Puan Riau Bersyariah

Puan Riau Bersyariah Menyampaikan informasi terkait Islam secara umum & Riau secara khusus dengan sudut pandang yang khas

 / Tarik Ulur Pembatasan Kadar Gula pada Makanan, Pemerhati: Negara Lalai Menjaga Kesehatan Generasi /  — Meningkatnya k...
21/12/2025



/ Tarik Ulur Pembatasan Kadar Gula pada Makanan, Pemerhati: Negara Lalai Menjaga Kesehatan Generasi /

— Meningkatnya kasus diabetes pada anak dari tahun ke tahun perlu mendapat perhatian serius. Apalagi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan, kasus diabetes anak pada 2023 meningkat 70 kali lipat sejak 2010. Data Kementerian Kesehatan bahkan menunjukkan prevalensi diabetes pada anak meningkat hingga 15,6% pada 2025. Indonesia memiliki 50 juta anak usia sekolah dan lebih dari 10.000 puskesmas kini memperkuat kemampuan skrining dan diagnostik. Hingga Juli lalu, 20 juta anak telah menjalani skrining dasar.

- Tarik Ulur -

Menyikapi hal tersebut, pemerhati kebijakan kesehatan dr. Arum Harjanti menyampaikan, komitmen negara untuk mengatur kandungan gula dalam makanan dan minuman masih belum menunjukkan keseriusan. “Tarik ulur aturan pembatasan kadar gula dalam makanan dan minuman menunjukkan bahwa sejatinya negara lalai menjaga kesehatan generasi, padahal generasi sehat sangat penting untuk membangun negara hebat,” ucapnya kepada MNews, Jumat (12-12-2025).

Ia memaparkan, sebenarnya sudah ada Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 yang mengatur pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak, serta pesan kesehatan pada pangan siap saji dan pangan olahan, tetapi masyarakat masih abai karena minimnya literasi dan edukasi. “Usulan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sudah lama bergulir sejak 2016, tetapi implementasinya terus tertunda. Pemerintah dan DPR baru menyepakati penerapan cukai ini mulai 2026, tetapi implementasi cukai ini menghadapi tantangan dari dunia industri. Pengusaha merasa dirugikan jika cukai MBDK diterapkan,” urainya.

Menurutnya, terjadinya tarik ulur ini tidak mengherankan karena dalam sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini, keuntungan materi menjadi prioritas utama dan risiko akan diabaikan. “Kondisi ini makin dimudahkan ketika negara hanya berperan sebagai regulator. Negara lebih mengutamakan kepentingan bisnis, sementara risiko yang mengancam kesehatan anak diabaikan. Hidup rakyat makin berat karena layanan kesehatan pun dikapitalisasi,” paparnya.

- Tidak Cukup -

Menurut Arum, terjadinya diabetes pada anak jelas akan berpengaruh terhadap kualitas hidup anak. “Oleh karena itu, skrining saja tidak cukup. Pencegahan terjadinya penyakit diabetes pada anak juga menjadi penting dan sangat strategis. Anak yang sehat merupakan salah satu syarat terwujudnya generasi unggul yang akan menjadikan negara kuat,” bebernya.

Kesehatan, terangnya, dipengaruhi oleh faktor klinis dan nonklinis, maka langkah pencegahan penyakit diabetes pada anak harus komprehensif. “Salah satu faktor nonklinis yang berpengaruh terhadap tingginya angka diabetes pada anak adalah konsumsi makanan dan minuman bergula tinggi. Sayangnya saat ini, makanan dan minuman yang beredar di Indonesia justru banyak yang mengandung gula tinggi,” paparnya.

Mirisnya lagi, ungkapnya, masyarakat masih rendah literasi bahaya konsumsi gula berlebihan. “Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kelebihan berat badan. Studi UNICEF terbaru menunjukkan prevalensi kelebihan berat badan di kalangan anak-anak dan remaja berusia 5—19 tahun di sembilan negara termasuk Indonesia, setidaknya meningkat tiga kali lipat antara 2000—2022,” paparnya.

Ia menyampaikan, faktor nonklinis lainnya yang memperparah kondisi adalah gaya hidup liberal. “Anak-anak mager (malas gerak) karena sibuk berselancar dengan gawainya, diperparah dengan konsumsi makanan berlebihan yang tidak terelakkan. Kemajuan teknologi tergiur promosi makanan miskin gizi. Rendahnya literasi makanan bergizi menjerumuskan anak dalam jeratan makanan sampah tinggi kalori,” tegasnya.

- Aturan Islam -

Arum menerangkan, tarik ulur kepentingan bisnis dan risiko kesehatan seperti ini tidak akan terjadi ketika tata kelola kesehatan diatur sesuai syariat Islam. “Islam memandang kesehatan generasi sebagai aspek strategis karena anak adalah generasi penerus. Islam juga memperhatikan pencegahan atas segala keburukan, termasuk penyakit. Allah Swt. melarang meninggalkan keturunan yang lemah dan kaidah fikih tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain menjadi panduan dalam menjaga kesehatan makanan yang beredar,” ungkapnya.

Semua itu, jelasnya, tentu membutuhkan hadirnya negara yang memiliki paradigma ra’awiyah atau pengurus. “Paradigma ra’awiyah ini hanya akan terwujud dengan tegaknya Khilafah. Khalifah sebagai raa’in (pelayan) wajib menjaga rakyatnya secara penuh, apalagi salah satu maqasid (tujuan) syariat adalah menjaga nyawa (hifz al-nafs). Oleh karena itu, kepentingan bisnis tidak boleh mengalahkan kesehatan generasi,” paparnya.

Dengan demikian, paparnya, Khilafah akan meminta para ahli untuk menentukan standar keamanan pangan agar anak dapat tercegah dari penyakit diabetes. “Khilafah akan menjamin industri hanya memproduksi produk halalan tayyiban dan menetapkan sanksi tegas bagi perusahaan yang lalai. Negara juga akan meningkatkan literasi masyarakat akan bahaya mengkonsumsi makanan dan minuman bergula tinggi dengan berbagai cara,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, Khilafah menyediakan layanan kesehatan gratis, berkualitas terbaik, dan mudah dijangkau sehingga memudahkan terwujudnya sehat yang paripurna. “Semua jenis layanan, mulai dari promotif preventif, kuratif, hingga rehabilitatif akan diwujudkan oleh Khilafah. Berbagai faktor determinan sosial kesehatan juga akan dikelola sesuai dengan aturan Islam. Dengan demikian kasus diabetes dapat dicegah, anak-anak akan tumbuh sehat sehingga terwujud generasi hebat negara kuat,” pungkasnya.

Sumber: muslimahnews[dot]net





—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————

20/12/2025



/ Membangun Kesadaran Islam Ideologis Generasi Muda di Tengah Arus Digital /

- Derasnya arus informasi digital memunculkan sikap kritis generasi muda terhadap kezaliman penguasa sebagaimana aktivis global gen Z dari berbagai negara. Bagaimana mengarahkan sikap kritis tersebut agar tidak berhenti pada luapan emosi sesaat atau sekadar ekspresi digital?

Sumber: mmc_reborn





—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————

  / Apakah Suami Disyaratkan Mendapat Persetujuan Istri untuk Berpoligami ? /Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi   - Tanya :Us...
19/12/2025



/ Apakah Suami Disyaratkan Mendapat Persetujuan Istri untuk Berpoligami ? /

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

- Tanya :

Ustadz. Mohon penjelasannya apakah suami itu disyaratkan atau diwajibkan mendapat persetujuan istri ketika hendak berpoligami? (Hamba Allah).

Jawab :

Persyaratan bahwa suami harus mendapat persetujuan istri ketika hendak berpoligami, tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an atau As-Sunnah. Maka persyaratan itu adalah persyaratan yang batil yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kaum Muslimin di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa syarat itu menurut para fuqoha` itu ada dua macam, sebagaimana dijelaskan misalnya dalam Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (4/305), juga dijelaskan dalam Ilmu Ushūl Al-Fiqh Al-Islāmī, karya Syekh Wahbah Al-Zuhaili (1/98-99), sebagai berikut;

Pertama, syarat syar’i, atau disebut juga syarat hakiki, adalah syarat yang ditetapkan syariah, jadi wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, yang merupakan keharusan agar suatu hukum syara’ dapat terwujud atau terlaksana.

Misalnya syarat wudhu untuk sholat. Jadi terlaksananya suatu hukum syara’, dalam hal ini sholat, bergantung kepada keberadaan syarat itu, yaitu wudhu. Jika syarat itu tidak ada (wudhu), maka sholat tidak sah dilaksanakan. Namun sebaliknya jika syarat itu ada, tidak selalu menyebabkan suatu hukum syariat terlaksana. Misalnya, boleh jadi seseorang berwudhu namun bukan untuk sholat, melainkan sekedar ingin menjaga kesucian, dalam arti menjaga kondisi agar dirinya tidak berhadats kecil akibat kentut, atau menyentuh wanita, dsb.

Syarat wudhu itu disebut syarat syar’i, yang berarti wajib ada dalilnya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an untuk wudhu adalah firman Allah SWT :

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا قُمۡتُمۡ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغۡسِلُوۡا وُجُوۡهَكُمۡ وَاَيۡدِيَكُمۡ اِلَى الۡمَرَافِقِ وَامۡسَحُوۡا بِرُءُوۡسِكُمۡ وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ ؕ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sap**ah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS Al-Ma`idah : 6).

Dalil As-Sunnah untuk wudhu misalkan hadits Nabi SAW :

عَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ, فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ مَضْمَضَ, وَاسْتَنْشَقَ, وَاسْتَنْثَرَ, ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Humran RA, bahwa ‘Utsman RA pernah meminta untuk diambilkan air wudhu. Lalu ‘Utsman RA mencuci kedua telapak tangannya, lalu berkumur-kumur, lalu memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali, lalu membasuh wajahnya tiga kali, mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, dan demikian juga tangan kiri, kemudian mengusap kepala, kemudian mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, dan demikian juga kaki kiri, lantas ‘Utsman RA berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhu yang telah saya lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih) (HR. Bukhari, no. 159 dan Muslim, no. 226).

Inilah syarat pertama, yang disebut syarat syar’i. Syarat ini mewajibkan adanya dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Kedua, syarat ja’li, atau disebut juga syarat ta’liqi, yaitu syarat yang ditetapkan sendiri oleh seorang mukallaf, dalam berbagai akad (misalnya akad nikah) atau tasharruf (perbuatan hukum non akad) seperti menjatuhkan talak yang dilakukan suami, yang tidak diwajibkan ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Namun disyaratkan, bahwa syarat ja’li ini tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’. Jika bertentangan dengan hukum syara’, maka syarat ja’li ini otomatis batal demi hukum Islam.

Contoh syarat ja’li, misalnya seorang pemilik modal (shahibul mal) berkata kepada pengelola modal (mudharib),”Saya serahkan modal saya kepada Anda, untuk kegiatan perdagangan umum, dengan syarat tidak boleh untuk berjualan binatang ternak, seperti kambing, dan lain-lain.” Atau misalnya, suami berkata kepada istrinya,”Jika kamu pergi dari rumah tanpa izin aku, maka jatuh talak satu dari saya kepada kamu.”

Syarat seperti contoh di atas disebut syarat ja’li, yaitu syarat yang dibuat sendiri oleh para mukallaf atau para pihak dalam berbagai muamalah yang ada, apakah akad jual-beli, akad sewa menyewa, akad nikah, ikrar talak oleh suami kepada istri, dsb.

Syarat ja’li ini dibolehkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil syar’i berikut ini, antara lain :

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Dan kaum muslimin terikat (harus memenuhi) syarat-syarat yang telah mereka sepakati di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal, atau syarat yang menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Dari Ibnu ‘Abbas RA dia meriwayatkan :

كَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ مَالًا مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا ، وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَادِيًا، وَلَا يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ ، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ، فَرَفَعَ شَرْطَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَجَازَهُ.رواه الطبراني والبيهقي

“Dulu Al-‘Abbas bin Abdil Muththalib jika menyerahkan modal mudharabah, dia mensyaratkan kepada pengelola modal itu untuk tidak membawa modal itu melewati laut, tidak membawa modal itu menuruni lembah, dan tidak digunakan untuk membeli makhluk hidup. Jika dia melakukannya, maka dia bertanggung jawab (jika rugi, dsb). Maka Al-‘Abbas bin Abdil Muththalib kemudian menyampaikan syarat-syarat ini kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW membolehkan syarat-syarat tersebut.” (HR. Al-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Inilah syarat kedua, yaitu syarat ja’li, yang dibolehkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil syar’i tersebut, namun pembuatan syarat ja’li oleh seorang muslim ini ada syaratnya, yaitu syarat ja’li tidak boleh bertentangan dengan Syariah Islam. Dalilnya sabda Rasulullah SAW:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ ،رواه البخاري ومسلم عن عائشة

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, maka dia adalah batil meskipun ada seratus syarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah RA).

Nah, inilah syarat kedua dalam Islam, yaitu syarat ja’li, yaitu syarat yang boleh hukumnya dibuat sendiri oleh para mukallaf atau para pihak, namun dengan syarat, tidak boleh bertentangan dengan Syariah Islam.

Perbedaan syarat syar’i dan syarat ja’li setidaknya terdapat pada dua segi sbb;

Pertama, perbedaan dari segi wajib ada dalilnya atau tidak. Syarat syar’i wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sedangkan syarat ja’li, tidak wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Yang penting syarat ja’li itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Kedua, perbedaan dari segi pemberlakuannya apakah berlaku secara umum atau secara khusus. Syarat syar’i itu berlaku secara umum, seperti wudhu sebagai syarat sahnya sholat, yang berlaku secara umum untuk muslim siapa pun yang hendak sholat. Sedangkan syarat ja’li, tidak berlaku secara umum, tapi berlaku secara individual, di mana satu individu dapat berbeda dengan individu lain dalam penetapan dan pengamalan suatu syarat ja’li. Boleh jadi satu individu menetapkan syarat ja’li tertentu, namun boleh jadi individu lain tidak menetapkan syarat yang sama sebagai syarat ja’li baginya, atau individu lain itu menetapkan syarat lain sebagai syarat ja’li bagi dirinya.

Contohnya, syarat ja’li oleh seorang suami pada istrinya, ”Jika kamu pergi dari rumah tanpa izin aku, maka jatuh talak satu dari saya kepada kamu.” Sementara boleh jadi ada seorang suami yang lain, menetapkan syarat ja’li yang berbeda, misalnya,”Jika kamu ke luar rumah tidak berbusana muslimah, maka jatuh talak satu dari saya kepada kamu.” Demikianlah, jadi yang namanya syarat ja’li itu sifatnya sangat personal atau individual, terserah masing-masing, tidak dapat diterapkan atau diberlakukan secara general/umum yang berlaku untuk semua orang.

Nah, sekarang kita akan mencoba menjawab pertanyaan di atas, ketika suami itu disyaratkan atau diwajibkan mendapat persetujuan istri untuk berpoligami, menurut perundang-undangan Indonesia, apakah ini dapat dibenarkan dalam Syariah Islam?

Jawab : tidak dapat dibenarkan dalam Islam, karena syarat-syarat tersebut dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, telah diterapkan secara umum untuk semua orang, tidak diserahkan kepada pilihan masing-masing antara seorang laki dan seorang perempuan yang akan atau telah menikah.

Dengan kata lain, syarat-syarat poligami tersebut telah diposisikan sebagai syarat syar’i yang berlaku secara umum, tidak diposisikan sebagai syarat ja’li yang diserahkan kepada pilihan individual masing-masing suami atau istri.

Ketika diposisikan sebagai syarat syar’i yang cirinya berlaku secara umum, maka konsekuensinya adalah, syarat-syarat berpoligami itu semestinya, wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi suami yang hendak berpoligami itu, dalam perundang-undangan Indonesia, ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah? Mari kita uji satu persatu.

Syarat-syarat poligami di Indonesia, berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama, adalah :

Pertama, poligami mensyaratkan izin Pengadilan Agama dengan alasan kuat (istri tidak dapat menjalankan kewajiban/cacat/mandul).

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, diwajibkan secara syariah mendapat izin dari pengadilan agama? Tidak ada dalilnya bukan?

Apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, istrinya disyaratkan wajib dalam kondisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri? Tidak ada dalilnya bukan?

Apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, istrinya disyaratkan wajib dalam kondisi yang cacat, misalnya istrinya harus dalam kondisi gila atau lumpuh atau hanya bisa berbaring lemah tanpa daya? Tidak ada dalilnya bukan?

Apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, istrinya disyaratkan wajib dalam kondisi mandul atau tidak dapat melahirkan anak? Tidak ada dalilnya bukan?

Kedua, poligami mensyaratkan persetujuan istri (kecuali kondisi tertentu), kemudian suami harus mampu menafkahi adil, serta adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anaknya.

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, diwajibkan secara syariah mendapat persetujuan istri? Tidak ada dalilnya bukan?

Adapun bahwa suami harus mampu menafkahi secara adil, serta adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anaknya, memang ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kami tidak menggugat syarat-syarat ini.

Jadi, syarat-syarat yang wajib dipenuhi suami yang hendak berpoligami, dalam perundang-undangan di Indonesia, sesungguhnya adalah syarat-syarat yang seharusnya mendapat justifikasi berupa dalil-dalil syar’i dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang mendasari syarat-syarat itu. Faktanya, syarat-syarat tersebut, tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Maka dari itu, persyaratan bahwa suami harus mendapat persetujuan istri ketika hendak berpoligami, jelas tidak dapat dibenarkan dalam agama Islam, karena tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an atau As-Sunnah. Maka persyaratan seperti itu adalah persyaratan yang batil yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kaum Muslimin di Indonesia. Terhadap syarat-syarat yang tidak ada dalilnya itu, diberlakukan sabda Rasulullah SAW :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ ،رواه البخاري ومسلم عن عائشة

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, maka dia adalah batil meskipun ada seratus syarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah RA). Wallāhu a’lam.

Sumber: muslimahnews[dot]net





—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————

 / Penderitaan Korban Bencana Sumatra di Tengah Sikap Nirempati Pejabat Negara /  — Bencana banjir besar yang melanda wi...
18/12/2025



/ Penderitaan Korban Bencana Sumatra di Tengah Sikap Nirempati Pejabat Negara /

— Bencana banjir besar yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat meninggalkan luka mendalam bagi para korban. Di antara 1,2 juta warga dari 50 kota/kabupaten yang menjadi korban banjir, para perempuan menjadi salah satu pihak yang paling terdampak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Arifah Fauzi saat berkunjung ke posko pengungsian korban banjir di Kota Padang, Sumbar mengungkapkan kehidupan perempuan makin sulit ketika dihadapkan dengan situasi bencana. Ia juga menyatakan, KemenPPPA sudah berkoordinasi dengan dinas pengampu isu perempuan dan anak untuk memastikan kondisi para perempuan dan anak korban bencana. (Kemenpppa, 1-12-2025).

Selain kaum perempuan, anak-anak juga salah satu kelompok yang paling rentan dan sering terlupakan saat bencana. Mereka dalam kondisi tidak berdaya. Mereka juga kehilangan mainan, hewan peliharaan, peralatan belajar, sekolah, rumah, bahkan anggota keluarga.

Lantas, bagaimana solusi bagi hal ini? Mengingat banyak p**a korban selain perempuan dan anak-anak. Ditambah lagi adanya pejabat yang abai dan nirempati di tengah penanganan bencana Sumatra.

- Semua Terdampak -

Bercermin dari bencana Sumatra, baik perempuan maupun anak-anak mengalami nasib buruk. Bencana adalah situasi krisis yang menyebabkan para perempuan kesulitan bergerak cepat saat evakuasi. Tidak jarang, mereka merasa harus mengutamakan anggota keluarga atau orang lain terlebih dahulu sehingga mereka justru mengorbankan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri.

Situasi pascabencana juga memicu hilangnya privasi dan berkurangnya ruang aman sehingga kaum perempuan berisiko mengalami kekerasan fisik dan seksual. Pemulihan ekonomi para perempuan pascabencana juga terhambat. Banyak perempuan yang bekerja di sektor informal, seperti berdagang dan sebagai pekerja rumah tangga, yang semua itu terhenti akibat bencana.

Tidak hanya perempuan, anak-anak yang terdampak bencana akan mengalami trauma, juga terserang penyakit. Mereka tidak bisa sekolah karena gedung sekolahnya hancur dan infrastruktur jalan terputus. Kesehatan, kebutuhan gizi, dan keamanan mereka juga terancam.

Lansia korban bencana Sumatra juga tidak kalah memprihatinkan. Banyak dari mereka yang terjebak, bahkan tidak sempat dievakuasi karena cepatnya banjir memasuki rumah mereka. Ada video yang beredar di media sosial yang memperlihatkan seorang lansia yang masih berada di kursi roda dengan separuh tubuhnya terendam banjir. Betapa memilukan.

Meski demikian, korban yang terdampak bencana nyatanya tidak hanya kalangan kelompok rentan. Kaum laki-laki juga terdampak, mereka kesulitan untuk mencari nafkah akibat lokasi yang porak-poranda pascabencana. Selain itu, fungsi fasilitas publik terhenti dan infrastruktur luluh lantak. Untuk pakaian saja, sejumlah laki-laki korban banjir Sumatra terpaksa mengenakan pakaian perempuan karena hanya itu bantuan sandang yang datang.

- Bupati “Lari”, Pejabat Nirempati -

Dengan kondisi pascabencana yang sedemikian memprihatinkan, bukannya mengambil kebijakan tanggap darurat, bencana Sumatra malah tidak ubahnya panggung pencitraan para pejabat. Ada bupati yang seolah-olah “lari” dari tanggung jawab mengurusi warganya yang menjadi korban bencana dengan dalih “tidak sanggup menangani” dan sudah menyerahkan tanggung jawab itu langsung kepada pemerintah pusat.

Para pejabat di pusat pun tidak berbeda nyata. Mereka datang bukan dengan niat tulus mengurus korban, tapi lebih mengutamakan gimik, seperti memanggul karung beras, ikut mengepel rumah korban banjir, juga mengenakan sepatu bot seakan-akan terjun langsung membantu korban di lokasi berlumpur. Sayang, aksi tersebut hanya dalam rangka meraih validasi di media sosial.

Juga seorang pejabat yang menyatakan bahwa listrik di kawasan bencana sudah menyala 97%, padahal realitasnya maksimal baru sekitar 60%. Alih-alih menampilkan kapasitas kepemimpinan saat kondisi darurat bencana, mereka lebih tampak sebagai pejabat nirempati.

Berbagai data dan laporan dari lokasi bencana lebih cenderung bertujuan “asal bapak senang” (ABS), yakni agar mereka punya jawaban saat kepala negara bertanya. Jika seperti ini, sejatinya sangat menyesatkan dan menyebabkan kepala negara bisa keliru dalam menetapkan kebijakan bagi lokasi bencana. Akibatnya, lagi-lagi warga bagai jatuh tertimpa tangga. Warga sudah menderita akibat bencana, tapi mereka harus lebih sengsara lagi akibat kebijakan yang salah arah.

Kita harus sadar, para pejabat tidak bisa berbuat sekadar atas nama pribadi. Mereka adalah simbol kekuasaan negara, baik di tingkat daerah maupun pusat. Mereka merepresentasikan kualitas dan kapasitas suatu kepemimpinan. Gimik maupun aksinya “melarikan diri” dari tanggung jawab menunjukkan bahwa kepemimpinannya lemah, begitu p**a dengan kapasitasnya sebagai sosok pemimpin suatu wilayah.

Rekam jejak pemimpin seperti ini bukanlah potret pemimpin yang peduli rakyat. Model kepemimpinan ABS akan membuatnya menjadi pejabat yang sangat mudah tersandera kepentingan pribadi, bahkan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, seperti para pengusaha nakal termasuk kapitalis raksasa. Sedangkan urusan rakyat tampaknya hanya akan menjadi aksesori bagi kekuasaannya.

Potret pejabat nirempati tidak terlepas dari latar belakang mereka meraih kursi kekuasaan. Tidak sedikit dari mereka yang merupakan produk politik transaksional. Akibatnya, yang menonjol dari mereka malah pencitraannya. Mereka menjadi pemimpin bukan karena kapasitasnya, tapi cenderung karena dukungan dana di balik pemilihannya.

Namun, ketika ada gerakan pengump**an dana untuk bencana Sumatra dari sesama warga, para pejabat bukannya mendukung, tapi malah menyindir aksi sosial tersebut. Sikap nirempati para pejabat itu seolah-olah menunjukkan bahwa sumbangan swadaya warga menyaingi bantuan negara kepada korban bencana.

Sejatinya, bantuan itu sifatnya sukarela, sedangkan peran negara menangani korban dan mengurus urusan rakyat adalah wajib, baik pada situasi bencana maupun tidak. Negara semestinya mendukung dan bahu-membahu bersama aksi solidaritas warga agar korban bencana lebih cepat tertolong.

- Perlindungan Korban Pascabencana -

Kelompok rentan adalah kalangan yang mengalami penderitaan paling berat saat bencana. Namun, nyatanya, kelompok yang bukan rentan pun membutuhkan bantuan. Sungguh, korban bencana Sumatra telah mencakup semua kalangan sehingga membutuhkan pemulihan yang menyeluruh.

Miris, di tengah semua keprihatinan, pemerintah justru tampil bimbang dan gamang dalam penanganan bencana Sumatra ini. Kebijakan seputar bencana terkesan asal-asalan, tidak terarah, bahkan berpotensi salah sasaran.

Sedangkan total korban, baik korban jiwa, hilang, maupun yang mengungsi sudah mencapai jutaan. Penanganan terbaik bagi korban bencana bukanlah sekadar langkah teknis berupa evakuasi dan penyelamatan.

Penerapan status sebagai bencana nasional pada bencana Sumatra akan berkonsekuensi pada masuknya bantuan asing. Namun, tidak menerapkan status bencana nasional pun ternyata pemerintah tetap abai. Pemerintah tidak lantas bergerak lebih cepat melakukan evakuasi dan pembangunan infrastruktur darurat agar bisa segera menjangkau daerah yang masih terisolasi.

Pemerintah seharusnya memastikan dan menjamin perlindungan semua korban. Secara psikis mereka sudah trauma karena terdampak bencana, jangan sampai fisik mereka turut tercabik akibat nihilnya perlindungan. Pemerintah juga harus menerbitkan berbagai kebijakan strategis, termasuk pemulihan pascabencana seperti jaminan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan keamanan. Semua ini agar masyarakat dapat kembali pulih sebagaimana sebelum bencana.

Pemerintah juga harus tegas menelusuri para pelaku penebangan hutan secara ugal-ugalan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit ataupun pertambangan. Pemerintah semestinya melakukan audit terhadap kebijakan hak guna usaha atas lahan yang sebelumnya berupa hutan. Pemerintah harus memetakan kawasan ekologis, konservasi, dan daerah aliran sungai (DAS), serta memastikannya tidak menjadi target alih fungsi lahan karena kawasan-kawasan tersebut adalah penyangga ekosistem yang tidak boleh dirusak.

Ketika menolak bantuan asing, pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap penanganan bencana. Namun, alih-alih memikirkan urusan rakyatnya, pemimpin sekuler kapitalis justru tampil menunjukkan bahwa jabatan dan kepemimpinannya adalah unjuk gengsi di tengah bencana sekalipun. Benar-benar nirempati!

- Visi Kepemimpinan Islam di Tengah Bencana -

Kita semua sepakat bahwa bencana Sumatra tidak sebatas bencana ekologis, tapi juga ideologis yang diperburuk oleh visi kepemimpinan yang kacau dan buruk. Ini semua tidak terlepas dari paradigma sekuler kapitalistik yang menyebabkan para penguasa nirempati serta cenderung tidak peduli, alih-alih berkeinginan serius untuk menanggulangi bencana secara tuntas.

Allah Taala berfirman di dalam ayat,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).

Rakyat membutuhkan pemimpin yang dapat mengurus dan memperhatikan urusan mereka dengan tulus dan ikhlas, lebih-lebih di tengah situasi bencana alam. Untuk itu, paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik harus diganti dengan paradigma Islam. Khilafah sebagai negara berideologi Islam sekaligus pelaksana syariat Islam kafah akan mewujudkan perlindungan bagi seluruh rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.

Fungsi kepemimpinan menurut syariat adalah mengurusi urusan umat (raa’in) dan menjaga mereka (junnah). Inilah profil pemimpin visioner. Dengan profil seperti ini, seorang pemimpin akan mengerahkan segala upaya untuk melindungi, baik saat bencana maupun tidak, karena itu adalah kewajibannya. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).

Juga di dalam hadis,

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Sungguh imam (khalifah) adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengan dirinya.” (HR Muslim).

Bencana alam merupakan kondisi yang berat. Untuk itu, selain keperluan militer dan jihad, pembiayaan bencana alam juga menjadi salah satu anggaran yang diutamakan oleh Khilafah. Ini menunjukkan bahwa Khilafah sangat memperhatikan penanganan bencana alam, mulai dari mitigasi, penanganan pascabencana, hingga pemulihan kondisi sosial dan infrastruktur.

Dalam hal perlindungan seluruh korban bencana, Khilafah berpegang pada konsep maqashid asy-syari’ah (tujuan penerapan syariat Islam). Maqashid asy-syari’ah adalah tujuan, hasil, atau hikmah dari pelaksanaan syariat. Syekh Muhammad Husain Abdullah di dalam kitabnya Dirasat fil Fikri al-Islami, menyatakan ada delapan aspek dalam kehidupan masyarakat yang dipelihara dalam penerapan syariat Islam, yaitu:

1. Memelihara keturunan (al-muhafazhatu ‘ala an-nasl).

2. Memelihara akal (al-muhafazhatu ‘ala al-‘aql).

3. Memelihara kehormatan (al-muhafazhatu ‘ala al-karamah).

4. Memelihara jiwa manusia (al-muhafazhatu ‘ala an-nafs).

5. Memelihara harta (al-muhafazhatu ‘ala al-mal).

6. Memelihara agama (al-muhafazhatu ‘ala ad-din).

7. Memelihara keamanan (al-muhafazhatu ‘ala al-amn).

8. Memelihara negara (al-muhafazhatu ‘ala ad-daulah).

Perlindungan yang diberikan Khilafah tidak hanya untuk korban yang masih hidup, tapi juga untuk korban jiwa. Khilafah wajib melaksanakan evakuasi, pengurusan jenazah, serta pemakaman yang layak. Untuk korban hilang, Khilafah akan menggunakan alat berat untuk membersihkan lokasi bekas bencana, juga menurunkan berbagai instrumen berteknologi canggih untuk melacak posisi korban agar bisa segera dievakuasi.

Bagi seluruh korban yang masih hidup, Khilafah wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar mereka, yakni sandang, pangan, dan papan. Khilafah juga menjamin akses mereka terhadap kesehatan, obat-obatan, dan kebutuhan gizi. Ini adalah langkah tercepat agar tidak jatuh korban jiwa baru akibat penanganan yang lambat, sebab lokasi bencana biasanya rawan penyakit.

Khilafah memberikan bantuan dalam bentuk yang khusus agar tepat sasaran, seperti keperluan untuk bayi dan anak-anak, perlengkapan untuk perempuan yang menstruasi, kebutuhan ibu hamil dan menyusui, serta alat medis seperti alat pengukur tekanan darah, perangkat pemeriksaan gula darah dan urine, kursi roda, tandu darurat, dsb.

Lokasi pengungsian harus terjamin keamanannya dan terpisah antara korban laki-laki dan perempuan menurut konsep syar’i tentang penataan kehidupan khusus, agar kehormatan dan privasi para perempuan tetap terjaga. Selanjutnya, dibangun tempat khusus untuk beribadah, dapur umum, dan fasilitas MCK. Perlu juga dibuatkan tempat untuk difungsikan sebagai sekolah darurat, agar akses pendidikan anak-anak usia sekolah yang mengungsi tidak terputus.

Untuk korban yang terindikasi sakit, Khilafah akan mendirikan RS darurat sebagai wujud respons cepat dan pertolongan pertama. Jika ada korban yang sakit parah dan harus dirujuk ke RS yang lebih besar dan canggih, Khilafah akan menyiapkan fasilitas transportasi yang memungkinkan untuk mengevakuasi di lokasi bencana, seperti ambulans, perahu karet, perahu amfibi, dan helikopter. Jika jalan raya sebagai jalur evakuasi putus akibat bencana, Khilafah segera membangun jalur darurat sebagai infrastruktur sementara sambil menanggulangi bencana dan membangun infrastruktur yang permanen.

Terkait dana penanganan bencana alam, di dalam baitulmal (kas negara Khilafah) terdapat pos keuangan khusus untuk rehabilitasi bencana. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani memerinci hal tersebut di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), bab “Baitulmal”, pada pembahasan pengeluaran baitulmal. Pembelanjaan pada pos tersebut tidak ditentukan berdasarkan keberadaan harta, melainkan hak paten, baik ada harta maupun tidak.

Jika harta tersebut ada, harta itu wajib disalurkan seketika. Jika harta tersebut tidak ada, kewajiban pembiayaan bencana dipikul oleh kaum muslim. Harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum muslim seketika itu juga, kemudian diletakkan di baitulmal untuk segera disalurkan kepada yang berhak.

Jika dikhawatirkan akan terjadi penderitaan karena pembelanjaannya ditunda hingga harta terkumpul, negara wajib meminjam harta yang paten dahulu. Lalu harta pinjaman itu diletakkan di baitulmal dan segera disalurkan kepada yang berhak. Harta pinjaman itu akan dibayar dari harta yang sudah berhasil dikumpulkan oleh kaum muslim.

Besarnya pos dana di baitulmal akan cukup bagi Khilafah untuk merehabilitasi bencana tanpa bantuan asing. Sedangkan rakyat daulah yang ingin berdonasi akan dipersilakan karena itu wujud ukhuah islamiah. Negara tetap melakukan pengawasan dan mengarahkan pengiriman bantuan agar tepat sasaran.

Khilafah juga memperhatikan pemulihan ekosistem sehingga alam kembali pada fungsi asalnya. Hutan yang gundul akan direboisasi, DAS akan dipelihara kelestariannya, pembalakan liar akan ditindak tegas, dan alih fungsi lahan akan diawasi. Kawasan konservasi tidak boleh dialihfungsikan dengan alasan apa pun karena berperan sebagai penyangga ekosistem.

Khilafah akan mengambil alih status kepemilikan hutan/lahan yang sebelumnya dikuasai para kapitalis, untuk dikembalikan menjadi kepemilikan umum. Khilafah berperan sebagai pengelola SDA hayati milik umum agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Jika terjadi pelanggaran dalam bentuk apa pun, Khilafah akan menindak pelakunya dengan memberikan sanksi yang tegas dan menjerakan.

Demikianlah wujud kesungguhan Khilafah dalam menjaga dan melindungi rakyatnya, khususnya saat terjadi bencana alam. Khilafah melakukan semuanya atas landasan syarak, bukan pencitraan sebagaimana pemimpin sekuler kapitalis. Sungguh, Allah Taala berfirman di dalam ayat,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96). Wallahualam bissawab.

Sumber: muslimahnews[dot]net





—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————

Address

Pekanbaru

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Puan Riau Bersyariah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share