Mikhayla Nazhia

Mikhayla Nazhia vlog pribadi

"Enggak Om. Aku gak mau u4ng jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om." -----HANYA GADIS KECILBa...
24/04/2025

"Enggak Om. Aku gak mau u4ng jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om."

-----

HANYA GADIS KECIL

Bab 1

S4kit.

Ny3ri.

Hanya itu yang kurasakan. Hari ini dia melakukannya lagi. Entah sudah lima atau tujuh kali, aku tak menghitungnya dengan pasti. Hanya saja, akhir-akhir ini setiap pulang sekolah, ia menghadangku di sana, di samping gubuk tua itu.

Setelah melakukannya, ia tersenyum lalu menyodorkan selembar u4ng lima ribuan ke tanganku. Aku memang senang mendapatkan u4ng itu, karena sudah lama tak pernah lagi dikasih u4ng jajan sama Ibu. Ibu tak henti mengomel dan juga mengeluhkan u4ng belanja yang tidak rutin dikasih Bapak. Namun, rasa s4kit yang kurasakan di bawah sana, terkadang menjadikanku kapok untuk menuruti keinginan laki-laki itu.

Sebelum menyuruhku pergi, dia memilin lenganku dengan sangat kencang. Matanya bulat menatapku dengan am4rah, mengancam agar aku tidak mengadukan perbuatannya pada siapapun.

Aku bisa apa?

Tangis karena rasa p3rih menyayat, hanya bisa kutelan dalam-dalam.

***

Hari ini, dia melakukannya lagi. Percuma kalau aku melawan, karena jalan pulang sekolah di samping gubuk itu sangat sepi. Tidak ada sesiapa yang bisa menolong, meski aku berteriak sekuat tenaga. Rumah kecil kami berada jauh di pelosok kebun yang tidak terawat. Badanku yang kurus ceking takkan mampu melawan tubuhnya yang tinggi besar.

Hari ini rasa s4kit yang kurasakan, lebih dari biasanya. Bahkan kedua kaki serasa tak sanggup kulangkahkan. P3rihnya bak disayat-sayat. Namun, aku harus tetap kuat. Bekerja membersihkan rumah, dan mencuci pakaian dan piring adalah tugas yang tak bisa kuelakkan. Tak peduli, sesakit apapun yang ragaku tanggungkan. Ibu bisa marah jika ku hanya berdiam diri. Cu bitan, tam paran, jam bakan, bahkan han taman sapu ijuk sudah biasa kuterima, jika sedikit saja lalai dari tanggung jawab.

Mengadukan pada Bapak? Percuma. Semenit pun, beliau tak memberiku waktu untuk berkeluh kesah. Hanya h4rdikan yang kudapat, jika bersikeras menumpahkan segala keluh. Hari-harinya disibukkan oleh hal yang tidak pernah ku mengerti. Jikalau ada waktu beliau di rumah, semua hanya dihabiskan untuk tidur di kamar, atau di sofa butut tepat di belakang jendela.

Piring kotor masih sebaskom penuh menunggu untuk segera kubersihkan. S4kit menyayat kurasakan lagi di sekitaran pinggang hingga pahaku, diiringi rasa ingin buang air kecil. Kuurungkan membereskan cucian, dan beranjak ke kamar kecil, dengan kedua kaki gemetar menahan rasa s4kit.

Aku terp3kik, karena yang keluar bukannya air seni, tapi tetes-tetes dar4h. Aku tahu, sebenarnya ini bukan baik-baik saja.

"Naya!"

Suara teriakan Ibu menyentakkanku dari lamunan dan rasa takut itu. Segera kususut air mata yang entah sejak kapan membanjiri wajah.

Ibu muncul di depan pintu kamar kecil dengan berkacak pinggang. Matanya memerah menatap tajam.

"Ngapain kamu santai-santai di sini? Piring kotor itu sampai kapan kau pajang aja di sana? Hah!" Ibu mendorong kepalaku, hingga tubuhku terhuyung ke belakang.

"Aku ... aku sa ... kit, Bu." Gemetar ku menjawab, takut Ibu melayangkan tangan lagi.

"Sakit? Halaahh! Gak usah berpura-pura Naya. Kau pikir aku bakal kasian, lalu membebaskanmu dari tugas-tugas?" Ibu menarik tanganku agar berdiri sejajar dengannya.

Aku mulai menangis. "Tapi benar Bu, aku sakit, berd4 rah ... Om itu ...."

Tanpa menanggapi, Ibu menjambak kepangan rambutku yang menjuntai ke samping.

"Ibu gak mau mendengar alasan apa-apa lagi. Dengar?"

Ibu berlalu, meninggalkanku berdiri tergugu di sisi pintu. Berharap dikasihani, berharap pertolongan, tapi yang didapat malah rasa terabaikan. Aku harus bagaimana?

***

Kakiku gemetar mendekat ke arah gubuk. Tak ingin hal yang sama terulang lagi. Rasa sakit yang kurasakan belum mereda. Pun begitu dengan d4 rah yang selalu ikut menetes tiap kali keinginan buang air kecil datang.

Kali ini aku harus bisa lepas dari cengk3raman laki-laki itu. Harus. Tekad sudah bulat, menyiapkan kaki untuk berlari saat belokan menuju gubuk sepi itu. Aku bersyukur, karena yang tampak awalnya cukup sepi. Laki-laki berbadan gempal itu tidak ada di sana.

Aku bersiap, lalu lari.

Tepat di samping sebatang pohon, di sisi kiri gubuk, langkahku spontan terhenti. Dia ada di sana, menghadangku dengan kedua tangan dibuka di depan dada. Wajahnya menyeringai.

"Mau kemana gadis kecil? Lari?" Dia tertawa kencang.

"Tolong lepaskan aku kali ini, Om. Aku ... aku ...." Gugup aku berkata padanya.

Dia tertawa lagi.

"Aku ... s4kit, Om. Sa kit sekali."

"Apa? Sa.kit? Haalaah, jangan bohong. Ayolah, sebentar aja. Nanti u4ng jajannya Om lebihin deh. Sepuluh ribu, atau dua puluh?"

Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau u4ng jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berd4 rah, Om." Aku terus memohon padanya. Berharap belas kasihan, agar dibebaskan dari rasa s4 kit yang dihujamkan selama ini.

"Berd4 rah? Apanya? Yuk sini Om liat dulu. Nanti Om obatin ya!" Laki-laki itu menarik lenganku.

"Enggak, Om! Lepas! Aku mohon, tolong lepaskan! Tolong!"

Dia terus menarik tangan yang sudah sekuat tenaga aku pertahankan. Namun, percuma. Kekuatan ragaku kalah jauh dsri badan besarnya.

Dan, lagi-lagi aku menjadi santapannya.

***

Air mata basah membanjiri wajah. Rasa sakit ini semakin nyata, terasa meng0yak seluruh raga. P3rih dan menyayat. Bahkan kaki ini tak sanggup lagi kugerakkan.

Kulangkahkan kaki tanpa arah, menelusup ke dalam hamparan semak belukar. Aku sadar ini bukanlah jalan menuju rumah. Namun, untuk apa lagi aku pulang? Karena sebias sedih dan rasa s4 kit saja tak bisa kulampiaskan. Kemana pun pergi, aku akan tetap menjadi gadis kecil yang sepi, hanya sendiri.

Kepada siapa akan kuadukan segala gundah dan resah? Ibu tiada peduli, Bapak pun seperti tak menyayangi. Diri ini layaknya tenggelam dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Rasa sa kit bertubi-tubi menerpa badan.

Di tengah lautan kesedihan, aku mendengar suara gemericik air. Terdengar merdu dalam kelamnya nestapa yang menimpa badan. Tak ubah ibarat nyanyian syahdu di tengah raungan kesedihan yang berpanjangan. Kupercepat langkah mencari dimana asal suara itu. Semakin lama, suara itu semakin terdengar jelas, jelas, dan semakin jelas.

Entah dimana aku sekarang. Di depanku terhampar sungai dengan dinding-dinding tanah yang curam. Di bawah sana, mengalir deras air di antara bongkahan-bongkahan batu yang besar.

Di sinikah penawar dari segala rasa sakitku? Wajah almarhumah Nenek, satu-satunya orang yang menyayangiku dengan tulus, tampak jelas di bawah sana. Seolah memanggil, membujuk, agar aku ikut bersamanya, melepaskan segala rasa sakit dan gundah tak berkesudahan.

Aku lelah. Wajah beringas laki-laki itu, gebu kan Ibu dan har dikan Bapak yang menggema, adalah makanan wajib yang harus kutelan setiap hari. Aku lelah. Hidup ini terasa sangat menyakitkan. Apalah dayaku yang hanya gadis kecil sepuluh tahun, yang bertubuh kurus ceking layaknya kurang gizi.

Seharusnya di usia ini, aku menikmati yang namanya masa kecil dengan limpahan kasih sayang. Namun, apa yang aku dapatkan? Hanya ke k3rasan. Tidak hanya kek3rasan verbal, fisik, tapi juga s3ksu4l.

Untuk apalagi aku hidup? Tidak ada satu alasan pun, yang membuatku semangat untuk bertahan dalam terpaan badai kehidupan ini.

Perlahan kakiku melangkah maju, menuju tepian sungai yang basah, bekas sisa hujan tadi pagi. Tuhan, ambil saja nyawaku! Semakin lama, tubuhku semakin mendekat di tepi sungai. Lambaian tangan Nenek semakin jelas terbayang di ruang mata. Tuhan, aku hanya anak sepuluh tahun. Ini sungguh berat untuk kupikul. Aku ingin bebas, bermain di taman syurgaMu, mereguk sebanyak-banyaknya kebahagiaan yang tak pernah kurasakan di dunia ini.

Dan, sekejap kupejamkan mata, tubuh ini sudah melayang di udara. Aku masih sempat tersenyum, bahagia lepas dari jerat kesedihan ini. Selamat tinggal, Dunia. Aku kembali pada Yang Maha Menyayangi.

Rasa s4 kit kembali menyerang. Lalu, gelap sempurna.

---

Bersambung

Sudah tamat di KBM App

Judul : Hanya Gadis Kecil (TAMAT)
Penulis : Sylvia Basri

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/9e6cc20b-8e06-f12c-ec25-003d78ae1df5?af=ca825cf3-c6f1-cfc1-236e-e0c086c481d1

Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau uang jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om." Aku...
28/01/2025

Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau uang jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om." Aku terus memohon padanya. Berharap belas kasihan, agar dibebaskan dari rasa sakit yang dihujamkan selama ini.

"Berda rah? Apanya? Yuk sini Om liat dulu. Nanti Om obatin ya!" Laki-laki itu menarik lenganku.

-----

HANYA GADIS KECIL

Bab 1

Sakit.

Nyeri.

Hanya itu yang kurasakan. Hari ini dia melakukannya lagi. Entah sudah lima atau tujuh kali, aku tak menghitungnya dengan pasti. Hanya saja, akhir-akhir ini setiap pulang sekolah, ia menghadangku di sana, di samping gubuk tua itu.

Setelah melakukannya, ia tersenyum lalu menyodorkan selembar uang lima ribuan ke tanganku. Aku memang senang mendapatkan uang itu, karena sudah lama tak pernah lagi dikasih uang jajan sama Ibu. Ibu tak henti mengomel dan juga mengeluhkan uang belanja yang tidak rutin dikasih Bapak. Namun, rasa sakit yang kurasakan di bawah sana, terkadang menjadikanku kapok untuk menuruti keinginan laki-laki itu.

Sebelum menyuruhku pergi, dia memilin lenganku dengan sangat kencang. Matanya bulat menatapku dengan amarah, mengancam agar aku tidak mengadukan perbuatannya pada siapapun.

Aku bisa apa?

Tangis karena rasa perih menyayat, hanya bisa kutelan dalam-dalam.

***

Hari ini, dia melakukannya lagi. Percuma kalau aku melawan, karena jalan pulang sekolah di samping gubuk itu sangat sepi. Tidak ada sesiapa yang bisa menolong, meski aku berteriak sekuat tenaga. Rumah kecil kami berada jauh di pelosok kebun yang tidak terawat. Badanku yang kurus ceking takkan mampu melawan tubuhnya yang tinggi besar.

Hari ini rasa sakit yang kurasakan, lebih dari biasanya. Bahkan kedua kaki serasa tak sanggup ku langkahkan. Perihnya bak disayat-sayat. Namun, aku harus tetap kuat. Bekerja membersihkan rumah, dan mencuci pakaian dan piring adalah tugas yang tak bisa kuelakkan. Tak peduli, sesakit apapun yang ragaku tanggungkan. Ibu bisa marah jika ku hanya berdiam diri. Cubitan, tamparan, jambakan, bahkan hantaman sapu ijuk sudah biasa ku terima, jika sedikit saja lalai dari tanggung jawab.

Mengadukan pada Bapak? Percuma. Semenit pun, beliau tak memberiku waktu untuk berkeluh kesah. Hanya hardikan yang kudapat, jika bersikeras menumpahkan segala keluh. Hari-harinya disibukkan oleh hal yang tidak pernah ku mengerti. Jikalau ada waktu beliau di rumah, semua hanya dihabiskan untuk tidur di kamar, atau di sofa butut tepat di belakang jendela.

Piring kotor masih sebaskom penuh menunggu untuk segera kubersihkan. Sakit menyayat kurasakan lagi di sekitaran pinggang hingga pahaku, diiringi rasa ingin buang air kecil. Ku urungkan membereskan cucian, dan beranjak ke kamar kecil, dengan kedua kaki gemetar menahan rasa sakit.

Aku terpekik, karena yang keluar bukannya air seni, tapi tetes-tetes darah. Aku tahu, sebenarnya ini bukan baik-baik saja.

"Naya!"

Suara teriakan Ibu menyentakkanku dari lamunan dan rasa takut itu. Segera ku susut air mata yang entah sejak kapan membanjiri wajah.

Ibu muncul di depan pintu kamar kecil dengan berkacak pinggang. Matanya memerah menatap tajam.

"Ngapain kamu santai-santai di sini? Piring kotor itu sampai kapan kau pajang aja di sana? Hah!" Ibu mendorong kepalaku, hingga tubuhku terhuyung ke belakang.

"Aku ... aku sa ... kit, Bu." Gemetar ku menjawab, takut Ibu melayangkan tangan lagi.

"Sakit? Halaahh! Gak usah berpura-pura Naya. Kau pikir aku bakal kasian, lalu membebaskanmu dari tugas-tugas?" Ibu menarik tanganku agar berdiri sejajar dengannya.

Aku mulai menangis. "Tapi benar Bu, aku sakit, berdarah ... Om itu ...."

Tanpa menanggapi, Ibu menjambak kepangan rambutku yang menjuntai ke samping.

"Ibu gak mau mendengar alasan apa-apa lagi. Dengar?"

Ibu berlalu, meninggalkanku berdiri tergugu di sisi pintu. Berharap dikasihani, berharap pertolongan, tapi yang didapat malah rasa terabaikan. Aku harus bagaimana?

***

Kakiku gemetar mendekat ke arah gubuk. Tak ingin hal yang sama terulang lagi. Rasa sakit yang kurasakan belum mereda. Pun begitu dengan darah yang selalu ikut menetes tiap kali keinginan buang air kecil datang.

Kali ini aku harus bisa lepas dari cengkeraman laki-laki itu. Harus. Tekad sudah bulat, menyiapkan kaki untuk berlari saat belokan menuju gubuk sepi itu. Aku bersyukur, karena yang tampak awalnya cukup sepi. Laki-laki berbadan gempal itu tidak ada di sana.

Aku bersiap, lalu lari.

Tepat di samping sebatang pohon, di sisi kiri gubuk, langkahku spontan terhenti. Dia ada di sana, menghadangku dengan kedua tangan dibuka di depan dada. Wajahnya menyeringai.

"Mau kemana gadis kecil? Lari?" Dia tertawa kencang.

"Tolong lepaskan aku kali ini, Om. Aku ... aku ...." Gugup aku berkata padanya.

Dia tertawa lagi.

"Aku ... sakit, Om. Sakit sekali."

"Apa? Sakit? Haalaah, jangan bohong. Ayolah, sebentar aja. Nanti uang jajannya Om lebihin deh. Sepuluh ribu, atau dua puluh?"

Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau uang jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om." Aku terus memohon padanya. Berharap belas kasihan, agar dibebaskan dari rasa sakit yang dihujamkan selama ini.

"Berda rah? Apanya? Yuk sini Om liat dulu. Nanti Om obatin ya!" Laki-laki itu menarik lenganku.

"Enggak, Om! Lepas! Aku mohon, tolong lepaskan! Tolong!"

Dia terus menarik tangan yang sudah sekuat tenaga aku pertahankan. Namun, percuma. Kekuatan ragaku kalah jauh dsri badan besarnya.

Dan, lagi-lagi aku menjadi santapannya.

***

Air mata basah membanjiri wajah. Rasa sakit ini semakin nyata, terasa mengoyak seluruh raga. Perih dan menyayat. Bahkan kaki ini tak sanggup lagi kugerakkan.

Kulangkahkan kaki tanpa arah, menelusup ke dalam hamparan semak belukar. Aku sadar ini bukanlah jalan menuju rumah. Namun, untuk apa lagi aku pulang? Karena sebias sedih dan rasa sakit saja tak bisa kulampiaskan. Kemana pun pergi, aku akan tetap menjadi gadis kecil yang sepi, hanya sendiri.

Kepada siapa akan kuadukan segala gundah dan resah? Ibu tiada peduli, Bapak pun seperti tak menyayangi. Diri ini layaknya tenggelam dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Rasa sakit bertubi-tubi menerpa badan.

Di tengah lautan kesedihan, aku mendengar suara gemericik air. Terdengar merdu dalam kelamnya nestapa yang menimpa badan. Tak ubah ibarat nyanyian syahdu di tengah raungan kesedihan yang berpanjangan. Kupercepat langkah mencari dimana asal suara itu. Semakin lama, suara itu semakin terdengar jelas, jelas, dan semakin jelas.

Entah dimana aku sekarang. Di depanku terhampar sungai dengan dinding-dinding tanah yang curam. Di bawah sana, mengalir deras air di antara bongkahan-bongkahan batu yang besar.

Di sinikah penawar dari segala rasa sakitku? Wajah almarhumah Nenek, satu-satunya orang yang menyayangiku dengan tulus, tampak jelas di bawah sana. Seolah memanggil, membujuk, agar aku ikut bersamanya, melepaskan segala rasa sakit dan gundah tak berkesudahan.

Aku lelah. Wajah beringas laki-laki itu, gebukan Ibu dan hardikan Bapak yang menggema, adalah makanan wajib yang harus kutelan setiap hari. Aku lelah. Hidup ini terasa sangat menyakitkan. Apalah dayaku yang hanya gadis kecil sepuluh tahun, yang bertubuh kurus ceking layaknya kurang gizi.

Seharusnya di usia ini, aku menikmati yang namanya masa kecil dengan limpahan kasih sayang. Namun, apa yang aku dapatkan? Hanya kekerasan. Tidak hanya kekerasan verbal, fisik, tapi juga seksual.

Untuk apalagi aku hidup? Tidak ada satu alasan pun, yang membuatku semangat untuk bertahan dalam terpaan badai kehidupan ini.

Perlahan kakiku melangkah maju, menuju tepian sungai yang basah, bekas sisa hujan tadi pagi. Tuhan, ambil saja nyawaku! Semakin lama, tubuhku semakin mendekat di tepi sungai. Lambaian tangan Nenek semakin jelas terbayang di ruang mata. Tuhan, aku hanya anak sepuluh tahun. Ini sungguh berat untuk kupikul. Aku ingin bebas, bermain di taman syurgaMu, mereguk sebanyak-banyaknya kebahagiaan yang tak pernah kurasakan di dunia ini.

Dan, sekejap kupejamkan mata, tubuh ini sudah melayang di udara. Aku masih sempat tersenyum, bahagia lepas dari jerat kesedihan ini. Selamat tinggal, Dunia. Aku kembali pada Yang Maha Menyayangi.

Rasa sakit kembali menyerang. Lalu, gelap sempurna.

---

Bersambung

Sudah tamat di KBM App

Judul : Hanya Gadis Kecil (TAMAT)
Penulis : Sylvia Basri

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/9e6cc20b-8e06-f12c-ec25-003d78ae1df5?af=ca825cf3-c6f1-cfc1-236e-e0c086c481d1

"Maksudmu apa? Kamu mau bilang kalau keberatan mengeluarkan uang untuk rumah ini?"UTANG SATU JUTABAB 1"Buk, aku kapan ma...
17/01/2025

"Maksudmu apa? Kamu mau bilang kalau keberatan mengeluarkan uang untuk rumah ini?"

UTANG SATU JUTA

BAB 1

"Buk, aku kapan mau dibelikan baju lebaran?"

Tangan Arum yang sedang menyiangi sayuran tertahan begitu saja mendengar pertanyaan anak sulungnya. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Mutia memberikan pertanyaan yang tidak tahu harus ia jawab dengan apa. Jangankan untuk berpikir membeli baju lebaran, untuk biaya makan sehari-hari saja, Arum masih berpikir panjang. Mau bagaimana lagi? Gaji suaminya sebagai buruh harian di toko bahan bangunan milik juragan Asep tidak seberapa. Gaji seratus ribu perhari jauh dari kata cukup.

Jika hanya mereka empat beranak yang dihidupi, mungkin gaji sebanyak itu masih bisa dibilang cukup. Bahkan mungkin masih bisa disisihkan beberapa ribu untuk ditabung. Akan tetapi, di rumah ini, di rumah sang ibu, ada tiga orang dewasa lain yang menumpang hidup dengan mereka. Mau tidak mau, karena posisi mereka memang menumpang di rumah orang tua, Arum dan Yahya, sang suami yang menanggung semuanya. Sang ibu, Mak Laila, memilih berlepas tangan untuk semua keperluan keluarga. Padahal walaupun seorang janda, beliau ada pendapat rutin setiap bulannya dari lima petak rumah yang disewakan. Setidaknya hampir empat juta yang diterimanya setiap awal bulan. Jangankan memikirkan lauk yang harus terhidang di meja makan setiap harinya. Untuk biaya tagihan listrik saja, beliau selalu meminta pada Arum. Padahal beliau tahu sendiri gaji perhari Yahya sudah habis terkuras untuk mencukupi biaya dapur.

Mak Laila selalu beralasan, uangnya habis untuk biaya kuliah Anggi, adik bungsu Arum. Padahal setahu Arum, biaya kuliah Anggi sudah dicover Alwi, adik laki-lakinya yang juga masih tinggal bersama mereka.

Tidak hanya itu, Asih yang tinggal tidak jauh dari rumah itu, setiap kali datang berkunjung, selalu saja ada yang diambilnya dari lemari dapur. Kalau tidak ada bahan mentah yang bisa dibawanya, bahkan tidak jarang lauk yang sudah dimasak Arum diembatnya. Jika Arum melarangnya, pasti akan dijawab dengan kalimat yang menyakitkan hati. Seakan-akan Arum dan suaminya, serta anak-anak mereka hidup bergantung pada sang ibu.

"Sok-sok berkuasa, padahal bisanya cuma nyedot darah orang tua. Dasar gak punya otak!" bentak sang kakak. Arum hanya bisa menekan dadanya yang terasa sangat sakit mendengar kata-kata itu. Bibirnya hanya bisa diam, meski banyak sanggahan yang ingin ia ucapkan. Jika ia berani menyanggah, maka sang ibu yang akan ikut bersuara.

"Sama saudara saja pelit! Makanya gak kaya-kaya! Sampai mati pun akan tetap miskin kayak gitu!"

Diam lebih baik untuk semuanya. Untuk keluarganya yang memiliki kuasa, dan juga untuk hatinya.

Alhasil, tidak ada sepeserpun, yang bisa Arum tabung dari gaji suaminya. Lalu, dengan apa ia akan membelikan membelikan Mutia baju lebaran?

"Kok Ibuk malah ngelamun?"

Mutia mengguncang pelan lengan sang ibu. Mata Mutia menatap penuh harap pada ibunya. Tahu apa anak seusianya dengan kesulitan hidup? Yang ia tahu, bagaimana ia bisa hidup sama dengan teman-temannya.

"Nanti ya, Nak. Ibuk belum punya uang. Kakak sabar dulu ya," jawab Arum sembari tersenyum pilu. Hatinya terluka melihat binar harapan pada mata anaknya.

"Tapi, kapan, Buk? Udah mau lebaran lho. Fara dan Rafa udah beli baju lebaran, banyak. Tadi mereka pamerin sama kakak."

"Nanti ibuk bilang sama bapak ya, biar dikasih uang untuk beli baju Kakak dan adek. Nanti kita pergi ke pasar bareng-bareng," janji Arum. Mau tidak mau, nanti malam ia harus bicara sama suaminya. Arum tidak tega melihat mata Mutia. Mata bening anak-anak yang menyiratkan harapan besar.

Mata Mutia berbinar terang. "Benar ya, Buk?"

Arum mengangguk.

"H**e!" teriak Mutia. Lalu dia bergerak cepat, berlari ke arah pintu dapur.

"Lho, Kakak mau ke mana?" panggil Arum.

Mutia kembali mendekat. "Ke tempat Fara lagi lho, Buk. Mau bilang sama dia, nanti kakak beli baju lebaran."

"Gak usah, Sayang. Udah ah, Kakak di sini aja bantu ibuk."

"Tapi, Buk, dia terus ngejek kakak belum punya baju lebaran. Kakak malu sama teman-teman yang lain. Gara-gara dia, kakak diketawain."

Hati Arum kembali berdenyut nyeri. Fara adalah anak Asih, berarti sepupu dekat dengan Mutia. Tetapi, kenapa justru dia yang tega melukai hati anaknya?

Arum tidak memiliki cara lagi untuk menahan Mutia untuk pergi. Ditatapnya punggung sang anak dengan hati yang gamang. Satu harapan terbesit dalam hatinya. Semoga ia dapat mewujudkan keinginan kecil anaknya itu, meski bagaimana pun caranya.

"Baju lebaran aja gak kebeli, gimana gak diejek?"

Belum pulih gamang hati Arum, suara sang ibu terdengar di belakangnya. Wanita bertubuh tinggi itu duduk di salah satu kursi meja makan. Matanya tidak melirik sedikit pun ke arah Arum. Selama ini, dia lebih banyak diam jika berhadapan dengan sang ibu. Akan tetapi, kali ini entah kenapa ia merasa harus bicara. Diputarnya tubuh agar dapat lebih leluasa menatap sang ibu.

"Gimana mau beli baju, Mak? Kalau gaji Bang Yahya setiap hari abis untuk biaya dapur saja?" ujar Arum pelan.

Tanpa Arum sangka sedikitpun, wajah Mak Laila berubah menjadi merah.

"Maksudmu apa? Kamu mau bilang kalau keberatan mengeluarkan uang untuk rumah ini?"

"Maksud Arum bukan gitu, Mak. Arum hanya ingin Mak tahu, kalau hidup kami ini sulit. Tolong prihatin sedikit sama Mutia. Ia cuma anak kecil." Arum tersedu.

"Makanya suruh suamimu itu bekerja lebih keras, biar pemasukan juga banyak. Bukan malah menyalahkan orang lain dengan kemiskinan kalian. Kalau kamu merasa berat hidup bersamaku, ya udah angkat kaki dari rumah ini! Hidup numpang tapi berlagak sok kaya!" Mak Laila menggebrak meja di hadapannya dengan kencang.

Satu persatu tetesan bening berjatuhan dari wajah Arum begitu saja. Kalimat sang ibu yang baru saja keluar itu, begitu tajam dan seketika menyayat relung hatinya yang paling dalam. Tega sekali ibunya itu mengucapkan kalimat sekejam itu padanya, padahal ibunya tidak mungkin tidak tahu seberapa berat hidup yang ia jalani. Tidakkah ada sedikit saja rasa empati untuk anaknya itu?

Tangan Arum dengan cepat menyapu wajahnya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melupakan luka hatinya, tapi begitu sulit. Setiap kali disapu, air mata dia wajahnya kembali bercucuran dengan deras. Andai saja dia memiliki kemampuan untuk pergi dari rumah yang terasa seperti neraka ini.

***

Sudah tamat di KBM App

Judul : Utang Satu Juta
Penulis : Sylvia Basri

"Tol0ng lepaskan aku, Om. Jangan s4kiti aku lagi. Aku hanya g4dis kecil. Masih sepuluh tahun. Tidak adakah sedikit saja ...
29/06/2024

"Tol0ng lepaskan aku, Om. Jangan s4kiti aku lagi. Aku hanya g4dis kecil. Masih sepuluh tahun. Tidak adakah sedikit saja rasa kasihan di hatimu untukku?"

Bab 1

Sakit.

Nyeri.

Hanya itu yang kurasakan. Hari ini dia melakukannya lagi. Entah sudah lima atau tujuh kali, aku tak menghitungnya dengan pasti. Hanya saja, akhir-akhir ini setiap pulang sekolah, ia menghadangku di sana, di samping gubuk tua itu.

Setelah melakukannya, ia tersenyum lalu menyodorkan selembar uanq lima ribuan ke tanganku. Aku memang senang mendapatkan uanq itu, karena sudah lama tak pernah lagi dikasih u ang jajan sama Ibu. Ibu tak henti mengomel dan juga mengeluhkan uanq belanja yang tidak rutin dikasih Bapak. Namun, rasa sakit yang kurasakan di bawah sana, terkadang menjadikanku kapok untuk menuruti keinginan laki-laki itu.

Sebelum menyuruhku pergi, dia memilin lenganku dengan sangat kencang. Matanya bulat menatapku dengan amarah, mengan cam agar aku tidak mengadukan perbuatannya pada siapapun.

Aku bisa apa?

Tangis karena rasa pe rih meny4yat, hanya bisa kutelan dalam-dalam.

***

Hari ini, dia melakukannya lagi. Percuma kalau aku melawan, karena jalan pulang sekolah di samping gubuk itu sangat sepi. Tidak ada sesiapa yang bisa menolong, meski aku berteriak sekuat tenaga. Rumah kecil kami berada jauh di pelosok kebun yang tidak terawat. Badanku yang ku rus ceking takkan mampu melawan tu buhnya yang tinggi besar.

Hari ini rasa sa kit yang kurasakan, lebih dari biasanya. Bahkan kedua kaki serasa tak sanggup ku langkahkan. Perihnya bak disa yat-sa yat. Namun, aku harus tetap kuat. Bekerja membersihkan rumah, dan mencuci pakaian dan piring adalah tugas yang tak bisa kuelakkan. Tak peduli, sesakit apapun yang ragaku tanggungkan. Ibu bisa marah jika ku hanya berdiam diri. Cu bi tan, tam pa ran, jam ba kan, bahkan han ta man sapu ijuk sudah biasa ku terima, jika sedikit saja lalai dari tanggung jawab.

Mengadukan pada Bapak? Percuma. Semenit pun, beliau tak memberiku waktu untuk berkeluh kesah. Hanya har di kan yang kudapat, jika bersikeras menumpahkan segala keluh. Hari-harinya disibukkan oleh hal yang tidak pernah ku mengerti. Jikalau ada waktu beliau di rumah, semua hanya dihabiskan untuk tidur di kamar, atau di sofa butut tepat di belakang jendela.

Piring kotor masih sebaskom penuh menunggu untuk segera kubersihkan. Sakit menya yat kurasakan lagi di sekitaran pinggang hingga pa haku, diiringi rasa ingin buang air kecil. Ku urungkan membereskan cucian, dan beranjak ke kamar kecil, dengan kedua kaki gemetar menahan rasa sakit.

Aku terpekik, karena yang keluar bukannya air se ni, tapi tetes-tetes da rah. Aku tahu, sebenarnya ini bukan baik-baik saja.

"Naya!"

Suara teriakan Ibu menyentakkanku dari lamunan dan rasa takut itu. Segera ku susut air mata yang entah sejak kapan membanjiri wajah.

Ibu muncul di depan pintu kamar kecil dengan berkacak pinggang. Matanya memerah menatap ta jam.

"Ngapain kamu santai-santai di sini? Piring kotor itu sampai kapan kau pajang aja di sana? Hah!" Ibu mend0-rong kepalaku, hingga tu buhku terhuyung ke belakang.

"Aku ... aku sa ... kit, Bu." Gemetar ku menjawab, takut Ibu melayangkan tangan lagi.

"Sakit? Halaahh! Gak usah berpura-pura Naya. Kau pikir aku bakal kasian, lalu membebaskanmu dari tugas-tugas?" Ibu menarik tanganku agar berdiri sejajar dengannya.

Aku mulai menangis. "Tapi benar Bu, aku sakit, berda rah ... Om itu ...."

Tanpa menanggapi, Ibu menjam bak kepangan rambutku yang menjuntai ke samping.

"Ibu gak mau mendengar alasan apa-apa lagi. Dengar?"

Ibu berlalu, meninggalkanku berdiri tergugu di sisi pintu. Berharap dikasihani, berharap pertolongan, tapi yang didapat malah rasa terabaikan. Aku harus bagaimana?

***

Kakiku gemetar mendekat ke arah gubuk. Tak ingin hal yang sama terulang lagi. Rasa sakit yang kurasakan belum mereda. Pun begitu dengan da rah yang selalu ikut menetes tiap kali keinginan buang air kecil datang.

Kali ini aku harus bisa lepas dari cengkeraman laki-laki itu. Harus. Tekad sudah bulat, menyiapkan kaki untuk berlari saat belokan menuju gubuk sepi itu. Aku bersyukur, karena yang tampak awalnya cukup sepi. Laki-laki berbadan gempal itu tidak ada di sana.

Aku bersiap, lalu lari.

Tepat di samping sebatang pohon, di sisi kiri gubuk, langkahku spontan terhenti. Dia ada di sana, menghadangku dengan kedua tangan dibuka di depan dada. Wajahnya menyeringai.

"Mau kemana gadis kecil? Lari?" Dia tertawa kencang.

"Tolong lepaskan aku kali ini, Om. Aku ... aku ...." Gugup aku berkata padanya.

Dia tertawa lagi.

"Aku ... sakit, Om. Sakit sekali."

"Apa? Sakit? Haalaah, jangan bohong. Ayolah, sebentar aja. Nanti uanq jajannya Om lebihin deh. Sepuluh ribu, atau dua puluh?"

Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau uanq jajan. Aku ... aku gak mau Om sa kiti lagi. Aku ... berda rah, Om." Aku terus memohon padanya. Berharap belas kasihan, agar dibebaskan dari rasa sakit yang dihu jamkan selama ini.

"Berda rah? Apanya? Yuk sini Om liat dulu. Nanti Om obatin ya!" Laki-laki itu menarik lenganku.

"Enggak, Om! Lepas! Aku mohon, tolong lepaskan! Tolong!"

Dia terus menarik tangan yang sudah sekuat tenaga aku pertahankan. Namun, percuma. Kekuatan ragaku kalah jauh dari badan besarnya.

Dan, lagi-lagi aku menjadi santapannya.

***

Air mata basah membanjiri wajah. Rasa sakit ini semakin nyata, terasa mengoyak seluruh raga. Perih dan menya yat. Bahkan kaki ini tak sanggup lagi kugerakkan.

Kulangkahkan kaki tanpa arah, menelusup ke dalam hamparan semak belukar. Aku sadar ini bukanlah jalan menuju rumah. Namun, untuk apa lagi aku pulang? Karena sebias sedih dan rasa sakit saja tak bisa kulampiaskan. Kemana pun pergi, aku akan tetap menjadi gadis kecil yang sepi, hanya sendiri.

Kepada siapa akan kuadukan segala gundah dan resah? Ibu tiada peduli, Bapak pun seperti tak menyayangi. Diri ini layaknya tenggelam dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Rasa sa kit bertubi-tubi menerpa badan.

Di tengah lautan kesedihan, aku mendengar suara gemericik air. Terdengar merdu dalam kelamnya nestapa yang menimpa badan. Tak ubah ibarat nyanyian syahdu di tengah raungan kesedihan yang berpanjangan. Kupercepat langkah mencari dimana asal suara itu. Semakin lama, suara itu semakin terdengar jelas, jelas, dan semakin jelas.

Entah dimana aku sekarang. Di depanku terhampar sungai dengan dinding-dinding tanah yang curam. Di bawah sana, mengalir deras air di antara bongkahan-bongkahan batu yang besar.

Di sinikah penawar dari segala rasa sakitku? Wajah almarhumah Nenek, satu-satunya orang yang menyayangiku dengan tulus, tampak jelas di bawah sana. Seolah memanggil, membujuk, agar aku ikut bersamanya, melepaskan segala rasa sakit dan gundah tak berkesudahan.

Aku lelah. Wajah beringas laki-laki itu, ge bu kan Ibu dan har di kan Bapak yang menggema, adalah makanan wajib yang harus kutelan setiap hari. Aku lelah. Hidup ini terasa sangat menyakitkan. Apalah dayaku yang hanya gadis kecil sepuluh tahun, yang bertu buh kurus ceking layaknya kurang gizi.

Seharusnya di usia ini, aku menikmati yang namanya masa kecil dengan limpahan kasih sayang. Namun, apa yang aku dapatkan? Hanya keke rasan. Tidak hanya keke rasan verbal, fisik, tapi juga sek sv4l.

Untuk apalagi aku hidup? Tidak ada satu alasan pun, yang membuatku semangat untuk bertahan dalam terpaan badai kehidupan ini.

Perlahan kakiku melangkah maju, menuju tepian sungai yang basah, bekas sisa hujan tadi pagi. Tuhan, ambil saja nya waku! Semakin lama, tu buhku semakin mendekat di tepi sungai. Lambaian tangan Nenek semakin jelas terbayang di ruang mata. Tuhan, aku hanya anak sepuluh tahun. Ini sungguh berat untuk kupikul. Aku ingin bebas, bermain di taman syurgaMu, mereguk sebanyak-banyaknya kebahagiaan yang tak pernah kurasakan di dunia ini.

Dan, sekejap kupejamkan mata, tu buh ini sudah melayang di udara. Aku masih sempat tersenyum, bahagia lepas dari jerat kesedihan ini. Selamat tinggal, Dunia. Aku kembali pada Yang Maha Menyayangi.

Rasa sakit kembali menyer ang. Lalu, gelap sempurna.

Bersambung

----

Judul : Hanya Gadis Kecil (TAMAT)
Penulis : Sylvia Basri

Lanjut? Klik link di bawah ini👇

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah :

Ayo bergabung dan subscribe buku Hanya Gadis Kecil (TAMAT) agar selalu mendapatkan informasi update chapter terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Sylvia Basri di aplikasi KBM.

Address

Jalan Engku Raja Lela Putra
Pelalawan
28381

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mikhayla Nazhia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share