16/10/2024
R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, R.A. Kartini berasal dari keluarga ningrat Jawa terpandang. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara dan masih punya garis keturunan dari wangsa Mataram.
Dikutip dari buku Biografi Pahlawan Nasional R.A. Kartini (2008), ibunda Kartini bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru mengaji juga ulama.
Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung maupun tiri.
Kakek Kartini, Pangeran Condronegoro, termasuk generasi awal dari kalangan orang Jawa yang telah menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna.
Kartini mengungkapkan keadaan dirinya dan kaum wanita di Jawa atau Indonesia pada umumnya. Kepada Stella, Kartini menulis:
“… we girls, so far as education goes, fettered by our ancient traditions and conventions, have profited but little by these advantage. It was a great crime against the customs of our land that we should be taught at all, and especially that we should leave the house every day to go to school. For the custom of our country forbade girls in the strongest manner ever to go to outside of the house..."
artinya :
“… kami para gadis, sejauh menyangkut pendidikan, terbelenggu oleh tradisi dan konvensi kuno kami, hanya memperoleh sedikit keuntungan dari keuntungan ini. Merupakan kejahatan besar terhadap adat istiadat negeri kami bahwa kami harus diajari sama sekali, dan khususnya bahwa kami harus meninggalkan rumah setiap hari untuk pergi ke sekolah. Karena adat istiadat negeri kami melarang keras para gadis untuk pergi ke luar rumah..."
Kartini memang konsisten memperjuangkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di lingkungannya. Aturan adat dan konstruksi sosial dalam masyarakat Jawa membuat perempuan berada di bawah laki-laki.
Misalnya mengenai pekerjaan yang tidak setara, bagaimana perempuan harus di rumah dan tidak boleh memperoleh pendidikan tinggi, juga kawin paksa yang masih sering terjadi kala itu.