17/10/2025
Digendongan Ayah, Aku Berharap Bisa Bertemu Ibu
Raut wajahnya menahan tangis, kepalanya terasa sakit, seorang anak perempuan yang berusia 4 tahun digendong ayahnya pakai kain jarik, sambil naik sepeda. Sang ayah, tempuh 20 KM untuk cari barang rongsok. 1 karung kalo dijual, cuma dapet 8 ribu rupiah. Mereka berdua diusir dari rumah, sang ibu menikah lagi. Hanya ada gubuk beratap terpal, yang menjadi tempat mereka berlindung.
“Waktu itu paling sedih, kami sedang kehujanan susah cari tempat teduh. Tiba-tiba, Dira anak saya nunjuk-nunjuk sebayanya, katanya mau sekolah juga.
Detik itu juga saya langsung nangis, dan minta maaf kalau belum bisa sekolahin dan ngasih makan yang enak. Selama ini, Dira cuma bisa makan nasi tanpa lauk, bahkan itu juga bisa dihitung pakai jari.” - Pak Wahyudi.
Hal ini dirasakan oleh Pak Wahyudi, beliau menggendong putrinya untuk mencari sampah. Tubuhnya yang mulai rapuh karena usia, beliau tertatih-tatih menyeret kakinya untuk mengambil botol bekas di pinggir jalan. Terdengar suara tangisan, sang anak menahan perih pada perutnya, akibat belum makan dari kemarin.
Upahnya sehari sangatlah kecil, berkisar 25 ribu per hari. Itupun ia gunakan untuk membeli satu bungkus nasi dibagi dua dengan putrinya.
“Anak saya sering gambar di batu pake kapur, saya belum bisa beliin satu buku tulis. Yang bikin saya nangis, dia gambar bentuk rumah dan ibunya. Dia selalu nanya ke saya, ‘Ayah kapan kita bisa ketemu sama Ibu?’ saya gak tega kalo liat wajah anak saya, hampir mau setahun, dia tidur di gubuk..” - Pak Wahyudi
Kisah menyayat hati ini berawal dari sekitar 8 bulan lalu, Pak Wahyudi dan anaknya, Dira pindah dari Kabupaten Malang menuju Kabupaten Banyuwangi, tanpa tujuan yang jelas karena diusir oleh istrinya. Sang istri memilih untuk menikah dengan pria lain.
Hatinya hancur, Pak Wahyudi membawa putrinya jalan kaki ke Banyuwangi karena gak pegang uang sepeserpun. Mirisnya, beliau juga kena tipu. Awalnya, Pak Wahyudi dapat panggilan kerja oleh kerabatnya, namun sesampainya di Banyuwangi, beliau hubungi rekannya, tak ada jawaban. Bahkan, saat dicari alamatnya pun tak ada.
Akhirnya, beliau bersama anaknya luntang-lantung, tidur di jalanan dekat tong sampah. Saat itu juga, ia bertemu dengan Orang Dermawan yang mengijinkan Pak Wahyudi untuk buat gubuk dari terpal di lahan kebun pisang miliknya.
Kehujanan dan kepanasan itu sudah menjadi teman kami sehari-hari.. ucap Pak Wahyudi lirih sambil meneteskan air mata.