19/09/2025
𝗦𝗢𝗟𝗨𝗦𝗜 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗧𝗔𝗦𝗜 𝗣𝗘𝗥𝗦𝗢𝗔𝗟𝗔𝗡 𝗘𝗞𝗢𝗡𝗢𝗠𝗜
Menteri Keuangan Purbaya menarik uang dari BI sebesar 200 triliun untuk memutar roda ekonomi. Uang itu akan disalurkan melalui perbankan untuk kredit dunia usaha. Ini dilakukan sebagai langkah memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,12 persen. Pemerintahan Prabowo memasang target pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen.
Kebijakan Menteri Keuangan ini sontak menuai beragam pendapat dari para ekonom. Mereka umumnya menilai kebijakan itu tidak akan efektif untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia saat ini. Sebabnya, menyalurkan uang ke bank tidak serta-merta menyelesaikan pokok masalah ekonomi yang kompleks di negeri ini.
𝙆𝙚𝙧𝙖𝙥𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙎𝙞𝙨𝙩𝙚𝙢 𝙀𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞 𝙆𝙖𝙥𝙞𝙩𝙖𝙡𝙞𝙨𝙢𝙚
Kondisi ekonomi nasional saat ini tengah menghadapi tekanan serius akibat kesalahan penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Sejumlah indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa pemulihan yang diharapkan pasca-pandemi belum benar-benar terjadi. Daya beli masyarakat masih lemah. Ini tercermin dari lesunya konsumsi rumah tangga. Padahal sektor ini merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga terus melemah. Pelemahan ini menambah beban bagi sektor impor dan pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku luar negeri. Situasi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor, terutama manufaktur dan start-up digital.
Dampak dari krisis ini tidak hanya dirasakan di sektor formal, tetapi juga langsung menyentuh struktur sosial masyarakat. Salah satu data mencengangkan datang dari penurunan jumlah kelas menengah. Menurut laporan berbagai lembaga, sekitar 9 juta orang keluar dari kelas menengah dan kembali masuk ke kelompok rentan miskin.
Yang lebih memprihatinkan, menurut standar Bank Dunia, sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia kini tergolong miskin atau rentan miskin. Artinya, mayoritas penduduk hidup dengan penghasilan yang sangat terbatas dan berada di bawah ambang kesejahteraan yang layak.
Persoalan ekonomi negeri ini diperparah dengan adanya utang Pemerintah yang telah jatuh tempo sekitar Rp 800 triliun. Itu belum termasuk bunga utang yang juga harus dibayar sekitar lebih dari Rp 500 triliun. Beban pajak yang makin memberatkan masyarakat juga menjadi persoalan tersendiri. Utang ribawi dan pajak adalah dua kesalahan fatal ekonomi Kapitalisme yang justru telah terbukti gagal mensejahterakan rakyat negeri ini.
Di sisi lain, sumberdaya alam di negeri ini malah tetap dikuasai oleh asing dan aseng.
𝙄𝙣𝙙𝙞𝙠𝙖𝙩𝙤𝙧 𝙎𝙚𝙢𝙪
Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator utama untuk mengukur keberhasilan suatu negara dalam bidang ekonomi. Angka pertumbuhan yang tinggi kerap diasumsikan sebagai tanda bahwa perekonomian sedang sehat dan masyarakatnya sejahtera. Namun, penting dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi adalah ukuran makro yang bersifat agregat (rata-rata). Artinya, ia tidak serta-merta mencerminkan kondisi ekonomi riil masyarakat secara orang-perorang.
Secara teknis, pertumbuhan ekonomi dihitung dari peningkatan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode waktu. Salah satu komponen utama dalam perhitungan ini adalah konsumsi rumah tangga, yang dijumlahkan secara keseluruhan tanpa membedakan kontribusi antar individu atau kelompok pendapatan. Artinya, jika sebagian kecil masyarakat meningkatkan belanjanya secara signifikan, sementara mayoritas justru mengalami penurunan daya beli, angka pertumbuhan ekonomi tetap bisa terlihat meningkat. Hal ini menyebabkan adanya paradoks: ekonomi secara makro tampak tumbuh, namun di tingkat mikro, kesenjangan dan kemiskinan bisa saja memburuk. Inilah yang terjadi di negeri ini.
Dengan demikian, menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dapat menyesatkan. Diperlukan indikator tambahan yang lebih insklusif dan berfokus pada distribusi kesejahteraan, seperti tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan (Indeks Gini), dan akses terhadap layanan dasar.
Tanpa mempertimbangkan dimensi-dimensi ini, kebijakan ekonomi berisiko hanya menguntungkan segelintir elit kapitalis oligarki, sementara mayoritas rakyat tidak merasakan manfaatnya. Oleh karena itu, perlu adanya pergeseran paradigma dalam mengevaluasi kinerja ekonomi, dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menjadi menciptakan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan.
Sayangnya, persoalan utama ini diabaikan oleh pemerintah. Menteri Keuangan tetap ngotot jalankan fiskal neoliberal sambil menghamburkan Rp 200 triliun pajak rakyat, bermain-main dengan model fiskal-moneter yang tidak tentu efektivitasnya. Tentu berbahaya jika uang Rp 200 triliun itu lenyap sia-sia karena dialokasikan di instrumen keuangan spekulatif atau dialirkan untuk mendanai proyek-proyek milik jaringan oligharki di balik kekuasaan.
𝙎𝙤𝙡𝙪𝙨𝙞 𝙏𝙪𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙋𝙚𝙧𝙨𝙤𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙀𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞
Dalam konteks ini, pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama dan pemikir Islam abad ke-20, hadir menawarkan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh, adil dan bebas dari eksploitasi. Menurut Syaikh an-Nabhani, persoalan utama ekonomi bukan pada jumlah kekayaan yang tersedia, tetapi pada distribusinya.
Dalam kitab An-Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam (Sistem Ekonomi Islam), beliau menegaskan bahwa Islam telah menetapkan aturan tegas mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Beliau membagi kepemilikan menjadi tiga: milkiyyah fardhiyyah (kepemilikan individu), milkiyyah ‘aammah (kepemilikan umum) dan milkiyyah ad-dawlah (kepemilikan negara).
Konsep ini menutup celah privatisasi sumberdaya strategis yang merupakan aset milik umum. Sumberdaya alam seperti air, listrik, tambang dll adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara secara langsung untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta/asing. Dasarnya, antara lain, sabda Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركَاَءُ فِيْ ثَلاَثٍ: فِيْ الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam pandangan Islam, kesejahteraan tidak diukur dari total konsumsi nasional, melainkan dari pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara. Dengan pendekatan ini, solusi ekonomi Islam menjadi sangat relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih adil dan berkeadilan sosial.
Lebih dari itu, distribusi kekayaan juga harus sesuai dengan prinsip Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar efek samping dari pertumbuhan, tetapi tujuan yang melekat dalam setiap kebijakan ekonomi. Islam tegas melarang kekayaan hanya beredar di kalangan segelintir orang kaya saja. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Islam juga telah melarang segala upaya menumpuk (menimbun) harta. Sebaliknya, Islam mendorong agar setiap harta diputar melalui ragam muamalah dan investasi riil. Islam juga mendorong infak/sedekah, hibah dan wakaf serta mewajibkan zakat.
Negara dalam sistem Islam juga memiliki peran penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan; bukan hanya menciptakan pertumbuhan secara agregat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi menurut Islam bukan hanya soal angka, tetapi tentang keberkahan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem ekomoni Islam akan sangat kuat karena ditopang oleh Baitul Mal serta uang dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik yang stabil.
Lebih jauh, Syaikh An-Nabhani menolak sistem ribawi yang menjadi fondasi ekonomi kapitalis. Riba dianggap sebagai sumber ketimpangan dan ketidakstabilan karena menciptakan uang dari uang, bukan dari aktivitas produktif. Riba jelas diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah [2]: 275).
Sebagai gantinya, Islam mendorong muamalah ekonomi berbasis bagi hasil, seperti syirkah mudhaarabah, yang lebih adil dan berbasis pada kerjasama, bukan dominasi dan eksploitasi.
Negara dalam Islam juga berkewajiban menciptakan lapangan kerja. Jutaan lahan terlantar di negeri ini, misalnya, bisa diambil-alih oleh negara dan didistribusikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang sanggup menggarapnya. Negara juga harus mempermudah ijin usaha, meningkatkan kualitas SDM agar siap kerja, memberikan bantuan modal usaha, memberikan aneka subsidi di bidang pertanian, mendorong pertumbuhan aneka industri, dll.
𝙆𝙝𝙖𝙩𝙞𝙢𝙖𝙝
Dengan landasan keimanan dan ketakwaan, maka penerapan sistem ekomomi Islam ini akan menghadirkan keberkahan hidup. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰات مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf [7]: 96).
Oleh karena itu, di tengah ketidakpastian global dan kompleksitas ekonomi negeri ini, sudah saatnya pemikiran ekonomi Islam, khususnya dari ulama besar seperti Syaikh an-Nabhani, dikaji ulang secara serius dan diterapkan sebagai solusi fundamental bagi negeri ini. Institusi Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaaffah, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah satu-satunya solusi bagi krisis multidimensi dunia saat ini, termasuk persoalan ekonomi.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab.
ℍ𝕚𝕜𝕞𝕒𝕙:
Allah SWT berfirman:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.
(TQS al-Hasyr [59]: 7).