๐—•๐˜‚๐—ด๐—ถ๐˜€ ๐—จ๐—ฝ๐—ฑ๐—ฎ๐˜๐—ฒ

  • Home
  • Indonesia
  • Pinrang
  • ๐—•๐˜‚๐—ด๐—ถ๐˜€ ๐—จ๐—ฝ๐—ฑ๐—ฎ๐˜๐—ฒ

๐—•๐˜‚๐—ด๐—ถ๐˜€ ๐—จ๐—ฝ๐—ฑ๐—ฎ๐˜๐—ฒ ส™แดœษขษช๊œฑ แด›แด‡ส€แด‹ษชษดษช

Menyediakan informasi tentang adat dan budaya Bugis
(1)

Panglima Bugis di tanah Melayu
19/07/2025

Panglima Bugis di tanah Melayu

1. ORANG LAUT NUSANTARAOrang Bugis dan Makassar adalah salah satu pelaut ulung di kep**auan Nusantara. Sejak berabad-aba...
17/07/2025

1. ORANG LAUT NUSANTARA

Orang Bugis dan Makassar adalah salah satu pelaut ulung di kep**auan Nusantara. Sejak berabad-abad silam, mereka telah mengarungi lautan luas untuk berdagang. Lebih dari itu, mereka bukan hanya untuk berdagang tok, tetapi juga untuk menjelajah, merantau, bahkan membangun komunitas baru di tanah seberang.

Di tengah hembusan angin muson dan gelombang samudra, perahu-perahu mereka seperti padewakang, lepa-lepa, dan pinisi(beberapa sejahrawan menambahkan jenis lain dari perahu mereka) melintasi jalur-jalur laut yang hari ini menjadi rute penting perdagangan dunia. Mereka singgah, menyatu dengan budaya lokal, sekaligus membawa serta nilai-nilai luhur dari tanah Sulawesi.

Di pantai-pantai Kalimantan, pesisir Sumatera, hingga Semenanjung Malaka dan Australia Utara, jejak orang Bugis dan Makassar masih dapat ditemukan. Mereka dikenal karena keberanian, ketekunan, dan satu hal yang menjadi jantung kebudayaan mereka: semangat massompeโ€™, tradisi merantau yang bukan sekadar mencari nafkah, tapi mencari kehormatan.

Bagi mereka, lautan bukan batas, melainkan jembatan. Dan dalam sejarah maritim Nusantara, Bugis-Makassar bukan hanya penumpang ombak, tapi penguasa jalur air. Anda bisa membayangkan Katara dalam kartun Avatar, hehe.

Monumen Perdamaian Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka, Raja Bone. "Aku dan Raja Bone bukanlah musuh" kalimat terakhir S...
17/07/2025

Monumen Perdamaian Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka, Raja Bone. "Aku dan Raja Bone bukanlah musuh" kalimat terakhir Sultan Hasanuddin sebelum wafat di Sompa Opu pada tahun 1670 yang disaksikan para anggota Kerajaan di Sompa Opu

Selain itu, Andi Mappanyukki adalah Raja Bone yaitu Putra Raja Gowa ###IV yang kehadirannya menjadi penghangat persaudaraan antara Bugis dan Makassar. Saat Suku Makassar menginvansi di Bugis, mereka banyak melakukan perkawinan antar Bangsawan Bugis sehingga terciptalah kerukunan damai antara Bugis dan Makassar

Top 5 makanan Bugis
16/07/2025

Top 5 makanan Bugis

Biografi AGREGURUTTA KH.ABDURRAHMAN AMBO DALLE, Sang Ulama Pembaharu Dari Tanah Bugis.Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari...
16/07/2025

Biografi AGREGURUTTA KH.ABDURRAHMAN AMBO DALLE, Sang Ulama Pembaharu Dari Tanah Bugis.

Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qurโ€™an.

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah Rakyat) pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore dan malam harinya. Dalam dunia permainan anak-anak, Ambo dale adalah seorang penggiraing bola handal sehingga digelari โ€œSi Rusa.โ€

Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih saja.. melainkan juga mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS dan pernah p**a belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad Asโ€™ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah p**ang kembali ke negeri leluhurnya, Ambo dale segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).

Keberuntungan dalam Belajar

Suatu ketika, AGH. Muhammad Asโ€™ad yang biasa disapa oleh masyarakat Bugis dengan Anregurutta Puang Aji Sade, menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak saat itu ia diangkat menjadi asisten. Sehingga pada tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama pada para syeikh di Mekkah.

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad Asโ€™ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad Asโ€™ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Maka dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. Asโ€™ad dan ulama lainnya. Ambo Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat, pop**aritas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka ketika H.M.Yusuf Andi Dagong ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, ia pun lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.Asโ€™ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M. Asโ€™ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta HM.Asโ€™ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso.

Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.

Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Zaman Jepang

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya. Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km p**ang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Di mana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat. Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya.

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Daโ€™wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung. Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya.

Hijrah Ke Pare-pare

Tahun 1950, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu p**a pusat Darud Daโ€™wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Daโ€™wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Daโ€™wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Daโ€™wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk p**a dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar.

Diculik Kahar Muzakkar

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya. Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, โ€œAlhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,โ€ kata Kahar Muzakkar.

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota. Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu p**a Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta. Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.

Kiprahnya dalam Perjuangan

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak

Beberapa gelar bangsawan di Mandar dan konteks sosial-budayanya. Gelar seperti Daeng, Puang, Petta, Andi, dan Arung mema...
15/07/2025

Beberapa gelar bangsawan di Mandar dan konteks sosial-budayanya. Gelar seperti Daeng, Puang, Petta, Andi, dan Arung memang memiliki akar kuat dalam struktur sosial masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, termasuk wilayah Mandar.

Berikut sedikit penjelasannya:

๐Ÿ”ธ Daeng

Asalnya dari Bugis-Makassar, tapi digunakan juga di Mandar, terutama oleh keturunan bangsawan yang punya hubungan administratif dengan kerajaan. Sering digunakan bersama nama pribadi.

๐Ÿ”ธ Puang

Umumnya digunakan oleh pemangku adat atau orang yang dianggap suci atau terhormat secara adat. Gelar ini juga menunjukkan garis keturunan ningrat.

๐Ÿ”ธ Andi

Merupakan gelar resmi keturunan bangsawan tinggi Bugis-Makassar, yang kemudian menyebar ke Mandar karena adanya pernikahan antarbangsawan dan perpindahan wilayah kekuasaan. Dianggap sebagai gelar keturunan "darah biru."

๐Ÿ”ธ Petta

Berarti "tuan" atau "pemuka". Bisa disematkan kepada pemimpin adat, kepala kampung, atau orang yang dihormati di komunitas. Sifatnya lebih kepada fungsi sosial dan kepemimpinan lokal.

๐Ÿ”ธ Arung

Dalam bahasa Bugis dan juga digunakan di Mandar, Arung berarti โ€œpenguasaโ€ atau โ€œraja kecilโ€. Seorang Arung memimpin wilayah tertentu dalam struktur kerajaan.

Konteks Budaya

Masyarakat Mandar memiliki sistem kerajaan (pada masa lalu) yang disebut โ€œPitu Baโ€™bana Binangaโ€ (tujuh kerajaan pesisir) dan โ€œPitu Uluna Saluโ€ (tujuh kerajaan pegunungan). Gelar-gelar bangsawan ini hidup di antara dua kelompok besar tersebut, dan digunakan untuk menunjukkan posisi sosial dan politik seseorang.

Menyerah ka karna uang panainya
13/07/2025

Menyerah ka karna uang panainya

Julukan kab/kota di Sulawesi Selatan Julukan kota mu apa bossku?
12/07/2025

Julukan kab/kota di Sulawesi Selatan

Julukan kota mu apa bossku?

Silahkan....
11/07/2025

Silahkan....

Ternyata Cantika orang Bugis Lo tp tinggal di Tarakan๐Ÿค—โ˜บ๏ธSi paling cantik muka Korea tp keturunan bugis pantes manis๐Ÿฅฐ๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜
10/07/2025

Ternyata Cantika orang Bugis Lo tp tinggal di Tarakan๐Ÿค—โ˜บ๏ธ
Si paling cantik muka Korea tp keturunan bugis pantes manis๐Ÿฅฐ๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜

Tannia peddi cedde
10/07/2025

Tannia peddi cedde

09/07/2025

Address

Pinrang

Telephone

+81946726331

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when ๐—•๐˜‚๐—ด๐—ถ๐˜€ ๐—จ๐—ฝ๐—ฑ๐—ฎ๐˜๐—ฒ posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to ๐—•๐˜‚๐—ด๐—ถ๐˜€ ๐—จ๐—ฝ๐—ฑ๐—ฎ๐˜๐—ฒ:

Share