Puan Riau Bersyariah

Puan Riau Bersyariah Menyampaikan informasi terkait Islam secara umum & Riau secara khusus dengan sudut pandang yang khas

 / Menyoal Kerjasama dengan Amerika di Bidang Pendidikan Islam /  - Dalam beberapa tahun terakhir dunia pesantren di Ind...
12/10/2025



/ Menyoal Kerjasama dengan Amerika di Bidang Pendidikan Islam /

- Dalam beberapa tahun terakhir dunia pesantren di Indonesia menjadi salah satu sasaran perhatian serius Amerika Serikat melalui berbagai program kerja sama, pelatihan dan beasiswa. Pada tahun 2025 ini pun, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS). Dalam keterangan resmi di laman Kemenag.go.id, kerja sama ini disebut akan “mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan pesantren, madrasah dan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) dalam semangat moderasi beragama dan toleransi global.”

Salah satu poin utama dalam MoU tersebut adalah pemberian beasiswa Fulbright kepada santri, mahasiswa dan dosen di bawah Kemenag. Melalui beasiswa ini, mereka dapat menempuh studi di berbagai bidang keilmuan di universitas-universitas Amerika Serikat.

Program Fulbright merupakan salah satu program pertukaran akademik terbesar di dunia, yang dikelola oleh U.S. Department of State’s Bureau of Educational and Cultural Affairs (ECA). Dalam laman resminya disebutkan bahwa tujuan utama program ini adalah “to increase mutual understanding between the people of the United States and the people of other countries (meningkatkan saling pengertian antara rakyat AS dan rakyat negara-negara lain).” (eca.state.gov/fulbright).

Sekilas, tujuan tersebut tampak mulia. Namun, di balik jargon “saling pengertian antarbangsa” itu, tentu ada misi ideologis yang tak bisa diabaikan. American Foreign Policy Council secara terbuka menyebut Fulbright sebagai bagian dari soft power diplomacy AS — yaitu strategi untuk “menanamkan nilai-nilai demokrasi liberal dan memperluas pengaruh budaya Amerika di Dunia Islam”.

- Misi Sekulerisme -

Keterlibatan Amerika dalam dunia pendidikan Islam bukanlah hal baru. Dalam laporan The U.S. Department of State’s Bureau of Counterterrorism (2022) disebutkan bahwa Indonesia menjadi mitra penting dalam upaya Amerika mempromosikan apa yang mereka sebut “moderate Islam” (Islam moderat) untuk melawan radikalisme. Secara lebih jelas, lembaga ini menegaskan: “Amerika Serikat mendukung upaya Indonesia untuk mempromosikan Islam moderat melalui keterlibatan pesantren dan para ulama.” (Sumber: state.gov/reports/country-reports-on-terrorism-2022).

Memang, pasca peristiwa 11 September 2001, Amerika menata ulang kebijakan luar negerinya terhadap Dunia Islam. Salah satu dokumen penting yang menjadi rujukan kebijakan itu adalah laporan RAND Corporation berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies” (2003). Dalam laporan tersebut, RAND merekomendasikan agar Amerika “mendukung kelompok Muslim moderat, melawan kelompok fundamentalis serta mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan hak-hak perempuan.” (RAND Corporation, 2003, hlm. 8–11).

Secara rinci, RAND membagi umat Islam ke dalam empat kategori: fundamentalis, tradisionalis, modernis dan sekuleris. Strategi mereka sederhana: menyingkirkan kelompok fundamentalis (yakni mereka yang menyerukan penerapan syariah dan Khilafah), menetralkan kaum tradisionalis, memperkuat kalangan modernis dan sekuleris, lalu menjadikan keduanya sebagai mitra ideologis Barat.

Dengan demikian pendekatan “moderasi beragama” yang sering disandingkan dengan program beasiswa dan kerja sama Amerika di pesantren bukan sekadar kegiatan akademik. Ini adalah bagian dari strategi diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk membentuk cara pandang umat Islam agar selaras dengan nilai-nilai sekuler-liberal Barat. Jika pesantren menjadi bagian dari proyek ini, maka pada hakikatnya mereka sedang dijadikan pintu masuk bagi misi ideologi sekuler-liberal ke tubuh pendidikan Islam.

- Mengapa Menyasar Pesantren? -

Amerika Serikat memahami bahwa pesantren adalah benteng utama Islam di Indonesia. Maka dari itu, lembaga ini menjadi target penting untuk proyek “religious reform” (reformasi keagamaan) dan “counter-extremism” (penangkalan ekstremisme). Dalam laporan United States Agency for International Development (USAID, 2021) disebutkan secara gamblang: “USAID bekerjasama dengan pesantren untuk memperkuat pendidikan kewarganegaraan, mempromosikan toleransi dan mencegah narasi radikal.” (Sumber: usaid.gov/indonesia).

Artinya, pesantren tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai arena strategis untuk mempengaruhi arah ideologi umat. Maka dari itu, program pelatihan guru, pertukaran santri, ataupun riset bersama yang didukung oleh lembaga Amerika sering disusupi dengan kurikulum interfaith dialogue (dialog antariman), gender equality (kesetaraan gender), human rights (hak asasi manusia) dan democratic citizenship (kewarganegaraan demokratis). Semuanya merupakan produk ideologi sekuler-liberal, yang tidak ada hubungannya dengan Islam.

- Bahaya Ideologis -

Amerika Serikat adalah negara dengan ideologi Kapitalisme-sekuler. Maka dari itu, ketika santri atau akademisi Muslim dikirim belajar dalam kerangka Fulbright, mereka tidak hanya mempelajari sains dan teknologi, tetapi juga “diperkenalkan” pada sistem nilai sekuler-liberal: pluralisme, relativisme moral, kesetaraan gender versi Barat, dan toleransi terhadap ide-ide yang bertentangan dengan aqidah Islam.

Istilah “Moderasi Agama” yang menjadi bingkai kerja sama ini sejatinya adalah terjemahan lokal dari proyek “Moderate Islam” yang dikembangkan oleh RAND Corporation dan lembaga-lembaga Barat lainnya. Dalam laporan RAND disebutkan, Muslim moderat harus memenuhi lima ciri: (1) mendukung demokrasi; (2) mengakui hak asasi manusia versi Barat (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan berkeyakinan); (3) menghargai keberagaman agama (pluralisme); (4) menerima sumber hukum non-Islam; (5) menolak jihad.

Dengan demikian moderasi agama bukanlah gagasan Islam, melainkan alat depolitisasi Islam. Tujuannya agar umat tidak lagi memandang syariah sebagai sistem hidup yang harus ditegakkan secara menyeluruh (kâffah), melainkan cukup sebagai pedoman moral dan spiritual.

Islam telah memperingatkan bahaya mengikuti apalagi bekerjasama secara ideologis dengan kaum kafir. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai pemimpin/teman setia dengan meninggalkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).

Allah SWT juga berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa kaum Muslim dilarang menjadikan orang kafir sebagai pihak yang menguasai atau mengendalikan urusan mereka, apalagi urusan pendidikan dan pembentukan pola pikir umat.

Selain itu, sejarah membuktikan bahwa Amerika Serikat adalah penjajah dan pembunuh kaum Muslim. Dari invasi Irak dan Afganistan, dukungan militer terhadap Israel, hingga campur tangan politik di berbagai negeri Muslim. Semuanya menunjukkan bahwa AS bukanlah mitra, melainkan musuh Islam. Bagaimana mungkin umat Islam menyerahkan pembinaan generasinya kepada pihak yang secara ideologis dan politik memerangi Islam dan kaum Muslim?

Memang benar, Islam tidak melarang umatnya untuk belajar dari bangsa lain dalam urusan sains atau teknologi. Namun, ketika kerja sama tersebut membawa pengaruh terhadap cara berpikir (fikrah) dan cara hidup (tharîqah) yang bertentangan dengan Islam, maka kewaspadaan ideologis menjadi kewajiban. Apalagi Rasulullah saw. telah memperingatkan:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka (HR Abu Dawud).

Hadis ini memperingatkan bahwa mengikuti gaya hidup, pola pikir dan nilai-nilai kaum kafir dapat menyeret umat Islam ke dalam penyimpangan ideologis.

- Rekomendasi -

Pertama: Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam selektif terhadap setiap tawaran kerja sama internasional. Pesantren harus memeriksa latar belakang lembaga pemberi dana, visi ideologisnya dan kurikulum yang ditawarkan. Jika dalam program tersebut terdapat agenda promosi nilai-nilai sekuler Barat—seperti moderasi, demokrasi, pluralisme atau kesetaraan gender khas Barat—maka wajib ditolak.

Kedua: Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam mengembangkan jaringan pendidikan berbasis umat Islam sendiri, baik lokal maupun internasional, yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kerja sama antar-pesantren lintas negara Muslim akan memperkuat kemandirian ilmiah dan spiritual.

Ketiga: Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam memperkuat kurikulum berbasis ideologi Islam. Dengan pemahaman ideologis Islam yang kuat, santri tidak mudah terpengaruh oleh infiltrasi ideologi asing.

Keempat: Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam meningkatkan literasi geopolitik di kalangan asatidz dan santri. Pesantren perlu membuka wawasan para guru dan santri mengenai realitas politik global. Tentu dari sudut pandang ideologi Islam. Dengan itu mereka bersikap kritis terhadap setiap program bantuan dan beasiswa asing yang sering menjadi instrumen soft power (kekuatan lunak) negara-negara adikuasa pengemban ideologi sekuleris.

Kelima: Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam meneguhkan independensinya sebagai benteng Islam. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi pusat penjaga kemurnian aqidah dan ideologi Islam, yang mampu membendung arus globalisasi pemikiran dan budaya yang menjauhkan umat dari Islam kâffah.

Keenam: Kaum Muslim harus mengembalikan orientasi pendidikan pada tujuan sejati Islam. Tidak lain membentuk syakhsiyyah islâmiyyah (jati diri Islam) pada setiap peserta didik yang siap memperjuangkan Islam.

- Penutup -

Pesantren adalah jantung peradaban Islam di Indonesia. Ia tidak boleh dijadikan laboratorium eksperimental bagi misi sekuler-liberal. Sudah saatnya pesantren menegaskan kembali identitas ideologisnya: mencetak generasi yang bertakwa, berilmu dan berjuang untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Selain itu, Negara tidak boleh membuka pintu bagi proyek-proyek ideologis asing yang merusak keimanan umat. Justru Pemerintah wajib memperkuat pendidikan Islam sebagai fondasi kebangkitan bangsa berdasarkan akidah Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا

Hendaklah kamu takut kepada Allah dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang berpaling dari peringatan Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia. (TQS an-Najm [53]: 29).

---*---

Timeline Korban Serangan Entitas Penjajah Yahudi di Gaza (1–7 Oktober 2025)

3 Oktober 2025 – Serangan Besar di Tengah Seruan Gencatan Senjata

Entitas penjajah Yahudi menggencarkan bombardemen di seluruh Jalur Gaza, terutama di Kota Gaza dan Khan Younis.

Sedikitnya 61–70 warga Palestina dibunuh dalam satu hari.

Serangan tetap berlanjut meski ada seruan dari Presiden AS Donald Trump agar agresi tersebut dihentikan.

(Sumber: Al Jazeera, 4 Oktober 2025)

4 Oktober 2025 – Peningkatan Serangan di Utara dan Tengah Gaza

Serangan udara menghantam kawasan padat penduduk di Gaza City, al-Zahra, dan Nuseirat.

Laporan medis menyebut lebih dari 72 warga Palestina dibunuh, termasuk perempuan dan anak-anak.

Beberapa rumah hancur total saat warga diperintahkan meninggalkan wilayah itu oleh militer penjajah.

(Sumber: Al Jazeera, 4 Oktober 2025)

5 Oktober 2025 (Ahad) – Jelang Pembicaraan di Mesir

Entitas penjajah Yahudi kembali melancarkan gelombang serangan sebelum pembicaraan tidak langsung dengan Hamas di Kairo.

Sedikitnya 24 warga Palestina dibunuh, empat di antaranya di dekat pusat distribusi bantuan di utara Rafah.

Serangan ini terjadi beberapa jam sebelum delegasi Hamas bertolak ke Mesir untuk membahas rencana 20 poin Trump.

(Sumber: Al Jazeera, 5 Oktober 2025)

6 Oktober 2025 – Hari Pembukaan Pembicaraan di Mesir

Sementara pembicaraan gencatan senjata dimulai di Kairo, militer entitas penjajah Yahudi membunuh 10 warga Palestina di Gaza.

Bombardemen udara diarahkan ke wilayah Rafah dan Khan Younis, dengan alasan menghantam “target Hamas”.

(Sumber: Al Jazeera, 6 Oktober 2025)

7 Oktober 2025 – Krisis Kesehatan di Gaza

Kementerian Kesehatan Gaza menyebut kondisi saat ini bukan lagi sekadar “krisis kemanusiaan”, melainkan “genosida kesehatan” akibat runtuhnya total sistem medis dan meningkatnya jumlah korban.

Total warga Palestina yang dibunuh sepanjang pekan ini melampaui 170 orang, dengan ratusan luka-luka dan puluhan rumah hancur.
(Sumber: Al Jazeera Live Updates, 7 Oktober 2025)

Catatan Politik

Serangan genosida berlangsung di tengah diplomasi semu.

Meskipun pembicaraan proposal Trump sedang berlangsung di Mesir, entitas penjajah Yahudi terus melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat Gaza. Ini menegaskan bahwa perundingan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghentikan agresi, melainkan untuk menyelamatkan citra penjajah dan menekan perlawanan Palestina agar tunduk pada kerangka politik Amerika.

Mensyaratkan penghentian genosida melalui tekanan politik adalah kejahatan besar.

Mengaitkan penghentian pembunuhan dengan hasil negosiasi adalah bentuk legitimasi atas genosida. Genosida adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihentikan segera tanpa syarat, bukan dijadikan kartu tawar-menawar dalam forum internasional yang dikendalikan kekuatan kolonial.

Seruan kemanusiaan tanpa kekuatan militer hanya ilusi.

Seruan bantuan, pernyataan PBB, dan doa solidaritas tidak akan bermakna selama tidak diikuti mobilisasi nyata tentara kaum Muslimin untuk menghentikan penjajahan dan melindungi rakyat Gaza.

Umat Islam harus menuntut para penguasa mereka menggerakkan kekuatan militer untuk membebaskan Palestina dari akar penjajahan, bukan sekadar mengirim bantuan simbolik.

Sumber: Buletin Kâffah Edisi 414 (18 Rabul Akhir 1447 H/10 Oktober 2025 M)







—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————

 / Legalisasi Tambang Ilegal, Basa-basi Pelestarian Lingkungan /  — Aktivitas tambang ilegal banyak meresahkan dan merug...
11/10/2025



/ Legalisasi Tambang Ilegal, Basa-basi Pelestarian Lingkungan /

— Aktivitas tambang ilegal banyak meresahkan dan merugikan masyarakat. Tidak hanya menyebabkan berbagai konflik, juga ada risiko kecelakaan yang berpotensi terjadi pelanggaran hukum, seperti yang terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Di wilayah ini dengan kekayaan mineral yang bernilai tinggi, praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) banyak terjadi. Untuk mengontrol dan mengendalikan aktivitas tambang ilegal tersebut, Gubernur Sulteng Anwar Hafid mengusulkan agar kegiatan pertambangan ilegal itu segera dilegalkan dalam rangka mempermudah pengawasan dalam pemanfaaatan SDA secara ketat demi menghindari kerusakan lingkungan.

Senada dengan itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam rapat koordinasi dengan seluruh unsur Forkopimda Aceh di Meuligoe Gubernur Aceh, Selasa (30-9-2025) menekankan bahwa tambang ilegal yang telah ditata dapat dilegalkan dan dikelola secara kolektif. Pendataan dan penertiban tambang ilegal menjadi langkah strategis menjaga kelestarian lingkungan serta meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA).

Aktivitas PETI juga banyak terjadi di Kalimantan Tengah. Selain penindakan hukum, pemerintah setempat juga mengusulkan solusi yang sama, yaitu menyiapkan langkah legalisasi agar aktivitas pertambangan masyarakat dapat lebih terarah. Mengutip laman DESDM Kalteng, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalteng Vent Christway mengakui bahwa hingga kini masih banyak masyarakat yang melakukan penambangan tanpa izin, terutama di wilayah Kapuas, Gunung Mas, dan Katingan. Aktivitas tersebut umumnya berada di kawasan lahan aluvial.

Sejumlah lembaga dan aktivis lingkungan menyoroti penanganan pemerintah terkait tambang ilegal. Janji pemerintah untuk menertibkan aktivitas tambang ilegal dianggap hanya isapan jempol. Jatam mencatat pada periode 2018—2022 ada 168 titik tambang ilegal yang beroperasi di empat kabupaten/kota. Jatam Kaltim sempat melaporkan sebelas kasus tambang ilegal ke kepolisian, tetapi hanya dua yang ditindak oleh aparat, yakni di Desa Makroman dan Desa Sumbersari.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Raden Rafiq Wibisono mengatakan aktivitas tambang ilegal di Kalsel juga cukup marak. Aktivitas tambang ini berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan dan memicu bencana alam seperti banjir, longsor, juga pencemaran air tanah dan permukaan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, setidaknya per November 2024 terdapat sekitar 2.000 titik PETI tersebar di seluruh Indonesia. Negara harus menanggung kerugian hingga triliunan rupiah dari praktik tambang ilegal tersebut. Contohnya, dari kasus tambang ilegal PT Timah, Kejagung mengungkap kerugian negara mencapai Rp300 triliun.

- Pembiaran Sistemis -

Sebagai negara yang diberi berkah dengan kekayaan alam luar biasa, Indonesia memiliki potensi dan modal untuk menjadi negara maju. Di antara kekayaan alam tersebut ialah ketersediaan tambang yang melimpah.

Sayang, tambang ilegal terus saja terjadi tanpa penanganan pasti dari pemerintah.

Indikasinya, ada ribuan tambang ilegal, tetapi selalu gagal dieksekusi secara hukum dengan berbagai alasan. Negara bisa jadi sudah mengetahui jumlah dan datanya, tetapi selalu menciut nyalinya jika pertambangan terhubung erat dengan lingkaran kekuasaan.

Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan fenomena tambang ilegal tidak lepas dari masalah struktural dan pembiaran sistemis oleh berbagai pihak. Apalagi sejak kewenangan perizinan tambang dialihkan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat pascapengesahan UU Cipta Kerja, banyak pemda akhirnya enggan melakukan pengawasan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, selain merampas ruang hidup rakyat dan merusak lingkungan, baik tambang legal maupun ilegal sama-sama membawa malapetaka bagi penduduk setempat. Menurut Jatam, hampir semua perusahaan tambang di Indonesia menjalankan praktik yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat. Mereka merampas tanah tanpa persetujuan, menebangi hutan dan merambah kawasan konservasi, mencemari sungai dan laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, dan membuka tambang di sekitar permukiman. Fakta ini menunjukkan bahwa masalah tidak hanya terletak pada “ilegal” atau “legal”, melainkan pada watak predatoris industri tambang itu sendiri yang mendapat perlindungan dari negara (Jatam, 17-8-2025)

Sebagai contoh, tiga perusahaan tambang di wilayah berbeda tetap bisa beroperasi meski warga memenangkan gugatan di Mahkamah Agung. Di antara ketiganya, ada PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Dairi. Salah satu pemegang saham perusahaan ini adalah Bakrie Group milik keluarga Bakrie yang menyokong Prabowo dalam Pilpres 2024. Lalu, ada PT Gema Kreasi Perdana di Pulau Wawonii dan PT Tambang Emas Sangihe di Pulau Sangihe. Kasus tersebut menunjukkan bahwa tambang legal meski melanggar, tetap kebal hukum jika terhubung dengan elite penguasa.

Munculnya ribuan tambang ilegal selama bertahun-tahun sudah memberi sinyal kuat bahwa terjadi pembiaran sistemis dan kelalaian negara dalam melakukan pencegahan dan penindakan tegas. Yang terjadi, negara justru memberi solusi semu dengan usulan pelegalan atas sesuatu yang ilegal. Ibarat kata, seorang pencuri berstatus ilegal, lalu mau dilegalkan dengan mengangkat pencuri tersebut sebagai pegawai negara, mau jadi apa negeri ini? Akhirnya janji pemerintah untuk melestarikan hanya basa-basi tanpa realisasi.

Pelaku tambang ilegal tidak hanya berasal dari perusahaan atau jaringan yang melibatkan oknum aparat. Pelaku tambang ilegal juga bisa dari individu atau masyarakat lokal. Latar belakangnya beragam, mulai dari masyarakat yang terlilit kesulitan finansial, tingginya angka pengangguran, pedagang yang ingin keuntungan cepat, hingga jaringan yang lebih terorganisasi dan melibatkan backing (pelindung) dari oknum aparat yang memanfaatkan celah pengawasan dan potensi keuntungan besar dari sumber daya alam yang mudah dijangkau. Semua ini bermula dari praktik sistem kapitalisme yang melahirkan banyak kesenjangan ekonomi, masalah kesejahteraan hidup, serta tata kelola kepemilikan tambang.

- Liberalisasi Tambang, Biang Kerok Masalah -

Masalah tambang, baik legal maupun ilegal sejatinya tidak bisa terlepas dari sistem yang mengatur kepemilikan umum ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, tambang tidak lagi dipandang sebagai harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, kapitalisme memandang barang tambang sebagai aset bebas yang boleh dimiliki oleh siapa saja yang bermodal. Artinya, kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme inilah yang menjadi biang kerok masalah tambang di negeri ini. Kebebasan ini melahirkan liberalisasi tambang. Konsekuensinya, pengelolaan tambang tidak lagi menjadi kewajiban negara, tetapi diserahkan kepada individu, swasta, bahkan asing yang mampu mengelolanya.

Kebijakan liberalisasi ini pun melahirkan berbagai aturan pertambangan yang bernuansa kapitalistik. Liberalisasi tambang di Indonesia memiliki akar sejarah yang kuat, terutama terkait dengan kebijakan ekonomi dan politik pada masa Orde Baru. Di antara kebijakan kapitalistik yang melahirkan regulasi liberal tambang ialah:

1) UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang menjadi titik awal masuknya investasi asing di Indonesia, termasuk di sektor pertambangan.

2) UU 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang memberikan otoritas kepada negara untuk memberikan izin ekstraksi sumber daya mineral kepada individu atau perusahaan, termasuk asing.

3) Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 yang mendorong pemanfaatan modal, teknologi, dan keahlian luar negeri untuk mengolah kekayaan alam Indonesia.

Jadi, masalah utama tambang bukan persoalan status tambang ilegal diusulkan menjadi legal, tetapi penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan liberalisasi tambang hingga terjadilah privatisasi dan swastanisasi harta milik rakyat menjadi harta milik pribadi. Alhasil, secara kasat mata, negara telah melakukan legalisasi liberalisasi melalui regulasi yang diterbitkan.

Seketat apa pun aturan dan pengawasannya, jika liberalisasi tambang masih berjalan, itu hanya menjadi kesia-siaan. Negara ingin memburu tambang-tambang ilegal yang merugikan masyarakat dan lingkungan, lalu bagaimana dengan tambang-tambang legal yang mengeruk kekayaan alam demi meraup keuntungan dan memperkaya diri?

Selama sistem kapitalisme tegak berdiri, para predator tambang dan kapitalis oligarki akan terus bereproduksi dan bertransformasi dengan bermacam nama usaha dan pelaku yang berbeda di baliknya. Bisnis tambang memang menggiurkan bagi pelakunya. Apakah merugikan lingkungan atau menyengsarakan rakyat yang hidup di sekitarnya, sepertinya tidak menjadi pertimbangan utama mereka. Selama surga kekayaan dan mineral di Indonesia tidak habis, mereka (para kapitalis) akan tetap eksis. Di mana ada potensi cuan, di situ kepentingan bisnis harus berjalan. Paradigma ini sangat bertolak belakang dengan Islam.

- Tambang Adalah Harta Milik Umum -

Dalam Islam, semua kekayaan alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, termasuk di dalamnya mineral dan batu bara, terkategori sebagai harta milik umum. Negara dilarang menyerahkan pengelolaannya baik pada aspek eksplorasi, eksploitasi, maupun distribusi kepada individu, swasta, apalagi asing. Negaralah pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola harta milik umum tersebut dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 137 tentang harta milik umum dan jenis-jenisnya, disebutkan, “Kepemilikan umum mencakup tiga jenis harta: (a) segala sesuatu yang menjadi bagian dari kemaslahatan umum masyarakat, seperti tanah lapang di sebuah negara; (b) barang tambang yang depositnya sangat besar, seperti sumber-sumber minyak; (c) benda-benda yang tabiatnya menghalangi monopoli seseorang atas penguasaannya, seperti sungai-sungai.”

Kepemilikan umum jenis pertama adalah harta yang dibutuhkan oleh seluruh kaum muslim atau menjadi hajat hidup orang banyak yang jika tidak tersedia akan menyebabkan keguncangan dan perselisihan, semisal air. Dari Abu Khurasyi dituturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).

Harta milik umum jenis pertama tidak hanya tercakup pada tiga jenis barang tersebut, tetapi juga berlaku pada setiap harta yang memiliki sifat-sifat kepemilikan umum, yakni harta yang dibutuhkan masyarakat banyak. Masyarakat dilarang memiliki sebagian atau keseluruhan harta milik umum. Mereka hanya boleh mengambil manfaatnya.

Harta milik umum jenis kedua, yaitu barang tambang yang memiliki deposit sangat besar dan melimpah. Adapun barang tambang dengan deposit kecil, termasuk harta milik individu. Hal ini berdasarkan riwayat Abyadh bin Hammal yang meminta tambang garam, tetapi Rasulullah menariknya kembali karena mengetahui deposit tambang tersebut bagai air yang mengalir.

Dari Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’.” (HR Tirmidzi).

Setiap individu dilarang menguasai atau memiliki tambang yang memiliki deposit melimpah. Larangan di sini tidak hanya terbatas pada tambang garam, tetapi mencakup semua jenis bahan tambang yang memiliki deposit melimpah alias tidak terbatas, seperti batu bara, gas alam, minyak bumi, emas, dan lainnya. Negara tidak boleh memberi izin kepada perusahaan atau perorangan untuk menguasai dan mengeksploitasinya. Negara wajib mengelolanya agar rakyat dapat memanfaatkan hasilnya.

Adapun terkait izin pengelolaan tambang, Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah hlm 92—93 menerangkan bahwa barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas, hal itu tergolong kepemilikan umum bagi seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Juga tidak boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Jadi, harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim dan mereka berserikat atas harta tersebut. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim.

Adapun jenis ketiga harta milik umum ialah harta yang tabiat asalnya menghalangi atau mencegah monopoli seseorang untuk memilikinya. Sebagai contoh, jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, terusan (seperti Terusan Suez), lapangan umum dan masjid-masjid adalah milik umum bagi setiap anggota masyarakat. Individu atau kelompok masyarakat dilarang menguasai secara sepihak harta-harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Tidak boleh ada hima (proteksi atas harta kepemilikan umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud).

Adapun tambang yang jumlahnya sedikit, individu boleh mengelolanya dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan syariat. Di antaranya adalah:

Pertama, individu boleh mengeksplorasi sumber daya alam yang bukan tergolong harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (masyarakat) atau disebut rikaz. Dengan kata lain, harta tersebut bukan merupakan hak seluruh kaum muslim, sebagaimana yang terdapat di dalam pembahasan fikih.

Kedua, orang yang menggali harta rikaz berhak memiliki 4/5 bagian, sedangkan 1/5-nya harus dikeluarkan zakatnya.

Ketiga, jika harta temuan hasil penggalian tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas atau hak seluruh kaum muslim, harta galian tersebut merupakan hak milik umum (colective propherty).

Keempat, apabila harta yang tersimpan di dalam tanah tersebut asalnya karena tindakan seseorang, serta jumlahnya terbatas, tidak sampai mencapai jumlah yang biasa dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka harta tersebut termasuk rikaz.

Kelima, jika harta tersebut asli (dari dasar tanah, bukan karena tindakan manusia) serta dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka harta tersebut tidak terkategori rikaz, dan berstatus hak milik umum. Apabila harta tersebut asli, tetapi tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas, misalnya ada seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana, atau yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga bukan hak milik umum, melainkan termasuk hak milik individu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm.161).

Negara akan memberikan izin pengelolaan barang tambang atau galian SDA sesuai dengan batasan dan ketentuan yang sudah ditetapkan syariat. Dalam pelaksanaannya, negara juga akan melakukan pengawasan dan mengontrol setiap aktivitas tambang yang dilakukan individu agar tidak melewati batas dan ketentuan tersebut.

Selain itu, dalam mengelola tambang, negara harus memperhatikan aspek lingkungan dengan melakukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan. Pengelolaan tambang harus menjadi kemaslahatan publik, baik untuk rakyat maupun alam sekitar. Potensi alam dan berbagai SDA yang Allah karuniakan boleh dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi, manusia juga memiliki tanggung jawab menjaga keberlangsungannya. Allah Taala berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 56 yang artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Negara juga akan menindak tegas bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan syariat. Sanksi hukum Islam akan berjalan terhadap para pelanggar, termasuk perusak alam dan lingkungan.

Pengelolaan tambang berdasarkan syariat Islam secara kafah akan memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan bagi manusia dan alam semesta. Penerapan sistem Islam secara kafah dapat mencegah dari kerusakan dan kerakusan manusia karena pada dasarnya aturan Islam memang hadir untuk mencegah kemungkaran dan kerusakan akibat ulah tangan manusia.

Sumber: muslimahnews[dot]net







—————————
Silakan bagikan dengan mencantumkan sumber Puan Riau Bersyariah - Saatnya Muslimah Cerdas Politik
——————————
Follow kami di
Facebook:
Instagram:
Channel Telegram:
https://t.me/puanriaubersyariah
Saluran Whatsapp:
https://whatsapp.com/channel/0029VaigCsf3wtbFPeJ7fL1C
—————————

Address

Pekanbaru

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Puan Riau Bersyariah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share