bagi masyarakat.
Sayang, makin hari makin banyak sekolah negeri yang dipandang kurang memperhatikan kualitas pendidikan. Tidak sedikit yang sarana dan fasilitasnya ala kadarnya. Kualitas sekolah negeri itu tidak sesuai dengan harapan para orang tua. Tidak heran, para orang tua lebih memilih sekolah swasta, meski harus mengeluarkan biaya besar. Dengan ini kita bisa menilai bahwa para orang tua sudah tidak memercayai penyelenggaraan sistem pendidikan oleh pemerintah karena kualitasnya minim.
- Kapitalisasi Pendidikan -
Kesadaran para orang tua akan kualitas pendidikan adalah faktor penting yang tidak bisa diabaikan. Demi kualitas itu, mereka rela membayar biaya mahal, bahkan ada yang sampai harus berutang. Sayang, sistem kapitalisme tidak memperhatikan hakikat fungsi pendidikan itu sendiri. Kapitalisme hanya berorientasi profit/materi sehingga pendidikan pun menjadi salah satu target kapitalisasi.
Sistem kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis, bukan kewajiban negara. Pendidikan menjadi mahal karena kapitalisme memosisikannya sebagai komoditas ekonomi. Akibatnya, pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu secara finansial, sedangkan rakyat kecil terbebani dan harus memaksakan diri demi pendidikan anak.
Namun, kita patut mengkritisi bahwa sebenarnya pendidikan yang mahal bukanlah segalanya. Masyarakat semestinya mengubah arah pandang dan memahami bahwa pendidikan berkualitas tidak harus mahal. Mahalnya biaya pendidikan adalah bagian dari komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan sehingga berpotensi besar untuk melenyapkan ruh pendidikan itu sendiri. Ini tentu tidak sejalan dengan hakikat pendidikan sebagai proses transfer ilmu dan kontekstualisasi keilmuan itu dalam kehidupan.
Biaya sekolah swasta yang mahal itu semata-mata bertarget materi, tanpa disertai kontekstualisasi hakiki atas keilmuan. Target materi jelas nol besar untuk mencetak kaum terpelajar yang mampu menjadi problem solver. Hasilnya, mereka pragmatis, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terlumat arus sekularisasi.
Mereka pintar hanya di atas kertas dengan label berupa nilai-nilai akademik yang tinggi, tetapi gagap mengatasi permasalahan kehidupan. Mereka pintar, tetapi liberal, padahal tidak sedikit dari mereka yang muslim. Pada akhirnya mereka ibarat produk setengah matang, tidak jelas identitas dan standar keberpihakannya terhadap kebenaran. Mereka hidup dalam rangka asas manfaat.
Sungguh, itulah harga yang jauh lebih mahal yang harus dibayar di balik pendidikan berbiaya tinggi yang terjadi di dalam sistem sekuler kapitalisme. Ini sebagai dampak penerapan kurikulum sekuler yang menyesuaikan kehendak modal dan mekanisme pasar, bukan dalam rangka mencetak para calon pemimpin umat.
- Politik Pengelolaan dan Pembiayaan Pendidikan dalam Khilafah -
Pengaturan Islam terhadap pendidikan sangat jauh berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme. Islam memosisikan pendidikan sebagai bagian dari kebutuhan publik yang disediakan oleh negara. Dalam Islam, pendidikan adalah fasilitas umum dari negara untuk rakyatnya, bukan komoditas ekonomi sebagaimana cara pandang kapitalistik.
Islam mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya. Pembiayaan pendidikan menurut Islam tidak dibebankan kepada rakyat, tetapi dikelola oleh negara. Penguasa negara Islam (Khilafah) merealisasikan fungsi pelayanan itu sebagaimana tuntunan syariat. Dalam Khilafah, negara wajib menyediakan pendidikan gratis, berkualitas, dan merata untuk seluruh rakyat tanpa membedakan status sosial atau wilayah tempat tinggal.
Rasulullah saw. bersabda dalam hadis,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Juga hadis,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim).
Menilik peran vital pendidikan, jelas sistem pendidikan tidak layak diposisikan sebagai komoditas ekonomi, apalagi dikapitalisasi. Dalam kapitalisme, pendidikan akan kehilangan ruhnya akibat tergadai pada kekuatan uang. Padahal, pendidikan berperan untuk meningkatkan taraf berpikir manusia. Tidak pelak, sistem pendidikan harus diwujudkan sebagai pelayanan penguasa kepada rakyatnya karena pendidikan adalah hak publik. Rasulullah saw. bersabda,
…اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…
“Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) bahwa segala sesuatu apa pun yang jika tidak terpenuhi di dalam suatu komunitas masyarakat berdampak pada timbulnya sengketa di antara mereka untuk mendapatkannya, sesuatu itu dipandang sebagai fasilitas umum. Pendidikan adalah sesuatu yang memenuhi syarat sebagai fasilitas umum.
Sayang, akibat kapitalisme menempatkan pendidikan sebagai komoditas ekonomi, yang mampu mengenyam pendidikan hanyalah masyarakat kalangan menengah ke atas. Padahal, semestinya tiap individu muslim mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Negara kapitalistik tidak memprioritaskan pendidikan untuk setiap individu rakyatnya, kendati sudah menetapkan kebijakan populis seperti sekolah gratis. Yang terjadi, pengadaan sekolah gratis justru pemborosan anggaran, sedangkan kualitas output pendidikan tetap saja patut dipertanyakan. Inilah realitas kapitalisasi pendidikan.
Sebaliknya, Khilafah justru menghapus komersialisasi pendidikan. Ini karena pendidikan tidak dipandang sebagai sumber pendapatan, tetapi sebagai kebutuhan pokok publik yang dijamin oleh negara. Khilafah juga sangat memprioritaskan anggaran pendidikan. Sekolah di dalam Khilafah adalah sekolah-sekolah terbaik dengan peserta didik yang datang dari seluruh penjuru dunia. Tidak ada sekolah yang kosong karena kualitas buruk.
Biaya pendidikan dalam Khilafah, baik sarana maupun prasarananya, sangat mencukupi karena sumber pembiayaannya dari baitulmal. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) bahkan menyebutkan bahwa pendidikan adalah salah satu sektor yang anggarannya diprioritaskan oleh Khilafah meski di baitulmal sedang mengalami krisis (tidak ada harta). Pendidikan menyangkut urusan kemaslahatan publik, di dalamnya juga terdapat orang-orang yang melaksanakan pekerjaan berupa pelayanan masyarakat dan kemaslahatan kaum muslim. Khilafah bisa memberlakukan pemungutan pajak (dharibah) dari kalangan muslim laki-laki yang kaya jika baitulmal kosong, sedangkan pada saat yang sama sektor pendidikan membutuhkan pendanaan.
Lebih lanjut, Khilafah menerapkan konsep distribusi harta secara adil dan merata kepada seluruh rakyat dengan standar berdasarkan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) setiap individu dalam jumlah cukup. Dengan demikian, kesejahteraan guru maupun tenaga pendidikan bisa tercapai.
Baitulmal memiliki sejumlah sumber dana yang telah ditetapkan menurut dalil syarak dengan masing-masing sumber dana memiliki nominal yang banyak sehingga kas baitulmal aman. Syekh Abdul Qadim Zallum memerinci di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), bahwa pendapatan negara di baitulmal memiliki tiga pos besar, yakni pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah.
Jenis-jenis harta yang termasuk di dalam pos fai dan kharaj meliputi ganimah, kharaj, tanah, jizyah, usyur, rikaz, dan pajak (dharibah). Selanjutnya pos kepemilikan umum mencakup seluruh harta milik umum, seperti minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput penggembalaan, dan tempat khusus berupa hima. Khilafah mengelola SDA yang dimiliki secara mandiri dan tidak menyerahkan kepada swasta, baik lokal maupun asing. Kepemilikan umum adalah pos yang akan berkontribusi paling besar dalam pembiayaan seluruh kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan.
Sedangkan pos sedekah menjadi tempat penyimpanan harta zakat yang wajib beserta catatan-catatannya. Alokasi harta zakat hanya boleh untuk delapan golongan sebagaimana ketentuan di dalam Al-Qur’an.
Demikianlah politik pengelolaan dan pembiayaan pendidikan di dalam Khilafah. Selain pendidikan, kebutuhan-kebutuhan publik lainnya seperti kesehatan, keamanan, perumahan, dan transportasi di dalam Khilafah bisa gratis karena itu wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Wallahualam bissawab.
Sumber: muslimahnews[dot]net
—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————