Catatan Dakwah

  • Home
  • Catatan Dakwah

Catatan Dakwah Membangun Kesadaran Umat

23/09/2025

Perang Khandaq: Strategi dan Semangat Nabi Menghadapi Tantangan Berat!

22/09/2025

Pernahkah kamu bertanya bagaimana Nabi Muhammad bisa menanamkan visi besar kepada umat yang saat itu kecil dan lemah? Video ini mengupas bagaimana keyakinan dan tauhid kokoh menjadi kunci kemenangan umat Islam. Sangat cocok untuk kamu yang butuh motivasi dan inspirasi! Yuk, share ke teman-temanmu!

21/09/2025

Ingin tahu bagaimana janji Rasulullah tentang penaklukan kota-kota besar dunia terwujud? Saksikan perjuangan Muhammad Al Fatih yang penuh strategi dan keikhlasan. Video ini sangat cocok untuk kamu yang ingin memahami kekuatan visi dan doa dalam meraih kemenangan besar. Share dan sebarkan semangatnya!

20/09/2025

Video ini membahas bagaimana Islam bertemu dan mengalahkan dua kekuatan besar dunia, Romawi dan Persia, melalui perang bersejarah dan strategi cerdas. Kisah ini sangat relevan untuk memahami kejayaan peradaban Islam yang bertahan ratusan tahun. Tonton dan bagikan untuk menambah wawasan sejarahmu! 'ta

𝗦𝗢𝗟𝗨𝗦𝗜 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗦𝗜 𝗣𝗘𝗥𝗦𝗢𝗔𝗟𝗔𝗡 𝗘𝗞𝗢𝗡𝗢𝗠𝗜Menteri Keuangan Purbaya menarik uang dari BI sebesar 200 triliun untuk memutar ...
19/09/2025

𝗦𝗢𝗟𝗨𝗦𝗜 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗦𝗜 𝗣𝗘𝗥𝗦𝗢𝗔𝗟𝗔𝗡 𝗘𝗞𝗢𝗡𝗢𝗠𝗜

Menteri Keuangan Purbaya menarik uang dari BI sebesar 200 triliun untuk memutar roda ekonomi. Uang itu akan disalurkan melalui perbankan untuk kredit dunia usaha. Ini dilakukan sebagai langkah memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,12 persen. Pemerintahan Prabowo memasang target pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen.
Kebijakan Menteri Keuangan ini sontak menuai beragam pendapat dari para ekonom. Mereka umumnya menilai kebijakan itu tidak akan efektif untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia saat ini. Sebabnya, menyalurkan uang ke bank tidak serta-merta menyelesaikan pokok masalah ekonomi yang kompleks di negeri ini.

𝙆𝙚𝙧𝙖𝙥𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙎𝙞𝙨𝙩𝙚𝙢 𝙀𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞 𝙆𝙖𝙥𝙞𝙩𝙖𝙡𝙞𝙨𝙢𝙚
Kondisi ekonomi nasional saat ini tengah menghadapi tekanan serius akibat kesalahan penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Sejumlah indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa pemulihan yang diharapkan pasca-pandemi belum benar-benar terjadi. Daya beli masyarakat masih lemah. Ini tercermin dari lesunya konsumsi rumah tangga. Padahal sektor ini merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga terus melemah. Pelemahan ini menambah beban bagi sektor impor dan pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku luar negeri. Situasi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor, terutama manufaktur dan start-up digital.

Dampak dari krisis ini tidak hanya dirasakan di sektor formal, tetapi juga langsung menyentuh struktur sosial masyarakat. Salah satu data mencengangkan datang dari penurunan jumlah kelas menengah. Menurut laporan berbagai lembaga, sekitar 9 juta orang keluar dari kelas menengah dan kembali masuk ke kelompok rentan miskin.

Yang lebih memprihatinkan, menurut standar Bank Dunia, sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia kini tergolong miskin atau rentan miskin. Artinya, mayoritas penduduk hidup dengan penghasilan yang sangat terbatas dan berada di bawah ambang kesejahteraan yang layak.

Persoalan ekonomi negeri ini diperparah dengan adanya utang Pemerintah yang telah jatuh tempo sekitar Rp 800 triliun. Itu belum termasuk bunga utang yang juga harus dibayar sekitar lebih dari Rp 500 triliun. Beban pajak yang makin memberatkan masyarakat juga menjadi persoalan tersendiri. Utang ribawi dan pajak adalah dua kesalahan fatal ekonomi Kapitalisme yang justru telah terbukti gagal mensejahterakan rakyat negeri ini.
Di sisi lain, sumberdaya alam di negeri ini malah tetap dikuasai oleh asing dan aseng.

𝙄𝙣𝙙𝙞𝙠𝙖𝙩𝙤𝙧 𝙎𝙚𝙢𝙪
Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator utama untuk mengukur keberhasilan suatu negara dalam bidang ekonomi. Angka pertumbuhan yang tinggi kerap diasumsikan sebagai tanda bahwa perekonomian sedang sehat dan masyarakatnya sejahtera. Namun, penting dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi adalah ukuran makro yang bersifat agregat (rata-rata). Artinya, ia tidak serta-merta mencerminkan kondisi ekonomi riil masyarakat secara orang-perorang.

Secara teknis, pertumbuhan ekonomi dihitung dari peningkatan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode waktu. Salah satu komponen utama dalam perhitungan ini adalah konsumsi rumah tangga, yang dijumlahkan secara keseluruhan tanpa membedakan kontribusi antar individu atau kelompok pendapatan. Artinya, jika sebagian kecil masyarakat meningkatkan belanjanya secara signifikan, sementara mayoritas justru mengalami penurunan daya beli, angka pertumbuhan ekonomi tetap bisa terlihat meningkat. Hal ini menyebabkan adanya paradoks: ekonomi secara makro tampak tumbuh, namun di tingkat mikro, kesenjangan dan kemiskinan bisa saja memburuk. Inilah yang terjadi di negeri ini.
Dengan demikian, menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dapat menyesatkan. Diperlukan indikator tambahan yang lebih insklusif dan berfokus pada distribusi kesejahteraan, seperti tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan (Indeks Gini), dan akses terhadap layanan dasar.

Tanpa mempertimbangkan dimensi-dimensi ini, kebijakan ekonomi berisiko hanya menguntungkan segelintir elit kapitalis oligarki, sementara mayoritas rakyat tidak merasakan manfaatnya. Oleh karena itu, perlu adanya pergeseran paradigma dalam mengevaluasi kinerja ekonomi, dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menjadi menciptakan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan.

Sayangnya, persoalan utama ini diabaikan oleh pemerintah. Menteri Keuangan tetap ngotot jalankan fiskal neoliberal sambil menghamburkan Rp 200 triliun pajak rakyat, bermain-main dengan model fiskal-moneter yang tidak tentu efektivitasnya. Tentu berbahaya jika uang Rp 200 triliun itu lenyap sia-sia karena dialokasikan di instrumen keuangan spekulatif atau dialirkan untuk mendanai proyek-proyek milik jaringan oligharki di balik kekuasaan.

𝙎𝙤𝙡𝙪𝙨𝙞 𝙏𝙪𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙋𝙚𝙧𝙨𝙤𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙀𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞
Dalam konteks ini, pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama dan pemikir Islam abad ke-20, hadir menawarkan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh, adil dan bebas dari eksploitasi. Menurut Syaikh an-Nabhani, persoalan utama ekonomi bukan pada jumlah kekayaan yang tersedia, tetapi pada distribusinya.

Dalam kitab An-Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam (Sistem Ekonomi Islam), beliau menegaskan bahwa Islam telah menetapkan aturan tegas mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Beliau membagi kepemilikan menjadi tiga: milkiyyah fardhiyyah (kepemilikan individu), milkiyyah ‘aammah (kepemilikan umum) dan milkiyyah ad-dawlah (kepemilikan negara).

Konsep ini menutup celah privatisasi sumberdaya strategis yang merupakan aset milik umum. Sumberdaya alam seperti air, listrik, tambang dll adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara secara langsung untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta/asing. Dasarnya, antara lain, sabda Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركَاَءُ فِيْ ثَلاَثٍ: فِيْ الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam pandangan Islam, kesejahteraan tidak diukur dari total konsumsi nasional, melainkan dari pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara. Dengan pendekatan ini, solusi ekonomi Islam menjadi sangat relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih adil dan berkeadilan sosial.

Lebih dari itu, distribusi kekayaan juga harus sesuai dengan prinsip Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar efek samping dari pertumbuhan, tetapi tujuan yang melekat dalam setiap kebijakan ekonomi. Islam tegas melarang kekayaan hanya beredar di kalangan segelintir orang kaya saja. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Islam juga telah melarang segala upaya menumpuk (menimbun) harta. Sebaliknya, Islam mendorong agar setiap harta diputar melalui ragam muamalah dan investasi riil. Islam juga mendorong infak/sedekah, hibah dan wakaf serta mewajibkan zakat.
Negara dalam sistem Islam juga memiliki peran penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan; bukan hanya menciptakan pertumbuhan secara agregat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi menurut Islam bukan hanya soal angka, tetapi tentang keberkahan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem ekomoni Islam akan sangat kuat karena ditopang oleh Baitul Mal serta uang dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik yang stabil.

Lebih jauh, Syaikh An-Nabhani menolak sistem ribawi yang menjadi fondasi ekonomi kapitalis. Riba dianggap sebagai sumber ketimpangan dan ketidakstabilan karena menciptakan uang dari uang, bukan dari aktivitas produktif. Riba jelas diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Sebagai gantinya, Islam mendorong muamalah ekonomi berbasis bagi hasil, seperti syirkah mudhaarabah, yang lebih adil dan berbasis pada kerjasama, bukan dominasi dan eksploitasi.
Negara dalam Islam juga berkewajiban menciptakan lapangan kerja. Jutaan lahan terlantar di negeri ini, misalnya, bisa diambil-alih oleh negara dan didistribusikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang sanggup menggarapnya. Negara juga harus mempermudah ijin usaha, meningkatkan kualitas SDM agar siap kerja, memberikan bantuan modal usaha, memberikan aneka subsidi di bidang pertanian, mendorong pertumbuhan aneka industri, dll.

𝙆𝙝𝙖𝙩𝙞𝙢𝙖𝙝
Dengan landasan keimanan dan ketakwaan, maka penerapan sistem ekomomi Islam ini akan menghadirkan keberkahan hidup. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰات مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf [7]: 96).

Oleh karena itu, di tengah ketidakpastian global dan kompleksitas ekonomi negeri ini, sudah saatnya pemikiran ekonomi Islam, khususnya dari ulama besar seperti Syaikh an-Nabhani, dikaji ulang secara serius dan diterapkan sebagai solusi fundamental bagi negeri ini. Institusi Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaaffah, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah satu-satunya solusi bagi krisis multidimensi dunia saat ini, termasuk persoalan ekonomi.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab.

ℍ𝕚𝕜𝕞𝕒𝕙:

Allah SWT berfirman:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.
(TQS al-Hasyr [59]: 7).

Oleh: dr. Mohammad Ali Syafi’udinMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan persamaan antara pajak dengan kewaji...
18/09/2025

Oleh: dr. Mohammad Ali Syafi’udin

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan persamaan antara pajak dengan kewajiban membayar zakat dan wakaf bagi yang mampu dalam syariat Islam. Menurutnya, keduanya memiliki manfaat yang sama, yaitu kembali kepada orang yang membutuhkan.

“Dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, wakaf, ada yang melalui pajak, dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Rabu (13/8/2025).

Istilah Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam

Dalam bahasa arab ada istilah al-‘usyur, al-maks, adh-dharibah, al-kharaj dan al-jizyah. Seringkali kita membaca atau mendengar istilah-istilah tersebut diterjemahkan sama maknanya yakni pajak. Padahal istilah-istilah tersebut secara fiqih memiliki makna yang berbeda.

‘Usyur adalah hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan kafir dzimmi dan kafir harbi yang melewati perbatasan negara khilafah.

Besarnya pungutan dari para pedagang kafir dzimmi dan kafir harbi merupakan wewenang dari kepala negara atau Khalifah. Ia berhak menambah atau mengurangi sesuai dengan kesepakatan damai yang telah ditetapkan dan juga sesuai dengan perlakuan seimbang (“mu’āmalah bil mitsli”) sebagaimana mereka negara kafir harbi memperlakukan para pedagang muslim ketika masuk ke negara mereka maka mereka menarik pungutan sebesar 10%. Dari sinilah pungutan 10% dinamakan ‘usyur.

Namun penetapan tarif sebesar 10% (al-‘usyur) oleh negara Islam ini sesungguhnya bukanlah tarif yang sifatnya fīxed (tetap), praktik ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. dengan prinsip “mu’āmalah bil mitsli” (perlakuan yang semisal/setara). Hal ini karena waktu itu barang dari negara Islam yang masuk ke negara asing (Dārul Harbi), dikenakan bea masuk sebesar 10% oleh negara asing tersebut. Maka Umar pun merespon dengan mengenakan tarif sebesar 10% (al-‘usyr) ketika ada barang yang masuk dari negara asing (Dārul Harbi) ke dalam wilayah negara Islam.

Al-maks : segala pungutan diambil secara dzalim. Dalam kitab al-mausu’ah al-kuwaitiyah al-fiqhiyyah hal 379
Al-mukus jamaknya Al-maksu yakni harta diambil dari pemiliknya tanpa hak.

Yang termasuk kedalam al-maks adalah Negara mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, negara mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan atau pungutan biaya di muka dalam urusan administrasi negara, negara mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, negara menarik beacukai atas kaum muslim yang melakukan perdagangan internasional dan lain-lainnya.

Adh-dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah kepada kaum muslimin untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang wajib atas mereka di mana pada kondisi ini Baitul mal dalam keadaan tidak ada harta.

Terkait kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang wajib dipenuhi oleh Baitul mal tersebut yakni meliputi pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer dan industri penunjangnya, pembiayaan para fakir miskin, Ibnu Sabil, pembiayaan untuk gaji para tentara, pegawai negri, hakim guru dan lain-lain, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat yang keberadaannya sangat dibutuhkan yang jika keberadaannya tidak ada maka bahaya akan menimpa umat, misalnya Rumah Sakit, Jembatan dan lain-lainnya dan pembiayaan untuk keadaan darurat, misalnya bencana alam.

Pada dasarnya pemasukan rutin Baitul mal yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai hak kaum muslim dan menjadi kewajiban Baitul mal seperti al-fa’i, al-kharaj, al-‘usyur, harta milik umum, harta milik negara dan lain-lain, sebenarnya sudah cukup untuk mengurusi urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak, baik langsung maupun tidak langsung. Namun jika terjadi kondisi di mana berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang wajib dipenuhi oleh Baitul mal dan sementara Kas negara atau Baitul mal dalam keadaan kurang atau tidak ada harta maka negara boleh mewajibkan pajak (adh-dharibah) hanya untuk menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos yang diwajibkan tanpa berlebih. kewajiban membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas kaum muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna sesuai dengan standar hidup mereka tinggal.

Sementara pajak sekarang ini yang di tarik oleh negara secara rutin adalah suatu kedzaliman. karena itu ia termasuk “al-maks” yakni pungutan pajak yang dilarang oleh syari’at, bukan termasuk pajak yang dibolehkan oleh syara’ (“adh-dharibah” ).

Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

, “Tidaklah masuk surga orang yang menarik al-maks ( pungutan yang diambil secara dzalim’)”.(HR Ahmad, Al-Hakim & Abu Dawud).

Al-Kharaj merupakan hak yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada kaum Muslim dari kaum Kafir. Al-Kharaj adalah hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah diambil dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kaum muslim, dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya. Yang dikenakan Al-Kharaj adalah tanah pertanian atau perkebunan bukan tanah yang didirikan untuk tempat tinggal atau bangunan.

Al-jizyah adalah hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum muslim dari orang-orang kafir karena adanya ketundukan mereka pada pemerintahan Islam. Al-jizyah diambil dari orang laki-laki kafir selama mereka tetap kufur, baligh dan berakal. Namun jika mereka telah memeluk Islam maka gugur membayar al-jizyah.

Kadar penarikan al-jizyah itu berbeda-beda. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah menetapkan ahlu dzimah menjadi tiga golongan : kaya (ghaniy), menengah (metawassith), pekerja yang berpenghasilan (Al Amil Al mutakasib). Besarnya al-jizyah sesuai dengan pendapat dan ijtihad khalifah yang didasarkan pada pendapat ahli yang bisa membedakan terhadap tiga golongan tersebut. Disamping itu juga tidak boleh menyusahkan ahlu dzimmah, tidak membebani mereka di atas kemampuannya dan sebaliknya juga tidak menzalimi Baitul mal dengan mengurangi haknya.

Bagi ahlu dzimmah yang kesulitan atau i’sar dia tidak dituntut untuk membayar jizyah, namun dia harus membuktikan bahwasanya dia memang tidak mampu. Tetapi jika dia sebenarnya mampu dan tidak mau membayar dengan menunda-nunda pembayarannya maka bisa diberikan sanksi.

Zakat secara syar’i adalah sejumlah tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu p**a. Zakat merupakan salah satu ibadah dan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam seperti shalat, puasa, dan haji. Zakat hanya wajib atas kaum muslim selain mereka tidak diambil zakat.

Zakat adalah fardhu ain atas setiap muslim yang memiliki harta yang mencapai nisab, setelah dikurangi hutang-hutangnya di samping telah mencapai satu tahun atau “haul”. Kewajiban zakat tidak mengikuti keperluan negara serta kemaslahatan umat, tidak seperti yang terjadi pada harta pajak yang dipungut dari umat karena ada keperluan yang wajib dibiayai oleh Baitul mal. zakat merupakan hak bagi delapan asnaf yang wajib dimasukkan ke Baitul mal, baik ada keperluan ataupun tidak. Mustahik zakat hanya untuk delapan asnaf yaitu orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an di dalam surat at-taubah ayat 60

Zakat bukan hak Baitul mal. Baitul mal hanyalah tempat penyimpanan harta zakat untuk kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan di dalam ayat sesuai dengan pendapat dan ijtihad khalifah tentang mereka.

Kesimp**an:

Dari penjelasan di atas maka secara garis besar bisa disimpulkan

Al-‘usyur adalah pungutan atau pajak atas orang-orang kafir yang melakukan perdagangan melewati batas Negara khilafah. Besarnya pungutan sesuai dengan kesepakatan damai yang telah ditetapkan terhadap ahlu dzimmi dan juga sesuai dengan perlakuan seimbang (“mu’āmalah bil mitsli”) terhadap ahlu harbi.

Al-maks adalah pajak yang diambil secara dzalim dan hukumnya haram. Misalnya penarikan pajak oleh negara secara rutin, penarikan bea cukai atas kaum muslim yang melakukan perdagangan internasional dan lain-lainnya.

Adh-dharibah adalah pajak yang diwajibkan atas kaum muslim karena ada kebutuhan yang wajib dibiayai oleh Baitul mal, sementara Baitul mal tidak ada harta. Hukumnya boleh bagi negara bila dua syarat tersebut terpenuhi.

Al-Kharaj adalah pajak atas Tanah yang dikuasai kaum muslim dari orang-orang kafir baik melalui perang maupun perjanjian damai. Tanah yang dikenai pajak adalah tanah pertanian atau perkebunan, bukan tanah untuk tempat tinggal atau bangunan.

Al-jizyah adalah pajak atas orang-orang kafir yang tunduk pada negara Islam.

Zakat adalah sejumlah tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu p**a. Zakat merupakan salah satu ibadah dan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam seperti shalat, puasa, dan haji. Zakat hanya wajib atas kaum muslim selain mereka tidak diambil zakat.

Jadi apa yang disampaikan oleh menteri keuangan bahwasanya pajak sama dengan zakat adalah merupakan suatu kesalahan dan menyesatkan. Karena yang dimaksud pajak menurut menteri keuangan itu sebenarnya termasuk jenis pajak al-maks yakni pajak yang dilarang oleh syara’ karena ditarik oleh negara secara rutin dan terus-menerus. Zakat adalah kewajiban dan bernilai pahala, sedangkan pajak dalam sistem kapitalisme itu haram dan berdosa memungutnya.

Wallahu a’lamu bi ash- shawab

Rujukan

1. https://financedotdetikdotcom/berita-ekonomi-bisnis/d-8058533/sri-mulyani-sebut-bayar-pajak-sama-mulianya-dengan-zakat-dan-wakaf
2. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām,
3. Abdul Qadim Zallum, _Al-Amwāl fī Daulat Al-Khilāfah,
4. kitab al-mausu’ah al-kuwaitiyah al-fiqhiyyah hal 379

KAPITALISME HANCURKAN ALAMViral video penambangan nikel di sejumlah p**au di Kep**auan Raja Ampat. Hal ini memicu kemara...
17/09/2025

KAPITALISME HANCURKAN ALAM

Viral video penambangan nikel di sejumlah p**au di Kep**auan Raja Ampat. Hal ini memicu kemarahan publik. Keindahan alam dan kekayaan ekosistem laut yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia justru digerus oleh ambisi eksploitasi sumber daya alam. Tidak lain demi mengejar target hilirisasi nikel. Padahal Raja Ampat bukan sembarang wilayah. Ia adalah rumah bagi 75% spesies laut dunia, pusat biodiversitas laut global, serta telah diakui UNESCO sebagai Global Geopark.

Hashtag menjadi seruan moral atas ancaman nyata terhadap kawasan konservasi ini. Sayang, suara rakyat hanya dianggap angin lalu. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, justru bersikap pasif dan menyatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah terbit sebelum masa jabatan saat ini. Sikap ini memperlihatkan betapa lemah komitmen negara dalam melindungi alam demi kepentingan jangka panjang.

Padahal secara hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan p**au kecil seperti Raja Ampat. Secara ekonomi, potensi lestari dari sektor pariwisata justru jauh lebih menjanjikan. Kontribusi sektor pariwisata mencapai Rp150 miliar pertahun dan melibatkan ribuan masyarakat lokal. Artinya, tambang nikel bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengorbankan ekonomi berkelanjutan yang sudah terbukti manfaatnya.

Tambang nikel bukan hanya terjadi di Raja Ampat. Di Sulawesi, Maluku, Papua dan NTB, masyarakat lokal menjadi korban dari air tercemar, kerusakan hutan dan konflik agraria. Semua ini menunjukkan pola eksploitasi sistemik dalam kerangka ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan SDA sebagai komoditas yang hanya menguntungkan segelintir elit pemodal, sementara rakyat menuai penderitaan jangka panjang.

Kapitalisme menempatkan negara sekadar sebagai fasilitator investor. Pemerintah bukan lagi pengurus rakyat, tetapi pelayan modal. Rakyat hanya dijadikan objek proyek, sementara pengusaha besar menikmati cuan dari tanah dan laut yang seharusnya menjadi milik bersama. Negara abai terhadap dampak sosial, ekologis dan budaya dari ekspansi industri tambang.

Berbeda halnya dalam sistem Islam. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in, yakni pengurus yang bertanggung jawab penuh terhadap rakyat. Laut, p**au dan tambang adalah harta milik umum. Tidak boleh dimonopoli oleh individu atau swasta. Negara wajib mengelola tambang atas nama umat. Hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada ruang untuk privatisasi aset milik umum.

Dalam Khilafah, tambang skala besar seperti nikel dikategorikan sebagai milik umum berdasarkan sabda Nabi saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).

Artinya, Negara hanya menjadi pelaksana amanah. Bukan penjual izin kepada korporasi asing maupun lokal.

Kebijakan Islam bukan hanya menjaga keadilan distribusi kekayaan, tetapi juga menjaga keberlanjutan alam dan kelestarian lingkungan. Hanya dengan sistem Islam yang menerapkan syariah secara menyeluruh (kâffah), aset rakyat seperti Raja Ampat bisa dijaga dan dikelola dengan adil dan bijak.

Kerusakan sistemik tidak bisa diatasi dengan solusi tambal-sulam. Butuh perubahan menyeluruh dalam paradigma dan tata kelola. Khilafah Islam bukan utopia, tetapi sistem nyata yang telah terbukti berabad-abad menjaga alam, aset publik dan menyejahterakan umat manusia. [Anwar Rosadi (Speak Up Forum)]

[Sumber Majalah Al-Wa'ie Juli 2025]

SOLUSI DUA NEGARA: SOLUSI PENGHIANATAN!Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke Presiden Prancis, Emma...
17/09/2025

SOLUSI DUA NEGARA: SOLUSI PENGHIANATAN!

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang mendukung solusi dua negara atas konflik Palestina-Israel, adalah sebuah pengkhianatan terang-terangan. Sikapnya bukan hanya pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina, tetapi juga terhadap prinsip konstitusi negeri ini dan, yang lebih besar, terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin Muslim mendukung “solusi” yang justru melegalkan eksistensi entitas penjajah Yahudi yang telah mencaplok tanah umat Islam, membunuhi anak-anak dan wanita, serta mengusir jutaan rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri? Bagaimana mungkin ia menyebut solusi dua negara sebagai jalan damai, padahal itu adalah jalan untuk melegitimasi dan mengokohkan penjajahan?

Solusi dua negara sejatinya adalah pengakuan terhadap penjajah Yahudi. Meskipun dikatakan solusi ini mensyaratkan kemerdekaan Palestina, pada hakikatnya ini adalah bentuk legitimasi terhadap keberadaan negara penjajah Yahudi. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia berkomitmen untuk menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia. Karena itu mendukung solusi dua negara sama saja dengan mendukung pelanggaran terhadap konstitusi negeri ini.

Lebih dari itu, solusi dua negara adalah proyek lama Amerika Serikat yang bertujuan untuk menjaga eksistensi entitas Yahudi sang penjajah. Palestina “merdeka” dalam kerangka ini hanyalah negara boneka yang pasti dilemahkan—tanpa kekuatan militer, tanpa kedaulatan penuh, tanpa kemampuan untuk mempertahankan diri. Ia hanya akan menjadi kantong administratif, yang dijaga oleh pasukan lokal tak bersenjata berat, untuk memfasilitasi keamanan entitas penjajah Yahudi. Inilah yang disebut negara tanpa kedaulatan dan wilayah tanpa kemerdekaan.

Pengakuan terhadap penjajah Yahudi bukan hanya bertentangan dengan akal dan kemanusiaan, tetapi juga secara tegas bertentangan dengan syariah Islam. Dalam Islam, penjajahan tidak diakomodasi. Penjajahan tidak dinegosiasikan. Penjajah adalah musuh yang wajib diperangi dan diusir. Allah SWT berfirman (yang artinya): Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian dan janganlah kalian melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai kaum yang melampaui batas. Usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 190–191).

Apakah ayat ini tidak cukup jelas? Penjajah harus diperangi. Mereka harus diusir. Bukan diakui. Bukan diberi negara bahkan dilegalkan. Maka dari itu, dukungan terhadap solusi dua negara—yang melegalkan keberadaan penjajah Yahudi di atas tanah suci umat Islam—adalah bentuk penghinaan terhadap hukum Allah SWT dan umat Islam.

Solusi dua negara yang digaungkan oleh para pemimpin negeri-negeri Muslim hari ini mencerminkan satu fakta pahit: mereka bukan bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah itu sendiri. Mereka adalah agen-agennya solusi palsu. Mereka adalah pelindung status quo penjajahan. Mereka adalah penghalang pembebasan sejati Palestina.

Apa yang disampaikan Amir Hizbut Tahrir, Syaikh Atha‘ bin Khalil Abu ar-Rasytah, dalam sambutan Idul Adha 1446 Hijrah sangat penting untuk kita perhatikan dan sambut. Pertama: Hari Raya ini datang, sementara serangan Yahudi dengan dukungan Amerika dan persenjataannya masih terus berlangsung terhadap Gaza Hasyim dan seluruh Palestina. Para penguasa di negeri kaum Muslim hanya mengamati apa yang terjadi, menghitung syuhada’ dan menyebut mereka sebagai korban tewas! Yang paling baik jalannya adalah orang-orang moderat yang seolah-olah pada posisi netral bahkan lebih dekat kepada Yahudi!

Kedua: Sungguh tidak aneh jika Amerika dan kaum kafir penjajah dan buatan mereka, negara Yahudi, menyerang kita. Sebabnya, mereka adalah musuh Islam dan kaum Muslim bukan dari hari ini, tetapi sejak bertahun-tahun lalu. Demikian juga tidak aneh jika kaum kafir penjajah dengan mengandalkan hukum internasional dapat menyerang negeri-negeri kaum Muslim. Pasalnya, hukum ini sejak pertama kali dibuat memang untuk melawan kaum Muslim dan negara mereka (Ad-Daulah al-Utsmaniyah) pada Konferensi Westphalia tahun 1648 M, yang kemudian berkembang menjadi Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua ini tidak aneh.

Ketiga: Yang aneh/mengherankan, para penguasa di negeri kaum Muslim yang bertetangga dengan Palestina mengamati apa yang terjadi di sana berupa kejahatan-kejahatan dan pembantaian, sementara mereka diam dan menghalangi pasukan dari menolong Gaza bahkan dari seluruh Palestina. Bahkan mereka menjamin penerapan keputusan-keputusan internasional yang mematikan bagi kaum Muslim. Semoga Allah membinasakan mereka bagaimana mereka sampai dapat dipalingkan!

Keempat: Wahai tentara di negeri kaum Muslim! Mari bersegera menolong saudara-saudara Anda di Gaza. Jika rezim-rezim pemerintah diktator yang eksis di negeri kaum Muslim menghadang Anda maka tindaklah mereka. Tegakkanlah hukum (pemerintahan yang disyariatkan) Allah untuk menggantikan mereka. Tegakkanlah Al-Khilâfah yang mengikuti manhaj kenabian. Ini sebagai perealisasian kabar gembira Rasulullah saw.: “…Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian…” (HR Ahmad)

Alhasil, apa yang dibutuhkan umat Islam saat ini bukanlah kompromi politik, tetapi kekuasaan politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah ‘alâ minhâj an-nubuwwah. Khilafah inilah yang akan menyatukan umat, mengonsolidasikan kekuatan negeri-negeri Muslim dan mengirimkan pasukan untuk membebaskan Palestina sebagaimana dulu Salahuddin membebaskan al-Quds dari cengkeraman Salibis.

Wahai Kaum Muslim! Tidak cukup kita marah. Tidak cukup kita mengecam. Saatnya kita sadar. Pembebasan Palestina membutuhkan tegaknya Khilafah. Tidak akan ada penegakan syariah tanpa pemimpin yang tunduk pada al-Quran dan as-Sunnah. Tidak akan ada kemenangan kecuali kita kembali pada Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan.

Karena itu, solusi dua negara bukanlah solusi. Itu adalah pengkhianatan. Solusi sejati adalah menegakkan Khilafah dan mengusir penjajah Yahudi dari seluruh tanah Palestina dengan mengirimkan pasukan militer. Inilah yang akan mengakhiri penderitaan rakyat Palestina. Inilah jalan satu-satunya menuju kemenangan yang hakiki. AlLâhu Akbar! [Farid Wadjdi]

[Sumber: Majalah Al-Wa'ie Juli 2025]

Address


Telephone

+6287773723443

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Catatan Dakwah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share