23/09/2025
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةً مِنَ السَّمَاء أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ
الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم، وَتَقُوْلُوْنَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرْ؟
“Aku khawatir kalian ditimpa hujan batu dari langit, karena aku mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda…’, akan tetapi kalian membantah dengan berkata, ‘(tetapi) Abu Bakar dan Umar berkata…’.”
Syarah
Ucapan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ini pada dasarnya masalah fikih tentang haji. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu memandang bahwasanya yang wajib bagi seseorang yang berhaji adalah haji tamattu’, yaitu umrah dahulu lalu kemudian berhaji. Maka barangsiapa yang tawaf di Ka’bah otomatis dia bertahalul sehingga dia harus umrah, lalu kemudian dia menunggu hingga tiba waktu dia kembali berihram untuk haji. Intinya, Ibnu ‘Abbas menganggap bahwasanya wajib bagi seseorang untuk haji tamattu’. Adapun Abu Bakar dan ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma memandang bahwasanya yang lebih baik adalah seseorang melakukan haji ifrad, karena agar orang-orang tidak meninggalkan Ka’bah, dan orang-orang akan melakukan safar lagi di lain waktu untuk umrah. Artinya, Abu Bakar dan ‘Umar melarang untuk menggabungkan antara haji dan umrah, karena dikhawatirkan orang-orang akan tidak akan datang lagi ke Ka’bah jika haji dan umrahnya digabungkan, sedangkan ‘Umar tidak ingin Ka’bah sepi dari kaum muslimin. Akan tetapi dalam kisah ini Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwasanya yang terbaik adalah haji tamattu’.
Kita tidak sedang membahas dalil ini dari segi fikih, tidak membahasan mana pendapat yang lebih benar, akan tetapi yang menjadi perhatian kita adalah teguran Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu kepada sebagian orang yang membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berdalil pada perkataan Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Sesungguhnya sikap seperti itu adalah sikap yang tidak pantas. Tidak pantas bagi seseorang menghadapkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan siapa pun, meskipun orang tersebut adalah Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Hal ini disebabkan bahwa tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Malik rahimahullah pernah berkata,
كُلٌّ يُؤْخَذْ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدْ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْر
“Seluruh orang boleh diambil perkataannya dan ditolak kecuali ucapan penghuni kubur ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Majmuu’ Fataawa Al-‘Utsaimin 26/51)
Maka dari itu, tidak pantas bagi seseorang untuk memperlawankan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kata si fulan. Kalau perkataan Abu Bakar dan ‘Umar saja tidak boleh untuk mempertentangkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka terlebih lagi jika dipertentangkan dengan perkataan kiai ini, Syaikh ini, ustaz ini, dan yang lainnya tentu lebih tidak boleh lagi. Ketika telah jelas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti itu, maka jangan dipertentangkan lagi.
Syarah Ustadz Dr. Firanda Andirja hafidzahullah